50 - The Night We Spent Together

⚠️⚠️

"Aku pernah tinggal di sana beberapa bulan. Waktu itu aku menyusul pamanku yang bekerja di salah satu kebun anggur."

"Kau benar-benar berkeliling Benua Amerika."

"Untuk bertahan hidup. Kuharap aku bisa memberimu rekomendasi tempat-tempat bagus, sayangnya tidak banyak yang kulakukan selain bekerja."

"Tidak apa-apa. Killian sudah mengurus perjalanan kami, kalau mengecewakan, aku cukup menyalahkannya saja."

"Ha ... dia benar-benar pasrah kalau sudah berurusan denganmu, ya."

Aku menahan tawa sambil melirik pria yang sedang kami bicarakan. Killian duduk di seberang meja yang dipenuhi oleh sisa sarapan kami. Dia menolak sarapan di resto hotel, jadi kami memesan untuk dimakan di kamar. Wajahnya merengut, tidak tahu karena bosan menungguku atau karena kami sedang membicarakannya. Aku bahkan tidak berusaha memelankan suara saat menyebutkan namanya. Matanya terus tertuju padaku, tetapi lama-lama jadi makin mengintimidasi.

"Kuharap begitu." Aku memainkan bibir gelas yang isinya sudah kosong. Awalnya ingin kuabaikan Killian, tetapi dia sudah berdeham sembari menatap jam pintar di tangan kirinya. Itu merupakan isyarat kalau aku harus mengakhiri sambungan telepon. "Kami mau pergi ke suatu tempat sebentar lagi, kutelepon lagi nanti?"

"Ya, tentu. Semoga liburan kalian menyenangkan."

"Berarti kalau kau puas dengan liburan kali ini, aku akan mendapat reward, benar begitu?"

Aku menggaruk alis kanan yang memang sedang gatal, bukan dibuat-buat untuk mengulur waktu. Killian bukan seseorang yang suka menuntut balasan atas kebaikan yang dia lakukan, tetapi apa yang kubicarakan di telepon dengan Allen tadi pasti memantik sebuah ide muncul di kepalanya. Wajahnya sudah tidak sesuram tadi, tetapi dikuasai oleh seringai nakal. Itu mudah terbaca, dia pasti memikirkan sesuatu yang menggelikan.

"Kau, kan, menghasilkan lebih banyak uang daripada aku." Kesadaran diriku cukup tinggi soal itu. Atas dasar itu pula aku membereskan peralatan makan kotor, mengumpulkannya di satu titik sebelum memanggil orang hotel untuk mengambilnya nanti. Aku juga benci melihat itu berantakan lebih lama lagi. "Jangan memerasku."

Killian tertawa begitu renyah, suaranya sudah jarang kudengar sampai-sampai aku mendengarkannya dengan saksama. "Aku akan memberitahumu apa yang kumau," katanya dan berdiri dari kursi, tetapi aku buru-buru menarik lengannya sebelum dia menjauh.

"Tidak. Kau harus katakan sekarang. Aku harus pastikan itu cukup masuk akal untuk disebut sebagai ... reward." Bola mataku bergulir ke arah lain begitu menyebutkannya. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain apa yang memenuhi pikiranku sekarang. Anggap saja sebagai persiapan agar aku tidak benar-benar terkejut begitu mendengar apa yang dia mau.

"Sejujurnya, aku belum memikirkan apa-apa, tapi ketakutanmu tergambar jelas seolah-olah aku akan menyerangmu." Dia menggeleng geli. "Aku bercanda, Ana. Yang kumau hanya agar kau benar-benar menikmati liburan ini bersamaku. Aku tidak melarangmu menghubungi Allen, tapi waktu kita terbatas di sini. Jadi ... fokuslah denganku."

Aku melepaskan tangannya begitu dia mendaratkan satu kecupan di dahiku. Sial, Killian, dari kemarin kau bersikap terlalu manis sampai aku yakin jantungku mungkin lelah karena terus dipacu. Kabar baiknya, besok kami akan pulang.

•••

Aku tidak tahu seberapa jauh persiapan Killian untuk liburan yang kukategorikan mendadak ini. Tepat saat kami tiba di lobi hotel, seseorang datang memberikan kunci padanya. Dia menyewa sebuah mobil untuk kami bepergian hari ini. Untuk mendatangi pengilangan anggur pun disertai tur istimewanya membutuhkan reservasi, mengingat ketersediaan paket tur yang terbatas. Di sisi lain, kami mungkin cukup beruntung mengunjungi tempat ini ketika sedang sepi. Siapa juga yang mau berkeliling kebun anggur tanpa memetik anggurnya?

