6 - Unpleased Encounter
Aku sudah bangun sejak sepuluh menit yang lalu. Namun, enggan beranjak dari kasur lipat dan memilih duduk sambil memandang ke luar jendela. Mataku harus menyipit karena di luar sana lumayan terik. Satu lagi malam yang kuhabiskan di ruanganku. Kasur di kamarku tidak tersentuh semalaman. Kabar baiknya aku tidak perlu repot-repot membereskannya, tetapi kabar buruknya seluruh tubuhku sakit karena tidur di atas alas yang tipis.
Aku mencari ponselku, sekadar untuk memeriksa jam berapa sekarang. Killian membuat ruangan ini sangat sempurna dengan melengkapi segala kebutuhanku, seperti manekin, mesin jahit, rak besar untuk meletakkan kain, meja menggambar, satu paket besar perlengkapan untuk menggambar ilustrasi, kasur, sofa, dan benda-benda kecil lainnya yang tidak akan habis kalau kusebutkan satu per satu. Namun, dia lupa meletakkan jam di sini.
Kupegangi kepalaku dan memijat pelan pelipisnya. Kepalaku mulai berdenyut begitu menyadari aku tidak cukup tidur semalam.
By the way, akhirnya aku menuruti saran Killian untuk memotong rambut. Karena tidak sempat ke salon, aku memotongnya sendiri semalam. Ya ... keuntungan dari terbiasa memotong kain, aku bisa melakukan itu sendiri dan lumayan rapi hasilnya. Tak masalah rambutku jadi lebih pendek, yang terpenting aku tidak lagi memakai rambut orang. Apalagi kalau orang itu sudah tidak hidup lagi. Ugh, mengerikan.
Bersama ponsel, aku beranjak menuju kamar mandi di kamarku. Sebentar membasuh muka dan menyikat gigi, lalu kembali melangkah menuju dapur. Agak melelahkan karena posisi dapur yang cukup jauh dan mengharuskan aku menuruni tangga. Takkan jadi masalah seandainya aku tidak bangun tidur dalam kondisi lapar.
Suara penggorengan dan aroma omelet menyambutku. Aku duduk di barstool dan menumpukan tangan ke atas meja tinggi, memandang punggung Killian yang berbalut kaos putih ketat dan dihiasi oleh ikatan tali apron. Kami sama buruknya dalam memasak, tetapi Killian lebih rajin memamerkan menu tidak enaknya daripada aku.
"Kau berangkat jam berapa?" Killian menyadari kehadiranku meski dia tidak melihat ke belakang.
"Jam sembilan."
"Pulang?"
"Belum bisa kupastikan. Mungkin aku akan menghubungi nanti. Jadi, tidak perlu menungguku."
Killian hanya mengangguk sebelum meraih dua piring dari rak. Aku tak sedikit pun berniat membantu dan hanya menontonnya sembari bertopang dagu. Killian tidak akan keberatan.
Akhirnya dia berbalik, tetapi dia tampak seperti orang yang baru melihat sesuatu tak kasat mata, terkejut dan mematung di tempat. Aku spontan mengusap kepala. Dia bereaksi seperti itu pasti karena rambut pendek ini. Apa pun yang akan dia katakan setelah ini, aku tidak peduli.
"Kenapa kau potong?" Dia mendekat dan meletakkan kedua piring berisi omelet dan beberapa lembar daging ke atas meja. Salah satunya diletakkan di bawah daguku.
"Atas saranmu." Aku meraih sendok yang raknya diletakkan di sudut meja, dekat dinding. "Aku tidak tahan memakai rambut sambungan itu lebih lama lagi."
"Kau memotongnya sendiri?" Killian mendelik tak percaya ketika lengan berototnya itu sibuk menuangkan kopi ke dua buah gelas.
"Jelek, ya? Kalau diikat tidak akan terlihat seburuk itu."
Pembahasan tentang rambut ini sama sekali tidak meningkatkan nafsu makan, tetapi berhasil terselamatkan dengan rasa masakannya yang tidak buruk.
"Kau harus memanjangkannya. Aku serius, kau lebih cantik dengan rambut panjang."
