61 - Hurtful Truth
Apa yang lebih menyedihkan selain kehilangan separuh dirimu? Tidak ada. Tidak ada yang membuatku lebih sedih dari ini. Awalnya aku mungkin tidak mengharapkannya, tetapi minggu-minggu yang berat, yang kulalui bersamanya, mengingatkanku tentang hal-hal indah yang akan menantiku ke depannya. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya dalam diriku, dan karena kecerobohanku sendiri, dia pergi. Aku bahkan belum menyentuhnya, merasakan kulit lembutnya, atau membelikannya baju-baju dan sepatu yang kecil. Dia pergi karena aku gagal menjaganya.
Dia masih sangat kecil. Dia sudah keluar dengan sendirinya, tetapi jaringan yang menghubungkan aku dengannya masih tersisa di rahimku. Sebelum aku diberikan suntikan anestesi, dokter yang akan melakukan tindakan menunjukkan betapa kecil dirinya, besarnya bahkan tidak sampai separuh jempolku.
Aku ingin membesarkannya di luar perutku. Namun, hidup juga penuh dengan ketidakadilan yang terlalu misterius. Entah siapa yang menerima ketidakadilan itu, aku yang tidak diberi kesempatan untuk membesarkannya, atau dia yang belum sempat merasakan bagaimana hidup sebagai manusia. Di samping itu semua, aku takut tidak mampu mengandung lagi. Padahal aku berharap suatu saat akan memiliki satu atau dua untuk menemani hari-hariku yang mungkin akan membosankan.
Tubuhku terasa hampa. Ini patah hati terbesar sepanjang hidupku, hancur sehancur-hancurnya. Aku bahkan belum sempat membagikan kabar bahagia tentang kehadirannya pada orang lain, termasuk ayahnya sendiri.
Dalam kegelapan, aku menangis. Aku sendirian, kedinginan, tidak ada yang memelukku. Harapanku pergi. Aku berusaha mengejarnya, setitik cahaya yang sangat kecil itu berada terlalu jauh dariku. Kemudian semuanya menjadi terang, terlalu terang sampai aku harus mengerjap berkali-kali hingga mataku mampu menerima cahaya sepenuhnya.
"Akhirnya kau bangun, Ana." Killian meraih tanganku dan dicium sangat lama seakan-akan itu adalah yang terakhir. Dia juga menyapu air mataku yang aku tidak sadar sudah mengalir.
Berapa lama aku tidak sadarkan diri?
Killian menangis, padahal matanya sudah sembap dan memerah. Aku mengangkat tanganku yang lain, bermaksud ingin menyentuh wajahnya, tetapi aku menemukan jarum infus di sana. Tatapanku lantas mengikuti selang yang dialiri cairan berwarna merah sampai ke sebuah kantong yang digantung di tiang infus bersama cairan yang lain. Aku menerima transfusi darah lagi.
"Maafkan aku," kataku sembari menyentuh kepalanya. Dia masih menunduk sembari memegangi tanganku begitu erat. Dengan dia berada di sini, bisa dipastikan kalau dia sudah tahu kalau aku hamil dan keguguran.
"Kenapa kau yang meminta maaf?" Killian mendongak dan aku tidak bisa tidak teralihkan pada lebam di pipi kirinya. "Aku yang gagal menjagamu, Ana. Aku yang seharusnya minta maaf padamu."
"Aku kehilangan dia, aku tidak menjaganya dengan baik." Air mataku mengalir lagi meski aku tidak ingin menangis. "Aku sudah mencintainya sejak dia masih sebesar kacang polong. Hatiku hancur, Killian." Dengan jari aku menunjukkan pada Killian seberapa besar kacang polong itu.