Killian tidak memberitahuku kami akan pergi ke kilang anggur yang mana dulu. Hotel yang kami tempati bahkan menyediakan tur ke Elusa Winery, hanya perlu berjalan kaki untuk tiba di sana, dan kami sudah mengunjunginya kemarin, tepat setelah makan siang. Dan selagi di sini, rugi kalau mendatangi satu kilang anggur saja. Bahkan kalau bisa, kami mendatangi semua pengilangan anggur di Napa Valley--setidaknya itu yang kupikirkan sejak kami tiba di sini, itu pun jika Killian tidak keberatan menghabiskan uangnya selama liburan di sini. Lagi pula, apa lagi yang bisa kami lakukan di musim dingin selain mencicipi berbagai jenis wine?

Sejujurnya aku juga mau mencoba piknik di kebun anggur, menyaksikan kebun anggur dari atas dengan balon udara, atau bersepeda, yang tentunya tidak akan terjadi di musim dingin. Ada banyak hal yang bisa dilakukan selain mencicipi anggur saja. Namun, jika membuka kembali daftar liburan kami, memang sudah tertulis secara spesifik kalau kami ingin mencicipi anggur di sini.

Kami tiba di Grgich Winery setelah menempuh perjalanan kira-kira dua puluh menit. Killian memarkirkan mobil di lahan parkir yang hanya diisi oleh dua buah mobil lain. Sudah ada dua orang yang menunggu kami di balik sebuah pintu kaca bangunan menyerupai sebuah rumah mewah. Dua orang yang mengenakan kemeja hitam beserta celana jeans hitam itu memiliki pin bertuliskan nama mereka di dada kiri.

Killian menggandeng tanganku sejak keluar dari mobil tadi dan sekarang kami berada di depan pintu masuk. Sambutan yang hangat kami dapatkan disertai dengan jabat tangan. Mantel kami sementara disimpan oleh salah satu dari mereka, dan yang satunya lagi akan menjadi pemandu tur kami di tempat ini.

Bukan hanya aku yang menyayangkan waktu yang tidak tepat untuk datang ke sini, pria bernama Greg ini juga demikian. Namun, penyesalan itu terobati dengan mencicipi wine yang sangat enak.

"Kau melakukannya dengan baik. Apa aromanya keluar?" Greg memujiku saat sedang menggoyangkan gelas yang di dalamnya terdapat Cabernet Sauvignon.

Dia sedang mengajarkan kami lima cara dasar mencicipi wine dengan benar. Mulai dari cara menuangkannya, menggoyangkan gelas seperti yang baru kulakukan, selanjutnya akan ada menghidu aroma wine, menyesapnya, dan terakhir menemukan rasa dari wine tersebut. Bagian terakhir cukup penting untuk mengevaluasi kualitas wine. Kompleksitas kandungan, bagaimana perpaduan kombinasi dari bahan-bahan utama pembuatan wine ditemukan pada tahap ini. Namun, sebagai peminum biasa, aku tidak bisa menjelaskan lebih dari apa yang kurasakan di lidah.

Aku mendekatkan hidung ke bibir gelas, berusaha meraup udara yang mengisi ruang kosong gelas tersebut. "Ya. Lebih kuat, persis saat baru dituangkan ke gelas. Aromanya seperti buah beri yang berwarna pekat. Dengan campuran vanila? Itu tercium samar-samar."

"Kau melakukannya dengan baik meski baru percobaan pertama."

Aku menatap Killian dengan senyuman lebar di wajah. Dia memberiku kecupan singkat di pipi kanan sebagai bentuk apresiasi. Itu berhasil membuat Greg salah paham mengira kami sungguhan pasangan dan berdeham pelan.

"Mari kita lanjutkan. Saya akan menunjukkan ruang penyimpanan kami."

Begitu selesai dari Grgich Winery, kami mengunjungi tiga pengilangan anggur lagi sebelum diakhiri dengan makan malam--agak--romantis. Pihak resto berimprovisai ketika Killian memesan untuk dua orang. Mereka memberi kami posisi meja dengan pemandangan terbaik dan agak jauh dari meja pelanggan lain, memberi satu buket mawar berukuran sedang, dan menyalakan lilin beraromaterapi.

