56 - The Moment I Realized that was True
"Luciana, maukah ke malam prom bersamaku?"
Dia Fynn, senior satu tahun di atasku. Dia salah satu yang digilai oleh siswi-siswi seangkatanku. Berkat pencapaiannya sebagai pemain terbanyak mencetak skor pada olahraga hoki, tidak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan aku, yang tidak pernah mengobrol dengannya sebelum ini pun tahu kalau dia berzodiak Leo. Terima kasih kepada obrolan orang-orang sekitarku meski itu tidak penting sama sekali.
Aku tidak langsung menjawab, melainkan melirik ke sisi kiri dan kanan dulu sebelum menutup lokerku. Aku sedang mengambil barang-barangku karena sudah mau libur semester ketika laki-laki ini tiba-tiba datang menghampiriku.
"Kau ... apa tidak salah?"
Dia tersenyum miring, alih-alih terlihat seksi, dia jadi begitu manis. Lesung pipit yang hanya ada di pipi sebelah kirinya itu turut beramah-tamah padaku.
"Yep. Memangnya dengan siapa lagi aku bicara? Tidak ada siapa pun selain kita."
Fynn tipe penggoda, itu terlihat dari gerak-geriknya ketika bersandar pada loker di sebelahku, yang justru terlihat sedang berpose untuk difoto. Baju yang dia kenakan sampai aksesorisnya juga bermerek, tidak bisa dibilang murahan. Dia mungkin cukup sadar ada banyak orang menggilainya, dan berjaga-jaga barangkali seseorang akan mengambil fotonya diam-diam.
"Tapi kenapa aku?" Aku yakin tidak hanya aku yang kebingungan dengan ajakannya yang sangat tiba-tiba, semua orang pun akan bereaksi dengan kedekatan kami. Kami tidak pernah saling sapa sebelum ini. Aku tidak tahu apakah pernah berpapasan dengannya atau tidak karena biasanya aku berjalan sambil mengobrol bersama Killian.
"Kenapa, ya?" Dia tampak berpikir keras. "Karena kau menarik? Sudah lama aku mengawasimu." Kedipan matanya yang menggelikan itu terselamatkan oleh senyumnya yang manis. Untung saja.
Kupikir hormon masa remajalah yang membuatku merasa bergejolak. Sudah sangat lama sejak ada yang mendekatiku terakhir kali, jadi yang satu ini berhasil membuat dadaku meletup-letup. Apalagi dia pria yang populer. Kapan lagi aku menerima ajakan seperti ini? Kalau bernasib baik, mungkin akan berlanjut pada hubungan yang romantis.
Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga malu-malu. Tidak peduli jika aku sempat menyebutnya penggoda tadi, tatapannya tetap terasa tulus. "Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa."
Dia tertawa kecil. "Kau hanya perlu menjawab. Iya, atau tidak."
"Maaf, Pria Hoki, Ana sudah tidak available. Dia akan ke prom bersamaku."
Untuk beberapa saat yang intens tadi, aku melupakan bahwa Killian ada. Namun, aku yakin dia tidak berada di sekitarku sejak tadi, bahkan sudah bilang kalau tidak akan pulang bersamaku. Sekarang dia justru muncul tiba-tiba seolah-olah aku memang sedang perlu diselamatkan. Itu menyebalkan, tetapi aku merasa lega juga.
Jarak Fynn berdiri terlalu dekat denganku, dan itu sedikit membuatku tidak nyaman. Ketika Killian berada di dekatku, seperti biasa, tangannya tidak bisa diam, dia merangkulku dan kali ini sekaligus menarikku menjauh dari jangkauan aroma parfum Fynn.
Kehadiran Killian jelas tidak disukai Fynn, tetapi picingan matanya menunjukkan bahwa ada alasan yang lebih dari situasi ini.
"Mungkin seharusnya kau tidak muncul." Aku berdesis hanya pada Killian.
Namun, picingan mata yang ditunjukkan Fynn tidak berlangsung lama, sebuah seringai kemudian tercetak di bibirnya. "Tidak mungkin, Killian, Selena akan mengamuk kalau kau tidak pergi bersamanya."
"Kami sudah selesai."
"Apa?"
Seharusnya Fynn yang bereaksi, tetapi justru aku yang memekik kaget. Aku yakin hubungan mereka tidak sedang dalam masalah apa-apa, bahkan kemarin Killian berencana untuk pergi ke bioskop bersama kekasihnya itu nanti malam. Namun, Killian saat ini tampak begitu tenang, seolah-olah ucapannya yang tadi itu hanya sekadar bualan.
