5 - Not Lovers
Model, siap. Mereka sudah mengonfirmasi bisa bekerja sama denganku. Ada tiga orang yang akan bergantian mengenakan sepuluh busana rancanganku nanti.
Manekin, siap, beserta tiga orang di timku yang akan membantu menjahit. Pekerjaannya akan dimulai besok. Setiap peserta difasilitasi masing-masing tiga mesin jahit. Namun, tak sedikit peserta yang akan membawa mesin jahit mereka sendiri ke sini. Keuntungan orang-orang yang berdomisili di New York. Sedangkan aku tak sempat memikirkannya karena harus menyiapkan pernikahan.
Kuharap lima hari adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan bajuku. Aku cukup beruntung dipertemukan dengan lima orang yang bisa diajak kerja sama dengan baik. Mereka semua menerima instruksiku dengan saksama, bahkan ada yang mencatat agar tidak melupakannya. Selera humor mereka juga bagus. Meski sempat mengangkut kain dan beberapa pernak-pernik lain pelengkap untuk gaunku, tetapi guyonan mereka mampu mentransformasikan rasa lelah menjadi tawa.
Sekitar pukul delapan malam, aku baru menyelesaikan semuanya. Persiapan tadi berlangsung selama dua jam sebelum kami memutuskan pulang. Aku harus menghubungi Killian untuk memberi tahu kalau aku sudah selesai. Ah, kasihan sekali dia menungguku cukup lama. Lagi pula, bukan salahku, dia sudah kuminta pulang, tetapi menolak.
"Terima kasih atas kerja kerasnya, senang mengenal kalian, para orang-orang hebat. Sampai rumah nanti aku akan mengirimkan ilustrasinya ke group chat, kalian bisa beri aku komentar apa pun, karena aku sangat mengharapkannya. Kalian tahu hadiahnya, 'kan?"
"Kita harus menang," sahut Emma, wanita dengan banyak tindik di telinga dan satu di hidungnya. Dia salah satu dari tiga orang yang akan menjahit. Potongan rambut pendek pirangnya akan mengingatkan kalian pada gaya emo di tahun 2000-an awal. Semangatnya paling membara di antara yang lain.
Terakhir sebelum benar-benar pulang, kami berfoto bersama, atas usulan Rebecca, salah satu model yang paling tinggi. Aku saja sampai iri melihat kaki jenjangnya. Dia bilang akan sangat membantu memperkenalkanku sebagai desainer pendatang di NYC kalau dia mempostingnya ke Instagram. Pengikutnya nyaris tiga juta dan itu sungguh luar biasa.
Aku berjalan cepat di koridor untuk menghampiri elevator sambil memperhatikan ponsel. Killian mengirim banyak pesan. Awalnya kukira dia sedang mengeluh karena aku terlalu lama, tetapi ternyata dia mengirim foto daftar menu dan belasan pertanyaan 'kau mau kubelikan apa?'. Manis sekali, dia tahu aku tidak bisa begadang tanpa makanan. Aku mengetik beberapa menu dan mengirimnya sambil tersenyum.
Langkahku terhenti ketika dahiku membentur sesuatu yang hangat. Rupanya aku terlalu sibuk dengan ponsel sampai tidak menyadari apa yang ada di hadapanku. Aku mengerjap pada sebuah tangan di hadapanku sebelum menemukan siapa pemiliknya.
Allen. Lagi. Untuk ukuran orang asing, dia muncul terlalu sering hari ini.
"Kau bisa membentur pintu kalau terus-terusan menunduk."
Benar katanya, hanya tinggal beberapa langkah sebelum aku menabrak pintu elevator.
"Terima kasih." Aku membalas sekenanya. Kemudian menekan tombol elevator dengan simbol panah ke bawah.
"Sudah mau pulang?" tanyanya, cukup ramah. Aku sampai tidak tahan untuk tidak membalas senyumnya.
"Apa wajah lelah ini masih ingin melakukan sesuatu lagi?" Telunjukku terarah ke wajah saat menanyakannya.
Aku sudah menduga dia akan tertawa lagi. Mungkin di matanya aku memang benar-benar tampak lelah, meski sebenarnya itu hanya sekadar basa-basi.
"Mau pulang bersama?" Dia bertanya ketika kami memasuki elevator.
Tawaran itu sangat menarik. Aku tentu tidak menyia-nyiakannya dan dengan senang hati menerimanya andai Killian belum menungguku di luar sana. But, on second thought, lebih baik tidak pulang bersamanya dulu. Allen baru hari ini kutemui, aku bahkan belum tahu apa motifnya bersikap sangat baik kepadaku.
