53 - Weird Behavior
Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini membuatku tidak bisa tidur. Kukira akan lebih melegakan setelah mengatakan yang sejujurnya pada Allen tentang situasi kami, tetapi aku masih belum mampu menyingkirkan rasa bersalah ini. Apakah kepada Allen karena aku tidak mengatakannya lebih awal hingga dia telanjur merasakan sesuatu padaku, atau kepada Killian karena melanggar janji tidak menceritakan tentang pernikahan kami pada siapa pun. Namun, aku tidak bisa seperti dirinya, yang menjadikan pernikahan ini sebagai jembatan untuk menemui wanita yang dicintainya.
Kenapa hal itu justru terasa sulit bagiku?
Sudah setengah jam aku memejamkan mata. Berbagai posisi tidur yang nyaman juga sudah kucoba, tetapi rasa kantuk itu tidak kunjung tiba. Menonton TV juga akan membuatku terus terjaga. Membaca buku bisa jadi alternatif, tetapi aku yakin tidak akan bisa fokus ketika kepalaku sedang dilanda kekacauan. Katanya minum susu bisa mempercepat rasa kantuk, tetapi aku tidak yakin perutku masih menampung satu gelas susu lagi.
Satu-satunya jalan terakhir untuk mengatasi situasi ini adalah dengan menemui Killian. Kami akan mengobrol, tentang apa saja, sampai lelah dan mengantuk. Kuharap dia masih terjaga dan tidak sedang sibuk dengan pekerjaan atau mengobrol bersama Gabby. Bahkan jika dia memang sibuk pun, aku akan tetap berada di sebelahnya. Begitu memikirkannya, keinginan untuk mendatangi kamarnya pun makin besar.
Aku mematikan semua lampu di kamarku dan meninggalkan ponsel yang sedang diisi dayanya di atas nakas. Bersama boneka Laa Laa pemberian Killian yang sudah cukup jelek, aku pergi ke kamarnya.
"Killian?"
"Masuk saja," sahutnya dari dalam kamar. Aku lega dia belum tidur.
Aku membuka pintu kamarnya dan masuk. Killian duduk berselonjor kaki di kasur dengan remote TV di tangan. Dia sedang bersantai sembari menonton film laga. Biasanya aku akan melompat ke kasurnya, tetapi aku tidak bisa melakukannya sejak kebersamaan kami terus diselimuti kecanggungan. Bahkan dengan aku tiba-tiba melompat ke sebelahnya akan terasa lebih aneh lagi.
Malam panas kami di Napa Valley benar-benar menyisakan perasaan yang menyebalkan.
"Sudah jam satu lewat, kau belum tidur?"
Peganganku pada boneka mengerat, kemudian tengkuk yang tidak gatal juga kugaruk pelan. Aku sudah malu meski belum mengatakannya. "Aku tidak bisa tidur. Bisa temani aku bicara?"
Killian tidak mengatakan apa-apa, tetapi menyibakkan selimut di sisi kosong kasurnya. Dia memintaku untuk berbaring di sana hanya dengan isyarat gerakan dagu. Tanpa membuang waktu, aku segera naik dan berbaring. Killian yang awalnya duduk tegak lantas ikut berbaring, tetapi dengan dua bantal yang ditumpuk agar bisa lebih nyaman menonton TV.
"Kau tidur dengan boneka itu lagi."
Boneka Laa Laa pemberiannya kupeluk erat di dadaku, padahal sebelumnya hanya kusimpan di lemari. "Sudah beberapa hari ini. Entahlah, hanya ingin."
Killian memandangi bonekaku sedikit agak lama, padahal di TV sedang ada adegan perkelahian yang sengit. Biasanya dia tidak akan melewatkan itu setiap menonton film laga. Entah apa yang menarik dari boneka ini sampai dia menghabiskan lima detik penuh hanya untuk menatap. Kukira dia akan mengatakan sesuatu, tetapi matanya justru kembali ke TV.
"Bagaimana kencanmu tadi?"
Killian menanyakan sesuatu yang aku sendiri enggan memikirkannya lagi.
"Baik-baik saja." Aku membalas sekenanya dan berpura-pura fokus pada film meski aku tidak mengerti apa yang dibicarakan para pemainnya.
"Tidak seperti itu cara menjelaskan kalau kencannya berjalan dengan baik." Dia kemudian mematikan TV menggunakan remote. Aku ingin bertanya kenapa dia dimatikan, tetapi tidak jadi bicara karena dia memiringkan badan menghadapku. "Kita sama-sama tahu kau tidak suka film laga."