Kami tertawa keras begitu mendapatkan kejutan tidak terduga ini. Namun, kami tidak memprotes kesalahan tersebut dan hanya berterima kasih. Lagi pula, mereka cukup membantu mewujudkan satu rencana Killian yang kutolak mentah-mentah sebelumnya.

"Ini sama sekali tidak romantis." Aku berceletuk sebelum menyesap white wine yang baru saja Killian tuangkan ke gelasku. "Maksudku, kita tidak akan bisa seperti mereka." Aku menunjuk pasangan yang menempati meja lain. Si pria memegangi tangan si wanita, menciuminya berkali-kali, dan saling memandang penuh damba.

"Kau harus coba ini." Dia menyodorkan sepotong daging menggunakan garpu ke mulutku. Aku menyuapnya, tetapi Killian seperti sengaja memiringkan garpunya hingga minyak dagingnya menempel di sudut bibirku. "Ini juga romantis, 'kan?" katanya sembari menyapukan sisa minyak tersebut menggunakan jempolnya.

"Sial. Kau mengerjaiku." Aku menyapukan jejak jempolnya seolah-olah itu belum bersih. "Keromantisan seharusnya terjadi secara natural. Kalau dibuat-buat seperti ini namanya penipuan."

"Menurutku makna romantis lebih luas dari itu." Killian menunjuk pasangan tadi dengan jempolnya. "Romantis adalah aksi untuk menunjukkan rasa cinta, memberi kesenangan pada seseorang yang begitu berharga di hidupmu, dan itu tidak harus dilakukan untuk pasangan. Aku juga bisa menjadi romantis untukmu. Liburan ini misalnya, aku berhasil membuatmu senang, benar?"

Kuakui menikmati waktu dengannya selama liburan ini cukup menyenangkan. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumku, padahal tidak ingin membenarkan ucapannya begitu saja. Namun, tanpa mengatakannya pun, dia pasti sudah tahu apa jawabanku.

"Ya ... apalagi aku tidak mengeluarkan uang sedikit pun." Benar, itu akan mengganggu Killian. Lihat saja, dia sudah berdecih pelan dan memicing ke arahku.

"Aku akan menghitung pengeluaran dan menuntutmu untuk membayar sebagian."

Aku tertawa. Dia sering mengatakan itu, tetapi tidak pernah benar-benar dia lakukan. Dia pernah bilang kalau uang habis masih bisa dicari, sedangkan aku tidak akan ditemukan pada diri siapa pun. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti apa yang membuatnya menganggapku sebegitu berharga, padahal aku lebih banyak membuatnya rugi. 

Killian ikut tertawa karena dia tahu aku selalu menganggap itu sebagai guyonan saja.

•••

"Ana, kemarilah."

Aku baru keluar dari kamar mandi ketika Killian melambai padaku. Dia berbaring miring di sofa, punggungnya menempel pada sandarannya dan dia mengundangku untuk berbaring di depannya. Sebetulnya aneh jika berbaring di ruang sempit begitu ketika di belakang sofanya sendiri terdapat kasur yang luas. Namun, melihat Killian begitu santai membuatku berpikir kalau posisi itu memang nyaman.

"Kau yakin aku berbaring di sana?" Aku menatap ngeri ruang sempit di sofa tersebut. Bahkan jika aku berbaring miring, punggungku pasti akan menempel dengan dadanya. Itu jelas membuat jantungku tidak sehat.

"Kenapa tidak? Ayolah." Dia menepuk bagian sofa di depannya. "Dulu kita juga sering seperti ini."

"Astaga. Itu ketika tubuh kita hanya sepanjang sofa ini. Coba lihat kakimu, sampai tertekuk begitu." Aku bicara dari dalam kamar mandi. Aku baru selesai mengeringkan rambut dan sekarang handuknya perlu kugantung.

"Aku ingin memelukmu." Tangannya terulur, menggoda untuk diraih. Begitu aku melangkah, dia membuka selimut yang menutupi tubuhnya.

"Tidak bisakah di kasur? Lebih luas dan nyaman." Meski menyarankan begitu, aku tetap menyusulnya berbaring di sofa dengan berbantalkan lipatan lengannya. Tunggu saja berapa lama dia akan bertahan sampai lengan itu keram. Killian segera menutupi tubuhku dengan selimutnya, lalu disusul dengan lengan satunya melingkari pinggangku.

