51 - Nothing has Changed
Satu hal yang menyambutku begitu terbangun dari tidur pagi ini adalah dada Killian. Lebih spesifik lagi, dadanya yang telanjang. Memandang itu saja sudah cukup untuk mereka ulang apa yang kami lakukan semalam di kepalaku. Tangan yang melingkariku saat ini adalah tangan yang sudah menyentuh seluruh bagian tubuhku, yang beberapa di antaranya bisa kurasakan dengan jelas sampai membuatku menggigil.
Semalam kami bercinta meski tidak ada cinta di antara kami. Ironis. Kendati begitu, aku berhasil mengenali seperti apa yang disebut orang-orang dengan kenikmatan di puncak tertinggi.
Killian melakukannya dengan pelan, tidak terburu-buru, seperti ketika lidah berusaha mengecap rasa dari segelas wine. Penuh kehati-hatian. Kupikir dia menemukan semua titik sensitif di tubuhku, karena aku terus menggigil ketika dia menyentuhnya. Killian mungkin sudah cukup berpengalaman dengan pacar-pacarnya dulu sampai mampu membuatku tidak bisa melupakan sentuhannya. Kuharap waktu berhenti tadi malam, agar aku bisa lebih lama menikmati momen di mana aku merasa begitu dicintai.
Lupakan, Ana. Aku mungkin masih berani memandang Killian sekarang, tetapi bagaimana ketika matanya terbuka? Apa aku masih mampu bertemu tatap dengannya?
Aku menyingkirkan tangan Killian dari pinggangku. Tidurnya masih sangat nyenyak dan sama sekali tidak terusik ketika aku mulai menciptakan jarak di antara kami. Cahaya matahari yang menyelinap masuk di antara sela-sela tirai jendela adalah pertanda bahwa sudah saatnya aku bangun. Selain itu, aku tidak ingin saat Killian bangun, tubuhku masih belum berbalut apa pun selain selimut ini. Tidak peduli kalau kami sudah melihat tubuh satu sama lain. Dan, ya, tentu saja tubuhnya masih dengan jelas kuingat.
Pinggulku rasanya nyeri sekali, padahal aku hanya berusaha untuk duduk. Apa tidak cukup dengan hanya bagian itu saja yang sakit saat Killian pertama kali memasukkannya? Aku jarang berolahraga, dan ketika pahaku harus dibuka lebar cukup lama dan lututku terlipat sedemikian rupa demi memberi akses untuk Killian, itu menyisakan rasa nyeri yang menyebalkan. Persetan dengan orang-orang yang mengatakan kalau bercinta rasanya enak. Kenapa mereka tidak pernah berkata kalau setelahnya akan sangat sakit?
"Ana?"
Aku buru-buru menaikkan selimut sampai dadaku ketika Killian memanggil. Aku tahu dia sudah melihat semuanya, tetapi aku masih merasa tidak nyaman kalau dia melihatku tanpa busana lagi.
"Kau baik?" Dia menyentuh pundakku. Tidak ada yang aneh dari itu. Sentuhannya seperti biasa dia melakukannya untuk memastikan kondisiku. Namun, kali ini aku justru berjengit kaget. Tubuhku masih sensitif, sepertinya. Aku bahkan jadi teringat bagaimana semalam dia meremas bahuku ketika mengentakkan pinggulnya demi masuk lebih dalam lagi.
Aku menoleh sedikit, tidak sampai benar-benar menatapnya karena belum siap. "Jadi ... kau sudah tahu kalau yang kita lakukan semalam akan menyisakan rasa sakit?"
"Ya?" Dia menyentuhku lagi dan aku spontan bergidik. Sekarang reaksiku lebih jelas menunjukkan kalau sentuhannya membuatku tidak nyaman, jadi Killian tidak lagi menyentuhku dan beranjak dari kasur untuk meraih celananya yang berada di lantai. Aku langsung berpaling ketika tanpa sengaja menatap pantatnya. Dari keseluruhan bagian belakang tubuhnya, tatapanku justru langsung tertuju pada pantatnya. Dan aku masih tidak percaya kalau tadi malam tangan ini sempat meremasnya.
"Apa kau bisa berjalan ke kamar mandi?" Killian menatapku khawatir. "Akan kubantu."
Kalau kondisiku memang sedang sakit sampai lemas tidak sanggup melakukan apa-apa sendirian, aku tentu akan langsung menerima bantuannya tanpa pikir panjang.
"Apa sesakit itu sampai tidak bisa berjalan?"
Dahi Killian berkerut. Kekhawatiran yang tadi memenuhi wajahnya kini berubah menjadi raut kebingungan karena pertanyaanku. "Aku tidak tahu, bukankah kau yang merasakannya?"
