55 - Another Heartbeat

Satu malam lagi kulewati tanpa bisa tidur dengan nyenyak.

Sesuai rencana mereka, dini hari tadi Killian dan Gabby pergi ke Napa Valley. Itulah kenapa Gabby ada di rumah tadi malam. Dia mungkin menginap, atau menghabiskan semalaman untuk bermesraan. Entahlah, aku tidak mau tahu soal mereka dan tidak ingin memikirkannya dulu. Gara-gara itu juga, aku tidak bisa minta Killian menemaniku tidur sampai tiga hari ke depan. Sepertinya aku perlu menemui dr. Shemira untuk meminta solusi dari masalah tidurku.

Aku tidak tahu pukul berapa saat Killian masuk ke kamarku dini hari tadi. Dia mungkin ingin berpamitan. Saat itu aku bangun, tetapi lebih memilih berpura-pura tidur alih-alih melepas kepergiannya. Merekam aromanya di saat-saat terakhir kepergiannya hanya akan membuatku merindukannya lebih banyak. Orang-orang mungkin akan setuju kalau itu adalah perasaan yang menyesakkan. Namun, meski kuabaikan, dia justru meninggalkan satu kecupan yang panjang di dahiku.

Untuk apa dia begitu?

Aku meraih jubah tidur dari gantungan di belakang pintu dan memakainya sebelum mencari udara segar di balkon rumah. Meski ada kursi di sana, aku tetap memilih berdiri bersandar pada terali pembatas. Pagi ini lumayan cerah, matahari sudah terbit dan terhalangi oleh awan-awan tipis yang sangat cantik. Udara yang berembus masih terasa dingin sampai aku mengeratkan jubah sembari memeluk diriku sendiri. Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilihat dari lantai dua rumah kami, hanya pemandangan rumah tetangga dan beberapa orang yang sedang beraktivitas, tetapi aku cukup menikmati ini.

Aku mendongak menatap langit, tetapi terlalu silau sampai  harus berpejam. Ini terasa lebih hangat dari hari-hari sebelumnya. Musim semi sudah terasa kehadirannya.

"Ana!"

Teriakan itu membuatku terbelalak. Di bawah sana, tepat di halaman depan rumahku, Allen melambai. Senyumnya secerah pagi ini. Dia masih begitu ramah meski sudah kubuat kecewa. Entah ada keperluan apa dia bertamu sepagi ini, aku tidak akan menyadari apa yang dibawanya jika dia tidak mengangkat kantong plastik bening berisi dua tumpuk stoples untuk diperlihatkan padaku.

"Sebentar, aku akan turun!" Aku balas berteriak.

Sembari menuruni tangga, aku mengancing dan membenahi ikatan jubah tidur. Beruntungnya ini cukup tertutup untuk menyambut seorang tamu, terutama  seorang pria, dan di balik ini aku masih memakai setelan piama panjang. Tepat di depan rak TV, aku berhenti sebentar dan berkaca pada pintu di salah satu sisinya. Wajah bangun tidurku tidak begitu buruk, aku hanya perlu menyisir rambutku dengan jari dan selesai.

Setelah malam itu, aku tidak bisa membuat diriku terlihat lebih buruk di depan Allen.

"Hai, Allen." Kuhadirkan senyum terbaik untuk menyambutnya di depan pintu.

Namun, dia membuatku kebingungan karena hanya diam dan terus tersenyum memandangku. Aku merasa tidak nyaman dan jujur saja, aku penasaran seperti apa sosokku di matanya sampai dia menatapku sebegitunya.

"Um, apa kita sedang bermain saling tatap?" Aku tahu itu akan membuatnya merasa canggung, tetapi aku lebih tidak sanggup lagi kalau dia terus seperti tadi.

Allen berdeham dan menunduk sebentar sebelum tatapannya kembali ke wajahku. "Maaf mengganggumu sepagi ini, dan maaf sudah membuatmu tidak nyaman. Ini pertama kali aku melihat wajah bangun tidurmu dan tidak terlihat berbeda dari biasanya. Aku hanya ... tidak bisa berpaling." Suaranya memelan, nyaris seperti bisikan, pada beberapa kata terakhir. Namun, aku masih dengan jelas mendengarnya.

