63 - You Must be Kidding

Batal bercerai, katanya?

Setelah dia membuatku melalui masa-masa yang menyebalkan, di mana aku harus berjuang dengan perasaanku sendiri, merasakan sakitnya perasaan yang tidak berbalas, bahkan secara tidak langsung memanfaatkan orang lain yang memiliki perasaan padaku. Aku mengalami masa-masa sulit ketika dia bisa bersenang-senang bersama kekasihnya. Namun, sekarang dia ingin kami membatalkan rencana itu setelah dia mendapat satu tamparan keras dari kekasihnya? Wow. Aku makin tidak mengenal sosok Killian meski sikapnya tidak berubah padaku.

Apa dia mulai berpikir setelah hubungannya dengan Gabby berakhir dia akan kesepian? Aku bukan teman yang akan dicari hanya karena dia merasa kesepian. Killian berharga bagiku, dan maknanya jelas jauh lebih dari itu. Aku akan tetap mencarinya meski ada banyak orang di sekelilingku.

Rasa salad buahku menjadi masam, padahal aku masih menyuapnya dengan cara yang sama seperti sebelum aku mendengar ucapan Killian. Waktu yang terbuang tidak terlalu lama untuk aku meresapi ucapannya. Perasaan yang tidak nyaman ini mungkin memengaruhi kadar asam pada produksi liurku. Aku tidak bisa memakan ini dulu. Kabar bagusnya, aku sudah selesai makan dan punya tenaga untuk memproses situasi ini.

"Pilihlah candaan yang bagus, Killian," kataku sembari berusaha menutup kembali stoples salad buah. Kukira aku punya cukup tenaga untuk melakukannya, tetapi aku justru kesulitan mengepaskan tutupnya hingga rapat. Killian harus mengambil alih stoples itu dariku.

Killian berhasil menutup stoples tersebut hingga terdengar suara yang menyatakan itu tertutup sempurna. Kemudian dia membawanya ke kulkas untuk disimpan sementara.

"Aku memikirkannya sejak kemarin, dan kuputuskan untuk tidak akan melepaskanmu." Dia tidak langsung kembali ke kursinya, melainkan tetap berdiri di depan kulkas dan menunduk untuk menatap atas kulkas yang tidak terdapat apa-apa selain vas bunga. Begitu hampa dan tidak menarik, persis seperti tidak adanya alasan yang mendasarinya tidak ingin bercerai dariku.

"Sebaiknya kita bicarakan lain kali saja, Killian. Aku tidak dalam kondisi yang cukup baik untuk berdebat."

Iya, berdebat. Aku tidak akan semudah itu menuruti kemauannya terus. Aku sudah bersusah payah menjalani masa-masa agar kami bisa bercerai, aku jelas akan memperjuangkan hakku setelah berhasil melewati semua itu. Sampai dia mengatakan alasan yang bagus untuk mempertahankan pernikahan kami, aku tidak akan berhenti mengemukakan keinginanku untuk bercerai dengannya.

"Benar. Kau harus benar-benar sehat dulu." Ada kekecewaan di suaranya. Dia kembali menghampiriku untuk menyingkirkan meja dari ranjang dan membenahi selimut yang kupakai. "Kau perlu sesuatu yang lain?"

"Ponselku saja, tolong." Aku menunjuk ponsel yang sedang diisi daya di atas meja, dengan stopkontak yang menempel di dinding. Aku minta tolong Emma untuk menyambungkannya ke listrik tadi sebelum dia pergi ke Macy's.

"Kukira kau mau istirahat." Meski protes, Killian tetap mengambilkan ponselku. "Aku akan berada di ranjang sebelah dan bekerja." Saat dia kembali untuk memberikan ponselku, aku justru teralihkan oleh lebam di wajahnya. Bagian itu sedikit timbul, mungkin bengkak.

"Lebammu harus diobati. Itu makin buruk." Jujur saja, tanganku sudah gatal ingin mengurus lebamnya. Kalau saja aku tidak harus dirawat di sini dengan tangan tersambung infus, aku pasti sudah menyeretnya dan menahannya agar tetap diam selagi aku mengurus lebamnya. "Manfaatkan perawat yang ada di sini, kupikir kau bisa meminta tolong di depan?

Killian mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Sepersekian detik di saat itu aku sudah mengira dia akan menghubungi seseorang, tetapi dia hanya menumpang berkaca di layarnya. Aku sudah takut dia akan pergi lagi. Sendirian di kamar rumah sakit sungguh tidak menyenangkan.

