58 - Jogging
Mengurus perceraian ternyata tidak mudah. Bahkan menurutku jauh lebih rumit daripada saat kami mempersiapkan pernikahan kami dulu. Entah itu karena perceraian hanya kuurus sendirian sedangkan pernikahan dibantu oleh banyak pihak, atau karena definisi dari berpisah itu sendiri yang sudah terasa berat sejak awal.
Aku mendatangi seorang konsultan perceraian setelah melakukan pencarian bersama Emma di internet. Aku bisa mencarinya sendiri, tetapi sebagai warga New York, Emma mungkin punya pernah mendengar sesuatu tentang nama-nama konsultan yang kami temukan. Emma juga ingin ikut menemaniku menemui konsultan tersebut, tetapi aku menolak. Ada beberapa hal yang aku tidak akan bisa mengatakannya kalau ada dia.
Sayangnya, setelah melewati pembicaraan yang panjang, aku dan Killian tidak bisa bercerai dalam waktu dekat. Bahkan tidak bisa bercerai di sini. Ada beberapa persyaratan kependudukan yang harus dipenuhi. Salah satu dari kami harus tinggal di sini minimal dua tahun, sedangkan kami belum sampai setahun. Boleh saja satu tahun, asalkan kami menikah di New York. Namun, kami justru menikah dulu di California sebelum pindah ke sini. Kalau ingin mengabaikan waktu tinggal, kami harus menjadi penduduk resmi New York dulu. Aku masih merasa keberatan jika mengganti kewarganegaraan. Ada keinginan untuk kembali jika New York tidak lagi terasa nyaman.
Di antara semua itu, alasan perceraian juga diperlukan. Mereka tidak akan sembarangan menyetujui perceraian pasangan jika tidak ada alasan yang jelas. Konsultan tadi menyebutkan beberapa contoh, tetapi tidak satu pun terjadi pada kami. Aku bisa saja menjadikan alasan Killian berkencan dengan wanita lain adalah suatu bentuk perselingkuhan, tetapi itu tidak akan adil untuknya.
Salah satu cara agar perceraian berhasil dalam waktu dekat adalah dengan kami melakukannya di Cali. Sayangnya, di sana tidak akan menyetujui perceraian terjadi pada wanita hamil. Sementara itu, New York termasuk salah satu negara bagian yang mengizinkan perceraian bagi wanita hamil.
Seharusnya saat kami pulang ke Cali kemarin, kami langsung mengurus perceraian saja. Mungkin aku memang harus bersabar dulu dan menerima bahwa situasi ini akan kujalani terus dalam waktu lama. Dan, ya, Killian akan tahu aku sedang mengandung anaknya ketika perut ini membesar.
Aku menyingkir dari depan kulkas yang memantulkan bayanganku meski buram. Setelah mengambil satu gelas dari lemari pantri, aku berhenti sebentar di depan kulkas untuk mengira-ngira apakah lingkar perutku membesar. Lingkar pinggang celana atau rokku mulai sesak saat aku memakainya. Bahkan hari ini, aku hanya memakai kaos oversize berlengan sampai siku. Ukurannya mampu menutupi perutku yang membuncit selama beberapa bulan ke depan. Panjangnya setengah pahaku, jadi aku tidak perlu melapisinya dengan celana lagi.
Blender yang sedang mencampuradukkan berbagai jenis sayuran kumatikan setelah dirasa cukup lunak. Pagi ini aku bermaksud ingin minum vegetable mix yang katanya bagus untuk wanita hamil. Kehamilan ini membuatku tergila-gila pada sayuran dan asupan alami lainnya, padahal aku tidak pernah tertarik untuk mencoba sebelumnya.
Aku menelan ludah ketika isi dari blender benar-benar berhenti berputar. Selama ini aku selalu menyantap sayur yang sudah dimasak, kecuali tomat dan wortel, Mom bilang sejak kecil aku suka memakannya saat masih mentah. Warna jus ini hijau pekat, hampir mirip rumput. Aku bisa saja membayangkan sedang memakan rumput ketika menenggaknya nanti. Kuharap baunya tidak seburuk yang kubayangkan karena semuanya mentah dan aku sudah tidak ingat apa saja yang kumasukkan ke blender tadi.