Sendokku tertahan di mulut setelah pujian itu terlontar darinya. Aku memandang Killian yang menyantap sarapannya dengan tenang. Mendengar Killian memuji adalah sesuatu yang langka, apalagi ditujukan kepadaku. Apa yang membuatnya jadi sering memuji akhir-akhir ini? Bahkan sudah dua kali kudengar selama beberapa hari terakhir.
"Apa yang kaulakukan? Ini sudah jam delapan lewat, habiskan sarapanmu biar kita bisa berangkat." Dia menegur tanpa sedikit pun merasa terganggu dengan caraku menatapnya tadi.
Aku menurunkan sendok, tetapi tidak langsung melanjutkan sarapanku. "Apa yang akan kaulakukan setelah mengantarku?" Pertanyaan itu terlontar secara impulsif dan di luar kesadaranku.
"Menyusun setumpuk buku yang teronggok tak berdaya di dalam dus. Ada seseorang yang tidak memedulikannya."
Aku mendengkus sebal. "Aku kesal padamu waktu itu." Omelet menjadi pelampiasanku begitu masuk ke mulut. Aku mengunyahnya cukup kuat.
"Maaf. Kesempatan bertemu dengannya sangat langka."
Aku hanya mencebik. Mana bisa aku tidak memaafkannya. Kami sudah sering membuat kesal satu sama lain. Sikapku kemarin bisa dibilang untuk memberinya pelajaran. Agar tidak ada kesalahan berulang.
Walau pada akhirnya, kami akan melakukan kesalahan yang sama terus-menerus. Kemudian bersembunyi di balik kata tidak sengaja atau tidak sadar. Begitulah manusia.
"Mungkin lain kali kau harus mengundangnya ke rumah untuk makan malam bersama."
Kali ini Killian yang mematung dengan sendok di mulut. Aku menikmati pemandangan itu sembari menenggak kopi yang sudah tidak terlalu panas.
"Apa kau serius?"
"Ya. Aku penasaran seperti apa wanita itu sampai kau tega membatalkan janji denganku."
Aku menjulurkan lidah untuk mengejeknya sebelum beranjak dari dapur untuk bersiap berangkat.
💍
"Emma, bisa tolong kaulanjutkan yang ini dulu? Aku perlu menemui seseorang yang kutitipi renda di bawah." Aku berusaha agar bisa melihatnya melalui bahu walau tidak berhasil. Posisinya tepat berada di belakangku, sedangkan kepalaku tidak mampu berputar 180 derajat kecuali hantu.
"Oke, sweetheart." Tahu-tahu wanita dengan belasan tindik itu sudah ada di sebelahku dan bersiap menggantikan tanganku.
Aku melepaskan jarum pelan-pelan, sekadar untuk memastikan tangannya berada di posisi yang sama dengan posisi terakhir tanganku.
"Aku harus menjahit ini seperti apa?"
"Kain panjang ini dilipat dulu seperti ini sekitar dua senti. Lalu dijahit, lakukan berulang sampai potongan kain ini habis. Buat melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri." Aku memberi tahu sekaligus mempraktekkannya.
Ada alasan kenapa aku meminta pertolongannya. Emma cepat mengeri instruksi yang diberikan. Karena hanya menggantikan sebentar, aku jadi tidak perlu membuang waktu lama hanya untuk menjelaskan.
"Got it."
"Aku tidak akan lama, akan kugantikan lagi begitu aku kembali."
"Kau akan terkejut dengan kecepatan menjahitku." Dia mengedipkan sebelah mata dan mulai menjahit.
"Thanks, Em."
Seperti yang kuucapkan, aku buru-buru keluar dari studio dan berjalan cepat menghampiri elevator yang baru saja mengantarkan seorang petugas kebersihan ke lantai ini.
Setelah pintu elevator tertutup, aku mengeluarkan ponsel yang berdering di kantong celana. Aku melenguh pasrah ketika membaca kontak si penelepon. Orang ini benar-benar tidak sabaran, padahal belum sampai lima menit dia menunggu.
Aku memutuskan untuk tidak menerima teleponnya. Lagi pula, elevator sudah berhenti di lantai satu. Hanya menunggu pintu terbuka, dan aku muncul di hadapan mereka.
