60 - [Killian] Afraid of Losing You

"Killian! Tidak bisakah lebih berhati-hati?"

Aku tidak peduli, salahnya juga yang memaksa untuk ikut bersamaku. Yang kupikirkan hanya bagaimana segera tiba di rumah sakit di jalanan yang tidak lengang ini. Persimpangan selalu penuh dengan kendaraan. Aku harus menunggu setidaknya lima menit penuh sebelum berbelok ke simpangan yang lain. Bagian terburuknya, aku harus melalui setidaknya tiga lagi sebelum tiba di rumah sakit.

Sekarang ada lagi. Aku harus menunggu karena lampu di persimpangan menyala merah. Tanganku terkepal di atas kemudi, melampiaskan padatnya jalan di sana.

"Kau mengemudi seperti orang gila," katanya dan masih kuabaikan. Dia mungkin akan sakit hati, menangis, mengeluhkan sikapku yang kasar, tetapi aku tidak peduli.

Aku sudah tidak mampu berpikir jernih sejak Emma meneleponku menggunakan ponsel Ana. Tadinya aku hampir tidak menerima panggilan tersebut karena sedang berdiskusi dengan rekan kerja, bahkan dua kali kutolak. Ana yang kukenal akan mengirim pesan jika aku tidak bisa bicara, tetapi hari ini dia tidak melakukannya. Lantas pada panggilan ketiga aku langsung menerimanya tanpa pikir panjang. Kalau dia terus menelepon, sudah pasti ada sesuatu yang sifatnya darurat.

Namun, yang kudengar bukanlah suaranya, melainkan suara serak Emma yang mengatakan bahwa Ana sedang di rumah sakit. Tidak mungkin masalahnya tidak serius jika Ana sampai tidak mampu memegang ponselnya. Begitu Emma memberi tahu nama rumah sakit dan sambungan telepon berakhir aku langsung meminta izin pada manajer bagian kalau perlu pulang cepat. Di saat itulah Gabby melihatku terburu-buru pergi dan memutuskan ikut.

Sepanjang jalan aku hanya mendengar rengekannya agar mengemudi lebih pelan. Untuk kali pertama aku merasa terganggu oleh keberadaannya. Tidakkah dia bisa mengerti seseorang sedang panik?

"Kau bisa keluar sekarang kalau keberatan dengan laju mengemudiku." Aku tahu itu bukan respons yang menyenangkan, tetapi hanya itu yang bisa kupikirkan. Pilihannya hanya dua, diam atau keluar dari mobilku.

"Kau bisa celaka kalau mengemudi seperti tadi, Killian." Gabby membungkus kepalan tanganku di atas kemudi, tetapi sama sekali tidak berarti apa-apa. Sentuhan itu tidak mampu membuatku tenang. "Aku takut sesuatu terjadi padamu."

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera tiba di rumah sakit dan memastikan kondisi Ana. Dia sangat berharga dan aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku harus ada di sana." Aku menekankan kata-kata terakhir untuk membuatnya lebih jelas.

Gabby menarik tangannya dariku. "Aku tetap akan ikut denganmu," katanya dan berpaling melihat ke luar jendela.

"Kalau begitu berhentilah protes."

•••

"Emma, di mana Ana?"

Alih-alih mendapat jawaban, aku justru mendapat satu tinju yang kuat di wajah. Itu terjadi sangat cepat, aku bahkan tidak sempat menghindar. Saat Emma beranjak dari kursi, matanya memang sudah menatapku nyalang, tetapi aku tidak menduga dia akan melayangkan kepalan tangannya. Hidung bagian kiriku terasa nyeri, belum lagi tulang pipiku, dia mungkin berhasil membuatnya retak.

"Kenapa kau meninjunya?" Gabby memekik, tidak ketinggalan memeluk pinggangku. "Ini rumah sakit!"

"Oh, justru bagus, jika sesuatu terjadi, dia akan mendapat penanganan segera dari ahlinya." Emma membalasnya dengan tenang, seolah-olah dia memang berada di sana untuk meninjuku dan sekarang tugasnya selesai.

"Kau gila!" Gabby beralih untuk memeriksa wajahku, sementara aku masih berusaha memproses situasi ini.

"Diam, Nona. Aku tidak ingin bicara denganmu, urusanku adalah dengan pria ini."