Fynn mengeluarkan decakan keras, tetapi dengan gelagat meremehkan. Ada kesan bahwa dia tidak memercayai ucapan Killian.
"Aku bahkan baru melihat kalian keluar kelas bersama sambil bergandengan."
"Cukup masuk akal kalau kubilang kami berakhir setelahnya, 'kan?"
Killian sangat buruk dalam meyakinkan seseorang hari ini. Ekspresi Fynn tidak berubah, masih menunjukkan betapa dia tidak bisa memercayai Killian. Oh, dan aku mulai menyaksikan ketegangan dua laki-laki ini. Kapan lagi aku merasa diperebutkan oleh dua orang tampan, ini seperti adegan di film-film.
"Kau tidak berhak menentukan Ana pergi bersama siapa karena aku sudah tiba di sini lebih dulu."
Ya, itu benar. Kalaupun aku memang ingin pergi ke prom itu, seharusnya aku menerima ajakan Fynn. Killian saja belum memintaku untuk datang bersamanya dan aku masih membutuhkan kejelasan apakah dia memang benar-benar berakhir dengan Selena, atau hanya akal-akalannya agar aku tidak pergi bersama Fynn, seperti yang biasa dia lakukan pada laki-laki yang berusaha dekat denganku.
Meski begitu aku cukup berterima kasih juga pada Killian, beberapa di antara laki-laki yang mendekat itu ada yang berbahaya. Namun, kupikir Fynn sedikit berbeda, belum ada terdengar kabar buruk tentang hubungan asmaranya.
"Ana akan pergi denganku." Itu sebuah pernyataan yang seolah-olah tidak akan menerima bantahan dalam bentuk apa pun. Selain mengatakan itu, Killian juga menarikku mendekat hingga kepalaku membentur lengannya yang kurus.
"Killian!" Aku berdesis lagi. Kali ini juga mencubit pinggangnya dengan tangan yang terjepit agar Fynn tidak melihat. Killian mungkin kesakitan, tetapi masih mempertahankan sisi kerennya di depan Fynn.
Fynn lantas berdecih. "Biarkan Ana saja yang memutuskan. Aku yakin dia akan bersikap adil dan tidak mau menghancurkan hubungan asmara sahabatnya." Tatapannya lantas turun ke wajahku disertai senyum yang lebih lembut. "Bagaimana, Ana?"
Aku menelan ludah. Seandainya Killian tidak datang, aku tentu akan langsung mengiakan. Ini bukan karena aku ingin pergi bersama Killian, tetapi aku perlu waktu untuk mempertimbangkannya lagi, termasuk menuntut kejelasan bagaimana mungkin Killian berakhir dengan kekasihnya.
"Begini, aku--"
"Hentikan saja." Ugh, Killian! Dia menyela. "Hentikan saja permainan kalian. Seharusnya kau mendekatiku dulu sebelum kubiarkan dekat dengan Ana."
Wajah Fynn mulai memerah karena marah. Dan aku tidak mengerti permainan apa yang dimaksud Killian.
"Permainan apa yang kau maksud?" Bahkan Fynn pun tidak mengerti. Killian mungkin ingin mencari-cari lebih banyak alasan lagi, tetapi itu mulai terdengar tidak masuk akal.
"Kau yakin mau aku mengatakannya di sini, sekarang, di depan Ana?" Killian tampaknya sukses membuat Fynn menciut. "Kau tidak hanya akan mendapat penolakan, tapi harga dirimu juga hancur. Taru--"
"Cukup. Kau mungkin berhasil menghentikanku sekarang, tapi aku akan mencoba lagi besok. Aku serius." Fynn tidak lagi bersandar pada loker, dan tampak akan beranjak pergi. Namun, sebelum itu dia masih mengatakan ini padaku, "Kehidupan percintaanmu tidak akan baik-baik saja kalau laki-laki ini masih memegang tali untuk mengendalikanmu, Ana. Sampai jumpa."
Fynn berbalik dan meninggalkan kami. Tanpa membuang waktu, aku langsung menghantam perut Killian dengan siku. Dia mengaduh kesakitan dan rangkulannya di bahuku terlepas.
"Lagi, Killian?" Dia tentu tahu maksudku. Bukan soal menghantam perutnya, tetapi tentang dia yang kembali mengusik usaha laki-laki itu untuk dekat denganku.
Aku beranjak pergi dari sana setelah mengembuskan napas yang keras. Dengan begitu Killian akan tahu kalau aku sangat kesal.
"Ana, tunggu!"