"Aku memang tidak banyak memakai riasan saat bepergian, tapi terima kasih." Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga dan itu sama sekali bukan menunjukkan kalau aku merasa tersanjung, atau malu, atau sejenisnya. Namun, Allen mungkin menanggapi itu dengan sesuatu yang lain; wajahnya memerah tipis. 

"Kudengar dari Emma kemarin kalau kau tidak enak badan dan perlu istirahat, jadi aku mampir untuk mengantarkan ini." Dia menyodorkan bawaannya padaku. Saat kulihat dari balkon, stoplesnya tidak terlihat begitu besar, tetapi setelah berpindah ke tanganku, ukurannya seperti berubah menjadi dua kali lipat. Oh, dan berat juga.

"Ini sangat banyak."

"Kau bisa memakannya dengan Killian."

Senyumku luntur ketika Allen menyebutkan namanya. Aku baru melupakan tentang Killian yang pergi bersama Gabby, tetapi sekarang itu menghantui pikiranku. "Dia pergi ke Napa Valley sampai tiga hari ke depan."

"Lagi? Apa bersama kekasihnya?" Dia sangat berhati-hati menanyakannya, seolah-olah aku begitu rapuh. Namun, daripada memikirkan tentang mereka lagi, aku justru takjub kalau tebakannya benar.

"Bagaimana kau tahu?"

Allen hanya mengedikkan bahu. "Napa Valley terkenal dengan keromantisannya, sepupuku bahkan berencana akan pergi ke sana untuk berbulan madu. Rasanya untuk dinas pekerjaan pun jarang memilih waktu di akhir pekan, lalu dugaan itu terlintas begitu saja di kepalaku."

Terkenal dengan sisi romantisnya, ya. Aku jadi berusaha mengingat-ingat lagi apa yang kami pikirkan saat menambahkan itu ke daftar liburan kami. Waktu itu aku yakin kami hanya mempertimbangkan tentang kilang anggurnya yang luar biasa. Akan menyegarkan jika mencicipinya langsung di sana. Kejadian malam itu jelas menunjukkan bahwa Napa Valley terbukti romantis, meski nyatanya kami hanya terpengaruh wine yang kami minum terlalu banyak.

"Um, Allen. Makanan yang ini ... terlalu banyak, mau memakannya bersamaku?"

Aku mengundang seorang pria ke rumah, ini berbeda dengan ketika kami meminum anggur milik Killian karena saat itu juga ada Emma. Aku cukup sadar hubungan kami tidak sedekat itu lagi, apalagi setelah kuceritakan tentang situasiku. Namun, agaknya itu undangan yang diterimanya terlalu cepat, sebab dia tidak benar-benar terlihat senang. Allen mungkin kebingungan sekarang.

"Maksudku, itu hanya jika kau belum sarapan."

"Kalau Killian tahu soal ini, apa dia akan membiarkanmu berduaan saja denganku?"

Eh? Tidak kusangka dia justru memikirkan soal itu. Begitu dia mempertanyakannya, aku tidak mampu menemukan satu alasan kenapa Killian akan menghalanginya. "Kenapa tidak?"

"Makan malam waktu itu, dia tidak terlihat senang denganku. Ini bukan lagi intuisi, tetapi dia sangat jelas menunjukkannya." Allen masih tersenyum meski aku tahu sikap Killian waktu itu menyisakan rasa kesal untuknya. Nada bicaranya tadi bahkan tidak mampu menyembunyikannya.

"Maaf. Dia selalu begitu. Itu caranya menyeleksi pria-pria yang dekat denganku." Terlalu lama berdiri di ambang pintu membuatku lantas bersandar pada bingkainya. "Tapi dia tidak membencimu, tenang saja. Kalian hanya belum cukup dekat."

"Begitulah gunanya sahabat, ya." Itu sarkasme. "Tapi tidak wajar kalau sampai membuat pihak lain terbawa perasaan." Allen mengedipkan sebelah mata meski itu bertujuan untuk mengejek situasi kami. "Terima kasih tawarannya, tapi mungkin lain kali, Ana. Aku lebih suka kalau Killian ada, agar dia bisa melihat kalau aku serius denganmu."

Allen memperparah kekacauan di kepalaku, tetapi aku tidak punya statemen untuk melawan. Dan aku sangat setuju di bagian di mana dia ingin Killian juga melihat kebersamaan kami. Kalau kemarin dia mengaku tidak bisa menerima aku dekat dengan pria lain, maka akan lebih baik kalau membuatnya terbiasa.