Emma menodongkan telunjuknya tepat di depan wajahku. Sungguh, situasi ini sama sekali tidak kumengerti. Dia yang memintaku datang, tetapi dia juga yang membuatku merasa tidak diharapkan kedatangannya. Kalau dia menganggap aku bersalah atas apa yang terjadi pada Ana sekarang, sungguh sangat konyol.

Aku memperhatikan sekitar lobi tunggu IGD, tidak ada orang lain lagi selain kami bertiga. Ini cukup bagus, karena situasi tadi tidak akan menarik perhatian siapa pun.

"Bisa katakan apa yang terjadi dulu sebelum kau menghakimiku?" Aku berusaha untuk tetap tenang meski ingin sekali membalas perbuatannya. Dia meninjuku tanpa alasan. Sayangnya, aku paling anti melakukan kekerasan pada wanita.

"Kalau kau ingin menceraikan Ana, seharusnya kau tidak membuatnya hamil, Bajingan!"

Tunggu, apa? Kuharap aku salah mendengar, tetapi Emma tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda ingin mengoreksi ucapannya. Wajahnya yang merah menunjukkan bahwa dia sudah menahan letusan emosi sejak tadi. Aku ingin tidak memercayai kalau Ana hamil anakku, tetapi dia bukan wanita yang bisa disentuh oleh sembarang pria. Apalagi kami memang pernah melakukannya satu kali.

"Ana ... hamil?" Aku bertanya lagi dengan sangat hati-hati, tidak lagi memikirkan bagaimana dia tahu tentang kami. Jelas itu bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan saat ini.

Emma mendesiskan sesuatu yang tidak jelas sebelum kembali menatapku nyalang. Dia seperti menyimpan dendam besar padaku. "Hasil pemeriksaan menunjukkan usia kehamilannya memasuki minggu kesembilan. Kalau kuhitung mundur, itu adalah saat kalian pergi bersama."

Aku jelas ingat tidak memakai pengaman saat kami melakukannya. Aku tidak membawa satu pun karena sama sekali tidak merencanakan hal itu bisa terjadi. Namun, tidak kusangka itu justru berhasil terbuahi.

Sekarang aku benar-benar gelisah. Kekacauan memenuhi kepalaku. Aku belum tahu kenapa Ana dilarikan ke rumah sakit, tetapi aku sudah mendapat kabar kalau dia mengandung anakku. Aku bahkan tidak tahu harus mengambil tindakan macam apa setelah ini.

"Kenapa kau begitu yakin kalau Killian yang menghamilinya?"

Emma berdecak keras, padahal Gabby bertanya dengan cara yang baik. Sayangnya, aku sedang tidak dalam situasi yang tepat untuk membelanya dan memarahi Emma karena bersikap begitu kasar. Lagi pula, kondisi Ana adalah yang utama.

Dan lagi, aku juga tidak suka dengan cara Gabby bertanya, yang seakan-akan menganggap Ana semudah itu disentuh orang lain. Ana tidak akan sembarangan menyerahkan diri pada seorang pria, berpacaran saja tidak pernah. Sudah jelas itu hasil dari apa yang kami lakukan pada malam itu. Aku juga ingat betapa sulit untuk berhenti menyentuhnya saat itu. Sampai sekarang aku tidak mampu menyingkirkannya dari pikiranku.

"Hei, Killian, kau mau memberi tahunya, atau aku yang menjelaskan berdasarkan versiku? Wanita ini benar-benar berisik."

Aku menatap Gabby sebentar dan berkata, "Akan kujelaskan nanti." Kemudian berdiri di atas lutut menghadap Emma yang sudah kembali duduk di kursi agar wajah kami sejajar. "Tolong beri tahu aku apa yang terjadi pada Ana." Aku yakin Emma tidak akan memberitahuku begitu saja, jadi aku langsung memohon padanya saat ini.

Tatapan Emma menyapu wajahku dengan kening yang berkerut. Aku akan menerima kalau dia sangat membenciku setelah apa yang kulakukan pada Ana, tetapi aku masih berharap dia mau memberitahuku apa yang terjadi.