"Hoek!"
Aku lantas menutup mulut sampai hidung begitu aromanya memenuhi hidung. Itu benar-benar bau rumput yang lembek. Perutku jadi mual, ingin sekali memuntahkan isi perut, tetapi pagi ini aku belum makan apa lun. Aku berusaha menutupnya kembali dengan satu tangan karena tangan yang lain sibuk menutup hidung, tetapi berakhir dengan menjatuhkan tutupnya ke lantai.
"Ana, ada apa?" Killian muncul dengan baju olahraga yang basah karena peluh. Seperti biasa dia akan pergi jogging pada hari Sabtu dan Minggu. Dia sama khawatirnya seperti saat aku mengalami morning sick beberapa waktu lalu.
Aku mundur sampai menabrak lemari pantri. Tanganku hanya menunjuk-nunjuk blender tersebut, bermaksud meminta Killian agar kembali menutupnya. Dia mengerti dan segera melakukannya.
Aku menurunkan tangan dari wajah dan menghirup napas sebanyak yang bisa disedot oleh hidung kecilku.
"Kau tidak suka sayur mentah yang lembek, eksperimen ini untuk apa?"
"Hanya ingin mencoba. Tapi ternyata baunya sangat buruk, terlalu menyengat." Aku bergidik karena aromanya masih kuingat dengan jelas. Tidak hanya itu, aku juga menatap blender seperti itu benda paling menjijikkan yang pernah kutemui.
"Baunya?" Aku melotot ketika Killian membuka kembali blender tersebut dan menghirupnya dalam jarak dekat. "Tidak seburuk itu. Sayur yang diblender memang seperti ini baunya."
Apa aku sungguh berlebihan? Jadi, selama ini bukan bebauan itu yang tidak enak, tetapi hidungku yang jauh lebih sensitif? Pertama parfum Gabby, lalu daging, sekarang sayuran lembek. Dan hari ini hidung sensitifku menghidu aroma favoritnya lagi, yaitu aroma tubuh Killian. Jangan sampai setelah ini aku kembali menginginkan untuk tidur sambil memeluknya lagi. Tidak, sudah bagus aku tidur sendiri di kamar.
"Aku tetap tidak suka," kataku.
"Kenapa kau membuatnya kalau tidak suka?" Killian membawa blender itu ke wastafel dan membuang isinya di sana, padahal aku belum memintanya. Aromanya sempat memenuhi hidungku lagi, tetapi tidak lama karena Killian langsung menyiramnya.
"Untuk meningkatkan stamina?" Aku menjawab asal-asalan. Tidak mungkin kubilang kalau ini karena permintaan kehamilanku. Pada akhirnya, aku memang harus memberi tahu Killian tentang kehamilan ini, tetapi tidak sekarang. Wajah bingungnya membuatku kembali melanjutkan, "Aku sering lelah akhir-akhir ini, kupikir jus itu bisa membantu."
"Kau perlu olahraga. Mau ikut ke gym bersamaku nanti sore?"
Aku menggeleng, spontan menyentuh perut seakan-akan sedang melindungi janin di dalamnya. Gym dan alat-alatnya yang berat tidak cocok untuk kami. "Bagaimana kalau sesuatu yang sedikit lebih ringan?"
Killian kembali menghampiriku dengan segelas air mineral di tangan. Gelas itu kemudian diberikan padaku dan aku langsung menenggaknya. Dia paham aku sangat membutuhkan ini.
"Mau jogging bersamaku besok?" Dia menawarkan. Hal sesederhana itu membuatku terharu. Air mataku mulai menggenang di bawah pelupuk mata, padahal ini bukan kali pertama dia mengajakku, hanya saja aku selalu menolak kemarin-kemarin.
"Astaga. Kau menangis?" Tangan Killian sudah mendekati wajahku, tetapi aku segera menghalanginya dengan menutup mataku.