•••
Sekarang aku tersadar kalau ucapan Fynn waktu itu ada benarnya. Aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba mengingatnya lagi. Semenjak ada kehidupan lain di perutku, aku menjadi lebih melankolis. Ada saat di mana aku akan diam dan kenangan-kenangan masa lalu mulai berputar di kepala.
Fynn adalah yang terakhir mendekatiku sebelum rumor bahwa tidak ada yang bisa menembus dinding pertahanan yang dibangun Killian padaku, kembali meledak. Seandainya aku ingin menanggapi masalah itu dengan serius, sudah lama hubungan persahabatan kami hancur. Kalau saja tujuan utamaku dulu adalah memiliki pacar sempurna, dengan pengalaman percintaan yang luar biasa, aku dan Killian pasti bermusugan. Namun, aku tidak bisa terus-menerus marah begitu Killian menunjukkan bahwa Fynn hanya bermain taruhan bersama teman-temannya dan menjadikanku sebagai target. Lalu semua itu terbukti ketika saat malam prom dia datang bersama perempuan lain.
Tidak hanya itu, demi mewujudkan kalau kami akan pergi ke malam prom bersama, Killian mengakhiri hubungan dengan kekasihnya saat itu. Dulu itu terasa biasa saja. Dia hanya bermaksud melindungiku. Sekarang itu terasa berbeda, ada sebuah harap yang muncul kalau ada maksud lain di baliknya. Lagi pula, kenapa Killain rela berbuat sejauh itu? Tidak salah kalau itu membuatku merasakan sesuatu padanya, 'kan?
Ucapan Allen juga ada benarnya. Seharusnya sahabat tidak sampai membuatku jatuh cinta padanya. Pada akhirnya simpul tali itu harus dibuka.
"Ana, kau melamun." Aku terkesiap ketika pria yang baru saja terlintas di pikiran tiba-tiba bersuara di belakangku.
"Oh, maaf." Aku mengedarkan pandangan kembali ke sekeliling ruangan, demi terlihat sibuk melihat-lihat.
Hari ini, seperti yang pernah dijanjikan, Allen membawaku melihat-lihat beberapa bangunan yang mungkin bisa disewa untuk meneruskan karierku di sini. Macy's tidak selamanya untukku, jadi aku perlu backup plan. Dari tiga tempat yang kami datangi, ini yang terakhir dan yang paling kusuka. Pertama, lokasinya cukup strategis, di area perbelanjaan. Kedua, punya jendela yang besar, cocok untuk memajang manekin-manekinku. Ketiga, punya dua lantai dan di lantai atas terdapat beberapa ruangan yang bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Aku mungkin akan mengambil yang ini.
"Kau suka yang ini?" Allen ikut bersandar ke dinding, di sebelahku.
Aku tersenyum agak canggung karena Allen menatapku terlalu intens, penuh rasa penasaran yang memicunya untuk melihat lebih dalam ke mataku. Meski bukan pertama kali, tetapi aku masih merasa tidak nyaman.
"Kalau dibandingkan dua sebelumnya, tempat ini punya lebih banyak poin." Kuedarkan pandangan ke sekeliling meski sudah tidak ada lagi yang belum kulihat. Aku melakukannya hanya untuk menghindari tatapan Allen. "Aku akan memilih ini."
"Tidak menunggu pendapat Killian?"
Darahku berdesir begitu nama itu meluncur dari bibirnya. "Untuk apa lagi?" Ada rasa gelisah yang mulai bercokol di dada oleh dugaan bahwa Allen mungkin berpikir aku terlalu bergantung pada Killian. Meski kenyataannya memang seperti itu.
"Killian mampu membawamu sampai ke New York, lihat betapa berpengaruhnya dia dalam hidupmu." Allen bahkan tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa di matanya. Namun, aku tahu dia tidak akan protes, mengingat Killian mengenalku jauh lebih dulu darinya.
"Aku tidak bisa mengelak soal itu. Tapi mungkin sekarang tidak lagi. Aku juga memutuskan banyak hal seorang diri, kau tahu." Ada rasa tidak terima kalau Allen masih menganggap aku begitu bergantung pada Killian.
"Saat kau melamun tadi, apa kau sedang memikirkannya?"
Kuharap tidak. Aku hanya baru menyadari kebenaran dari kata-kata yang diucapkan Fynn. Meski tentunya itu tidak luput dari keterlibatan Killian di dalamnya. Apa aku sedang merindukannya? Tidak. Mungkin anak ini yang lebih ingin merasakan kehadiran ayahnya. Lagi pula, hari ini dia pulang.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Begini, Allen, aku mungkin mencintai Killian. Aku tidak akan mengelak kalau beberapa kali dia muncul di pikiran. Tapi bisakah kita tidak membicarakannya dulu? Tidak perlu khawatir, aku cukup dewasa untuk bisa mengatasinya."