Namun, langkahku melambat dan alisku nyaris bertaut ketika menemukan Allen berdiri bersama orang-orang pengantar paket. Mereka mengobrol dan tampak akrab. Rasanya Allen seperti berada di mana-mana. Atau dia memang bekerja di sini? Aku belum menanyakan itu kepadanya.
"Halo," sapaku dengan sopan.
"Nah, dia orangnya." Allen mungkin sedang memberi tahu dua orang pria berseragam itu kalau aku adalah si pemesan. Jadi, aku hanya menyunggingkan senyum seramah yang kubisa. Padahal tanpa diberi tahu pun, mereka sudah tahu.
"Apa yang kuperlukan semuanya tersedia?" tanyaku ketika salah seorang pria menyerahkan selembar kwitansi panjang yang dilipat dua kepadaku.
"Semuanya. Karena pesanannya banyak, jadi kami memberi bonus." Pria lainnya memberikan sebuah tas karton seukuran kertas HVS dan lumayan berat kepadaku. "Semoga bermanfaat."
"Sebaiknya ada troli, karena kotak ini lumayan besar." Pria pertama bicara lagi.
"Um, bisakah menunggu sebentar? Aku mencari troli dulu." Dengan jempol kiri, aku menunjuk pintu di belakangku.
"Tidak perlu, biar aku yang bawakan." Allen menawarkan diri. Tanpa menunggu persetujuanku, dia sudah mengangkat dus berisi pesananku.
"Aku tidak ingin merepotkanmu. Itu berat, biar kucari troli dulu."
"Tidak masalah, Ana. Inilah saatnya aku membuktikan kalau otot ini bukan sekadar pajangan."
Allen mengangkat kotak tersebut dan menyerongkan badan, sengaja ingin memperlihatkan lengannya yang berotot itu kepadaku. Aku tersenyum dan mengangguk, membantu meningkatkan rasa percaya dirinya. Padahal aku sama sekali tidak terpesona pada ukuran lengannya. Milik Killian bahkan lebih besar.
Allen mengedipkan sebelah matanya dan masuk ke gedung, mendahuluiku. Aku baru menyusulnya setelah mengucapkan terima kasih pada dua pria yang mengantarkan pesananku.
"Allen," panggilku, hanya agar dia menunggu aku tiba di sebelahnya. "Kau ada di sini lagi," sambungku setelah kami berjalan beriringan. Dari samping, aku bisa melihatnya tersenyum.
"Aku dikontrak untuk acara fashion show ini."
"Dikontrak? Apa pekerjaanmu?" Kuharap aku tidak terkesan seperti orang yang ingin tahu banyak hal, tetapi dia sudah melakukan hal yang sama kemarin. Aku juga tidak lupa dia pernah berkata kalau dirinya adalah desainer interior yang baik. Namun, apa yang seorang desainer interior lakukan di sini?
Kuulurkan jari untuk menekan tombol di samping pintu elevator sembari menunggu jawabannya. Namun, sampai pintu di hadapan kami terbuka pun, dia masih belum menjawab. Ya ... aku juga tidak akan memaksa kalau dia enggan memberi tahu.
"Aku koordinator tim kreatif untuk acara minggu ini. Pekerjaan kecil, aku salah satu tim EO yang dibayar untuk mengurusi acara."
Itu benar-benar di luar dugaanku. Namun, apa itu salahku, memercayai ucapannya yang terdengar sangat meyakinkan waktu itu.
"Tolong jangan tersinggung, tapi dari pengakuanmu waktu itu, aku sudah mengira kau adalah seorang desainer interior."
Tawanya menggema di elevator berdinding stainless ini. Kalau boleh kubilang, itu tawa yang terkesan dipaksakan. Matanya tidak ikut tertawa. Sudut matanya pun tidak berkerut, terlihat jelas kalau tawa itu bukan karena efek dopamin.
"Aku banyak berlatih karena itu cita-citaku. Tapi biaya untuk kuliah akan memberatkan orangtuaku, jadi aku merelakannya."