Killian menggeleng dengan air mata yang juga membasahi wajahnya. Tentu dia juga sedih karena kehilangan calon bayinya. Aku masih ingat dia pernah berkata ingin punya satu denganku meski kedengarannya seperti gurauan. Itu saat kami didatangi seorang anak kecil yang salah menganggapku sebagai ibunya dan Killian berkata kalau kami bisa saja punya anak dari pernikahan ini. Sebelah tangannya berusaha menyapu air mata di wajahku, tetapi itu percuma karena tidak berhenti mengalir.
Aku sudah abai pada kondisi perutku sendiri dan tidak memperbanyak istirahat. Andai saja waktu itu aku memberi tahu Killian lebih cepat, dia tidak akan membawaku jogging dengan rute yang panjang bersamanya. Andai saja aku tidak bergerak terlalu banyak ketika sudah kurasakan perutku keram. Aku mengabaikan saran dr. Shemira dan bekerja terlalu berat. Aku benar-benar egois.
"Itu bukan salahmu." Killian berusaha tersenyum untuk menenangkanku. Namun, aku masih bisa merasakan luka pada sorot matanya. Aku bukan satu-satunya yang merasa kehilangan di sini. "Janinnya mengalami kelainan kromosom, Ana. Tidak ada masalah denganmu, jadi tolong jangan merasa bersalah. Tidak akan bagus untuknya jika dibiarkan terus tumbuh dan dilahirkan."
Kelainan kromosom? Penyakit jenis apa itu? Aku tidak bisa lagi menahan tangisanku, sampai akhirnya terisak. Seburuk apa kualitas rahimku sampai dia tidak bisa tumbuh dengan baik. Kenapa hal itu tidak terdeteksi saat pemeriksaan USG? Bagaimana dengan calon anakku selanjutnya? Apa akan seperti ini lagi?
Aku menarik tangan darinya, lalu memiringkan badan membelakanginya. Sorot matanya, aku tidak sanggup melihatnya lebih lama lagi. Yang ada justru membuatku makin merasa bersalah dan menyesal sejadi-jadinya. "Aku tidak akan hamil lagi kalau begitu. Kasihan kalau anak-anakku kelak akan terlahir cacat."
Killian benar-benar tidak mau diam, ya. Aku menghindarinya oleh dugaan bahwa dia pasti merasa sangat kecewa, tetapi dia justru menempel padaku. Tangannya melewati pinggangku dan kembali menggenggam tanganku seperti tadi. Kepalanya juga berada di atas kepalaku, seperti sedang setengah memelukku. Sayangnya, aku terlalu lemas untuk melepaskan diri.
"Dengarkan aku. Kelainan kromosom janin terjadi saat pembelahan sel, bukan karena masalah di rahimmu. Bisa jadi kesalahan itu juga berawal dari sel spermaku. Jadi, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Ana." Killian masih cukup sabar dengan bertutur kata sangat lembut untuk membuatku tenang, tetapi itu tidak berpengaruh padaku. Aku masih tidak bisa terima kehilangan dia.
"Dari mana kau tahu kalau aku keguguran karena kelainan kromosom seperti katamu? Jelas-jelas aku yang tidak menjaganya dengan baik. Apalagi saat aku pergi ke dokter kandungan, kondisinya selalu baik-baik saja."
Killian menghela napas, mungkin putus asa menghadapiku yang terlalu keras kepala. "Aku bertanya. Kelainan kromosom baru terdeteksi begitu janin berkembang, Ana. Awalnya memang tidak begitu terlihat jika hanya dari pemeriksaan USG. Mana mungkin aku tidak mencari tahu tentang kondisimu dan penyebab kenapa kau sampai seperti ini. Aku tidak bisa mengabaikan kondisimu begitu saja."
Aku akan senang kalau Killian punya alasan yang lebih bagus. Dia memang peduli padaku, dari dulu seperti itu. Namun, makin ke sini rasanya aku makin egois. Aku ingin sesuatu yang lebih dari rasa peduli seseorang kepada sahabatnya. Aku masih penasaran apakah dia pernah merasakan sesuatu seperti itu padaku, seperti yang Allen tanyakan kemarin.