"Aku dijemput."
"Mungkin lain kali, kalau kau perlu teman berangkat, temui aku." Allen mengacungkan jempolnya dengan mantap dan membuatku terkekeh.
"Apa kau selalu baik dengan orang-orang yang baru dikenal?"
Sebelum menganggap kebaikannya sebagai sesuatu yang agak spesial, aku mengklarifikasinya terlebih dahulu. Aku yakin pertanyaan seperti itu tidak akan membuatnya tersinggung. Lagi pula, aku baru saja memujinya, bukan?
"Aku cukup selektif," ujarnya berbarengan dengan elevator yang berhenti dan pintu terbuka. "Aku bersikap baik agar bisa mengobrol dengan orang itu. Saat itulah proses seleksi berlangsung. Kalau dia baik, aku akan bersikap baik. Kalau sebaliknya, jangan harap aku akan menyapanya lagi."
"Wow."
Itu sangat tidak biasa. Walau orang-orang selalu menilai kepribadian orang lain melalui interaksi yang berlangsung, tetapi tidakkah prosesnya itu terlalu cepat?
Aku tidak ingin berkomentar lagi, takut akan berujung membuatnya tersinggung dan kami tidak akan mengobrol seperti ini lagi. Apalagi kami bertetangga. Beruntungnya mobil Killian berhenti di depan kami. Aku jadi punya alasan untuk mengakhiri obrolan dan berpisah dengannya.
"Temanku datang. See you."
"Sampai jumpa besok."
Aku melambai ke arahnya sebelum memasuki mobil. Killian sama sekali tidak menampakkan dirinya, meski itu hanya menurunkan kaca jendela mobil. Tak masalah, sih, aku jadi tidak perlu repot-repot memperkenalkannya kepada Allen. Takutnya, dia akan protes kalau kubilang hanya housemate.
"Pria yang tampan," celetuk Killian setelah melajukan mobilnya.
Kata-katanya agak sarkastik. Senyum miring yang mencuat di bibirnya membuktikan kalau dia sudah tahu aku akan merespons apa setelah ini.
"Tapi tidak setampan suamiku." Dulu, aku pakai kata sahabatku, sekarang kuganti untuk menggodanya.
"Terlalu sering mendengarnya darimu membuat pujian itu tidak ada rasanya lagi." Dia berujar angkuh. Dasar lelaki.
Aku menjatuhkan tangan kiriku di bahu Killian dan memainkan daun telinganya. Dia menelengkan kepala berkali-kali, tetapi aku tidak berhenti melakukannya. Titik kelemahan Killian adalah telinganya. Tanganku diraihnya, tetapi aku melakukannya lagi dengan tangan yang lain. Tangannya yang lain tidak bisa menyusul karena harus memegang kemudi.
"Hentikan, Ana," protesnya, berusaha meraih tanganku berkali-kali.
"Sudah lama aku tidak melakukannya. Kulit telingamu sudah tidak sehalus dulu lagi." Aku cemberut, meski Killian tidak melihatnya.
Dulu aku sekali mengusap telinganya saat dia sedang tidur. Bisa dibilang pengantar tidur karena aku selalu tidur lebih lambat darinya jika sedang menginap di rumah satu sama lain. Itu sudah lama sekali, mungkin terakhir saat kelas tiga sekolah dasar, ketika Jaden mengatakan kalau kami sudah besar dan tidak boleh tidur bersama lagi. Aku juga sering melakukan itu untuk mengancamnya.
"Aku menyerah, katakan apa maumu." Killian terdengar sangat kesal, suaranya sampai serak seperti itu. Pasti dia sudah cukup tersiksa karena menahan geli, dan itu juga tanda kalau aku harus berhenti.
"Tidak ada. Hanya sudah lama aku tidak melakukannya."
"Tunggu saja pembalasanku."
Aku tersenyum puas sembari membenahi posisi duduk. "Kenapa kau menyusul? Bukankah ada janji bertemu wanita itu?"
Wanita itu. Entah siapa namanya, aku belum sempat bertanya kepada Killian karena telanjur kesal kemarin.
"Aku pulang dan menemukan mobilmu di garasi. Tadi kau berangkat pakai apa?"
"Uber. Kau tahu aku tidak bisa membaca peta, 'kan?"