"Maaf, Ana. Aku hanya ... takut. Terkadang aku mempertanyakan apakah aku memiliki kesempatan. Apakah aku mampu menggantikan dirinya."
Pembicaraan ini terlalu berat dan sangat jauh dari alasan kami berada di sini. Namun, aku menghargai keterbukaannya. Dia terus mengungkapkan apa yang dia rasakan dan membuatku tahu. Sehingga setelahnya aku tahu bagaimana harus bersikap padanya. Aku pun mengerti apa yang dia rasakan. Akhir-akhir ini aku juga mulai memikirkan apa yang kurang dariku hingga Killian tidak pernah melihatku dengan cara yang sama seperti aku melihatnya. Rasanya tidak adil kalau hanya aku yang merasakan ini padanya.
"Um, itu pasti mengganggumu." Allen menghela napas sembari menggosok tengkuknya dengan canggung. Dia seperti pria salah tingkah sekarang. "Jadi, kau akan mengambil tempat ini? Aku harus menanyakan harga sewa atau harga jual?"
Karena Allen sudah tidak membicarakannya lagi, aku juga tidak akan membahasnya. "Bagaimana kalau sewa saja? Aku tidak tahu berapa lama aku akan tinggal di New York. Lagi pula, uangku tidak sebanyak itu untuk membeli gedung ini."
"Baiklah. Aku akan menghubungi pemiliknya tentang ini. Selebihnya pasti kukabari padamu. Mau mulai menyewanya dari kapan?" Dia jadi begitu bersemangat, seakan-akan pembicaraan tadi tidak pernah terjadi.
Sayangnya aku tidak bisa menjawabnya karena bagian bawah perutku tiba-tiba terasa keram. Rasanya persis seperti nyeri ketika menstruasi. Aku berjalan-jalan pelan menjauhi Allen seolah-olah sedang memeriksa kembali tempat ini, padahal sedang berusaha menyembunyikan kalau aku sedang merasa kesakitan. Tadi pagi saat bangun tidur juga seperti ini, kupikir akan muntah lagi, tetapi setelah menunggu cukup lama, tidak ada yang keluar. Dan sekarang ini terasa lagi. Aku sungguh berharap ini bukan pertanda sesuatu yang buruk. Beruntungnya, ini tidak cukup mengganggu yang sampai membuatku tidak sanggup bergerak. Aku masih bisa menahannya, setidaknya sampai bertemu dr. Shemira dan bertanya apa yang harus dilakukan setelah ini.
"Boleh kuserahkan padamu? Hanya pastikan kita mendapatkannya sebelum orang lain menawar tempat ini." Akhirnya begitu yang kukatakan pada Allen sambil membelakangi. "Um, Allen, bisakah kau bawa mobilku pulang? Aku perlu mendatangi suatu tempat."
Tidak mungkin membiarkan Allen tahu kalau aku ingin mampir ke dokter spesialis kandungan, dan tidak mungkin juga meninggalkannya ketika aku juga yang memintanya untuk mencari tempat ini. Mengantarnya dulu hanya akan membuang banyak waktu karena klinik dr. Shemira dengan kompleks tempat tinggal kami tidak searah.
"Tidak, tidak." Allen menolak keras. "Tidak apa-apa, aku akan pulang sendiri, kau bisa bawa mobilmu. Aku akan baik-baik saja."
Akhirnya aku berbalik menghadapnya. "Tapi--"
"Aku akan menemui pemiliknya setelah ini. Kalau kau merasa tidak enak hati, kau bisa membayarku dengan satu kali kencan."
Allen tidak membiarkan satu kesempatan pun meleset, ya.
•••
dr. Shemira bilang kondisiku baik-baik saja. Wanita hamil akan merasakan keram-keram sesaat di bagian bawah perut. Ada beberapa alasan untuk itu, yang terburuk adalah tanda-tanda keguguran. Namun, aku melakukan pemeriksaan ultrasonografi lagi dan semuanya baik-baik saja. Keramnya terjadi karena jaringan bawah perut yang menegang karena pertumbuhan janin. Tidak lupa dr. Shemira juga mengatakan kalau ini akan sering terjadi, setidaknya sampai enam minggu ke depan.
Aku tiba di rumah pada malam hari. Mobil Killian sudah terparkir di halaman rumah setelah sebelumnya dititipkan di bandara selama tiga hari. Dia tahu aku sedang sangat sibuk, jadi tidak meminta untuk dijemput. Lagi pula, aku juga tidak yakin bisa bertahan selama setengah jam penuh dengan hanya menghirup udara yang berbaur dengan aroma Gabby di dalam mobil.