"Kalaupun seseorang harus disalahkan, akulah orangnya. Kau tidak akan seperti ini kalau saja saat itu aku menahan diri untuk tidak menyentuhmu." Suaranya serak dan berat saat mengatakannya. Disusul dengan sesuatu membasahi wajahku, yang jelas itu bukan dari air mataku. "Aku bahkan mampu menolak Gabby saat dia menggodaku. Kupikir ada hal lain yang kurasakan padamu, sesuatu yang tidak pernah kusadari sebelumnya."
Tidak. Aku tidak ingin mendengar kelanjutan dari kalimat itu meski sejauh ini berharap dia akan mengatakannya. Keputusanku ... aku tidak ingin goyah.
Aku kembali berbaring telentang dan sekaligus membuatnya menyingkir dariku. Aku sudah tidak menangis karena terlalu lelah. Janinku tidak akan kembali meski aku ingin meraung sekalipun.
"Wajahmu lebam. Apa yang terjadi?" Aku menyentuhnya, tidak sengaja menekannya sampai dia meringis. Itu pasti sakit sekali.
"Sesuatu yang pantas kuterima. Bukan apa-apa."
"Kau sudah mengobatinya?" Itu bukan lagi pengalihan topik, aku serius bertanya karena mengkhawatirkannya. Killian tidak suka berkelahi meski sikap protektifnya sering kali membuat orang lain ingin meninjunya. Kalau sampai seperti itu, pasti alasannya bukan sesuatu yang sepele. Pertahanan dirinya cukup baik, dia akan membalas untuk membela diri. Jadi kuharap siapa pun yang meninjunya tidak mengalami sesuatu yang lebih buruk darinya.
"Ada hal lain yang kukhawatirkan, jangan pedulikan yang ini." Dia membungkus tanganku yang meraba wajahnya tadi dengan dua tangannya yang hangat. Dia terlihat sangat kacau, bahkan masih memakai pakaian kerjanya. "Kau sudah sadar sekarang, aku akan minta perawat untuk memeriksa kondisimu."
Killian berdiri dan menekan tombol pada dinding di atas kepalaku. Itu adalah tombol untuk memanggil perawat atau siapa pun yang bertugas untuk datang ke ruanganku. Setelah melakukannya, dia masih sempat mendaratkan satu ciuman di dahiku.
"Maafkan aku, Ana. Aku lebih takut kehilanganmu daripada bayi kita."
•••
Aku baru menyadari kalau saat sadar tadi baru pukul lima dini hari. Itu menjelaskan kenapa Killian terlihat sangat kacau, seperti tidak mendapat tidur semalaman, atau dia memang tidak tidur. Dan aku tidak sadarkan diri jauh lebih lama ketimbang waktu yang dibutuhkan untuk tindakan kuretase, setidaknya begitu yang dikatakan perawat saat memeriksa kondisiku.
Kadar hemoglobinku sudah naik, tetapi belum menyentuh angka normal yang seharusnya, yaitu 12. Untuk sementara aku tidak memerlukan transfusi lagi, tetapi belum bisa pulang dan masih perlu dipantau, karena perdarahan pascakuretase masih terjadi meski tidak separah saat jaringannya masih tersisa di rahim. Perawatnya hanya menyuntikkan obat untuk memancing pembentukan darah di tubuhku. Lalu pada jam tujuh pagi, aku dipindahkan ke ruang rawat.
Killian masih bersamaku, tetapi sempat pergi sebentar dan kembali dengan pakaian berbeda. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya, sedangkan jika pulang akan membutuhkan waktu lebih lama. Killian juga membersihkan dirinya di kamar mandi ruanganku, wajahnya jadi lebih segar meski masih jelas terlihat matanya yang sembab dan warna lebam yang terlihat lebih jelas lagi.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa masih sakit? Pusing?" Dan dalam kondisi kacau dia masih mempertanyakan kondisiku.