"Tidak apa-apa. Aku hanya lupa berkedip." Lagi, dengan alasan yang dibuat-buat.
Tidak ada respons dari Killian, dan itu membuatku kembali menurunkan tangannya, membalas tatapan sendunya. "Kukira kau menangis karena masih kesal padaku."
"Kenapa aku harus kesal?"
"Karena aku menolak kita cepat-cepat bercerai?" Killian mundur sampai pinggulnya bersandar pada meja makan. "Jujur saja, aku belum bisa melepaskanmu, Ana."
Insiden jus sayur membuatku lupa kalau kemarin-kemarin kami tidak mengobrol. Seharusnya aku menagih jawabannya soal menyegerakan perceraian kami, tetapi di lain sisi itu percuma. Hari ini sikap Killian juga membuat kami seperti tidak pernah membicarakan tentang itu sebelumnya. Padahal aku yakin di obrolan terakhir kami, dia sangat kecewa.
"Lupakan saja." Aku menunduk, memainkan bibir gelas yang isinya tersisa sedikit. "Aku tidak bisa memaksamu."
Kami berdua sama-sama terdiam. Begitu dirasa tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku menghabiskan air minumku dan membawanya ke wastafel. Blender masih ada di sana, belum dicuci. Killian hanya membuang isinya dan itu cukup memudahkanku untuk mencucinya.
Kupikir Killian akan pergi, tetapi aku merasa dia sedang menatap punggungku, atau mungkin tengkukku? Rambut-rambut halus di sana berdiri sendiri padahal AC ruangan belum dinyalakan pagi ini. Bahkan sampai aku selesai dan ingin menyimpan mesin blender, Killian masih berdiri di tempat yang sama.
"Kau tidak ada rencana pergi hari ini?" Sejak resmi menjadi kekasih Gabby, Killian lebih sering bepergian daripada berada di rumah pada akhir pekan. Aku akan menganggap itu sebagai waktu kencan mereka.
"Aku merindukanmu."
Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku dan malah membuat mataku berotasi. "Aku tidak pergi ke mana-mana, justru kau yang menghindar."
Bahunya berkedik. "Aku takut kau akan menagih jawaban. Hari ini kau mau pergi?"
"Sementara tidak, aku berencana istirahat. Jus sayur tadi membuatku mual."
Dia mengangguk ringan. Kerutan di dahinya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang dia pikirkan. Aku bisa saja langsung kembali ke kamar, tetapi aku cukup penasaran dengan apa yang mau dia katakan.
"Mau bersantai sambil menonton film? Aku akan pesan makanan untuk kita."
Itu akan mengulang kembali kebiasaan kami saat masih sekolah sampai kuliah. Jika salah satu dari kami sedang dalam suasana hati yang sedang tidak bagus, salah satunya akan memilih film dan memesan makanan. Itu masa-masa yang menyenangkan karena pada akhirnya kami tidak lagi menikmati film, tetapi tidur karena kekenyangan. Ayah Killian tahu soal kebiasaan kami ini, sampai-sampai dia mengganti TV di rumahnya dengan yang lebih besar.
Namun, aku tidak yakin itu akan menjadi ide yang bagus jika itu terjadi kembali sekarang. Mengulang masa-masa yang menyenangkan menjelang perpisahan hanya akan menjadikannya terasa lebih rumit, terutama untukku. Bagi Killian mungkin itu tidak berarti apa-apa.
"Tidak, Killian. Aku akan istirahat di kamar saja."
Mari tidak pedulikan seperti apa wajah Killian sekarang dan langsung pergi ke kamar saja.
•••
Besoknya, kami sungguhan pergi jogging. Killian membangunkanku pagi-pagi sekali, bahkan ketika matahari belum sedikit pun terlihat. Tidak hanya itu, selama aku mandi, dia yang mengobrak-abrik isi lemariku demi menemukan setelan pakaian olahraga. Dia punya waktu lama untuk mencari karena saat masih di kamar mandi perutku keram lagi. Aku tidak bisa berdiri dengan benar gara-gara itu. Killian tidak boleh tahu soal ini, dia mungkin akan membatalkan rencana dan mengangkutku ke rumah sakit.
