57 - Untie the Knot

"Ayo bercerai."

Dua kata itu menciptakan hening yang menyesakkan, lebih terasa mencekik daripada saat aku hanya memikirkannya. Namun, apa gunanya terus memegang tali yang sedang ditarik oleh orang lain. Tanganku sudah terasa panas dan gesekan simpulnya setiap kali tali itu bergerak dalam genggamanku terus membuat luka baru. Awalnya hanya lecet, lama-lama menjadi luka yang meneteskan darah. Kalau dia tidak mau melepaskan tali yang mengikatku, sudah seharusnya aku yang membuka sendiri ikatannya.

Reaksi Killian cukup menarik. Dia tertawa hambar seakan-akan sedang mengapresiasi candaanku yang tidak lucu. Dan aku yakin, seseorang yang sedang melontarkan candaan tidak akan menahan air mata agar tidak mengalir.

"Aku serius. Kupikir ini yang terbaik. Kalau kau tidak bisa memberi tahu orang tua kita, aku yang akan melakukannya. Aku--"

"Omong kosong apa ini, Ana?" Killian marah. Dia menarik salah satu kursi di meja makan dengan kuat dan membanting tubuhnya di sana. Dia berpejam sebentar, seperti berusaha menetralkan napasnya mulai tersengal. "Kau pasti kelelahan sampai tidak bisa berpikir jernih. Mungkin sebaiknya kau tidur sekarang dan kita akan bicara lagi besok." Kali ini nada bicaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya.

"Tiga hari adalah waktu yang cukup untuk membuatku menyadari kalau seharusnya kita harus segera melakukannya." Tidak kusangka aku akan sekuat ini. Suaraku sama sekali tidak bergetar meski aku sedang menahan tangis.

"Tiga hari itu adalah saat aku pergi, bukan? Apa karena aku tidak menghubungimu? Kau boleh marah, lakukan apa saja untuk melampiaskannya, Ana. Tapi tidak dengan bercerai."

Dia yang mengusulkan untuk bercerai, tetapi dia juga yang tidak menerima saranku untuk mempercepatnya. Kemarin-kemarin dia sangat tidak sabar menunggu aku menemukan seseorang, sekarang dia ingin berlama-lama menahanku. Apa pun yang ada di kepalanya, sama sekali tidak kumengerti. Aku berjalan mundur sampai pahaku menabrak bagian belakang sofa ruang tengah. Pinggulku lantas bersandar pada puncaknya. Untuk yang pertama kali, aku lebih suka bicara dengannya dalam jarak sejauh ini.

"Bukankah bagus kalau kita bercerai lebih cepat? Selagi belum ada yang tahu kalau kita sudah menikah. Ini akan lebih baik daripada Gabby atau orang lain mengetahuinya dengan cara yang tidak menyenangkan, 'kan?"

"Itu tidak akan terjadi kalau kau tidak mengatakan apa-apa skal kita."

Apakah itu semacam peringatan? Dia mungkin berpikir kalau aku adalah satu-satunya alasan rahasia kami terbongkar. Baiklah, aku tidak akan mengelak karena aku sudah memberi tahu dua orang yang kukenal. Dan kalau ada orang lain mengetahuinya, ada kemungkinan itu berasal dari mereka berdua. Namun, aku yakin tidak akan sampai pada Gabby karena mereka tidak punya alasan untuk bicara dengannya. Pun denganku yang sejak awal mengurangi komunikasi dengannya.

"Kalau aku mau, aku sudah melakukannya sejak lama. Termasuk menceritakan kalau kita sudah pernah tidur bersama, telanjang." Aku menegaskan kata terakhir, sekadar untuk mengingatkannya dan kuharap muncul sedikit rasa bersalah di dadanya, tidak peduli jika sebelumnya kami sepakat untuk tidak membicarakannya lagi. Sayangnya, itu sebelum aku tahu kalau akan menanggung sendirian risiko daru perbuatan kami waktu itu.

"Kenapa tiba-tiba meminta bercerai? Apa ada masalah dengan kita?"

"Memangnya apa yang mau dipertahankan, Killian?" Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan sebagai upaya untuk menahan tangis. Seharusnya tidak sampai begini, tujuannya hanya untuk menghapus status tempelan di antara kami, bukan karena hubungan persahabatan kami akan berakhir. Kehamilan ini membuatku lebih mudah menangis. "Tetap seperti ini atau segera bercerai apa bedanya?"