Tidak ada lagi sanggahan untuk itu. Berpura-pura kalau aku menikmati filmnya hanya akan membuatku terlihat bodoh. Aku turut memiringkan badan hingga kami kini berhadap-hadapan. Posisi ini agaknya sedikit terlalu dekat, sebab udara yang kuhirup hampir sepenuhnya beradu dengan aroma Killian. Apa aromanya selalu semenenangkan ini? Atau ini hanya karena sudah lama aku tidak berdekatan dengannya?
"Kami hanya pergi menonton teater lalu mampir makan burger. Itu ... cukup menyenangkan."
"Berarti ada rencana kencan selanjutnya?"
Dengan obrolan terakhir kami tadi, rasanya tidak mungkin akan ada kencan lanjutan. Allen memang menanggapinya dengan baik, bahkan berkata kalau aku bisa mengandalkannya, tetapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia kecewa. Setidaknya dia masih menegaskan kalau tidak akan ada yang berubah di antara kami. Kami masih berteman dan aku masih boleh meminta bantuannya jika dibutuhkan. Namun, aku pasti akan merasa segan untuk meminta tolong padanya.
Aku memikirkan semua itu sambil menggumam panjang, agar Killian tidak menyadari kalau aku perlu jawaban bagus untuk menutupi sebuah kencan yang gagal.
"Kami belum membicarakannya sampai sana."
Kami sama-sama diam. Killian memandangku cukup lama entah apa alasannya. Yang kutahu hanya sesuatu sedang mengacau isi kepalanya, sekacau rambutnya sekarang. Aku mengeratkan pelukan pada boneka demi menahan tangan ini agar tidak merapikan rambutnya.
"Aku bertemu Gabby di teater tadi." Pemilihan topik yang tepat, dia mengerjap begitu kusebutkan nama kekasihnya. "Dia bersama dua orang temannya."
"Ya. Aku tahu dia pergi hari ini." Matanya yang sempat berbinar seketika sirna begitu dia berkedip. "Dia mungkin kesal karena aku menolak ajakannya."
Dan Gabby melampiaskan kekesalannya padaku. Benar-benar momen yang sempurna.
"Itukah yang membuatmu menjadi murung?"
Dahinya lantas berkerut, seperti tidak percaya kalau aku memang melihatnya berwajah agak murung. "Apa terlihat seperti itu?"
"Sedikit?" Aku bahkan menunjukkan bagaimana 'sedikit' itu dengan dua jariku.
"Proyek yang sedang kami kerjakan lumayan rumit, tapi aku harus menyelesaikannya sebelum Valentine."
"Itu, kan, sepuluh hari lagi?"
Aku tidak tahu berapa lama seorang programmer mengerjakan sebuah sistem, atau aplikasi, atau apa pun itu yang mereka kerjakan, tetapi biasanya perlu waktu yang lama meski hanya sebuah aplikasi sederhana. Seandainya Killian bukan pekerja kantoran, dia mungkin tidak akan memperhatikan penampilan dirinya. Lihat saja Jaden, urak-urakan dan panjang rambutnya melebihi bahu.
Tawa Killian terdengar lemah dan berat. "Gabby memintaku mengajaknya berlibur ke Napa. Dia bahkan sudah memesan tiket pesawat."
"Ouch." Itu reaksi yang tidak sengaja kuberikan, yang kuharap tidak terdengar seperti ejekan. "Memangnya kau boleh cuti lagi?"
"Tanggal empat belas bertepatan dengan hari Minggu. Kalau kami berangkat Sabtu, aku hanya akan libur di hari Senin. Yah, tidak perlu lama-lama."
Aku menggigit jari karena rasa cemas yang tiba-tiba menyerangku.
Bersama kekasih di hari Valentine, yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang, tentunya ada banyak hal yang akan mereka lakukan. Dan aku takut dia juga akan melakukan itu bersama Gabby. Napa Valley dengan keromantisan atmosfernya, dengan ikatan sekuat itu, mereka tidak akan bisa menghindari pengaruhnya.
"Sebenarnya aku mengkhawatirkan sesuatu, Ana. Bolehkah kutanya?" Killian akan berkali-kali lipat lebih seksi jika bicara dengan logat British-nya.
"Ya?"
"Apa kau baik-baik saja?"
Pertanyaannya seperti tombak yang dilemparkan dan tepat sasaran. Itu menghantam tepat di dadaku. Ketakutan dan perasaan cemas itu meledak-ledak di sana. Aku berharap semuanya kembali seperti dulu, ketika meluapkan semuanya terasa begitu mudah, tanpa harus membayangkan seburuk apa reaksi yang akan kuterima setelahnya. Terlebih lagi ketakutan kecemasan itu bersumber dari apa yang kurasakan padanya.
