54 - Ultrasound Check

Selama beberapa minggu ke belakang, aku sama sekali tidak punya keluhan apa-apa terkait kehamilan ini. Namun, begitu aku mengetahuinya, muncul perasaan gelisah yang membuat perut bergejolak. Pagi ini aku dibangunkan oleh rasa mual, seperti ada sesuatu di kerongkonganku yang berontak meminta dikeluarkan. Di toilet kamar Killian, aku berusaha mengeluarkan isi perutku, tetapi tidak ada yang keluar dan menyisakan rasa sakit di dada. Mungkin ada lima belas menit aku seperti itu sampai akhirnya Killian bangun dan menanyakan kondisiku.

Sayangnya, berat sekali mengakui kalau aku sedang mengandung anaknya. Aku hanya memberi tahu kalau perutku mual karena apa yang kumakan semalam. Dia kemudian memaksa untuk membawaku memeriksakan diri ke dokter, tetapi aku menolak. Beruntungnya, telepon dari Gabby di ponselnya menyelamatkanku. Untuk yang pertama kalinya, aku bersyukur wanita itu mengusik waktu kami. Killian bergegas bersiap untuk berangkat kerja setelahnya.

Oleh karena mual yang kurasakan pagi ini, sekaligus memeriksa kembali menggunakan dua buah test pack dengan hasil yang tidak berbeda dari kemarin, aku pergi menemui dokter spesialis kandungan. Apotek tempat aku membeli alat tes merekomendasikan dokter ini, dr. Shemira namanya. Dia seorang wanita kira-kira di usia empat puluhan awal dengan riasan yang sederhana.

"Jika menghitung dari HPHT¹, kehamilan Anda sudah memasuki usia delapan minggu. Tapi untuk lebih pastinya lagi, bisa dengan melakukan pemeriksaan USG."

Dia dokter yang ramah, senyumnya cukup berhasil meringankan rasa gugup yang menyerangku sejak tiba di tempat praktiknya setengah jam lalu. Namun, delapan minggu itu adalah dua minggu sebelum aku melakukannya dengan Killian. Kalau aku ingin memberi tahu pria itu kalau di perutku ada anaknya, aku harus memastikannya lewat pemeriksaan USG.

"Sekalian periksa USG saja, Dokter."

dr. Shemira meminta asistennya untuk mempersiapkan ruang pemeriksaan. Selagi menunggu, kami mengobrol. Dia bertanya apakah aku mengalami tanda-tanda kehamilan sebelum memeriksakannya, tetapi aku tidak merasakannya selain keterlambatan menstruasi serta mual yang baru kurasakan hari ini. Dia menegaskan kalau itu normal dan menambahkan bahwa mudah lelah juga merupakan salah satu tandanya. Bodohnya aku mengira itu karena faktor stres.

Kemudian hal-hal aneh yang kualami, aku baru menyadari kalau gampang tidur dengan aroma Killian di sekitarku juga termasuk salah satunya. Itu bukan gangguan tidur, tetapi karena pengaruh meningkatnya hormon selama kehamilan. Maksudku, sebelum ini aroma Killian biasa saja, tidak begitu menenangkan.

"Apa memungkinkan terjadi pembuahan meski baru sekali melakukannya, Dok?"

dr. Shemira tertawa pada pertanyaanku. "Tentu saja bisa terjadi, apalagi jika tidak pakai pengaman."

Itu dia! Aku tidak ingat apakah Killian membungkus miliknya dulu sebelum memasukiku. Aku tidak terlalu memperhatikannya apalagi ketika pikiranku sudah teralihkan sepenuhnya oleh sentuhan-sentuhan yang membuat diriku serasa melayang di udara. Sungguh insiden yang tidak dipersiapkan sama sekali. Lagi pula, aku juga yang memancingnya untuk tidak menahan diri. Padahal dari awal pernikahan kami, Killian sudah menegaskan tentang penggunaan kontrasepsi jika kami ingin melakukannya. Dan lagi, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Killian karena dia sudah berusaha memastikan apakah aku yakin untuk meneruskannya.

"Apa karena kecelakaan?"

Dia menyadari keraguanku akan situasi ini, bahkan cara bertanyanya sangat hati-hati. Aku buru-buru melambaikan tangan untuk memberitahu kalau itu tidak benar. Perutku bergejolak hanya karena seseorang memikirkan aku melakukan hal seperti itu di luar pernikahan. Aku tahu itu umum terjadi di sini, apalagi untuk dua orang yang berkencan, tetapi tidak bagiku yang belum pernah punya kekasih ini.