Perempuan dan kelemahannya dalam membaca peta, sering kali dikumandangkan oleh banyak orang. Itu membuatku merasa normal meski Killian tidak berhenti meledek. Aku tentu tidak ingin menerima risiko tersesat dan menghabiskan waktu lebih banyak untuk tiba di studio.
"Aku bisa mengantarmu."
Aku tidak akan membicarakan apakah dia bersedia meninggalkan wanita yang ditaksirnya demi mengantarku, karena aku tidak siap mendengar jawaban yang mengecewakan. Seperti, ah, benar, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tidak terbiasa menerima penolakan dari Killian, apa pun jenisnya. Itulah kenapa aku sangat kesal karena dia mengingkari janjinya.
"Mungkin besok."
Kami terdiam selama beberapa saat kemudian. Karena keheningan ini, aku mulai mengantuk. Aku sampai bersandar ke bingkai jendela, memanjakan mata dengan kerlap-kerlip lampu kota sekaligus menghalau rasa kantuk. Aku tidak boleh tidur dulu, sebab malam ini harus mempersiapkan rancangan mana yang akan dijahit besok.
"Pria tadi siapa? Teman barumu?"
Aku dengan malas mengubah tubuh jadi menghadapnya. "Dia tetangga kita."
"Tetangga?"
"Iya. Dia membantuku menata furnitur di rumah karena seseorang membatalkan janji denganku." Senyumku mengembang ketika dia menggeram kesal. Killian perlu diingatkan kalau aku masih kesal kepadanya.
Mobilnya berhenti ketika lampu lalu lintas menyala merah. Sekarang dia bisa melayangkan tatapan protes kepadaku.
"Bisa kita tidak membicarakan yang itu dulu? Aku masih penasaran dengan pria tetangga itu."
"Hm. Aku belum benar-benar mengenalnya."
"Apa yang kaukatakan tentangku?"
Aku menunduk dan memainkan jari-jariku. Entah kenapa aku merasa tidak enak memberi tahu Killian kalau dia hanya housemate. Padahal Killian sama sekali tidak kesulitan mengakuinya.
"Menurutmu?" Karena sulit mengakuinya, kuminta saja dia untuk menebak.
Killian hanya menggumam seraya mengangguk pelan. Kurasa dia sudah tahu meski aku tidak menjawab apa pun. Hening menyelimuti kami berdua. Entah apa yang Killian pikirkan tentang situasi ini. Aku tidak bisa menatapnya untuk menerka-nerka apakah dia baik-baik saja atau tidak.
Pernikahan ini memang konyol sejak awal. Takada rasa. Namun, keinginan para orangtua tidak bisa kami tolak. Mungkin kami terlalu patuh pada mereka. Walau setelah kami memikirkannya, takada ruginya pernikahan ini berlangsung. Toh kami sudah terbiasa bersama. Hanya saja, kami lupa mempersiapkan diri seandainya ada orang-orang yang akan hadir di dalam hidup kami. Seperti Killian yang mengakui tertarik pada seorang wanita dari tempat kerjanya. Atau aku yang baru mengenal Allen dan tidak siap mengakui kalau sudah menikah.
Ternyata menyandang status suami istri untuk dua orang yang tidak siap itu adalah beban.
Dehaman Killian memecah keheningan, dan setelahnya dia berkata, "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?"
💍
Aku baru selesai mandi ketika ponsel di atas nakas berdering. Ketika kuperiksa, ternyata Mom yang meneleponku melalui panggilan video. Ini sungguh mengejutkan. Mom tidak boleh tahu kalau aku dan Killian tidur di kamar yang berbeda.
Lantas, aku melesat keluar kamar hanya dengan mengenakan jubah mandi dan handuk yang membungkus rambut. Kamar Killian adalah tujuanku. Karena terburu-buru, aku nyaris terlilit kakiku sendiri, dan beruntung tidak terjatuh karena aku segera bertumpu pada tembok.
"Killian!" pekikku sambil membuka pintu kamarnya dengan terburu-buru.
Dia sedang duduk di kasur bersama sebuah laptop dan beberapa map di sekitarnya. Dia sedang sibuk, tetapi aku tidak peduli. Yang terpenting adalah Mom melihat kami berdua.
"Hei, Ana, apa yang kau-"
Killian bertanya ketika aku menaiki kasur dan duduk di sebelahnya. Kemudian meraih guling untuk dipeluk sekaligus menutupi pangkuanku.
"Kita harus tampak bahagia, Mom sedang menelepon. Ayo sini."