Aku menunduk menatap dadanya yang berbalut kaus putih polos. Dada itu keras dan lebar, tempat ternyaman untuk bersandar.
"Akan lebih baik kalau aku segera tidur," kataku pada akhirnya. Dia akan menganggap bahwa aku terlihat tidak baik karena sedang mengantuk, bukan?
"Ya, benar. Sudah mau jam dua pagi. Ayo tidur, aku akan memelukmu."
•••
Apa aku mulai mengalami gangguan tidur?
Aku kesulitan tidur sendirian dan langsung terlelap begitu berbaring di sebelah Killian. Meminta tidur di kamarnya pertama kali tanpa disadari membuatku menjadi ketergantungan. Berhari-hari setelahnya aku terus memintanya agar memelukku sampai tertidur. Kupikir hanya sampai aku terlelap dia bisa pergi, tetapi aku justru terbangun dan menyusul ke kamarnya. Aroma Killian membuat tidurku jauh lebih berkualitas dan itu sangat aneh. Ini adalah pengalaman pertama aku seperti itu. Beruntungnya, Killian tidak pernah merasa risi atau keberatan melakukannya untukku.
Tadi malam pun sama. Aku sudah membeli obat tidur agar bisa tertidur tanpa bergantung pada Killian lagi. Apalagi dia lembur di kantor demi mencapai target. Tidak mungkin kuminta Killian pulang cepat hanya agar aku bisa tidur cukup. Itu bisa mengusik kinerjanya.
Obat tidur itu akhirnya tidak jadi kuminum karena aku takut ketergantungan. Dan sebelum Killian menemukannya, aku sudah membuangnya ke toilet. Dia akan mengomel seperti seorang motivator kesehatan kalau tahu aku membelinya.
Aku sering begadang, tetapi tidak pernah sampai membuatku sekacau ini, apalagi sampai membutuhkan Killian untuk tidur di sebelahku. Mungkinkah ini terjadi pada dua orang yang pernah berhubungan badan sebelumnya?
"Ana, kau sungguh terlihat kacau. Lihat mata panda itu." Emma yang sedang berdiri di depan meja lantas melempar satu paket pesanan pelanggan dan aku berhasil menangkapnya. Paket tersebut kemudian kumasukkan ke kotak yang lebih besar di sebelahku duduk untuk nantinya diserahkan ke kurir. Hari ini adalah gilirannya membantuku di rumah untuk mengemas pesanan pelanggan.
"Aku tidak bisa tidur semalaman dan berhasil menyelesaikan membaca satu novel." Aku tertawa garing. "Itu pencapaian baru selama hidupku."
Namun, Emma tidak sama semringahnya denganku. "Kau perlu memeriksakan diri, Sayang. Aku tahu kita sedang sangat repot akhir-akhirnya, tapi cobalah untuk libur dan beristirahat sesekali."
Itu nasihat yang sama dengan yang kudengar dari Killian seminggu lalu, tetapi tidak kunjung kulakukan. Hingga akhirnya kudengar lagi dari Emma.
"Begitu situasi ini terkendali, aku berjanji akan istirahat. Benar-benar istirahat dan akan membuatmu sangat repot." Aku berlagak serius saat mengatakannya. Namun, Emma tahu itu hanya gurauan dan hanya berdecih setelahnya.
"Aku pantas menerima kenaikan gaji untuk itu. Kau pasti setuju, 'kan?"
Aku mengulum bibir karena tidak ingin mengatakan kalau itu benar. Lalu bertingkah seolah-olah aku baru saja mendengar suara penyengat terbang di sekitarku.
"Astaga. Kau tidak harus bersikap seperti itu, Ana." Dia melemparkan paket lagi. Aku hampir kewalahan, tetapi masih berhasil menangkapnya. Tentunya bukan lemparan yang keras, hanya lemparan ringan untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan lebih cepat.
"Seharusnya kau tidak bertanya, Em."
"Ya, ya, ya. Ngomong-ngomong, boleh kupinjam toiletmu?"
Aku menunjuk pintu menuju dapur. "Di ujung sana ruang mencuci, toiletnya ada di seberang."
Emma berterima kasih dulu sebelum kemudian pergi meninggalkanku. Sementara dia mengurus pembuangan, aku mengisi kotak besar tadi dengan paket-paket kecil hingga penuh. Kemudian menutupnya dan menempel lakban agar tidak terbuka lagi. Kurir yang mengambil nanti tidak akan kerepotan membawanya. Begitu sampai di kantornya, baru tim yang bertugas akan mendata ulang tujuan paket berdasarkan keterangan yang ditempel di luar kotak paket.