Killian mengajakku memutari beberapa blok. Terkadang aku tertinggal di belakang karena dia terlalu cepat atau karena kakiku sudah terasa berat untuk melangkah. Aku tidak mengira rutenya akan sangat jauh. Bagi Killian mungkin ini tidak ada apa-apanya karena dia memang sering berolahraga, tetapi bagiku yang baru pertama kali melakukannya, ini sungguh luar biasa. Stamina kami jelas jauh berbeda.
Aku memperhatikan punggungnya. Killian sudah berada beberapa meter di depanku, sementara aku sengaja berjalan lebih santai. Dia tidak akan meninggalkanku karena sesekali akan melihat ke belakang.
Membicarakan soal stamina membuatku kembali mengingat malam panas kami. Saat itu aku sudah memintanya berhenti beberapa kali, tetapi dia masih belum terlihat kelelahan, padahal dia yang bergerak. Kalau saja jantung yang berdebar lebih kencang juga menguras energi, ya, mungkin itu yang membuatku kelelahan. Untuk yang pertama kalinya pada malam itu, aku melihat Killian yang lembut menjadi seperti binatang buas. Dan kenapa aku harus membayangkan itu lagi di kepalaku. Kali pertamaku dilakukan bersama sahabatku sendiri, aku tidak tahu menamai itu sebagai mimpi buruk atau pengalaman yang bagus.
Ini buruk. Perutku keram lagi.
"Killian, aku lelah!" Tepat di dekat sebuah kursi panjang di pinggir jalan aku meneriakkan itu. Aku tidak menunggunya merespons, atau berbalik dan memeriksa kondisiku, tetapi langsung menempati kursi tersebut.
Di sini sepi. Hanya ada satu dua orang yang bersepeda yang lewat. Aku tidak perlu khawatir seseorang akan memperhatikan selama aku istirahat di sana. Kepalaku bersandar pada puncak sandaran kursi yang keras lalu berpejam. Salah satu cara mengatasi perut keram ini adalah dengan berolahraga. Kuharap keram ini hanya reaksi normal, bukan karena aku terlalu lama berlari kecil mengelilingi kompleks. Apalagi sudah hampir satu jam kami jogging.
Aku terpaksa membuka mata lagi ketika sesuatu menimpa kakiku. "Apa yang kau lakukan?"
"Naik ke punggungku, kita pulang." Dia menepuk pundak.
Oh. Tentu saja dia berjongkok agar aku menaiki punggungnya. Aku terlalu sibuk memikirkan kapan keram ini berakhir sampai tidak begitu peduli pada niat baiknya. Lagi pula, aku tidak tahu akan seperti apa setelahnya jika memeluk Killian sepanjang jalan. Sejak tahu hamil, aku berhasil menahan diri untuk tidak banyak menyentuhnya, takut akan ketagihan seperti saat aku kesulitan tidur tanpa Killian di sebelahku.
"Bisa duduk sebentar?" Aku menepuk ruang kosong di sebelahku. Mungkin aku akan sanggup berjalan begitu keramnya hilang.
Killian duduk di sebelahku dan kami sama-sama diam memandangi air terjun kecil buatan yang dibangun untuk dekorasi kompleks. Karena masih lumayan pagi, suara gemericik airnya ditambah cicitan burung menciptakan suasana yang tenang.
"Kau perlu banyak jogging. Mungkin bisa kita agendakan lebih sering?" Suara Killian memecahkan keheningan di kepalaku.
"Rutenya bisa diperpendek? Ini terlalu jauh untuk seorang pemula." Aku membalas tanpa menoleh sedikit pun. Pusat perhatianku masih pada pancuran air dan keram yang tidak kunjung reda. Aku tidak tahu apakah masih bisa disebut normal jika periode kemunculannya sesering ini. Ini masih pagi dan aku sudah dua kali merasakannya.
Tawa Killian yang renyah membuatku tersadar kalau dia sedang mengerjaiku. "Mungkin aku sengaja menunggu momen ini agar bisa menggendongmu."