"Aku lebih suka tanganmu yang melakukannya." Dia tersenyum padaku sembari kembali menyimpan ponselnya. Lagi, dia mengabaikan lukanya dan mendatangi kasur sebelah. Laptopnya ada di sana, dia mungkin akan mulai bekerja.

"Saat aku keluar dari sini, lebam itu mungkin akan membusuk." Aku tahu itu tidak masuk akal. Lebam bisa hilang dengan sendirinya memang, tetapi aku sungguh tidak merasa nyaman melihatnya seperti itu. Seandainya di tempat tersembunyi tidak masalah. Itu ada di wajahnya, semua orang bisa melihatnya dengan jelas.

Dari posisinya, Killian tertawa. "Tidak apa-apa, ini salah satu bentuk penyesalanku. Aku akan membiarkannya sampai hilang sendiri. Kau istirahatlah, Ana. Aku tidak akan ke mana-mana." Seolah-olah menyadari kekhawatiranku, Killian berhasil membuatku tenang dengan kata-katanya.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai dia begitu serius dan fokus berkutat dengan laptopnya. Jari-jari panjangnya dengan lincah berpindah dari satu tuts kibor ke kibor yang lain, aku nyaris tidak bisa melihat perpindahan posisinya. Aku tidak akan berhenti memperhatikannya andai ponselku tidak bergetar. Ada beberapa pesan masuk dari Allen. Ah, pria itu bahkan terlupakan eksistensinya karena kondisiku.

Allen
Ana, kudengar kau berada di rumah sakit sekarang.
Emma memberitahuku tadi, dia memintaku untuk menemanimu karena dia harus ke Macy's. Tapi aku tidak bisa karena harus memeriksa venue acara hari Minggu ini.
Bagaimana kondisimu?
Aku akan ke sana.

Alih-alih meminta rekanku yang lain di Macy's untuk datang, Emma justru menghubungi Allen. Aku tidak heran karena dia mendukung penuh hubunganku dengan pria itu. Emma memang berharap sesuatu yang baik terjadi pada kami, tetapi setelah apa yang terjadi, aku tidak yakin Killian akan melepaskanku begitu saja. Terlebih lagi dengan apa yang dia ucapkan tadi. Memang lebih baik memulai hubungan yang baru setelah melepaskan yang sedang dijalani.

Luciana
Tidak apa-apa. Aku sudah cukup baik, hanya tinggal menstabilkan kadar hemoglobin.

Sepertinya aku akan menghadapi situasi yang sulit jika Allen datang, sementara Killian masih ada di sini. Sikap protektif Killian padaku memang tanpa alasan, tetapi lebih baik menerima itu seorang diri daripada orang lain harus menyaksikannya.

Allen
Tunggu aku.
Kau mau kubelikan sesuatu?

Luciana
Tidak perlu.

Allen
Baiklah.

Aku meletakkan ponsel ke atas nakas kemudian. Efek kebanyakan makan mulai bekerja sekarang. Mataku mulai mengantuk karena senandung kesunyian menggema di telinga. Mungkin tidak masalah kalau aku tidur sebentar sampai Allen datang.

•••

"Killian!"

Waktu itu mungkin usiaku dua belas tahun, ketika aku berlari ke kamarnya sambil membawa buku gambar. Aku bahkan melewati dua orang tuanya yang sedang menonton TV, seperti aku memang tinggal di sana. Mereka tidak pernah protes, bahkan memberiku kunci cadang rumah jika aku ingin berkunjung saat tidak ada satu orang pun di rumah. Sampai sekarang aku masih menyimpannya, bahkan setelah penguncinya sudah diganti dengan bentukan kartu.

Aku membuka pintu kamar Killian, menemukannya sedang bergelut dengan kartu poker yang dia coba susun menjadi piramida. Tiupan angin dari pintu yang kubuka meruntuhkan beberapa tingkatan teratas dari piramidanya. Aku menatapnya dengan muka bersalah, tetapi dia akhirnya hanya menghela napas dan menghancurkan sisanya. Ya, salahnya sendiri waktu itu mendirikannya di lantai dan dekat dengan pintu, seperti tidak tahu saja kalau aku suka menerobos masuk kamarnya tanpa mengetuk dulu.

Killian memang sepasrah itu jika berurusan denganku.

"Aku sudah membangunnya sejak tadi pagi, kalau kau lupa." Dia tidak akan menunjukkan wajah kesalnya padaku meski kata-katanya sedikit menyebalkan. Aku jelas masih ingat dia memberitahuku kalau ingin mencoba membangun piramida, karena merasa gemas dengan orang-orang yang sering gagal membangunnya.