Aku baru meraih satu kotak besar lagi ketika Emma kembali ke garasi.
"Maaf, Ana, tamu bulananku datang lebih cepat dari yang terjadwal. Boleh aku minta pembalut? Atau tampon? Atau apa pun yang biasa kau pakai?"
"Aku hanya memakai pembalut. Sebentar kuambilkan di kamar, sepertinya ada sisa."
"Terima kasih, Ana. Kau yang terbaik."
Aku berjalan cepat ke kamarku. Terakhir aku menyimpannya di lemari di kamar mandiku. Rasanya masih ada sisa. Aku akan mengambilnya sekaligus memeriksa kapan tamu bulananku selanjutnya akan datang di aplikasi yang terpasang di ponsel. Namun, langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar begitu sadar tamu bulananku tidak datang bulan lalu, bahkan terakhir kali adalah hampir dua bulan yang lalu.
Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Siklus menstruasiku selalu teratur, bahkan saat stres berat hanya terlambat paling lama satu minggu. Akhir-akhir ini memang melelahkan, sampai-sampai tidak sadar kalau menstruasiku terlambat datang. Atau mungkinkah ... .
Aku buru-buru memasuki kamar, tetapi alih-alih mengambil pembalut untuk Emma, aku justru meraih kunci mobilku dan jaket, tidak lupa dompet juga. Daripada aku terus dibayang-bayangi dugaan tidak jelas, akan lebih baik kalau langsung memeriksanya. Setelah mendapatkan yang kuperlukan, aku kembali mendatangi Emma.
"Em, maaf, ternyata aku kehabisan pembalut. Bisa tunggu sebentar? Aku akan membelinya dulu. Ukuran celana dalammu? Biar sekalian kubelikan?"
Emma menganga pada caraku berbicara yang terburu-buru. Rasa panik mulai mengambil alih kendali atas diriku.
"Tidak apa-apa, pembalutnya saja. Tapi kau yakin akan pergi keluar? Aku yang butuh, seharusnya aku saja." Dia mengatakan itu sembari berjalan menghampiriku.
"Tidak apa-apa. Aku juga perlu membelinya untuk stok di rumah. Kutinggal dulu, bye."
Aku tidak memberi Emma kesempatan untuk mengatakan apa-apa lagi dan segera memasuki mobil. Tujuanku sekarang adalah apotek. Namun, sebelum itu, aku mampir dulu ke sebuah minimarket dan membeli sebotol air mineral. Di mobil, aku menenggaknya sampai habis. Aku perlu buang air kecil ketika menggunakan test pack.
Tidak hanya satu, aku membeli lima sekaligus untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti. Si penjaga apotek menjelaskan agar aku melakukannya pada pagi hari, saat buang air pertama kali setelah bangun tidur karena konsentrasi hormonnya lebih tinggi dan agar hasilnya lebih akurat. Namun, aku tidak bisa menunggu besok pagi, atau malam ini tidak bisa tidur lagi karena terus memikirkannya. Aku akan melakukan tes siang ini.
Sebelum benar-benar pulang setelah membeli apa yang dibutuhkan, aku mampir membeli camilan. Selagi aku berada di toilet, Emma akan kubuat sibuk dengan makanan. Meski penampilannya terlihat tangguh, dia suka es krim stroberi. Aku membeli yang berukuran besar hanya untuknya. Perhatiannya hanya akan tertuju pada es krim dan tidak lagi peduli pada apa pun yang akan kulakukan setelah ini. Dan tentunya aku akan memakai alasan sakit perut jika dia bertanya kenapa aku terlalu lama berada di toilet.
Begitu tiba di toilet kamarku, aku langsung buang air kecil. Urinnya kutampung di sebuah gelas plastik kecil yang sempat kuambil di dapur dan segera merendam kelima alat tadi sekaligus ke dalamnya. Menurut instruksi dari bungkusnya, aku harus menunggu dulu kurang lebih lima menit setelah kukeluarkan kembali alatnya. Itu adalah lima menit yang menyiksa. Aku hanya bisa mendengar dentuman jantungku yang begitu kencang.
Aku juga terus mondar-mandir sampai lelah sendiri dan terduduk di lantai sembari bersandar pada pinggiran bak mandi. Bagaimana kalau hasilnya positif? Aku sungguh tidak bisa memikirkan apa-apa karena yang kutahu hanya aku tidak akan pernah siap untuk itu. Namun, ketakutanku menjadi sesuatu yang tidak bisa dicegah. Kelima alat tes tersebut menunjukkan hasil yang sama.
Aku hamil.
•••
Selamat Idul Adha, teman-teman 🐂🐐🐫
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
29 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top