Sebelum ini aku sudah dipeluknya saat tidur, tetapi sofa memberikan keintiman posisi ini ke level yang jauh lebih tinggi. Aku berusaha menjaga jarak darinya, tetapi tidak mungkin aku memajukan badan karena sudah pasti akan langsung terjatuh ke lantai. Dan usahaku untuk tidak menabrak dadanya pun gagal karena dia menarik pinggangku lebih dekat. Punggungku bisa merasakan debar jantungnya yang lembut.

"Ini cukup berbahaya." Aku berdesis, tidak ingin mengganggu pembicaraan serius dua tokoh dari film yang sedang tayang di TV.

"Tidak. Ini sangat nyaman, aku bisa mencium aromamu yang manis." Lalu disusul dengan dia menempelkan hidung ke puncak kepalaku.

"Sampo hotel ini beraroma anggur. Kau salah mengira kalau itu adalah bauku."

"Aku selalu mengenali baumu, Ana. Dan aku menyukainya."

"Sepertinya terlalu banyak minum wine membuatmu kacau. Aku bisa saja mengira kau sedang menggodaku."

Seharusnya itu membuat Killian berhenti, tetapi dia justru membelai lenganku yang terbuka dengan sangat lembut, nyaris seperti menyapukan bulu di sana. Aku merinding, tetapi tidak juga membenci sensasi yang kurasakan.

"Mungkin aku memang sedang menggodamu?"

Aku menelan ludah karena bisikannya yang terdengar sensual. Kepalaku bergerak gelisah karena embusan napasnya yang hangat menggelitik telingaku.

"Aku akan pindah ke kasur." Aku sudah akan bangun, tetapi tangannya kembali berada di pinggangku. "Masih ada satu botol anggur di kulkas. Kau bilang kita harus menghabiskannya sebelum pulang besok."

Kurasa itu adalah cara yang baik untuk meredakan ketegangan yang menyelimuti kami. Meski di lain sisi, itu mungkin akan memperparah efek wine yang belum sepenuhnya hilang dari sistem kendali tubuh.

"Yang itu biar besok saja. Aku masih ingin seperti ini."

Pelukannya mengerat. Dada sampai perut Killian menempel sepenuhnya di sepanjang punggungku. Kakinya pun menjepit kakiku di antaranya, seperti aku adalah sebuah guling untuknya. Namun, ini benar-benar terasa begitu hangat dan nyaman. Aku juga tidak perlu khawatir dia tahu kalau aku sedang berdebar sekarang.

"Mau sampai kapan seperti ini terus?" Aku bertanya setelah kami saling diam cukup lama. Tayangan di TV sama sekali tidak seru, tetapi aku tidak tahu apa yang membuat Killian tampak menikmatinya.

Satu menit penuh berlalu dan aku tidak kunjung mendapat respons dari Killian. Namun, ketika tayangan TV memunculkan adegan yang tidak mengeluarkan suara terlalu keras, aku justru mendengar suara dengkuran. Killian tertidur. Begitu pelukannya melonggar, aku pelan-pelan bangun. Dia akan kesakitan kalau aku juga tertidur dalam posisi menindih lengannya. Lagi pula, sofa tidak cukup nyaman untuk tidur.

Selimutnya yang turun sampai pinggang, kunaikkan sampai ke lehernya. Namun, alih-alih ke kasur, aku justru duduk di depan sofa untuk memandangi wajahnya yang tertidur pulas. Kenapa pria ini bisa begitu tampan? Aku berdebar meski hanya memikirkannya. Rambutnya lemas di sela-sela jariku. Awalnya aku hanya ingin membenahi rambutnya yang jatuh menutupi dahi, tetapi aku justru tidak bisa berhenti membelainya sampai kemudian dia bergerak sedikit.

Aku buru-buru menarik tangan, waswas kalau saja dia terbangun dan tahu aku sedang melakukan sesuatu pada rambutnya. Itu akan memberinya bahan untuk menggodaku bespk harinya, dan aku tidak mau itu terjadi. Namun, dia tidak bangun, tidurnya masih begitu lelap. Aku memanfaatkan itu untuk menjauh darinya dan bersiap tidur begitu tubuhku sudah berada di antara kasur dan selimut.

Sayangnya, aku tidak merasa tenang dengan Killian yang tidur di sofa. Aku bangun lagi, mendekati sofa tanpa turun dari kasur. Aku memukul-mukul pelan lengannya agar bangun. Dia melenguh dan menepis tanganku.