Jelas dia akan lebih tahu bagaimana setelahnya, 'kan? Buktinya dia langsung bertanya kondisiku, bahkan tanpa kujelaskan pun dia sudah siap membantuku berjalan. Aku jadi kesal sendiri karena memikirkan bahwa dia mungkin sudah pernah melakukannya bersama wanita lain sebelum aku.
"Ana." Killian memanggil sekali lagi, lalu duduk di tepi kasur. Tangannya ingin menyentuh kakiku yang berada di bawah selimut, tetapi aku buru-buru menekuknya dan kupeluk agar dapat meletakkan kepalaku di atas lutut. "Ada apa?" Suaranya lembut sekali sampai membuatku meleleh.
Aku ingin bertanya seperti apa dia melihat hubungan kami. Pertanyaan itu akan membuatku terkesan seperti menyesali apa yang kami lakukan semalam, padahal aku juga yang meminta dia untuk meneruskan. Aku mencintainya dan itulah yang menjadi alasan kenapa aku sudah tidak keberatan melakukannya. Namun, apa yang membuatnya mau melakukan itu?
"Apa kekasihmu dulu juga merasa seperti ini setelah kalian melakukannya?" Pada akhirnya hanya itu yang kutanyakan.
Diamnya Killian membuatku khawatir, meningkatnya debaran jantung, sertanya munculnya rasa menyesal yang menyesakkan dada. Dia pasti perlu waktu untuk mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Aku jadi ingin tidur lagi dan saat bangun kami sudah di New York, sama-sama sudah melupakan apa yang terjadi semalam.
"Lupakan saja. Itu pertanyaan konyol." Aku mengibaskan tangan seolah-olah itu mampu membuatnya menjauh. "Kau mandi saja lebih dulu. Aku masih mau berbaring lagi." Lalu aku menarik selimut sampai menutup kepala.
Sayangnya, Killian membuka selimutku sampai sebatas leher. Kekesalan memenuhi wajahnya tanpa kutahu apa alasannya. "Kata siapa aku pernah melakukannya dengan wanita lain?"
Oh?
"Kau yang pertama."
Aku meremas selimut yang menutup tubuhku makin erat. Perutku meletup-letup rasanya, teringat akan penyatuan kami semalam. Dia tidak berbohong, tidak dengan wajah serius seperti itu. Namun, aku masih takjub dengan kenyataan itu hingga bertanya, "Bagaimana bisa?"
Killian memijat pelipisnya sembari tertawa hambar. "Aku memang pernah berpacaran beberapa kali, tetapi aku tidak ingin melakukannya dengan mereka."
"Lalu kenapa melakukannya denganku?" Sungguh, aku tidak ingin mengatakan itu dan sudah menahannya mati-matian sejak tadi. Rasanya akan lebih mudah jika Killian mengakui kalau pernah melakukannya sebelumnya.
"Mungkin sama dengan alasanmu mau melakukannya denganku?"
Sama katanya?
Oh, Killian, kau mengatakan itu hanya karena tidak punya alasan. Kalau kau tahu apa alasanku, tidak mungkin kau akan berkata seperti itu. Kalau aku tahu akan seperti ini, seharusnya kubiarkan saja dia tidur di sofa sampai pagi. Namun, aku sama sekali tidak menyesal sudah melakukannya dengan Killian. Lagi pula, yang terjadi semalam cukup adil. Dia yang pertama untukku dan aku adalah yang pertama untuknya.
"Bagaimana kalau ternyata aku melakukan itu karena jatuh cinta padamu sungguhan? Kau yakin alasan kita sama?"
Aku kembali dengan metode tebak-tebakan yang pernah kulakukan padanya saat kami pergi minum bir. Di sana dia bisa menganggap itu hanya sekadar lelucon karena tidak ada yang terjadi setelahnya. Namun, setelah itu terjadi, apa dia masih akan menganggap itu sebagai lelucon.
"Kau ingin bergurau di saat seperti ini?" Kepanikan memenuhi wajahnya. Seburuk itukah baginya kalau aku memang jatuh cinta padanya? Atau justru sebaliknya yang menurutnya sangat buruk.
Aku tersenyum, berusaha terlihat santai meski sebenarnya kecewa. "Apa aku terlihat sedang bercanda?"
Aku tidak tahu kalau menyayangi teman terbaikmu bisa dijadikan alasan untuk berhubungan badan. Sepertinya aku tidak akan bisa menerima teori itu seandainya Killian berpikir demikian. Atau dia hanya sedang memanfaatkan keuntungan menjadi suamiku? Dia jelas tahu aku benci jika kami saling memanfaatkan demi kepuasan hasrat seksual. Aku tidak berpikiran sedangkal itu dan tidak semudah itu membiarkan diriku berada di bawah seorang pria, tidak peduli jika pria itu orang terdekatku sekalipun. Kalau dia memang mengerti aku, seharusnya dia tahu.