Keningku lantas berkerut karena tidak mengerti maksudnya. "Kau hampir membunuhku." Di saat seperti ini aku ingin sekali menyerukan kalau aku sedang mengandung anaknya. Setelah itu tidak mungkin dia akan mengerjaiku.
Namun, entahlah, aku juga khawatir dia akan menyalahkanku atas kecelakaan ini.
"Aku tidak akan membiarkan itu sampai terjadi. Setidaknya selagi aku ada di sisimu. Bagaimana, pulang sekarang?"
Kali ini aku tidak lagi menolak. Keram ini tidak akan hilang jika aku tidak segera mengompresnya dengan air hangat, setidaknya kuharap begitu. Killian kembali berjongkok di depanku dan aku segera menaiki punggungnya. Biasanya aku menolak karena tubuhnya basah oleh keringat, tetapi hari ini aku tidak lagi peduli soal itu dan tentu saja aku juga berkeringat.
Aku memeluk leher Killian ketika dia berdiri, di saat yang sama dia meletakkan tangan di lipatan belakang lututku. Selama di jalan pulang, Killian kerap menyapa orang-orang yang berpapasan dengan kami atau tetangga yang sedang beraktivitas di halaman rumah mereka. Aku tidak heran mereka akan mengenalnya karena Killian memang rajin berkeliling, dan tidak ragu untuk berkenalan. Tidak sedikit juga yang bertanya aku siapanya Killian, sampai-sampai ada yang menebak bahwa kami adalah suami istri. Bagian yang paling menyebalkan adalah mereka menyebut kami sangat serasi. Killian tertawa seakan-akan menerima pujian itu sementara aku berusaha keras menolak.
"Kau memang senang membuat orang lain salah paham, ya?" Begitu tegurku ketika kami mendapat pujian terakhir sebelum berbelok ke kompleks rumah kami. Aku juga menjewer telinganya saat bertanya begitu. Tentu saja setelahnya dia bergidik.
"Tidak. Tapi aku cukup senang mendengarnya. Bukankah kita sudah terbiasa dianggap sebagai pasangan?"
"Itu dulu. Dan hanya sebagai pasangan kekasih, ruang lingkup sekolah berbeda dengan dunia luar seperti ini." Aku tidak bisa menahan rasa kesalku.
"Kau tahu itu hanya gurauan, 'kan? Yang tadi juga begitu. Kau terlalu serius menanggapinya."
Andai Killian melihatku sekarang, dia akan tahu kalau aku sangat kecewa.
Begitu tiba di halaman rumah kami, Killian menurunkanku. Kami baru akan masuk ke rumah seandainya Allen tidak menghampiri kami.
"Selamat pagi. Habis berolahraga bersama?" Dia menyapa begitu ramah, seperti biasa.
"Pagi, Allen. Hanya jogging biasa." Aku merespons, tidak lupa menyertakan senyuman untuk membalas keramahannya meski perutku masih terasa keram sedikit.
"Halo, Allen." Killian turut membalas dengan sapaan yang singkat, yang kemudian mendapat respons anggukan kecil dari Allen. Dia kembali menatapku kemudian.
"Ana, aku ditelepon pemilik gedung pagi ini, ada seseorang yang tertarik untuk melihat-lihat, dia bermaksud akan menolak kalau kau bersedia membayar sewa setidaknya tiga bulan dulu."
"Sewa gedung? Untuk apa?"
Aku sudah membuka mulut ingin bicara, tetapi tidak jadi karena Killian lebih dulu bicara. Kukira dia masuk ke rumah lebih dulu, tetapi ternyata masih berada di belakangku. Aku memang sengaja tidak menceritakan soal itu dengannya. Setelah ini pasti akan ada sesi tanya jawab darinya.
"Aku akan menjelaskan padamu nanti," sahutku sebelum beralih pada Allen. "Aku akan mengambilnya. Tolong beri tahu pemiliknya aku akan membayar setelah dia memberikan invoice-nya."