"Aku akan membantumu nanti, tapi lihat ini dulu." Kusodorkan buku gambarku tadi padanya, lalu menyusul duduk bersila di hadapannya, tepat di atas kartu poker yang berserakan.

Jantungku berdebar-debar ketika dia mulai membalik satu per satu halaman buku gambar. Aku menantikan reaksi bagusnya, tetapi yang kutemukan hanya wajah bingung disertai bibir mencebik.

"Aku tidak mengerti, kau menunjukkan sketsa yang diberi tanda silang besar."

Bola mataku berputar, kemudian satu erangan kukeluarkan. "Kau belum melihatnya sampai akhir."

"Kenapa tidak langsung bukakan halaman gambar yang mau ditunjukkan padaku?"

Aku bahkan tidak berpikir ke sana. Waktu itu untuk pertama kalinya aku menunjukkan cengiran malu-malu. Entah kenapa aku ingin Killian tahu bahwa aku mengikuti sarannya. Kalau kau menyukainya, teruskan saja. Dia mengatakan itu ketika tidak ada satu pun yang menganggap gambaranku bagus, termasuk dia. Tidak, masalahku ada pada metode pewarnaan. Aku tidak pandai memilih warna, jadi aku hanya memperhalus kemampuan menggambar sketsa. Hanya Killian yang akan mengatakan dengan jujur. Bahkan ketika seseorang memuji, aku akan tetap percaya pada penilaiannya meski terdengar menyakitkan.

"Wow."

Senyumku langsung lebar.

"Aku tidak bilang ini bagus, tapi kau sudah menunjukkan perkembangan." Itu pujian. "Kau harus meneruskannya."

Killian menjadi orang pertama yang mendukung hobiku sebagai penggambar busana. Dia yang membuatku menemukan impian untuk masa depanku. Kami anak remaja awal yang terombang-ambing dengan apa yang ingin kami capai di masa depan, nyaris seperti daun yang memutuskan untuk menerima saja ke mana angin meniupnya. Aku bertekad menjadi seorang fashion designer setelahnya.

Saat pertama kali mencobanya, aku terus tertekan oleh fakta betapa terlambatnya aku. Di luar sana, anak-anak seusiaku sudah menggambar dengan sangat baik, pandai memadukan warna. Sementara aku masih belum mampu menggambar sisi kiri dan kanan dengan simetris. Aku mungkin akan berhenti jika Killian tidak mendukungku, bahkan Mom skeptis aku akan berkarier sebagai desainer. Wanita yang melahirkanku itu secara blak-blakan berkata kalau tidak ada harapan untukku jika tidak jago menggambar.

"Kau yakin?"

Dia mengembalikan buku gambarku. "Kau menggambarnya dengan baik kali ini. Aku menyukainya dan bisa membayangkan kalau kau memakainya."

Lihat bagaimana perannya begitu penting untuk karierku sekarang.

Dengan begitu, aku memilih jurusan Fashion Designer saat kuliah. Kemudian aku secara tidak langsung memunculkan keinginannya menjadi seorang dokter setelah kecelakaan yang kualami. Sebetulnya alasan itu sedikit lebih konyol, mengingat keyakinan bahwa kami tidak akan terpisahkan terus tertanam pada kami. Bertambahnya usia memberikan kami cara pandang baru terhadap beragam hal, termasuk bahwa akan tiba saatnya kami jatuh cinta dengan orang lain dan akan menyingkirkan satu sama lain karena level prioritas yang bergeser.

Aku tidak peduli pada awalnya. Meski Killian sedang berkencan sekalipun, dia tidak akan menolak jika aku minta ditemani bepergian, seperti ketika aku minta ditemani ke Paris untuk menghadiri undangan Fashion Show. Itu pencapaian terbesarku selama proses belajar, dan tidak mungkin aku tidak mengajak Killian untuk merayakannya. Tentu saja aku juga akan melakukan hal yang sama untuknya. Namun, lama-lama itu justru memicu protes dari kekasih-kekasihnya. Aku tidak pernah menyadari bahwa itu termasuk egois, yang kupikirkan hanyalah kami sudah dihubungkan oleh simpul yang kuat. Selagi Killian tidak mempermasalahkannya, aku tidak berhenti.

Aku terus menyuarakan keyakinan bahwa tidak akan ada perasaan yang tumbuh di antara kami, demi membuat kekasihnya percaya, tetapi tetap saja mereka berusaha menyingkirkanku. Killian tidak senang dan akhirnya hubungan mereka berakhir. Mungkin sebelum Gabby, Killian belum benar-benar jatuh cinta pada mantan-mantannya, dan saat bersama Gabby perasaan itu nyata.