Killian mendekat, merapikan rambutku yang berantakan sekaligus menyingkirkan beberapa helai yang menutupi wajahku. Dia menatapku masih dengan sorot yang sama seperti saat aku baru sadar, penuh rasa haru, sedih, khawatir. Selama ini aku selalu mendengar dia menyuarakan betapa aku sangat berharga untuknya, tetapi baru saat ini aku benar-benar percaya.
Aku hanya menatapnya dalam diam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Selain lemas dan pusing karena anemiaku, aku hanya merasa bagian bawah perutku terasa keram sedikit. Semua itu masih bisa kutahan, apalagi aku hanya akan berbaring di ranjang ini dan menunda melakukan aktivitas lain setidaknya selama beberapa hari ke depan. Aku ingin menjawab kalau masih merasa sedih, tetapi Killian mungkin akan muak mendengarnya.
"Sudah lebih baik. Kau tidak bekerja hari ini?"
Dahi Killian langsung berkerut begitu mendengar pertanyaanku. "Ada hal lain yang lebih penting. Aku bisa mengerjakannya dari sini, laptopku ada di mobil."
Itu artinya dia akan berada di sini terus bersamaku. Lantas bagaimana dengan Gabby?
Yah, itu bukan sesuatu yang perlu kukhawatirkan. Dalam kondisi ini perhatian Killian hanya akan tertuju padaku, dan jika dibandingkan dengan kekasihnya, aku jelas lebih membutuhkan Killian. Aku ingin sedikit lebih egois, setidaknya satu kali.
"Apa kau keberatan kalau berbaring sambil memelukku di sini?" Kupikir aku membutuhkannya, itu pun jika dia tidak menolak. Di saat seperti ini, aku hanya menginginkan sebuah perasaan nyaman dan aku selalu mendapatkannya ketika dipeluk atau memeluk Killian. Aku masih membutuhkannya di saat-saat seperti ini, tetapi apa dia juga merasakan hal yang sama?
Killian tidak merespons pertanyaanku hingga membuatku berharap mampu menarik kembali kata-kata itu ke dalam mulutku. Namun, setelahnya dia membuka pengunci sisi pembatas ranjang hingga itu bisa dipakai untuk menopang sebagian tubuhnya jika ikut berbaring bersamaku. Aku spontan menggeser badan agar dia bisa naik ke ranjang. Sebelah tangannya terlipat untuk dia jadikan bantal, sementara satu lagi untuk memelukku. Aku berbalas memeluknya dengan satu tanganku yang dipasangi selang, menyamankan diri dalam posisi ini.
Memang benar faktor meningkatnya kadar hormon saat hamil membuatku merasa aroma Killian sangat menenangkan. Buktinya, hari ini aku tidak merasa begitu. Tidak ada perasaan candu terhadap aromanya. Satu hal yang membuatku merasa nyaman dan nyaris tertidur lagi adalah belaian tangannya di kepalaku dan hangat dari tubuhnya.
"Aku lapar," kataku begitu mulai merasakan perut ini bergemuruh. Terakhir makan adalah saat aku pergi bersama Allen. Setelah itu, aku keguguran. Tentu saja aku sangat lapar.
"Kau mau makan apa?"
"Apa saja kecuali jus sayur. Dan aku juga tidak mau makanan rumah sakit." Aku tersenyum masam ketika aroma sayur yang kublender waktu itu kembali membayang di ingatan. Killian ikut tersenyum melihatku, tetapi dengan cara yang sedikit berbeda.
"Aku menyesal tidak menyadari perubahan kebiasaanmu." Dia diam sebentar, membiarkanku merasakan debar jantungnya menjadi lebih kencang. Itu adalah kali pertama aku merasakannya dari jantung orang lain. Jantungku sendiri sudah sering begitu saat bersamanya, termasuk saat ini. Dia tidak akan merasakannya karena tanganku berada di antara tubuh kami. "Aku sudah mengkhawatirkan ini sejak lama. Tapi kau meminta kita melupakannya dan menganggap itu hanya kecelakaan. Aku tidak melakukan yang lain selain menurutimu. Jujur saja, aku tidak bisa berhenti memikirkannya, terlebih lagi setelah kau meminta bercerai."