Akhirnya aku keluar mobil, tidak lupa membawa barang-barangku dari bangku penumpang di sebelahku. Setelah dari klinik dr. Shemira, aku mampir ke supermarket untuk membeli sayuran. Aku mungkin akan memenuhi kulkas dengan belanjaanku malam ini. Hanya sedikit daging yang kubeli untuk memasakkan Killian. Ini berat, jadi aku berjalan cepat memasuki rumah agar bisa segera meletakkan belanjaanku di atas meja.
Killian tidak ada, tetapi bisa kulihat pintu kamarnya terbuka sedikit. Kalau ini terjadi sebelum menikah, biasanya setelah dia pulang dinas atau pelatihan kerja ke suatu tempat, aku akan langsung mencarinya dan memeluknya seperti hidupku bergantung padanya. Namun, berbeda lagi ceritanya kalau aku yang menjemputnya di bandara. Untuk hari ini, aku tidak ingin melakukan itu dulu. Aku hanya akan menyimpan sayur-sayurku sampai Killian sendiri yang menemuiku.
"Kau sudah pulang."
Sesuai dengan rencanaku, begitu aku meletakkan wortel terakhir ke kulkas, Killian muncul. Aroma sabun mandi dan samponya membaur bersama udara. Dia mungkin baru tiba dan langsung mandi tadi. Ekspresinya benar-benar cerah, khas orang yang baru menikmati liburan yang menyenangkan. Killian memelukku meski aku belum merespons apa-apa.
"Selamat datang." Hanya itu yang kukatakan sembari memukul pundaknya dua kali. Dia memelukku begitu erat, sampai aku takut dia akan menekan perutku. Dan sebelum itu terjadi, aku segera mendorongnya. "Liburannya menyenangkan?" Bukan sesuatu yang ingin kudengar jawabannya, tetapi biasanya orang-orang akan bertanya tentang bagaimana liburannya.
"Valentine terbaik sejauh ini, kurasa. Kami mengunjungi banyak tempat." Killian tersenyum lebar, jadi aku juga harus tersenyum.
Kemudian aku meremas kantong plastik pembungkus sayuran yang kubeli tadi untuk dibuang, sekaligus sebagai pengalihan untuk tidak menatapnya lebih lama.
"Apa kau baik-baik saja? Aku merasa kau sedikit berbeda dari biasanya. Apa ini karena aku tidak menghubungimu? Maafkan aku." Dia berusaha meraih lenganku dari belakang, tetapi kemudian aku berbalik.
"Ya. Aku baik. Hanya ... sedikit lelah."
Killian meletakkan kedua telapak tangannya yang dingin di pipiku. "Sudah kubilang perbanyak istirahat, wajahmu hangat."
"Tanganmu saja yang dingin," sahutku tanpa berniat menyingkirkan tangannya.
"Mau minum bersama? Aku membeli wine enak yang kita minum saat di Napa kemarin. Kau suka, 'kan?" Killian berjalan menuju kulkas bening khusus menyimpan minuman anggur. Aku bahkan tidak sadar kalau stoknya bertambah di sana. Aku terlalu fokus pada sayuran rupanya.
"Aku ingin, tapi aku lelah, Killian." Aku melirik arloji dan sudah pukul sepuluh malam. "Bagaimana kalau lain kali?"
Jujur saja, wine itu menggodaku. Namun, alkohol tidak akan berdampak baik untuk kehamilanku. Andai saja aku bisa bicara padanya tentang itu. Lidahku sudah kelu meski baru memikirkannya. Aku hanya tidak bisa membayangkan dia akan mengasuh anak ini bersama Gabby.
"Sebetulnya ini bukan sambutan yang baik darimu, tidak seperti biasanya." Ternyata dia menyadari itu. "Tapi aku mengerti, istirahatlah, Ana."
Aku tersenyum sebentar sebelum beranjak pergi dari sana, tetapi aku berhenti saat baru beberapa langkah, belum terlalu jauh darinya. Aku berbalik hanya untuk menemukan Killian menatapku kebingungan. "Kau melupakan sesuatu?"
Aku diam sebentar, bergelut dengan keraguan. Sekarang atau nanti, aku pasti akan mengatakannya, sudah semestinya lebih cepat itu lebih baik.
"Apa kau punya waktu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
•••
Halo teman-teman. Maaf baru update ya.
Kapan lalu sempat sakit, jadi gak berdaya buat ngapa-ngapain, mikir pun sulit wkwk. Maunya rebahan aja 😂
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
16 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top