Killian diam terlalu lama sampai aku lelah terus berbaring. Aku bangun, dengan mempertahankan selimut di depan dadaku dan meraih sepotong pakaian terdekat yang bisa kupakai agar bisa pergi ke kamar mandi. Yang kudapatkan adalah atasan piama Killian. Ini lebih baik daripada milikku karena aku tidak perlu mencari celana lagi setelah memakainya.
"Kau memikirkannya terlalu lama, Killian. Aku akan mandi lebih dulu."
Damn it, Killian! Pinggulku masih sangat sakit.
•••
Sejak Killian kutinggal mandi lebih dulu sampai berada di pesawat yang akan mengantar kami pulang, tidak ada lagi pembicaraan tentang kejadian semalam. Killian juga tampaknya belum bisa menjawab pertanyaan terakhir yang kulontarkan padanya. Namun, aku tidak akan menagih jawabannya. Aku akan melupakan itu dan menganggapnya tidak pernah kutanyakan pada Killian.
Kami tiba di bandara JFK sekitar pukul delapan lewat lima menit waktu setempat. Langit sudah gelap. Kembali setelah liburan dengan lebih banyak bawaan adalah hal yang biasa. Tidak mungkin tidak membeli oleh-oleh untuk orang-orang terdekat kami. Dan kami membutuhkan waktu lima belas menit sampai kami mendapatkan seluruh barang bawaan.
"Aku lupa meminta seseorang untuk menjemput kita pulang." Killian berceletuk tiba-tiba saat kami berjalan ke luar bandara.
"Kita bisa pulang naik taksi, atau memesan Uber." Aku merespons dengan santai. Itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, kurasa. Namun, berbeda dengan Killian yang akan merasa gelisah karena terbiasa melakukan banyak hal dengan penuh persiapan.
Oh, kecuali yang tadi malam. Itu terjadi begitu saja.
Killian menarik tanganku ketika ada seseorang mendorong troli dengan terburu-buru dari arah yang berlawanan. Troli itu hampir menabrakku kalau saja Killian tidak segera menarikku. Sempat kudengar dia mengumpat kesal. Bukannya melepas tanganku setelah troli itu cukup jauh dari kami, Killian justru tetap menggandeng tanganku dengan erat.
"Kau mau mampir ke suatu tempat dulu sebelum pulang?" Seperti tidak pernah mengumpat sebelumnya, suara Killian terdengar lembut saat menanyakan itu padaku.
"Aku ingin pulang saja, lelah sekali rasanya."
Aku sudah kembali melihat ke depan, tetapi aku merasa Killian masih menatapku. Entah apa hal lucu yang dia lihat dariku sampai kemudian tertawa pelan sendirian. Aku ingin bertanya, tetapi tidak jadi karena seseorang meneriakkan namanya, lalu disusul dengan Killian berhenti berjalan.
Tidak terlalu jauh di depan, Gabby sedang berlari menghampiri kami. Aku spontan melepas tautan tangan kami. Aku tidak mengira akan bertemu dengan wanita itu secepat ini. Dan Killian tampaknya juga terkejut dengan keberadaan wanita itu di sini, alih-alih merasa senang. Bahkan Killian tetap terdiam kaku ketika wanita itu memeluknya.
"Selamat datang, Sayang. Aku sangat merindukanmu."
Aku mengenal Killian jauh lebih lama, tetapi tidak bisa berucap sayang dengan sebegitu mesranya. Demi memberi mereka waktu, aku menepi dari jalan dengan menyeret koper yang sebelumnya ditarik Killian. Butuh dua menit penuh bagi Killian untuk mempertimbangkan sampai kedua tangannya balas memeluk Gabby. Jelas itu waktu yang sangat singkat dibandingkan waktu yang dia butuhkan untuk menyadari perasaanku.
Gelagat Killian tadi membuatku berharap bahwa akan ada yang berubah di antara kami. Aku juga sempat berharap dia mendorong tubuh wanita itu alih-alih membalas pelukannya. Keraguan di matanya tampak sangat nyata, nyaris seperti tidak mengharapkan keberadaan wanita itu secepat ini.