Aku mendorong dadanya demi menciptakan sedikit jarak agar bisa melihat wajahnya. Killian balas menatapku dengan sorot yang tidak kumengerti. Khawatir, takut, penyesalan, marah, semuanya menjadi satu di sana.
"Kau tahu, aku pria yang bertanggung jawab." Dia menambahkan, seolah-olah sedang meyakinkanku yang sedang diselimuti oleh keraguan.
"Kenapa kau mengatakan itu?" Tanganku meremas bagian depan kemejanya. "Kenapa sekarang?"
Killian meringis. "Karena kupikir waktunya tepat?" Dia membalas dengan suara yang sangat pelan.
Mataku berkaca-kaca lagi. Pertama, aku belum bisa menyingkirkan rasa sedih yang menjerat dadaku. Aku mungkin akan kesulitan bernapas saking sesaknya jika selang oksigen di hidungku sudah dilepas.
"Tidak. Ini bukan waktu yang tepat. Kau mungkin sedang berkata jujur padaku, tapi dalam kondisi seperti ini aku tidak bisa menerimanya demikian. Aku akan menganggap kau sedang merasa kasihan padaku dan berusaha membuatku tenang."
"Aku ... maaf." Killian menarikku lagi ke dalam pelukannya, kali ini lebih erat. "Aku bahkan tidak berpikir kau akan tidak merasa nyaman mendengarnya. Tapi aku terlalu takut mengatakannya sebelum ini. Lihat, aku masih tidak mampu berpikir jernih."
"Aku masih berharap kita segera bercerai, Killian."
Killian mendengkus, dilanjutkan dengan tawa yang pilu. Seharusnya itu tidak menggangguku, tetapi aku justru mulai mempertanyakan apakah memang itu yang kuinginkan; berpisah dengannya. Jauh di lubuk hatiku, aku tidak ingin itu terjadi. Namun, apa alasan aku mempertahankannya? Tidak ada. Cinta dari sebelah pihak saja tidak akan cukup. Keberadaan bayi kami mungkin bisa dijadikan alasan, tetapi seharusnya dia tumbuh dan dibesarkan oleh cinta yang tulus dari kedua orangtuanya, bukan karena salah satunya merasa itu adalah kewajiban untuk bertanggung jawab.
Aku tidak ingin menghambat Killian untuk bersama wanita yang dia cintai, begitupun aku tidak ingin Killian menjadi penghalang untuk kebahagiaanku. Sejauh ini aku tidak pernah merasa dia menghalangiku dan kuharap tidak akan menganggapnya seperti itu sampai kapan pun, tetapi dia jelas sudah sering membuat para pria kabur dariku. Aku yakin berpisah akan menjadi jalan terbaik bagi kami berdua.
"Kau sungguh mengatakannya di saat seperti ini?" Ada nada tidak terima di suaranya.
Sekarang aku benar-benar menangis. "Kau yang memulainya, Killian. Lagi pula, kau sudah tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun. Tuntutanku mungkin adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau penuhi."
Jatuh cinta mungkin perasaan yang indah, tetapi itu mampu membuat seseorang menjadi lebih egois. Aku ingin dia meninggalkan Gabby dan berbalas mencintaiku. Aku ingin memilikinya seorang diri. Aku ingin dia berkata kalau dia hanya untukku. Namun, perasaan tidak bisa dipaksakan. Sebaiknya tidak meminta hal-hal aneh jika apa yang akan dia ucapkan hanya sesuatu yang berasal dari mulut, bukan hatinya.
"Katakan, Ana. Aku berjanji akan melakukannya untukmu."