"Hei, Killian, bangun. Pindahlah ke kasur. Tubuhmu akan sakit kalau tidur dalam posisi itu."

"Hm. Nanti aku pindah." Namun, dia masih berpejam dan sama sekali tidak berniat untuk bangun.

"Sekarang, Killian. Bangun atau aku akan terus mengganggu."

Tidak ada jawaban. Aku tentu akan menggunakan serangan maut yang membuatnya mau tidak mau terbangun dan duduk di sofa. Wajah kesal bercampur mengantuk itu tertuju padaku. Tanganku sudah berada dalam cengkeramannya.

"Ada alasan kenapa aku benci kau menyentuh telingaku."

Aku mencebik. "Karena itu bagian tubuhmu yang paling sensitif." Aku menjawabnya dengan mantap, toh itu yang selalu dia katakan padaku.

"Ya. Itu benar-benar menggelikan. Tapi tahu apa lagi?"

Killian merangkak ke kasur melewati sandaran sofa dengan mudah. Selimutnya tertinggal di sana. Dia tidak berhenti sampai aku berbaring di antara dua kaki dan dua tangannya di atas kasur. Wajahnya sekarang tepat berada di atas wajahku, hanya berjarak lima belas senti kalau kukira-kira. Aku hanya mampu menelan ludah tanpa berusaha untuk membuatnya menjauh.

"Tapi, makin dewasa aku, itu berkembang menjadi sebuah rangsangan seksual."

Aku menelan ludah bersamaan dengan seringai muncul di wajahnya. "Ke-kenapa kau tidak pernah bilang?"

"Agar aku bisa memperingatkanmu seperti ini." Killian memajukan wajahnya, membuatku spontan mengerucutkan wajah dan menoleh agar apa pun yang dia ingin lakukan tidak terjadi.

Ke mana perginya seluruh energiku? Seharusnya aku mendorong dadanya, bukan malah meremas seprai dengan lemas. Targetnya bukan apa pun yang ada di wajahku, tetapi telingaku. Dia menggigitnya pelan sampai aku kegelian dan nyaris menjepit wajahnya ketika menelengkan kepala. Aku berdebar kencang lagi. Dan di perutku, aku merasakan gejolak yang tidak biasa dan memancing rasa penasaran. Namun, aku juga tidak membencinya, bahkan merasa hampa ketika dia menjauh untuk berbaring di sebelahku.

"Kenapa kau begitu ingin aku tidur di kasur? Kau merindukanku?"

Aku masih berusaha menetralkan kembali deru napasku karena sisa dari perbuatannya. Dia masih bisa bergurau, padahal aku hampir mati karena jantungan.

"Besok kau masih harus menyeret koper kita dan aku tidak mau tidur di sofa menjadi alasan tanganmu sakit."

"Astaga. Bukankah itu sangat kejam?" Dia masih bisa tertawa setelah merespons ucapanku yang cukup serius.

"Itu tugasmu, 'kan? Kau memintaku menikmati liburan ini sebagai pasangan, aku sedang melakukannya."

Dia memiringkan badan ke arahku dan aku menyusul. Kami berhadap-hadapan sekarang. "Tidak. Masih belum."

Matanya turun ke bibirku. Aku berusaha menyembunyikannya dengan mengulumnya sedikit agak lama. Namun, itu justru membuatnya menelan ludah. Jakunnya bergerak dan itu terlihat begitu seksi. Apa wine-nya mulai berefek pada tubuhku? Karena aku mulai tergoda ingin menyentuhnya.

"Ini menyebalkan bukan? Ketegangan ini ... rasanya benar-benar menyiksa." Suaranya jadi serak, dan lagi, itu terdengar seksi. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus melepaskannya, bukan?" sahutku, berusaha mengabaikan peringatan yang kemudian muncul di kepalaku.

"Aku tidak akan mampu menahan diriku, Ana." Dia berbisik.

Tangannya terulur untuk menyelipkan rambutku ke belakang telinga, tetapi tidak hanya itu, dia juga mulai memberi sentuhan yang begitu lembut di sepanjang sisi wajahku. Tiap sentuhannya menyisakan rasa panas yang membuatku menginginkan lebih. Aku terlalu menikmatinya sampai-sampai mataku terpejam dan napasku mulai terasa berat.