"Terima kasih, Allen. Kau masih baik padaku setelah apa yang kita bicarakan kemarin. Awalnya aku sempat mengira kita akan sangat canggung."

"Sejujurnya aku pantang mendekati seseorang yang sudah berpasangan. Tapi aku tidak terima kalau hanya dia yang bisa melakukan itu padamu."

"Kau mungkin akan menyesal bersamaku suatu saat nanti." Sebelah tanganku secara spontan mengusap perut saat mengatakannya. Soal kehamilanku, aku belum bisa menceritakannya pada siapa pun.

"Yang kutahu, aku ingin membersamaimu. Apa pun yang terjadi bukanlah salahmu dan aku tidak pantas menyesalinya." Allen maju satu langkah mendekatiku. Aku belum sempat bereaksi atas gerakan tiba-tibanya itu, tetapi sebelah tangannya sudah menangkup pipiku. Tangannya dingin di wajahku yang menghangat. "Semoga lekas sehat kembali, Ana, kau sangat pucat. Sampai bertemu lagi."

Allen menurunkan tangannya lagi dan melangkah mundur sebelum akhirnya berbalik badan meninggalkan halaman rumah. Sedangkan aku masih bergeming di ambang pintu menatap kepergiannya. Dia tidak hanya meninggalkan bawaannya, tetapi juga pemicu yang menyebabkan jantungku berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya.

Menghadapi satu yang mampu membuatku berdebar saja aku sudah kewalahan, bagaimana kalau dua?

•••

Sore ini aku berada di Macy's, meski awalnya tidak ada niat untuk datang. Setelah mengurus paket pesanan dengan dibantu dua orang pegawaiku tadi siang, aku kelelahan dan tertidur sampai sore. Kehamilan ini benar-benar membatasi produktivitasku. Bagian terburuknya lagi, itu terjadi di saat aku sedang sangat repot.

Awalnya aku sempat pesimis tentang membuka toko di Soppaholik, mengingat namaku belum begitu dikenal banyak orang. Namun, tidak kusangka akan menerima begitu banyak pesanan hingga akun kami berada di halaman beranda Soppaholik dengan kategori paling banyak dikunjungi selama beberapa minggu terakhir. Satu lagi pencapaian yang membanggakan, yang membuatku tidak benar-benar menyesali kepindahan ke New York.

Kembali ke situasi tenant seseorang datang untuk memesan beberapa setel gaun pendamping pengantin. Ini adalah kali pertama aku menerima permintaan seperti itu. Pelanggan itu meminta bertemu denganku karena Emma tidak berani memutuskannya sendirian.

Saat aku datang, si pelanggan yang dimaksud masih berada di tenant. Karena merasa tidak enak sudah membuatnya menunggu, aku lantas memberikan Latte yang kubeli saat di jalan tadi. Aku belum meminumnya, karena begitu menerimanya, aku baru ingat kalau wanita hamil tidak dianjurkan kebanyakan mengonsumsi kafein, dan aku lupa mencari tahu seberapa banyak kafein yang bisa ditoleransi.

"Terima kasih. Anda tidak perlu repot seperti ini."

"Tidak apa-apa, kami biasa menyediakan minuman kaleng untuk pelanggan, tapi kebetulan kami sedang kehabisan." Aku tidak membual soal alasan itu. "Jadi, apa yang Anda perlukan? Sebelumnya perkenalkan saya Luciana Pereira, desainer koleksi busana kami." Aku mengulurkan tangan untuk berjabatan dengannya. Boleh kuakui kalau wanita di depanku ini punya gaya berbusana yang menunjukkan betapa kuat dirinya. Perpaduan jaket jeans dengan rok jeans selutut tidak pernah bagus di tubuhku, tetapi itu membalut tubuhnya dengan sempurna.

"Ava Clairine, sebetulnya kita hampir seumuran, jadi tidak perlu terlalu formal." Dia menjabat tanganku dengan erat disertai senyum yang ramah. "Sebelumnya aku datang untuk melihat-lihat karena seorang teman merekomendasikannya. Dan aku tidak tahu banyak soal fashion, aku mungkin akan langsung memesan."

"Tunggu, boleh kuambil iPad-ku sebentar?" Karena dia begitu ramah, aku pun tidak merasa begitu canggung meresponsnya.

"Oh, ya, silakan."