"Aku ... sudah menikah. Ini hanya ... terlalu cepat, di luar rencana kami."

"Kalau begitu suamimu mungkin berubah pikiran. Siapa yang tidak mau punya anak dari seorang wanita cantik." dr. Shemira tersenyum, mungkin bermaksud untuk menenangkanku, lalu berdiri. "Ayo, ruangannya sudah disiapkan."

Aku mengikuti dr. Shemira ke ruangan sebelah. Langkahku sempat terhenti ketika melihat ada beberapa wanita hamil lainnya yang sedang menunggu giliran diperiksa. Aku yakin tadi tidak sebanyak ini. Sebagian besar sudah besar perutnya. Namun, satu hal yang menyentil hatiku adalah, wanita-wanita itu tidak datang seorang diri. Mereka didampingi, entah itu bersama pasangan, atau kerabat terdekatnya. Untuk pemeriksaan lanjutan, aku tidak tahu akan mengajak siapa nanti.

"Nyonya Patterson?"

dr. Shemira memanggilku dari ruang pemeriksaan USG. Aku sengaja mendaftarkan diri dengan nama belakang Killian sebagai bukti kalau aku sudah menikah. Aku hanya malu kalau dikira hamil di luar menikah.

Aku segera menghampiri dr. Shemira begitu kewarasanku kembali sepenuhnya. Setelah aku masih ada wanita hamil lain yang akan diperiksa, jadi aku tidak bisa membuat mereka menunggu lebih lama.

Di dalam ruang pemeriksaan, debar jantungku menggila. dr. Shemira memintaku berbaring di atas ranjang yang di sebelah kirinya terdapat mesin USG dan sebuah kursi untuk dia duduk. Tidak lupa kulepas dulu mantelku dan meletakkannya di sebuah meja bersama tasku. Setelah itu asisten yang tadi membantu menyiapkan ruangan ini menutupi kaki sampai pinggangku dengan selimut. dr. Shemira memasang sarung tangan selagi aku dibantu asistennya mempersiapkan diri.

"Boleh buka bajunya di bagian perut, Nyonya?"

"Oh, iya." Kabar baik aku memakai sweter dengan celana kulot hari ini. Tidak sulit untuk menyingkap bajuku. Aku makin gugup ketika dia mengoleskan gel yang memberi rasa dingin di perutku.

dr. Shemira sekali lagi memberi senyum yang menenangkan dan mulai menggerakkan transduser² di perutku. Aku menelan ludah berkali-kali, menahan otot-otot perutku agar tidak mengencang karena ketika alat itu berada di atas perutku, rasanya menggelikan.

"Lihat ini, Nyonya." Dia menunjuk monitor di hadapannya agar aku turut melihatnya. "Bagian oval yang hitam ini rahim, tempat janin akan bertumbuh. Yang ini ... ." dr. Shemira menunjuk lingkaran tidak teratur di dalam rongga hitam yang dia jelaskan sebelumnya. "Ini janinnya, masih seukuran kacang polong, sangat kecil. Diperkirakan usianya masih enam minggu."

Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Sampai tadi pagi aku masih tidak percaya kalau di dalam perutku akan ada kehidupan, tetapi setelah melihatnya sendiri, meski belum jelas bentuknya, ada perasaan takjub yang mengisi rongga dalam dadaku.

"Lihat bagian yang seperti berkerlip-kerlip ini?"

Aku mengiakan.

"Ini detak jantungnya. Sejauh ini janin Anda berkembang cukup baik. Anda bisa datang satu bulan sekali untuk memeriksakan perkembangan, atau segera temui untuk berkonsultasi jika muncul masalah kehamilan."

Perhatianku masih terpaku pada monitor USG, tetapi telingaku masih mendengarkan dengan baik apa yang dr. Shemira katakan padaku. Dan aku juga berterima kasih padanya.

Perasaan ini, aku tidak tahu bagaimana menjabarkannya. Bahkan meski masih berbentuk kacang polong, itu terlihat sangat indah. Makin lama memandangi kerlip-kerlip yang merupakan detak jantungnya perlahan-lahan melenyapkan penolakan terhadap kehadirannya. Sejak dulu, aku tidak pernah mengira akan menikah di bawah usia tiga puluh, apalagi sampai mengandung. Ada terlalu banyak cerita orang-orang yang impiannya terhambat karena kehadiran anak. Membesarkan manusia dan memenuhi kebutuhannya tidaklah mudah, bahkan Mom saja tidak bekerja agar dapat mengurus kami.