Bagaimana aku setelah ini?

•••

"--ingin bersamanya?"

"Setelah apa yang terjadi, dia harus menerima yang lebih pantas."

"Kau cukup pantas?"

"Tidak sepatutnya bicara begitu setelah apa yang kauperbuat padanya."

"Aku mungkin punya alasan."

Suara-suara itu terdengar samar-samar, kemudian perlahan-lahan makin jelas seiring dengan terkumpulnya kesadaranku. Rasanya aku sudah tidur terlalu lama, bahkan sampai memimpikan masa kecilku dengan Killian. Aku masih mengerjap, membiasakan mata dengan cahaya, tetapi dua orang itu masih terus bicara.

"Dia sudah bangun." Si pemilik suara lantas berdiri di sampingku.

"Allen? Kau menunggu lama?"

Aku mencari-cari tombol untuk menaikkan separuh badan ranjang agar aku bisa mengobrol dan menatapnya lebih leluasa. Namun, tangan Killian lebih dulu menemukannya karena posisinya memang di sisi kanan ranjang dan dia ada di sebelah sana.

"Tidak juga. Bagaimana kondisimu sekarang?" Dia menarik kursi menjadi lebih dekat dengan ranjangku dan mendudukinya.

"Sudah jauh lebih baik, terima kasih sudah datang." Kupaksa seulas senyum untuk hadir. Bukan karena tidak merasa senang, tetapi aku merasakan adanya kecanggungan dari Killian dan Allen. Obrolan yang kudengar tadi kuharap bukan awal dari sesuatu yang buruk di masa depan.

"Kau masih lapar? Aku membawa sup asparagus, akan kusuapi kalau kau mau makan."

Aku melirik Killian secara refleks. Pria itu sudah menatapku lebih dulu, tetapi seperti ada rasa cemas di sana. Aku ingin menelusuri lebih dalam lagi maksud dari tatapannya andai saja Killian tidak langsung berpaling dan membereskan laptopnya di atas ranjang. Terakhir dia meraih kunci mobil di atas meja.

"Aku akan memberi kalian waktu, telepon aku jika butuh sesuatu, Ana."

Dengan mengatakan itu, Killian menghilang di balik pintu. Sepertinya dia berpikir maksud tatapanku adalah isyarat untuk pergi, padahal aku tidak bermaksud begitu. Itu adalah reaksi impulsif yang kulakukan karena Allen menawarkan ingin menyuapiku, yang sejujurnya tidak membuatku merasa nyaman. Aku bermaksud meminta tolong pada Killian, tetapi dia justru salah menanggapinya. Level kepekaan Killian menurun drastis.

"Jadi, bagaimana?"

Aku tidak berhenti menatap pintu seandainya Allen tidak bersuara. "Aku sudah makan tadi, sekarang masih kenyang."

"Aku benar-benar terkejut saat Emma bilang kau keguguran. Tadinya aku memang ingin memberimu sup asparagus ke Macy's, lalu Emma menelepon dan aku berbalik arah." Allen menertawakan kekonyolannya sendiri dengan nada yang hambar. Aku makin percaya kalau situasi ini cukup mengganggunya dan akan membuatnya mundur mendekatiku.

"Sudah kubilang kau akan menyesal," kataku dengan nada jenaka. Kalau dia ingat obrolan kami beberapa waktu lalu, dia pasti akan paham maksud dari ucapanku.

Dia menggeleng. "Boleh kutanya sesuatu?" Dia jadi jauh lebih serius.

"Ya, silakan."

"Apa Killian memaksamu? Apa dia melakukannya untuk mendapat keuntungan dari pernikahan kalian? Aku tidak peduli kalau kau punya anak dengannya, tapi tidak jika dia memaksamu."

Apa? Kali ini aku yang tertawa garing hingga muncul kerutan kebingungan di dahi Allen.

"Killian tidak akan seperti itu. Kau mungkin tidak akan percaya, tapi aku yang menggodanya saat itu. Dia memang beberapa kali membicarakan tentang rencana ke depan jika kami ingin berhubungan badan, tapi dia tidak akan melakukannya tanpa persetujuanku. Dia akan memakai pengaman jika memang ingin melakukannya. Killian tidak seceroboh itu sampai membuatku hamil."

Allen diam dengan bibir terkatup rapat. Kerutan kebingungan di dahinya berubah menjadi wajah berpikir. Aku tidak tahu apakah ada beberapa hal yang membuatnya merasa terganggu, atau dia hanya sedang berusaha keras untuk percaya kata-kataku.