"Kalau begitu jangan ditahan."

Killian menyibakkan selimut yang menutupi tubuhku, lantas menggantinya dengan tubuhnya berada di atasku. Bibirnya menemukan target bagai bidikan yang tepat sasaran dalam sekali tembak. Dia meraup milikku seperti orang yang tidak pernah makan selama bertahun-tahun, rakus. Tanganku bergerak naik, merambati perut dan dadanya dari luar piama sampai akhirnya bertaut di tengkuknya. Aku mungkin akan menyesali ini besok, tetapi kupikir aku akan lebih menyesal jika mengakhirinya sekarang.

Saat ini aku menginginkan Killian lebih dari apa pun, sampai-sampai rasanya mau meledak.

Tanpa melepaskan tautan bibir kami, Killian menuntunku untuk bangun. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi ketika bibirnya turun ke rahang dan sekarang mulai menghujani leherku dengan kecupan-kecupan yang menggelikan, sebenarnya agak sakit, tetapi juga menyenangkan. Bahkan aku juga tidak tahu bagaimana posisiku sudah berada di pangkuannya. Aku meremas rambutnya, menahannya agar tidak menjauh.

"Kau yakin ingin meneruskannya?" Suaranya teredam di ceruk leherku. Dia menanyakan itu, tetapi tidak berhenti membuatku menginginkan yang lebih dari ini. Tangannya berada di pinggangku, meremas begitu kuat sekaligus menggelitiknya sampai aku bergerak gelisah di pangkuannya.

"Kau ingin berhenti ketika kita sudah sekacau ini?"

Killian memundurkan kepala hanya agar kami bisa memeriksa kondisi satu sama lain. Tatapannya sungguh membuatku terbakar. Aku sudah terengah meski baru membayangkan akan sejauh apa kami melakukannya malam ini.

Dia menarik pinggangku mendekat tiba-tiba sampai aku mengeluarkan suara yang aku tidak pernah tahu kumiliki sebelumnya. Di bawah sana, aku menghantam sesuatu yang keras. Untuk membuatnya lebih yakin agar dia mau meneruskan, aku menggerakkan pinggul sedikit. Itu terjadi begitu saja sebelum aku menyadari kalau itu akan membuatnya lebih frustrasi. Killian mendesah, seperti memberitahuku kalau itu juga terasa nikmat untuknya.

"Mungkin kau akan menyesali ini besok pagi," katanya dengan suara yang serak. Aku membuatnya mengerang karena menggerakkan pinggul lagi. "Jangan bergerak seperti itu lagi, kumohon."

"Biarkan itu menjadi urusan besok."

Aku tidak pernah seberani ini sebelumnya, melepas kancing piamanya seperti ini, semuanya terjadi berdasarkan insting. Killian benar-benar pasrah ketika atasan piamanya sudah lepas dari tubuhnya. Sekarang aku mengembalikan apa yang dia lakukan padaku sebelumnya; memberi kecupan-kecupan di rahang sampai tengkuknya, tetapi sedikit lebih ringan. Tanganku tidak berhenti mengusap dada dan perutnya berulang kali, seakan-akan sedang berusaha untuk merekam lekukannya dalam kepalaku karena hal semacam ini mungkin tidak akan pernah terjadi lagi. Namun, aku harus mendesah kecewa karena Killian kemudian menangkap tanganku.

"Buka mulutmu."

Aku menurut dan dia menciumku lagi. Lidahnya berada dalam mulutku, menjelajah isi mulutku. Aku meremas pundaknya, melampiaskan betapa ini benar-benar merusak akal sehat. Tangannya menyusup ke dalam atasan piamaku, mengusap-usap punggungku seperti sedang mencari sesuatu di sana.

"Kau nakal, Ana." Dia mengatakannya begitu sadar aku tidak memakai dalaman dalam bentuk apa pun. Aku ingin memberitahunya kalau tidak ada alasan khusus untuk itu. Maksudku, tidur akan lebih terasa nyaman tanpa memakainya dan aku ingin seperti itu malam ini. Namun, dia tidak membiarkanku merespons karena bibirnya membungkam bibirku lagi.

Malam ini saja, aku ingin mengabaikan semua keraguan yang memenuhi kepalaku.

•••

Maafkan bab ini ada adegan bersoda abal-abalnya :")
Bisa lewati aja kalo jijik :") (telat ngasih taunya eu)

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
16 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top