Aku takut, kehamilan ini akan membuatku tidak mampu meneruskan mimpiku. Namun, aku juga tidak tega mengakhiri hidupnya sesingkat ini. Aku mulai menantikan perkembangannya dari kacang polong sampai menjadi bayi dengan organ lengkap. Mungkin akan sangat menakjubkan kalau aku berhasil menjaganya selama sembilan bulan penuh di dalam perutku.

•••

Hari ini aku tidak pergi ke Macy's dengan alasan untuk istirahat. Seperti biasa, Emma akan sangat sibuk untuk menggantikan posisiku. Untuk pesanan pelanggan juga tidak dikerjakan hari ini mengingat stok sisa sedikit dan masih menunggu pengiriman dari butik lamaku. Dalam situasi seperti ini, aku belum siap bertemu siapa pun. Aku tidak tahu harus merasa senang atau kacau. Bukan hanya tidak siap menerimanya, aku bahkan tidak mempersiapkan reaksi atas kondisiku sekarang.

Aku tidak ingin pulang dulu, tetapi mobilku sudah telanjur kukemudikan memasuki kompleks kediaman kami. Di rumah, aku mungkin akan terus memikirkan bagaimana cara memberi tahu Killian. Jika mengingat kembali pembicaraan kami dulu, tentang hubungan suami istri dan penggunaan kontrasepsi, sudah jelas berarti kalau Killian tidak akan siap dengan kehadiran anak, apalagi bersama wanita yang tidak dia cintai. Kalau saja malam itu aku tidak memancingnya, kalau saja malam itu aku membiarkan dia tertidur di sofa sampai pagi, ini pasti tidak terjadi.

Namun, kenapa Killian mau pertama kalinya dilakukan bersamaku, padahal ada Gabby yang jelas-jelas adalah wanita yang dia cintai? Dia juga tidak memberiku alasan yang jelas, atau aku yang takut mendengar alasannya yang sebenarnya? Terlalu banyak hal yang mengganggu pikiranku, pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku dan membuatku makin tidak ingin pulang.

Seandainya Killian menerima kehadiran anak ini, tetapi memutuskan untuk membesarkannya bersama Gabby, apakah aku sanggup?

Tidak, tidak. Itu mungkin akan meringankan bebanku dan bisa lebih fokus dengan impianku. Namun, aku tidak bisa membayangkan jika janin seukuran kacang polong ini menganggap orang lain sebagai ibunya. Jantungnya berdetak bersamaku, seirama. Itu berarti dia adalah milikku, dan akan selamanya begitu. Bahkan jika pada akhirnya Killian menceraikanku, aku tidak akan menyerahkan ini padanya tidak peduli kalau dia adalah ayahnya.

Aku sudah berpikiran terlalu jauh padahal ini baru berusia enam minggu.

Aku menepikan mobil di taman kompleks. Kuharap menikmati udara peralihan musim dingin ke musim semi akan membuatku merasa sedikit lebih tenang. Di sini sangat sepi, cocok untukku yang ingin menyendiri. Sebuah kursi yang menghadap wahana bermain anak-anak menjadi pilihan untuk kududuki. Tadinya aku berniat begitu, tetapi aku justru menemukan seorang wanita yang kukenal sedang menempati kursi lain dengan sebuah buku di tangannya. Terakhir aku bertemu dengannya, dia bersama anak perempuannya, tetapi kali ini dia hanya sendirian. Dia pernah bercerita tentang mimpinya yang terhambat karena kehadiran putrinya, dan itu memunculkan keinginan untuk bertanya tentang pengalamannya saat hamil dulu. Tentunya tanpa menceritakan kalau aku sedang hamil.

"Halo." Aku menyapanya, dengan senyum yang rasanya agak canggung.

Dia mendongak untuk menatapku. Keningnya berkerut sebentar, seperti sedang mengingat sesuatu, tetapi kemudian tergantikan oleh senyuman ramah. "Oh, hai. Ana, 'kan?"

Aku mengangguk. "Maaf sudah mengganggumu."

"Sama sekali tidak mengganggu. Duduklah," katanya sembari memindahkan tasnya ke sisi lain. Aku menempati ruang kosong di sebelah kanannya.

"Kau menggambar dengan baik." Aku tidak biasa memuji seseorang yang tidak kukenal begitu dekat, jadi itu terdengar agak aneh.

"Masih jauh dari itu. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Menjelang Natal lalu aku ingin mengundangmu untuk makan malam besar, tapi rumahmu kosong." Dia, Jasmine, menutup buku sketsanya untuk mengobrol denganku.