Killian beranjak dari kursi dan berdiri di hadapanku. Dia menatapku dan aku masih mampu membalasnya. Tanganku diangkatnya, sekadar untuk dikecup dan aku tidak menolak. "Aku tidak bisa, Ana. Aku sudah berjanji akan menunggumu. Tidak peduli sampai berapa lama."

Andai saja dia mengatakan alasan lain yang lebih bagus.

"Tapi aku tidak akan bisa memulai hubungan dengan orang lain jika masih berstatus sebagai istrimu." Kutarik lagi tanganku darinya. Di satu sisi aku haus akan sentuhannya, tetapi di sisi lain aku sadar kalau menerima sentuhannya akan menggoyahkan keputusan yang sudah menyita pikiranku sepanjang sore sampai malam. Bahkan aku harus dipanggil beberapa kali saat tiba giliranku di klinik dr. Shemira hanya karena tenggelam dalam pikiranku sendiri.

"Abaikan saja status kita. Apa susahnya?" Killian meremas pelan bahuku kali ini. Kefrustrasian tampak nyata di wajahnya, mungkin melebihi yang kurasakan. "Jangan lakukan ini, Ana. Pikirkanlah lagi."

"Aku tidak bisa membohongi orang lain yang akan menjadi pasanganku, Killian. Aku tidak sama sepertimu." Aku menelan ludah, menahan kata-kata selanjutnya yang memaksa untuk dilontarkan. Aku ingin menyebutnya egois, tetapi selain untuk kasus ini, dia tidak seperti itu. Ini hanya secuil keburukan di antara kebaikannya padaku. Namun, tidak terkira sakitnya. "Kumohon, lakukan kalau kau memang peduli padaku."

Mataku sudah berkaca-kaca saat menangkupkan tangan di depan wajahku. Killian mulai goyah oleh permohonanku, tetapi masih bersikeras untuk tidak mengiakan. Rahangnya mengatup rapat, diamnya saat ini sama sekali bukan pertanda baik. Kedua tangannya yang berada di bahuku lantas turun dan dia mundur beberapa langkah menjauhiku.

"Akan kulakukan kalau kau sudah menemukan seseorang. Kalau kau ingin kita segera berpisah, segeralah temukan seseorang untuk menjagamu." Dia berbalik badan dan akan menaiki tangga setelah mengatakan itu.

"Allen." Langkahnya terhenti begitu kusebutkan nama itu. Kuharap aku bukan hanya asal menyebut namanya, apalagi sampai berujung memanfaatkannya untuk situasiku mengingat aku tahu dia menyukaiku. Pria itu tidak pantas menerimanya, bahkan aku pun tidak pantas mendapatkan pria sepertinya. "Aku sudah memilih Allen. Aku akan melakukannya dengan benar kali ini, tanpa ada campur tanganmu. Kau tidak perlu menjagaku, kita sama-sama sudah dewasa dan aku tidak lagi memerlukan pendapatmu atas apa saja yang akan kulakukan."

Killian diam cukup lama dan deru napasnya terdengar jelas.

"Baiklah. Beri aku waktu untuk mempertimbangkannya."

Aku jelas akan menunggu lama untuk itu.

•••

"Ana, aku tidak ingin salah membeli makan siang lagi untukmu, kau mau apa?"

Hari ini Ari akan membeli makan siang untuk kami lagi. Dia masih ingat insiden kebab minggu lalu, dan kali ini ketika tiba gilirannya untuk pergi, dia bertanya dulu. Awalnya aku sedang menjahit renda untuk gaun pesanan yang sedang kukerjakan, tetapi menjadi sangat antusias untuk menyebutkan menu makan siang yang kuinginkan. Lagi pula, aku sudah merasa lapar.

"Salad buah, salad sayur--pastikan tanpa kol ungu--dan jus alpukat. Terima kasih."

"Kau sedang diet protein atau bagaimana? Aku tidak akan kenyang makan siang dengan itu." Emma menyahut dengan wajah aneh.