"Apa pun yang kau pikirkan tentang Killian, kuharap tidak membuatmu berpikir untuk menjauhinya. Karena biar bagaimanapun, dia bagian dari hidupku. Dia sangat berarti untukku."

"Aku tahu. Aku hanya ... khawatir. Jika dia terus bersikap seperti itu, dia akan menghalangimu menemukan seseorang yang akan mencintaimu dengan benar."

Aku tersenyum. Kemarin-kemarin kata-kata itu sempat membuatku merasa khawatir, tetapi hari ini aku dengan tenang menanggapinya. Tidak ada ketakutan sedikit pun.

"Orang yang mencintaiku akan menemukan jalan untuk bisa bersamaku."

•••

Sampai sore tiba, Killian tidak kunjung kembali. Padahal Allen sudah pergi beberapa jam yang lalu. Dia bilang aku bisa menelepon kalau perlu sesuatu, tetapi aku tidak melakukannya karena tidak ingin mengganggu. Killian mungkin perlu fokus bekerja saat ini meski jam kerjanya sudah berakhir sejam lalu. Lagi pula, dia sudah terlambat memulainya.

Kalau saja aku di rumah, aku tidak perlu merasa gelisah seperti ini. Meski Killian memilih kamar VVIP untukku, tetapi tidak lebih nyaman dari kamarku sendiri. Aku jadi penasaran kapan boleh pulang, dan kebetulan sekali dua orang perawat datang ke ruanganku. Mereka masuk setelah mengetuk dan kupersilakan masuk.

"Selamat sore, Nyonya Patterson, bagaimana kondisi Anda hari ini?" Salah seorang perawat berambut pirang yang menyapaku.

"Beberapa kali keram di bagian bawah perut hari ini, tapi tidak terlalu mengganggu."

"Itu normal, mungkin akan hilang setelah tiga sampai empat hari. Baik, izinkan kami mengganti cairan infus dan mengambil sedikit darah untuk memeriksa kadar hemoglobin Nyonya."

Aku mengulurkan tangan dan perawat yang satu lagi, berkacamata, mengambil darahku menggunakan suntikan kecil di dekat lipatan siku.

"Mari, kami bantu menggantikan pembalut lagi."

Kadar hemoglobin rendah membuatku masih merasa lemas. Aku baru berpijak di lantai, tetapi rasanya sekelilingku berputar dan aku nyaris ambruk jika tidak segera berpegangan pada kasur dan tangan si perawat. Persis seperti tadi pagi.

Selesai mengganti pembalut, aku akhirnya bertanya kapan bisa pulang.

"Kami akan memeriksa kadar hemoglobin Nyonya terlebih dahulu, dan jika sudah normal, baru boleh pulang."

Aku mengangguk, dalam hati berdoa agar setelah diperiksa kali ini kadarnya akan naik, meski aku tidak begitu yakin akan normal secepat ini.

"Ini sekalian untuk makan malam, Nyonya." Perawat berkacamata meletakkan satu atas meja, tepat bersebelahan dengan paket makan siang dari rumah sakit yang tidak tersentuh. "Tolong kali ini dimakan, ya, Nyonya. Lauk dan sayurnya akan membantu mempercepat proses pembentukan sel darah merah."

Aku akan minta Killian membelikanku sesuatu dari luar dan membiarkan dia memakan yang dari rumah sakit nanti.

"Baik, terima kasih."

Kedua perawat itu pergi dan aku menelan ludah karena sendirian lagi. Di luar jendela, langit mulai berwarna jingga kemerahan. Matahari mulai beristirahat, tetapi Killian masih belum kembali. Akhirnya aku menyerah dan meneleponnya. Namun, tidak kunjung tersambung. Aku mengirim pesan dan hanya menunjukkan tanda terkirim dariku, belum dia terima. Aku mencoba meneleponnya lagi tanpa henti meski bosan mendengar respons operator yang tidak berbeda.

Killian, kau di mana?

•••

Halo, Tuteyoo kembali lagi.
Maaf lama hilang, kondisi real life lagi gak enak banget. Wkwk.

Sebelumnya, mohon maaf dan sila dikoreksikan jika ada beberapa hal tentang medis yang meleset dari realita. Walau sebenarnya sambil nyari referensi dan beberapa bertanya langsung ke ahlinya, tapi tetep aja takut gak sesuai. Hehe. Yang jelas, jangan langsung dicerna bulat-bulat, kunyah dulu.

Ya, itu aja.
See you on the next chapter
Lots of, Love, Tuteyoo
21 Agustus 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top