"Baik. Maaf, kami tidak datang, waktu itu kami pulang ke rumah orang tua kami. Bagaimana dengan kabarmu?"

"Kami baik-baik saja. Tidak apa-apa, masih ada tahun depan, kami akan mengundang kalian. Tentunya kalau kalian masih tinggal di sini." Jasmine adalah versi wanita dari Allen, penuh dengan aura positif dan menyenangkan.

Sayangnya, keramahan itu hanya kubalas dengan anggukan ringan dan senyum tipis.

"Apa kau masih di Macy's? Aku ingin mampir kapan-kapan, tapi kuharap kau tidak keberatan kalau kunjungan pertamaku hanya untuk melihat-lihat."

Aku bergumam, di dalam kepala menghitung sudah berapa lama aku di sana dan berapa lama lagi waktu yang tersisa. Lantas itu menyadarkanku kalau harus segera mencari tempat baru untuk pindah. "Kira-kira setengah tahun lagi kontraknya habis. Semua orang datang untuk melihat-lihat dulu, aku tidak bisa memaksa orang-orang yang datang untuk langsung membeli. Itu pemaksaan namanya, bukan berdagang."

Jasmine tertawa renyah pada gurauanku yang tidak lucu. Dia andal membuat seseorang merasa begitu dihargai.

"Aku malu, padahal bertetangga, tetapi tidak mendukung usahamu."

"Membeli produkku bukan satu-satunya cara untuk mendukung." Ini bukan topik pembicaraan yang kuinginkan, tetapi aku tidak bisa menghindarinya.

"Kau benar. Kalau kau punya foto atau semacamnya, kirim saja padaku. Aku jago mempromosikan barang ke orang lain." Dia mengedipkan sebelah matanya.

"Akan kupertimbangkan nanti." Aku menghela napas, seolah-olah sedang memberi jeda, padahal hanya akal-akalanku agar bisa mengganti topik pembicaraan ini dengan hal lain. "Kau sendirian? Di mana putrimu?"

"Suamiku mengajaknya pergi jalan-jalan agar aku bisa melakukan ini." Dia mengangkat buku sketsanya dengan senyum lebar. "Kau ingat aku pernah bercerita tentang mimpiku menjadi seorang pelukis, bukan? Aku memberi tahu suamiku kalau ingin meneruskan mimpiku, dan dia sangat mendukung. Dua hari dalam seminggu, aku bebas dari tugas mengurus anak, dan aku memanfaatkannya dengan mengikuti kelas melukis. Jadwalnya sore ini."

"Wow. Kau beruntung memiliki suami sepertinya." Aku tidak bisa tidak ikut tersenyum ketika Jasmine melakukannya. Aku bisa melihat dari matanya kalau pernikahannya sangat berhasil, dia bahagia.

"Aku yakin kau juga akan menemukan satu yang seperti itu. Pria yang mencintaimu, tidak akan menghalangi mimpimu selagi itu bukan sesuatu yang buruk. Dia akan menjadi support system nomor satu dalam hidupmu."

Support system nomor satuku adalah Killian. Dia adalah orang pertama yang memuji sketsa busana pertamaku yang masih jelek. Namun, dia bukan pria yang mencintaiku. Killian adalah seorang yang tumbuh dan berkembang bersamaku dengan embel-embel sahabat. Seandainya aku jatuh cinta lebih cepat dan mengungkapkannya lebih cepat, apakah hubungan kami akan berubah? Bisakah dia menjadi pria yang mencintaiku sekaligus support system nomor satu seperti yang Jasmine katakan?

Entahlah, aku tidak yakin.

"Saat tahu bahwa kau hamil dulu, bagaimana perasaanmu? Maksudku, efeknya " Masih jauh untuk langsung menanyakan hal itu sebenarnya, tetapi aku tidak bisa membiarkan diriku terus memikirkan tentang tentang Killian.

"Dulu ... aku juga sependapat denganmu, menganggap bahwa anak adalah penghambat mimpiku. Apalagi saat hamil, sistem tubuh menjadi kacau, peningkatan hormon yang memicu perubahan mood sangat drastis. Aku tidak bisa benar-benar fokus melakukan apa yang kumau. Saat perutku besar, tidur saja rasanya tidak nyaman. Hei, ini bukan bermaksud untuk menakutimu, ya."

Aku mengangguk sembari tersenyum, berusaha bersikap kalau itu sama sekali tidak memengaruhiku meski kenyataannya itu mulai menggangguku.