Aku menggaruk leher yang tidak gatal demi mengulur waktu sambil memikirkan jawaban yang cukup masuk akal selain mengakui bahwa ini pengaruh kehamilanku. "Tidak begitu. Akhir-akhir ini aku jarang masak sayur, jadi ... begitulah." Tidak ketinggalan seulas senyum untuk membuat jawabanku terlihat lebih meyakinkan. Emma seharusnya percaya karena akhir-akhir ini kami memang sangat sibuk.

"Sejak insiden kebab daging, aku merasa selera makanmu berubah total. Kau cenderung memakan sesuatu yang berwarna hijau. Tidak ada masalah dengan kesehatanmu, 'kan?"

Berapa kali aku bilang kalau Emma sangat peka? Aku yakin dia tidak punya banyak waktu senggang di tenant sampai bisa memperhatikanku sebegitunya.

"Aku sangat baik-baik saja. Apa memakan sesuatu yang hijau hanya boleh saat kondisi tubuh sedang memburuk?" Aku meresponsnya sembari kembali melanjutkan pekerjaanku. Akan lebih baik mengobrol tanpa bertatap muka, karena kalau tidak begitu Emma bisa menemukan sesuatu dari raut wajahku.

"Sebetulnya tidak. Tapi itu membuatmu terlihat seperti seorang wanita hamil, apalagi saat kau tidak tahan mencium aroma daging." Tanganku berhenti menjahit sebentar karena terkejut oleh dugaannya.

"Hamil? Yang benar saja!" Aku bahkan tertawa seakan-akan itu  adalah gurauan yang lucu. "Memangnya dengan siapa aku akan melakukannya, hm?"

"Killian. Kalian pasangan suami istri, bukan tidak mungkin kalau sesuatu telah terjadi."

Aku langsung berbalik badan dan mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, takut ada orang lain yang mendengar kata-katanya. Terakhir, mataku menyorot wajahnya disertai perasaan kesal.

"Aku sudah memperingatkanmu, Em. Jangan mengatakan soal itu sembarangan." Jujur saja, aku mulai bosan mengingatkannya terus seperti ini.

"Aku tahu. Hanya kita berdua di sini dan pintunya tertutup." Tangannya tertuju pada pintu, seperti aku tidak pernah tahu itu ada di sana.

Aku kembali melanjutkan jahitanku. Diamnya Emma membuatku berpikir kami tidak akan membicarakannya lagi, tetapi dia justru berdiri di sebelahku. Aku sudah curiga dia akan membicarakannya lagi, padahal hanya untuk membantu melingkarkan renda di sepanjang garis pinggang dan menahannya tetap di sana dengan jarum pentul. Tentu itu sangat membantuku.

"Jadi, bagaimana? Apa kalian pernah melakukannya? Kalau aku berada di posisi Killian, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk tidur denganmu." Membantu hanyalah kedok untuk memancingku agar bercerita lebih banyak.

"Bisakah kita berhenti membicarakan tentang itu?" Sesuatu mulai bergejolak di perutku begitu memori dari apa yang kulakukan bersama Killian malam itu kembali berputar di kepala. Pengalaman pertama melakukan itu masih dengan sangat jelas kuingat. Lama-lama wajahku bisa memerah kalau itu mengisi pikiranku sepenuhnya. "Dan lagi, tidak ada alasan bagi kami untuk melakukannya."

"Kau punya aura kecantikan yang misterius, Ana, mampu mengundang rasa ketertarikan untuk mengenalmu lebih jauh. Itu bisa saja memicu rasa penasaran tentang bagaimana rasanya tidur denganmu." Emma mengedipkan sebelah mata dan itu membuatku bergidik ngeri.

Apa begitu juga yang Killian pikirkan saat itu?

"Sekarang kau membuatku takut, Em."

"Aku tidak akan menyerangmu, Sayang."

Mataku berotasi dan tidak lagi mengatakan apa pun yang akan memperpanjang pembicaraan ini. Aku bisa saja meminta Emma keluar sekarang, tetapi tidak kulakukan karena keberadaannya cukup membantu.

"Ana." Salah seorang rekan kerjaku memanggil setelah membuka pintu. "Seseorang ingin menemuimu."

Dahiku berkerut, berusaha mengingat siapa yang berjanji untuk bertemu hari ini. "Aku tidak punya janji menemui siapa pun."

"Dia pelanggan yang mengaku sebagai temanmu juga."