"Kami sedang memindahkan barang-barang ke gedung baru. Kau jelas tahu seperti apa kepribadian istrimu, dia membayar kami, tapi tidak tega membiarkan kami yang bekerja keras. Aku sudah memintanya berhenti karena wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan, tapi dia nekat mengangkat dus menaiki tangga. Di tengah tangga, dia tiba-tiba berhenti dan menjatuhkan dus itu karena perutnya kesakitan, lalu darah mengalir di kakinya begitu saja. Aku merasa beruntung saat itu berada di bawah tangga dan berhasil menangkapnya saat jatuh pingsan."

"Lalu, apa?" Mendengar Ana berdarah seperti menyalakan alarm di dalam kepalaku. Telingaku berdengung selama beberapa saat.

"Dia keguguran dan mengalami perdarahan hebat, Bodoh. Sekarang dia sedang dikuretase karena masih ada sisa jaringan di rahimnya."

Tubuhku merosot dan sekarang menjadi duduk bertekuk lutut di lantai. Hatiku sakit. Jantungku berdebar kencang sekali. Mataku sudah terasa panas. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi selama tindakan? Bukan tentang janinnya, tapi Ana. Kondisi Ana tidak biasa, dia punya masalah pada darah yang terus mengalir saat terluka. Kuharap kejadian ini tidak berakibat buruk padanya.

Aku tidak mau kehilangan Ana. Dia sangat berarti untukku, melebihi apa pun. Aku membenci diriku sendiri karena gagal menjaganya. Aku bukan sahabat dan suami yang baik untuknya. Terlalu banyak hal yang kulewatkan tentang dirinya karena aku terlalu sibuk sendiri. Kuharap Ana baik-baik saja karena aku tidak siap kehilangan dia. Aku kacau meski baru memikirkannya.

"Permisi, perwakilan dari Nyonya Luciana?"

Seorang wanita berseragam seperti perawat menemui kami. Bagaikan uluran tangan dari puncak tebing dan aku adalah seseorang yang nyaris tergelincir ke jurang tidak berdasar, aku langsung berdiri dari posisiku.

"Saya suaminya." Lalu merespons perawat itu dengan mantap, aku tidak peduli pada siapa pun yang mendengarnya, termasuk Gabby. Aku tidak mampu berharap banyak ketika perawat itu sama sekali tidak menunjukkan wajah tenang. Di tangannya terdapat sebuah papan untuk menulis dan pena.

"Tindakan sudah selesai, tetapi Nyonya Luciana membutuhkan transfusi darah. Perdarahan terjadi selama jaringan belum benar-benar terlepas dari rahim. Saat tindakan, kadar hemoglobinnya terus turun dan sempat menyentuh angka 2. Golongan darah Nyonya Luciana 0-, stok yang kami punya tidak mencukupi untuk mengganti darah yang dibutuhkan, tetapi mampu untuk bertahan selama dua jam ke depan sampai kami mendapat pendonor baru. Kami sudah menghubungi unit darah untuk segera menginfokan jika menerima darah O-, tapi jika di antara Anda bertiga memiliki golongan darah tersebut, bisa ikut saya langsung untuk diperiksa."

"Saya O-, sudah pernah mendonorkan untuk Ana, tolong ambil dari saya saja sebanyak yang Ana butuhkan."

Golongan O- dapat didonorkan untuk golongan darah apa pun, tetapi hanya bisa menerima donor sesamanya. Jika menunggu pendonor, aku tidak yakin akan menemukannya segera. Sebaiknya dariku saja, aku tidak peduli sebanyak apa darahku diambil untuk Ana, bahkan jika harus menerima transfusi dari orang lain setelahnya. Kadar hemoglobin menyentuh angka 2 itu sangat berisiko, Ana pasti kehilangan kesadaran sekarang. Aku tidak bisa tenang sampai dia benar-benar sadar.

"Baiklah, mari ikut saya, Tuan."

Perawat itu pergi. Aku ingin menyusul, tetapi tanganku ditahan hingga aku harus berbalik.

Lagi, wajahku harus menerima tangan yang melayang. Kali ini di sebelah kanan, cukup adil bagi sebelah kiri yang sudah menerima tinju sebelumnya. Pelakunya adalah Gabby, yang aku lupa masih ada di sana dan pasti mendengar aku mengakui statusku. Yang dikhawatirkan Ana terjadi. Ini bukan cara yang tepat untuk menceritakan bagaimana situasi kami yang sebenarnya.