Wanita itu sangat mencintai Killian. Killian sangat beruntung karena cintanya berbalas. Namun, dia menyia-nyiakannya dengan tidur bersama wanita lain. Kalau saja aku membiarkan obsesi terhadap Killian tumbuh dan menguasaiku, aku bisa melakukan hal jahat dengan membeberkan apa yang terjadi di antara kami. Gabby akan terbakar api cemburu dan mengakhiri hubungannya bersama Killian. Sayangnya, aku tidak siap menerima kebencian Killian kalau itu memang terjadi.
Pada akhirnya, tidak ada yang berubah di antara kami, tidak peduli sepanas apa kegiatan kami semalam.
"Hei, Ana!"
Situasi yang paling kubenci dalam hidupku adalah ketika aku harus tersenyum pada seseorang yang kehadirannya tidak membuatku senang.
Gabby menghampiriku, tiba-tiba dia bersikap ramah dan memelukku dengan singkat tanpa aku sempat membalasnya. Aku yakin dia tidak begitu menyukaiku karena sudah berlibur bersama kekasihnya.
"Senang bertemu denganmu lagi. Oh, dan maaf, aku sempat merasa cemburu ketika Killian memberitahuku kalian akan pergi ke Napa Valley. Sial! Aku juga ingin ke sana." Dia begitu bersemangat sampai meremas lenganku yang berbungkus mantel tebal berbulu.
Ketika destinasi liburan kami kemarin dia sebutkan, aku secara refleks menatap Killian yang ternyata sudah menatapku lebih dulu. Ada yang berbeda dari tatapannya kali ini. Lebih intens dan agak tajam. Dia mungkin berusaha memperingatkanku agar tidak mengungkit apa pun soal itu. Jujur saja, aku juga tidak ingin mengatakannya.
"Kau bisa minta Killian mengajakmu ke sana." Aku tidak bisa berbasa-basi yang lebih dari itu.
"Oh, tentu saja. Kami akan mencari waktu senggang begitu proyek dengan perusahaan X selesai. Benar, kan, Sayang?"
Killian baru mengalihkan pandangannya dariku ketika Gabby berbalik. Dia tentu tidak ingin mengambil risiko wanita itu salah paham kalau terus-terusan saling tatap denganku.
"Bisa kita atur," katanya, melupakan kalau dia masih harus cuti beberapa kali lagi untuk melunasi liburan denganku.
Aku berpaling ketika Gabby memeluk Killian lagi.
"Ayo, kalian akan kuantar pulang. Itulah alasanku datang hari ini."
Sepanjang perjalanan pulang di mobil Gabby, aku tidur. Aku sama sekali tidak mengantuk saat di pesawat, jadi aku memaksa rasa kantuk untuk hadir begitu menghirup pengharum mobil Gabby. Selain itu, aku tidak bisa terus mendengarkan pembicaraan sepasang kekasih yang sudah dua minggu tidak bertemu. Sedikit yang kudengar sebelum benar-benar terlelap adalah bagaimana Gabby merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besarnya. Dari cerita itu pula aku tahu kalau dia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Di keluarganya mungkin dia begitu dimanja, jadi aku menunggu bagaimana ketika dia harus mengurus Killian yang seperti anak kecil saat sakit.
Killian membangunkanku ketika kami sudah tiba di rumah. Aku langsung masuk dan membawa barang yang bisa kubawa, tidak lupa berterima kasih. Sisanya kubiarkan Killian yang mengeluarkannya dari bagasi mobil Gabby. Aku tidak akan membereskannya malam ini, jadi terserah Killian ingin melakukan apa pada isi koper kami. Aku juga sudah tidak peduli dia akan mengabsen satu per satu pakaian dalamku karena dia sudah melemparnya satu semalam.
"Ana." Panggilannya membuat langkahku terhenti di pertengahan anak tangga. Aku berbalik dan menatapnya di bawah sana. "Tentang yang semalam--"
Aku buru-buru menyela, "Aku tahu. Aku tidak akan mengatakannya pada siapa pun. Mari anggap itu sebagai sebuah ... kecelakaan."
"Apa?" Dia tampaknya kaget dengan keputusan yang kubuat tiba-tiba itu.
"Itu ... yang mau kaubicarakan, bukan? Aku tidak akan mengusikmu dengan Gabby, jadi kuharap kau juga melakukan hal yang sama untukku. Aku juga ingin punya hubungan yang berhasil bersama Allen."
Dia mengembuskan napas panjang sebelum berkata, "Baiklah. Kau mau tidur, 'kan? Selamat malam." Dan dia berjalan ke dapur kemudian, meninggalkan koper serta barang-barang lainnya di bawah tangga.
Kepasrahan di suaranya membuatku terus memikirkannya bahkan setelah aku tiba di kamar. Aku baru sadar kalau sebenarnya Killian tadi ingin mengatakan sesuatu yang lain.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
19 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top