"Deal. Aku akan mengurusnya." Allen mengatakannya sembari berjalan mendekatiku. Aku hampir berjalan mundur seandainya lupa kalau Killian mungkin masih ada di belakangku. Aku sudah berkata kalau aku memilih Allen, jadi aku harus menahan diri agar tidak terlihat merasa tidak nyaman. "Aku senang melihat reaksi Killian saat aku melakukan ini." Allen berbisik di telingaku. Aku yakin, di posisi Killian, ini akan terlihat seperti Allen sedang mencium pipiku.
"Ini tidak berarti apa-apa untuknya." Aku balas berbisik. Setelah itu barulah Allen menjauh dariku.
Dia tersenyum padaku sebelum melambai pada Killian. "Sampai jumpa. Sore ini seperti biasa, datanglah ke lapangan kalau tidak sibuk."
Aku menyayangkan kepergiannya yang terlalu cepat. Karena jujur saja, aku tidak siap menerima rentetan pertanyaan Killian setelah ini. Dia pasti akan protes karena aku tidak menceritakan apa-apa padanya.
"Kalau kau mau bertanya, biarkan aku minum segelas air dulu," kataku saat berjalan melewatinya.
Aku mengeluarkan kunci dari kantong celana dan segera membuka pintu. Killian yang tidak sabar kemudian menyerobot masuk ke rumah dengan langkah cepat. Konyol kalau dia marah hanya karena hal sepele begitu.
Killian mungkin paham kata-kataku tadi hanya sebuah alasan untuk mengulur waktu. Dia berada di dapur dengan segelas air yang kemudian diberikan padaku. Aku menerimanya dan langsung menenggak habis air tersebut karena memang benar-benar sangat haus. Rasanya menakutkan ketika setiap pergerakan kecilku tidak luput dari pandangannya.
"Kau tidak akan bercerita apa-apa soal gedung kalau tidak kutahan seperti ini. Apa kau mau pergi dari rumah? Itukah alasanmu ingin bercerai?"
Aku menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal. Penjelasannya cukup panjang dan akan membutuhkan waktu.
"Aku masih menyukai rumah ini, Killian. Bahkan seandainya kita bercerai, kuharap kau menyusul Gabby daripada membawanya ke rumah ini." Aku cukup sadar itu tidak enak didengar. "Gedung itu untuk pekerjaanku karena tenant di Macy's tidak selamanya bisa kutempati. Dan garasi kita, aku cukup merasa risi karena terlalu penuh, aku akan memindahkannya ke sana."
"Aku tidak peduli kalau suatu saat rumah ini akan jadi milikmu, aku hanya kecewa kau tidak membagikan kesulitanmu padaku."
Aku menelan ludah. Sangat besar perjuanganku agar tidak mudah terpengaruh oleh ekspresinya sekarang.
"Aku wanita dewasa, Killian. Aku bisa memutuskan semuanya sendiri dan berhak membaginya ke siapa pun. Allen membantuku mencari tempat-tempat bagus karena dia memang penduduk lama. Itu menyita banyak waktunya. Kau ... apa kau bersedia mengorbankan waktu berkualitasmu bersama Gabby untuk membantuku?"
"Tentu saja, Ana. Kau masih prioritasku." Dia membalas tanpa jeda untuk memikirkannya sedetik pun, bahkan terdengar sangat meyakinkan seolah-olah Gabby tidak pernah begitu berarti di hidupnya.
"Ya ... andai saja wanitamu tidak akan mengeluh padaku tentang kedekatan kita."
Ugh. Seharusnya aku tidak mengatakannya, tetapi itu terlontar begitu saja dari mulutku.
"Gabby tidak akan seperti itu." Tentu, aku masih ingat Killian bercerita kalau Gabby tidak pernah merasa keberatan soal itu. Lagi pula, aku yakin wanita itu hanya ingin terlihat baik di depan pria yang dicintainya. Lalu Killian si buta yang akan percaya sepenuhnya pada wanita itu.
"Aku tahu kau akan berkata begitu."
"Ana--"
Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Cukup. Pembicaraan ini sudah berakhir."
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
23 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top