Gabby menatapku dengan mata berkaca-kaca. Tanpa mengatakan apa-apa, dia pergi meninggalkan kami. Aku bahkan tidak menahan kepergiannya. Sekarang tersisa Emma yang tampak puas melihat kondisiku.

"Kuharap kau juga menerima itu dari Ana."

•••

Kali pertama aku mendonorkan darah untuk Ana adalah saat sekolah menengah. Saat itu dia mengalami kecelakaan, tertabrak oleh sepeda motor yang remnya rusak saat di parkiran. Entah bagaimana saat itu terjadi, tetapi bagian belakang pahanya tergores sesuatu yang tajam hingga membutuhkan delapan jahitan. Bekasnya masih ada sampai sekarang dan itu membuatnya tidak percaya diri memakai gaun yang panjangnya tidak lebih dari lutut. Lukanya tidak berhenti mengeluarkan darah selama menunggu ambulans datang dan sampai kami tiba di rumah sakit.

Wajah Ana makin pucat, dia terlalu lemas sampai nyaris hilang kesadaran. Di rumah sakit pun semua orang panik karena kekurangan stok darah O-, orangtua Ana juga belum tiba di rumah sakit. Aku yang mengira dia akan meninggal lantas menawarkan diri untuk mendonorkan, tanpa tahu kecocokan darah kami. Ternyata itu cocok dan aku langsung bertekad akan selalu memberikan darahku jika Ana membutuhkan dan hanya untuknya seorang. Stok di unit darah rumah sakit mungkin akan sering dipakai untuk didonorkan ke golongan lain yang pada saat itu membutuhkan.

Sekarang itu terjadi lagi; kekurangan stok darah O- saat Ana dilarikan ke rumah sakit. Aku bersyukur tiba tepat waktu di rumah sakit meski beberapa kali nyaris menabrak kendaraan orang lain saat di jalan. Aku selalu menjaga kondisi tetap fit agar saat Ana memerlukannya, aku bisa langsung memberikannya.

Setelah darahku selesai diambil entah berapa kantong, aku dipersilakan mendatangi ruang pascatindakan, tempat Ana sekarang berada. Saat aku memasuki ruangan Ana, Emma sudah bersiap akan pergi.

"Apa dia masih belum sadar?" Aku bertanya pada Emma, tetapi mataku tertuju pada Ana yang terbaring tidak sadarkan diri. Tangannya dipasangi infus bercabang, salah satunya untuk menyalurkan darah ke tubuhnya. Selang oksigen juga terpasang di hidungnya. Wajahnya sangat pucat, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Namun, monitor elektrokardiograf di sisi kiri ranjangnya menunjukkan kalau jantungnya masih bekerja.

"Perawatnya bilang dia mungkin akan tetap seperti itu selama beberapa jam ke depan meski efek anestesinya sudah hilang. Tapi selebihnya tidak ada yang buruk. Dia akan dipindahkan ke ruang perawatan setelah sadar."

Itu cukup melegakan, tetapi tidak cukup untuk membuatku benar-benar tenang.

"Terima kasih sudah membantunya." Hanya itu yang kukatakan. "Dan terima kasih sudah menghubungiku."

Emma kemudian berjalan menghampiriku, sama-sama menatap  Ana. "Memangnya siapa lagi yang akan kuhubungi selain kau? Dia tidak punya siapa pun selain suaminya sendiri di sini."

Nada bicara Emma terdengar seperti sindiran keras untukku. Satu lagi tamparan keras meski tidak secara harfiah. Memang benar aku yang membuatnya ikut bersamaku, terpisah dari keluarganya. Aku meyakinkan orangtua kami kalau aku akan menjaganya dengan benar, tetapi aku gagal, bahkan membuatnya mengandung anakku. Sahabat macam apa aku ini.

"Bagaimana kau tahu tentang kami?" Akhirnya aku menyuarakan rasa ingin tahuku. Ana mungkin sudah sangat memercayai wanita ini sampai menceritakan yang sebenarnya.

"Aku menemukan foto pernikahan kalian."

"Di mana?" Aku tidak bisa tidak terkejut dengan alasan temuan itu. Kami memang menyewa fotografer untuk mengabadikan pernikahan kami atas permintaan orangtua kami, tetapi aku ingat tidak pernah memajangnya di mana pun, entah itu dalam bentuk cetak atau digital. Ana pun sama.