Siapa? Pertanyaan itu langsung muncul di kepalaku. Kalau ini di butik lamaku, aku memang punya beberapa teman, yang tidak begitu dekat, yang menjadi pelanggan tetap. Di New York, temanku adalah orang-orang yang bekerja di tenant. Sayangnya, aku tidak bisa bertanya pelanggan mana yang dimaksud karena rekan kerja yang satu ini adalah rekanku yang pindah dari butik lama. Untuk memastikannya, aku memang harus menemuinya dulu meski harus segera menyelesaikan gaun pesanan.

"Em, bisa tolong lanjutkan ini?"

Aku menyerahkan jarum beserta benangnya pada Emma. Ini hanya akan menjadi jahitan sementara, setelahnya tentu akan dirapikan menggunakan mesin jahit.

Aku merapikan blusku yang terlipat di beberapa bagian dan memastikan celanaku tidak tersingkap sisa dari mengerjakan gaun sambil duduk tadi. Seorang teman yang akan kutemui ini adalah pelanggan juga, sebaiknya kusambut dengan penampilan yang baik. Sayangnya, dia bukanlah teman yang kuharapkan akan menjalin hubungan baik denganku.

Tadinya aku ingin masuk lagi ke ruangan, tetapi Gabby, si pelanggan yang mengaku adalah temanku, sudah telanjur melihatku. Dia berdiri di depan konter kasir. Mau tidak mau aku harus menghampirinya, setelah sebelumnya meminta yang berjaga di kasir untuk memeriksa rak.

"Kudengar kau ada perlu denganku?"

Gabby menegakkan badan, dan saat itu aku tidak sengaja melihat kartu nama yang menggantung di lehernya. Lantas aku tersadar kalau ini masih jam kerja dan dia pergi belanja. Dia tidak akan seberani ini jika hanya karyawan biasa, 'kan?

"Aku ingin bertanya soal Killian."

Oh?

Kalau dia ingin bertanya kabar Killian, aku akan menjawab kalau aku tidak tahu apa pun. Sejak aku meminta bercerai, Killian menghindariku. Dia tahu aku pasti akan menagih jawabannya. Selama beberapa hari ini dia tidak sarapan bersamaku, tetapi aku tetap memasak untuknya meski terkadang saat aku pulang itu masih utuh. Malamnya dia juga lebih banyak berada di kamar atau ruang kerja. Kami benar-benar seperti dua orang asing yang terpaksa tinggal bersama.

Gabby seharusnya lebih tahu bagaimana kabar Killian karena aku yakin komunikasi mereka masih sangat intens, apalagi setelah menikmati liburan bersama yang sangat intim. Di kantor juga mereka masih bertemu setiap hari. Kuharap apa yang akan wanita ini tanyakan bukan berarti sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Killian.

"Aku berjualan di sini, bukan membuka jasa konsultasi hubungan." Kalau Gabby mengerti maksudku, dia akan tahu kalau aku enggan meladeninya.

"Hanya ini satu-satunya cara aku bisa bicara denganmu." Gabby tersenyum tipis, tetapi yang tertulus dari yang pernah kulihat. "Aku mengkhawatirkan Killian."

Baiklah, itu berhasil membuatku tertarik. "Ada apa dengannya?"

"Apa dia sedang punya masalah? Sehari sejak kami kembali, sikapnya sedikit aneh. Banyak diam, terlalu serius saat bekerja, dia bahkan tidak ingin kuganggu. Aku benar-benar tidak tenang kalau dia terus seperti itu. Apa yang harus kulakukan?"

Aku bohong kalau tidak tahu apa yang terjadi padanya. Killian pasti masih tidak bisa menerima permintaanku. Namun, seharusnya tidak sampai membuatnya seperti itu. Kekasihnya gelisah, tetapi dia justru tidak peduli.

"Beri dia waktu. Aku tidak tahu apa masalahnya, tapi biasanya aku akan membiarkannya seperti itu sampai dia selesai bergelut dengan pikirannya sendiri."

Biasanya itu yang akan kulakukan. Dulu Killian tidak akan tahan terus mendiamkanku, jadi pada akhirnya dia yang akan menghampiriku lebih dulu. Kali ini, kurasa dia benar-benar kecewa padaku. Aneh saja, dia yang mengusulkan bercerai, tetapi menolak saat aku meminta lebih cepat.