Kini Allen menatap kosong lantai elevator. Aku jadi menyesal sudah bertanya kepadanya, dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Orang sepertiku, yang hidupnya berkecukupan meski tidak berlimpah juga, tidak akan mengerti rasanya harus mengorbankan cita-cita. Dengan pekerjaan yang stabil, Dad bahkan mampu membiayai dua anaknya yang kuliah. Untuk kasus Allen ini, aku tidak akan mengerti rasanya selain turut bersimpati, tetapi aku sadar dia tidak akan membutuhkan itu.
Denting elevator menyelamatkanku. Pintu terbuka dan kami keluar dari sana.
"Terima kasih sudah bercerita, Allen. Kotaknya bisa kubawa dari sini." Aku sudah merentangkan tangan, ingin mengambil kotak tersebut darinya. Namun, Allen berhasil menjauhkannya dariku.
"Tunjukkan saja studiomu yang mana." Senyum itu lagi yang dia tunjukkan. Kesedihan yang sempat terpancar di matanya kini sudah sirna.
"Terima kasih. Kau suka sekali membantu orang, ya."
"Sudah kubilang aku selektif, 'kan? Kau adalah satu dari sedikit orang yang lolos," guraunya dan terkekeh pelan.
Dia benar-benar pria yang baik, aku gemas, sampai-sampai melayangkan tinju pelan di lengannya. Aku bahkan tidak berpikir apa-apa saat melakukannya. Begitu kotak tadi oleng dan nyaris terjatuh andai dia tidak lekas-lekas memperkuat pegangannya, barulah aku menyesal.
💍
Bagian terbaik dari hari ini adalah kesepuluh busanaku selesai dijahit kemarin. Bisa dibilang, itu adalah target yang melampaui ekspektasi. Ketiga rekanku yang bertugas menjahit, bergerak sangat cepat. Aku sampai kewalahan menyelesaikan detailnya dan beberapa kali tertinggal sendirian di studio. Tidak benar-benar sendirian sebenarnya, ada Killian yang bersedia menemani sampai aku selesai.
Besok adalah harinya, di mana model akan memamerkan hasil rancanganku di depan para desainer terkenal yang brand-nya sudah dikenal masyarakat. Menyebut status mereka saja sudah memberi sensasi yang luar biasa. Aku benar-benar gugup, sampai jantungku berdebar seperti orang yang habis berlari.
Bagaimana kalau rancanganku tidak cukup menarik perhatian mereka?
Bagaimana kalau ternyata rancanganku sudah menyerupai busana yang pernah mereka lihat?
Bagaimana kalau—
Terlalu banyak pertanyaan bagaimana di kepalaku. Sampai-sampai tidak menyadari kalau sejak tadi Emma memperhatikanku sangat intens. Aku baru sadar setelah dia berdeham di telingaku, dan dia mengaku kalau sudah lama menikmati bagaimana air mukaku perlahan-lahan memudar.
"Aku sudah sering melakukan ini, Ana. Menjadi penjahit lepas, mengandalkan orang-orang baik datang dan mengajakku bekerja sama. Seperti fashion show ini, nyaris tiap tahun aku mengikutinya. Kegugupanmu itu wajar, semua peserta merasakannya, tapi tidak seharusnya sampai mengambil alih kontrol diri kita."
Emma menasehatiku. Aku jadi sadar kalau dia jauh lebih senior dalam banyak hal daripada aku. Tindik yang seolah-olah dikoleksinya itu tidak menggambarkan kepribadiannya. Dia yang paling hangat selama aku mengenal mereka selama beberapa hari ini.
Aku menarik napas sedalam mungkin dan mengembuskannya pelan-pelan, sambil berharap rasa gugupku juga ikut membaur bersama udara. Namun, itu tidak berhasil membuat jantungku jadi lebih tenang.
"Apa aku tampak separah itu?"
"For the sake of The Macy's. Aku sudah berdiri di sebelahmu, menanyakan beberapa hal, tetapi kau tidak merespons satu pun dan hanya memandang manekin-manekin itu seolah-olah kau sedang memastikan mereka bukanlah hantu."
Aku meringis mendengar penuturannya. Tidak kusangka akan separah itu, tetapi aku benar-benar tidak bisa berbohong kalau semua ini membuatku tidak merasa tenang. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah kuikuti selama ini.