Tidak mungkin aku mengucapkannya.
"Ana?" Killian masih ingin mendengar apa yang kumau. Namun, aku terselamatkan oleh ketukan di pintu.
"Kau masih perlu memberiku makan, Killian." Aku segera mendorong Killian menjauh dan dia turun dari ranjang. Selagi dia berjalan untuk membuka pintu, aku membenahi posisi berbaring agar tepat di tengah. Namun, aku tidak mampu mengembalikan pembatas ranjang menjadi semula, jadi kubiarkan tetap seperti itu. Air mataku kusapu seadanya dengan telapak tangan. Wajahku masih akan tetap merah sebagaimana seseorang yang habis menangis, tetapi setidaknya tidak terlihat basah lagi.
Ternyata Emma yang datang. Dia juga membawa sekeranjang buah untukku.
"Bagaimana kondisimu? Maaf, aku meninggalkan Macy's. Aku tidak tahan tidak melihatmu hari ini, apalagi tidak bisa menghubungimu karena ponselmu ada padaku." Emma bicara sembari meletakkan keranjang buah kecil ke atas meja bersama ponselku.
"Aku bahkan tidak menyadari kalau ponsel itu tidak bersamaku. Sudah cukup baik, tapi bagian bawah perutku masih nyeri."
"Kudengar itu akan bertahan selama beberapa hari, jadi sebaiknya kau tetap beristirahat. Kau bisa mengandalkanku."
Aku tersenyum, kehadiran Emma membuatku sedikit lebih baik daripada saat aku bersama Killian. Setidaknya ada topik baru untuk dibicarakan.
"Emma, boleh kautemani Ana sebentar sampai aku kembali? Aku pergi membeli makan sekalian mengambil laptopku."
Emma menatap Killian dan entah apa alasannya, keningnya berkerut. Dia mungkin tidak menyukai pria itu setelah apa yang kuceritakan padanya selama ini. "Ya. Aku tidak akan meninggalkannya."
"Terima kasih." Killian mengambil kunci dan ponselnya dari sofa lalu pergi meninggalkan kami berdua.
"Sebetulnya aku belum puas."
"Apa?" Aku tidak bisa menahan penasaranku karena Emma mengatakan itu sembari menatap pintu yang baru saja tertutup.
Dia beralih menatapku dan mencebik. "Lebam di wajahnya kurang banyak, dia masih terlihat tampan dan itu masih cukup untuk menggoda wanita lain setelah wanitanya pergi."
Jadi, Emma yang meninju wajah Killian. Aku benar-benar terkejut oleh betapa kuat lengan kurusnya. Entah apa saja yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri, tetapi satu hal yang membuatku penasaran adalah apa maksud Emma dengan 'wanitanya pergi'?
"Apa yang terjadi kemarin?"
"Killian mengakui bahwa dia suamimu di depan kekasihnya. Dia mendapat tamparan keras untuk yang satu itu."
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Itu pasti berat untuk Killian.
"Lagi pula, itu tidak penting. Dia pantas mendapatkannya, Ana. Jangan memasang wajah mengasihani seperti itu. Kondisimu jauh lebih buruk."
"Ya, aku tahu."
Sayangnya, itu tidak mampu membuatku berhenti mengkhawatirkannya.
•••
Maaf agak lama ya. Tuteyoo lagi masa pedekate kembali sama passion lain yang nyaris terkubur.
Sedikit berbagi, sebelum menulis, Tuteyoo sebetulnya suka nggambar gaun-gaun. Profesi Ana adalah cita-cita lama Tuteyoo haha. Jadi, ya, nulis cerita Ana tu berasa kayak lagi menghidupkan passion yang lama ditinggalkan.
Mungkin kapan-kapan aku bakal coba kasih lihat salah satu desainnya. Gak bagus sih, sebetulnya. Tapi daripada cuma disimpen dan gak jadi apa-apa. Hehe.
Oke itu aja.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
30 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top