"Kau yakin aku tidak perlu melakukan apa-apa?"

Tidak pernah kulihat wanita ini begitu khawatir. Terlebih lagi setelah apa yang dia katakan waktu di bioskop. Aku sempat skeptis dia hanya terobsesi pada penampilan Killian karena tidak bisa menerima bahwa kami tidak terpisahkan, tetapi hari ini aku bisa melihat dia takut kehilangan pria itu. Situasi ini membuatku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Gabby jika tahu aku adalah istri dari kekasihnya.

"Iya. Kalau kau memang ingin terus mendampinginya, kau harus menerima dia akan sering seperti itu di masa depan. Kau hanya perlu mempersiapkan diri jika suatu saat dia akan membutuhkan bahumu."

"Dia bisa seperti itu juga?" Gabby tampak syok, tetapi ada binar penuh harap di matanya. Kupikir dia sangat ingin menjadi tempat Killian bergantung?

Aku mulai mengerti kalau hubungan mereka belum sepenuhnya saling berbagi. Gabby mungkin sudah menemukan kenyamanan pada Killian, tetapi Killian belum mendapatkannya dari Gabby. Kukira Killian akan lari padanya ketika kami sedang dalam situasi yang buruk. Namun, sepertinya hubungan mereka belum sampai sana. Gabby pasti akan lebih terkejut lagi kalau tahu bagaimana menangani Killian saat sakit. 

Lagi pula, saat sakit kemarin, masih aku yang mengurusnya.

"Kau akan mengenal Killian lebih baik lagi, jadi bersabarlah dengannya." Tatapanku turun dari wajah cemasnya menuju apa yang sejak tadi diremasnya. "Apa kau akan membayar itu?"

Sungguh, aku akan makin membencinya kalau blus yang sudah diremasnya tidak jadi dibeli, padahal kami selalu memastikan agar baju-baju di sini tetap rapi.

"Ah, iya. Aku ambil yang ini." Dia meletakkannya ke atas meja. "Terima kasih, aku merasa sedikit lebih tenang sekarang."

Aku tidak merespons, tetapi sibuk membungkus belanjaannya sekaligus mengarahkannya untuk memindai barcode pada layar kecil di balik monitor kasir. Gabby sering belanja di sini, aku sampai hafal kalau dia selalu menggunakan aplikasi di ponselnya untuk membayar.

"Terima kasih, silakan datang kembali." Mengabaikan kalau tujuan sebenarnya dia belanja adalah untuk bicara denganku, aku mengakhiri pertemuan kami dengan salam yang ditujukan untuk pelanggan yang hanya membeli. Aku tahu dia kekasih Killian, tetapi aku tidak bisa menjadi temannya. Mungkin akan kupertimbangkan kalau dia mengganti aroma parfumnya.

"Jadi, kalian berteman?" Emma selalu punya celah untuk mengejekku akhir-akhir ini. Dia muncul setelah Gabby pergi.

"Aku tidak pernah menganggapnya begitu." Mengelak adalah keahlianku jika berurusan dengan Gabby. "Ngomong-ngomong, apa kau punya rekomendasi ke mana aku harus pergi kalau ingin berdiskusi tentang rumah tangga?"

Wajah Emma mengerucut seperti menemukan sesuatu yang aneh pada pertanyaanku. "Kau ... apa?"

Satu helaan napas kuembuskan sebelum menjawab pertanyaannya sekaligus memastikan tidak ada orang lain di dekat kami, atau yang bisa mendengar pembicaraan kami. "Aku ingin tahu apa saja yang harus disiapkan untuk mengajukan perceraian."

"Apa?" Lagi, dengan reaksi yang sama seperti yang kuterima dari Killian. "Apa kau yakin?"

Aku mengangguk.

"Sangat yakin?"

Mataku berotasi, tetapi tetap mengangguk.

"Tidak akan menyesal?"

"Astaga, Em. Tolong beri aku rekomendasi saja. Aku akan baik-baik saja dan akan menemukan pria yang tepat."

"Kuharap pria itu Allen."

Aku terdiam, sejenak memikirkan apakah tindakan dan keputusanku memang sudah tepat. "Ya, kuharap juga begitu."

•••

Ini baru update yang benar ya, teman-teman. Hehe.

See you on the next chapter~
Lots of love, Tuteyoo
20 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top