"Em, kaubilang tadi kau hanya penjahit lepas?" Aku bukan sedang menghindar dari pembicaraan sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas di kepalaku.
"Ya, kenapa?"
"Apa kau bersedia menjadi partnerku? Kau tahu, aku tidak mungkin mengerjakan semuanya sendirian. Menggambar, menjahit, membeli kain, aku orang baru di sini, tak banyak yang kukenal, Em."
Emma mengernyit, lalu memandang manekin yang sudah mengenakan busana sebentar sebelum kembali mendarat ke wajah yang penuh harap ini. Aku menantikan jawaban 'iya' darinya. Penawaran ini pun serius, aku memerlukan seseorang sepertinya.
"Hanya jika terpilih mendapat tenant di The Macy's atau—"
Aku menggeleng kuat untuk menyela ucapannya. "Lolos atau tidak, aku perlu bantuanmu. Kita bisa pikirkan cara lain untuk menghasilkan uang seandainya para juri itu tidak tersanjung dengan hasil kerja keras kita."
Jujur saja, aku tidak punya rencana apa pun seandainya tidak lolos. Rupanya aku menaruh harapan terlalu besar sampai lupa untuk memikirkan rencana lain agar bisa menghasilkan uang di sini. Aku tentu tidak bisa terus-terusan berharap pada pemasukan dari butik yang ada di California. Lagi pula, sulit mengontrolnya karena jarak yang lumayan jauh.
"Aku juga sering mendapat tawaran bekerja untuk orang yang bukan berdomisili di sini. Tapi aku justru setuju saat panitia mengirimkan tawaran itu. Ini bukan tentang nominalnya, tetapi sejak awal melakukan panggilan video denganmu, aku punya firasat baik. Kau bisa saja terpilih menjadi salah satunya."
Aku tersenyum, kata-katanya membuatku tersanjung.
"Mungkin aku juga merasakan firasat baik yang sama, makanya aku meminta kau bekerja denganku." Aku tersenyum dan menyerongkan badan sedikit menghadapnya. "Aku akan mengirimkan alamat rumahku, ada ruang kerja kecil di sana. Kalau kau setuju, aku akan melihatmu di depan rumahku pagi-pagi lusa. Kalau kau menolak, aku akan memaksa sampai kau mau. Bagaimana?"
Emma tertawa dengan suara husky-nya. "Kau benar-benar sesuatu, Ana. Aku punya waktu besok untuk mempertimbangkannya, 'kan? Tunggu saja jawabanku."
Jujur saja, aku melihatnya sebagai wanita yang tangguh dan mandiri. Tipe pekerja keras. Tindikan hanya hiasan, bisa dibilang sebuah kesengajaan untuk menjadi identitasnya. Namun, satu hal yang membuatku penasaran adalah, apakah dia sudah menikah? Karena aku merasa jiwanya lumayan bebas.
Setelah itu, dia beranjak pergi, menghampiri rekan-rekan yang lain. Hari ini agenda kami hanya menyesuaikan busana dengan tubuh model. Kami mungkin sudah mengukur badan mereka, tetapi demi menghindari hal-hal tidak terduga seperti ritsleting macet, kancing yang tidak kuat, atau bagian tertentu yang ternyata terlalu longgar di tubuh mereka. Walau mendapat giliran tampil di nomor ujung, tetapi aku tidak ingin kegugupanku juga diwarnai dengan kepanikan. Mengerti maksudku, 'kan?
"Hei, Ana, ayo berfoto lagi." Teriakan Rebecca membuatku menggeleng ringan. Namun, aku tetap berjalan menghampirinya. Popularitasnya berhasil membuat akun Instagram-ku diikuti oleh lebih banyak orang, tepatnya setelah dia memposting foto kami bersama.
Kami mengambil banyak foto, lalu tertawa jika hasil fotonya tampak sangat konyol. Ini lumayan berhasil membuatku melupakan kekhawatiranku akan hari esok. Namun, tidak berlangsung cukup lama karena seseorang memberi tahuku kalau ada yang datang untuk menemuiku.
Aku berbalik dan melihatnya di sana. Tidak hanya sendiri, tetapi ditemani seseorang yang mampu membuat senyumku langsung pudar.
***
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
18 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top