Aku tersenyum disertai rasa tidak enak dan berjalan cepat ke ruangan untuk mengambil iPad. Aku mungkin perlu mencatat beberapa hal sesuai permintaannya, sekaligus menunjukkan model yang kira-kira bisa dijadikan referensi untuk kebutuhannya.

Sayangnya, saat aku akan kembali mendatangi Ava, Emma menarik tanganku ke balik meja kasir.

"Em, aku tidak bisa membuatnya menunggu." Aku berbisik sembari mengawasi wanita tadi dari kejauhan.

"Lihat ini." Dia membuka majalah dan menunjukkan sebuah foto yang hampir memenuhi satu lembar majalah dengan beberapa potong kalimat yang menginformasikan bahwa pasangan yang ada di halaman majalah tersebut resmi bertunangan. "Bukankah ini mirip dengan pelanggan kita sekarang?"

"Wow." Hanya itu yang keluar dari bibirku. Aku takjub, karena meski fotonya bersama sang kekasih dicetak di majalah, Ava sama sekali tidak berusaha menunjukkan bahwa dirinya berasal dari kalangan atas. Dia tidak juga memakai gaun atau setelan yang bermerek. Tidak banyak aksesoris yang dia pakai selain dua buah cincin di jari manisnya.

"Dia menikahi seorang pengusaha besar. Kalau kita berkontribusi, meski hanya mempersiapkan gaun pendamping pengantin, bayangkan seperti apa impact-nya untuk kita. Ini peluang besar!"

"Begitu kau menjelaskannya seperti itu, aku jadi mual, Em. Dan kalau kita tidak melakukannya dengan baik, efeknya juga akan sangat buruk."

Emma memegangi kedua bahuku dan mencengkeramnya tidak begitu kuat. "Kita bisa, Ana. Kita melakukannya bersama-sama. Yang jelas, peluang ini tidak bisa diabaikan begitu saja." Dia berusaha meyakinkan.

"Ya, ya, ya. Tapi bisa lanjutkan lagi nanti? Aku harus bicara dengannya dulu."

Aku menepis tangan Emma dan segera pergi. Ava masih di sana, tetapi sedang menelepon seseorang. Aku tidak ingin mengganggu, tetapi dia telanjur melihat aku kembali. Akhirnya aku duduk di hadapannya dalam diam dan mulai menyalakan iPad disusul membuka beberapa aplikasi.

"Ya, aku sedang mengurusnya. Paula sudah cukup repot dengan gaunku dan pekerjaan lainnya, aku tidak bisa membuatnya repot lebih banyak lagi. Jangan begitu, aku akan bosan kalau terus di rumah. Aku bersama supir, tenang saja. Ya. Baiklah. Aku ... juga mencintaimu, bye!"

Ava mengakhiri teleponnya dan memamerkan cengiran padaku. Dia mungkin merasa malu setelah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sedikit lebih pelan.

"Maaf yang tadi, aku punya tunangan yang lebih protektif dari pasangan kebanyakan."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Itu bukti kalau dia sangat mencintaimu, 'kan?"

"Ya, begitulah." Wajah Ava merona. Dari reaksi malu-malunya membuktikan kalau perasaan mereka saling berbalas. Betapa beruntungnya ... .

"Jadi, busana untuk pendamping wanita, ya. Kira-kira apa konsep dari resepsi pernikahan kalian nanti?"

"Mungkin sesuatu yang simpel tapi elegan? Temanku bilang, kau ahlinya. Dan begitu aku tiba di sini, ternyata benar. Kau tidak banyak memberi pernak-pernik pada gaunmu."

Aku mengikuti arah pandangnya, pada gaun-gaun yang dipasang pada manekin. Kuharap dia mengatakan itu sebagai sesuatu yang baik, pujian jenis apa pun sifatnya subjektif. Dia mungkin menyukainya, tetapi tidak bagi orang-orang yang suka gaya eksentrik.

"Aku menyukainya, makanya ingin bertemu denganmu."

"Terima kasih. Aku akan mengurusnya. Kau hanya perlu sebutkan seperti apa yang diinginkan. Desain mungkin akan berpengaruh pada jumlah gaun dan waktu pengerjaan kami. Jadi, ada kemungkinan akan kualihkan pada desain yang mirip dan lebih sederhana."