"Di laci di studio Ana, di rumah kalian. Waktu itu dia minta tolong aku mengambilkan buku sketsanya. Tapi yang kutemukan lebih dari buku." Dia tersenyum sinis, kentara sekali dia sangat tidak menyukaiku. "Ana menyembunyikannya dengan baik, tapi aku lebih pintar menemukan sesuatu. Ana bercerita banyak karena aku mendesaknya. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan memberi tahu siapa pun demi Ana. Dia harus menemukan seseorang yang akan mencintainya dengan benar."

Seseorang yang akan mencintainya dengan benar. Kata-kata itu mengusikku, seperti ada sesuatu yang akan diambil dariku. Aku kembali menatap Ana, disertai kemunculan perasaan tidak rela yang bercokol di dada. Sampai sekarang aku masih tidak merasa senang jika Ana lebih dekat dengan pria lain, tidak peduli jika pria itu sebaik Allen. Aku ingin meneriakkan bahwa Ana adalah milikku, tetapi aku tidak punya hak atas dirinya.

Perasaan ini rasanya tidak benar.

"Kau juga tahu soal kehamilannya?" Aku bertanya barangkali dia juga tahu sesuatu.

"Tidak. Dia tidak membiarkan siapa pun mengetahuinya. Atau mungkin dia tidak menyadarinya juga."

Itu benar-benar terdengar seperti Ana, tetapi Dia cenderung lebih peka pada kondisinya sendiri meski kerap dia abaikan demi hal-hal lain yang dia anggap mendesak. Seperti yang diceritakan Emma, dia sudah lelah dan tetap memaksa mengangkat barang menaiki tangga.

"Tapi kebiasaannya sedikit berubah akhir-akhir ini. Dia tidak suka aroma daging dan selalu memesan makanan yang didominasi sayur. Apa kau juga menyadarinya?"

Itu menjelaskan kenapa kulkas kami penuh dengan sayuran. Aku tidak bisa lebih menyesal lagi dari ini. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri sampai-sampai tidak peduli pada perubahan kebiasaannya.

"Dia tahu. Aku hanya tidak begitu memperhatikannya akhir-akhir ini." Aku berpindah ke sebelahnya, menduduki kursi yang sebelumnya Emma tempati, kemudian meraih tangannya yang dingin hanya untuk kuciumi berkali-kali.

"Kau yakin dia hanya sahabat bagimu?"

Pertanyaan Emma berhasil membuatku mempertanyakan seperti apa sosok Ana bagiku. Aku terus percaya kalau dia tidak akan lebih dari sahabat, kupikir itulah yang membuatnya begitu berharga. Persahabatan akan menjadi hubungan yang tidak memiliki akhir.

"Sayangnya aku tidak melihatnya seperti itu hari ini. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan bayinya, karena itu juga milikmu. Tapi kau lebih mengkhawatirkan Ana yang jelas-jelas tidak dimiliki siapa pun. Mungkin wajar Ana sangat berharga karena dia sahabatmu, tapi tidak perlu sampai mengabaikan kekasihmu sampai dia pulang dengan air mata mengalir."

Emma ada benarnya. Aku bahkan tidak ingat kalau Gabby sempat ikut denganku dan menyaksikan aku mengakui statusku sebagai suami Ana. Satu lagi masalah yang harus kuhadapi nanti.

"Apa kau berbakat memancing keluar perasaan orang lain?"

Namun, Emma hanya mengangkat bahu. Dia sungguh tidak bertanggung jawab setelah membuatku kacau.

"Kau nyaris kehilangan dia hari ini. Jaga dia dengan benar, ke depannya mungkin kau akan benar-benar kehilangannya kalau lengah sedikit saja."

Emma keluar ruangan setelah sekali lagi meninggalkan perasaan gelisah di dadaku.

"Ana, kumohon jangan seperti ini lagi. Aku khawatir setengah mati. Aku ... benar-benar takut kehilanganmu."

•••

O- = O negatif

Bab ini, sudah kubayangkan dari lamaaaa banget, kayaknya sejak bab cerita ini baru belasan. Pokoknya bagian ini harus ada. Selebihnya muncul gitu aja pas ditulis. Hehe.

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
26 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top