"Akhirnya aku menganggap masa kehamilanku sebagai waktu untuk beristirahat dari obsesi untuk meraih sesuatu. Itu sembilan bulan yang menyiksa, tetapi semuanya terbayar lunas oleh mata si kecil yang berbinar saat menatapku. Semua orang bahagia menyambut kehadirannya. Putriku adalah anugerah terindah yang pernah kudapatkan. Dia adalah buah dari perasaan cinta kami, bukan penghambat. Lagi pula, kesuksesan lebih baik dirayakan bersama-sama orang yang kau cintai."

Jasmine tiba-tiba menyentuh tanganku yang berada di pangkuan.

"Pada intinya, selagi kau masih bernapas, tidak ada alasan untuk berhenti meraih mimpimu." Dia baru tersenyum ketika mengatakan itu, tetapi dahinya tiba-tiba berkerut seperti sesuatu baru saja melintas di pikirannya. "Kenapa bertanya? Apa kau berencana menikah tapi takut suamimu akan meminta agar kau segera hamil?"

Aku menganga sebagai reaksi atas pertanyaannya. Kata-kata 'aku sudah menikah' nyaris meluncur dari mulutku seperti ketika aku mengatakannya pada dr. Shemira tadi.

"Aku hanya penasaran. Ya ... sekaligus untuk mempersiapkan diri juga. Siapa tahu tahun depan aku akan menikah." Gelagatku makin terlihat aneh begitu ucapanku diiringi oleh tawa yang garing. Aku langsung membuang muka karena Jasmine tidak berhenti menatapku dengan ekspresi bingung yang sama dengan saat dia bertanya.

"Semoga dia adalah orang yang tepat untukmu, Ana."

•••

Aku pulang ketika hari sudah sore. Langit berwarna jingga gelap, dan awan berwarna kelabu. Akan turun hujan malam ini, sepertinya. Setelah mengobrol dengan Jasmine di taman tadi, aku pergi membeli beberapa vitamin untuk menunjang kehamilanku di sebuah pusat perbelanjaan. Selama berkeliling, aku juga mempertimbangkan apakah aku perlu memberi tahu Killian soal kehamilanku atau tidak. Dia ayahnya dan perlu untuk tahu. Aku juga mencetak foto USG untuk diperlihatkan padanya. Dengan begitu, dia akan percaya. Lebih cepat lebih baik, kupikir begitu.

Sayangnya, aku harus mengurungkan rencanaku ketika menemukan dia mengundang Gabby ke rumah. Keduanya bahkan memasak untuk makan malam bersama. Mereka menikmati waktu yang berkualitas dan aku tidak ingin mengganggu, apalagi dengan kabar kehamilan. Meski di lain sisi, aku masih kesal dengan perkataan Gabby saat di teater dan sangat ingin membalasnya. Akan kucari lain waktu saja, ketika aku sudah benar-benar siap untuk berpisah dari Killian.

Untuk saat ini, hindari mereka dan langsung ke kamar saja. Namun, rumah ini tidak cukup besar untuk membuat mereka tidak menyadari kehadiranku.

"Hei, Ana!"

Parahnya, Killian-lah yang memanggil.

"Ya?" Aku hanya diam di depan tangga, sama sekali tidak ada keinginan untuk menyusul.

"Mau bergabung makan malam bersama kami?"

Aku berusaha menyembunyikan tas belanjaanku ketika Killian berjalan mendekat. Matanya berbinar, tetapi aku sudah tidak lagi merasa terluka oleh fakta kalau dia sedang berbunga-bunga.

"Aku lebih suka makan malam yang tidak menjadikanku sebagai orang ketiga." Aku memandang Killian yang tidak bisa berkata-kata. "Tidak. Aku sudah makan dan ingin beristirahat saja. Nikmati waktu kalian."

Aku menatap Gabby dan melambai sebagai bentuk ramah tamah. Percayalah, senyumku padanya saat ini palsu.

Tanpa menunggu reaksi Killian, aku berbalik dan menaiki tangga. Sepertinya kehamilan ini mulai bereaksi pada tubuhku. Hidungku mulai sensitif terhadap bebauan yang memicu rasa mual, dan penyebabnya adalah aroma kehadiran Gabby.

•••

HPHT¹ = Hari pertama haid terakhir.
Transduser² = atau Probe; Komponen mesin USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang sedang diperiksa. Pada USG kehamilan, benda ini adalah yang biasa digerakkan dokter di atas perut wanita hamil.

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
2 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top