"Kira-kira dua bulan lagi. Kami berencana melangsungkan pernikahan tanggal 27 April. Untuk jumlahnya--" Ava tampak berpikir keras soal itu. "--belum bisa kupastikan, tapi aku akan mengabarimu segera kalau kau beri aku kartu nama?"

Kebetulan kami sudah mencetaknya. "Tentu saja kau akan mendapatkannya." Menyenangkan sekali mendapat pelanggan yang mudah diajak berdiskusi, aku sampai tidak berhenti tersenyum sejak tadi. "Ini, beberapa referensi yang mungkin cocok untuk hari istimewamu."

Aku menyodorkan iPad-ku untuk dia melihat-lihat. Setidaknya dengan dia memilih sekarang, aku bisa membuat daftar apa saja yang dibutuhkan untuk merancangnya nanti. Dan seperti yang dikatakan Emma, dia bisa menjadi salah satu pelanggan yang berpotensi untuk membuat kami lebih dikenal. Karena acara-acara pengusaha besar biasanya akan dipublikasikan oleh media. Jantungku berdebar ketika Ava menggulirkan layar untuk melihat referensi berikutnya. Bagaimana kalau tidak ada satu pun yang dia sukai?

Namun, pada akhirnya dia memilih tiga foto dari belasan referensi yang kutunjukkan. Setelah mendiskusikannya dan dia menyatakan setuju memesan di tempat kami, suaminya datang. Tidak seperti di majalah, dia tampak berkali-kali lipat lebih tampan meski di mataku tetap Killian yang berada di urutan pertama.

Ava adalah wanita yang beruntung. Pria itu memandangnya dengan tatapan yang memuja, seolah-olah Ava adalah pusat dunianya. Bahkan, tidak ragu untuk melakukan gestur-gestur kecil yang menunjukkan betapa berharga wanita itu baginya. Ini kali pertama aku melihat langsung adegan semacam itu dan tidak berhenti merasa takjub. Kami berkenalan dan pria itu berusaha memastikan kalau aku bisa memenuhi permintaan Ava. Tentu saja aku mengiakan dan setelah itu mereka pulang.

Jujur saja, itu membuatku khawatir kalau hasilnya nanti tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.

"Makanan datang!"

Aku melihat salah satu rekanku baru tiba dari luar dengan membawa beberapa tas karton. Dia kemudian membawanya ke ruangan. Kami akan makan malam bersama hari ini, seperti biasa. Aku lantas menyusul ke ruangan, di mana yang lainnya sudah berkumpul.

"Apa menu hari ini?" tanyaku setelah meletakkan iPad ke atas meja.

"Kebab." Ari, salah satu dari dua pegawaiku yang di butik dulu, menjawab sembari menyodorkan satu untukku. "Khusus untukmu, full daging," sambungnya dengan nada yang riang. Dia masih mengingat kesukaanku yang satu itu.

Sayangnya, aku tidak begitu merasa senang begitu aromanya menusuk hidungku. Tadi tidak begitu tercium karena masih dibungkus, tetapi saat kubuka, perutku langsung bereaksi. Astaga. Jangan bilang ini karena pengaruh hormon kehamilan? Aku bahkan menutup hidung dengan tangan seolah-olah baunya memang seburuk itu.

"Um, boleh bertukar dengan yang isi sayur? Aku tidak sedang ingin makan daging sekarang."

Ari memandangku dengan sorot rasa bersalah. "Maaf, satu-satunya yang isi sayur hanya punya Emma."

"Kau mau ini? Tapi sudah kugigit."

Aku tidak peduli entah itu bekas atau tidak. Milikku langsung kusodorkan padanya tanpa mengatakan apa-apa. Yang kupikirkan hanya bagaimana menyingkirkan kebab isi daging ini.

"Tidak masalah." Setelah Emma menerima milikku, aku langsung mengambil miliknya. "Terima kasih, Em. Aku akan makan di luar. Tolong setelah selesai nanti ruangannya disemprotkan pengharum, ya. Hidungku sedang sensitif saat ini."

Setelah itu aku segera keluar dan tidak lupa menutup pintunya. Udara di luar jauh lebih menyegarkan dan aku sampai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya seolah-olah aku tidak bernapas selama di dalam tadi.

Tunggu. Mereka tidak akan menyadari kalau itu efek dari sebuah kehamilan, 'kan?

•••

Aku munculin Ava karena lagi kangen dia hehe.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
6 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top