Killian mendekatiku tanpa protes. Dia tentu mengerti situasi ini tanpa harus dijelaskan sampai mulut berbusa. Setelah itu, barulah aku menerima panggilan Mom.
"Hai, Mom!"
Aku dan Killian sudah memasang senyum terbaik, tetapi yang menyambut kami justru langit-langit dapur. Aku ingat lampu gantung tua itu hanya diletakkan di sana.
"Mom?" Aku memanggil sekali lagi, tetapi yang terdengar justru suara penggorengan dan Dad sedang bernyanyi dengan suara sumbang.
"Maaf, mereka memang se-random itu." Kupamerkan wajah penuh sesal kepada Killian.
"Sudah biasa," sahut Killian sembari menyamankan posisi duduknya dan meletakkan kepala di bahuku.
"Berapa jam perbedaan waktu California dengan New York?"
"Di sini tiga jam lebih cepat daripada di sana." Killian menjawab tanpa berpikir. As expected.
"Pantas saja Mom sedang repot memasak. Dia pasti menyiapkan makan malam." Aku memandang layar ponsel yang masih menampilkan langit-langit dapur. Mom mungkin membiarkan ponselnya tergeletak di atas meja makan atau meja pantri.
"Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Killian membuatku membeku.
"Rencananya aku mau makan setelah mandi, tapi Mom menelepon."
Killian menghela napas kesal, kemudian beranjak dari kasur. Aku hanya diam memperhatikannya. Lidahku kelu untuk bertanya jika dia sudah seperti itu.
"Harusnya tidak jadi alasan untuk tidak makan. Di mana kauletakkan makanan yang kubelikan tadi? Aku tidak mau repot mengurusmu kalau magnya kambuh."
Aku mengulum senyum ketika mendengar ocehannya sambil berjalan keluar kamar. Anehnya, dia bahkan tidak menungguku menjawab. Memangnya dia mau ke mana? Lihat saja, pasti sebentar lagi dia akan kembali muncul di ambang pintu.
"Di mana?"
Betul, bukan?
"Di dapur. Aku belum membawanya ke ruanganku."
Ruanganku berarti ruang khusus yang akan kupakai untuk mengerjakan pekerjaan; menggambar dan merancang busana. Aku belum benar-benar memakai ruangan itu sebenarnya. Namun, aku sudah melihatnya dan benar-benar sangat nyaman. Satu dinding ruangannya digantikan oleh jendela satu sisi yang luas. Aku bisa melihat keluar, tetapi yang di luar tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya.
Aku benar-benar berterima kasih pada Killian untuk itu.
"Ana?"
Aku kembali memandang ponsel dan menemukan wajah Mom. Dia tersenyum penuh haru seolah-olah aku baru kembali dari medan perang dengan selamat tanpa cedera sedikit pun. Berlebihan, bukan? Aku memang baru sekali ini melihatnya seperti itu.
"Halo, Mom. Apa Dad mengganggu?"
Aku terkekeh saat Mom mendelik ke sebelah kirinya, aku menduga mungkin itu ditujukan kepada Dad.
"Memangnya kapan dia tidak menggangguku, hm?"
"Itu bukti cintaku padamu, Sayang." Dad merespons dengan mesranya. Bagian yang membuatku meringis adalah ketika dia menirukan suara kecupan dengan sangat nyaring. Aku sampai tidak sanggup membayangkannya.
"Suamimu di mana? Si jenius itu tidak sedang bekerja, 'kan?"
"Tidak, Mom. Aku di sini."
Aku segera mengganti mode kamera menjadi kamera belakang agar Killian yang baru saja tiba dengan tangan penuh makanan itu terekam dan Mom bisa melihatnya.
"Apa Ana bersikap baik di sana? Dia tidak merepotkanmu, kan, Killian?"
Mataku spontan berotasi. Sopankah menanyakan hal tersebut ketika yang dibicarakan bisa mendengarnya? Killian tahu aku tidak cukup senang dan tersenyum geli.
"Dia sangat merepotkan, Mom. Bahkan untuk makan malam saja harus aku yang menyiapkan untuknya."
Aku langsung mencubit Killian begitu dia kembali duduk di sebelahku. Kamera kukembalikan ke mode awal, kamera depan. Hingga kini di ponsel Mom pasti menampilkan wajah kami berdua.
Killian meletakkan semangkuk kecil cream soup di pangkuanku beserta sendoknya. Itu berarti aku harus segera memakannya. Apalagi dia langsung mengambil alih ponselku sebelum aku memintanya. Dia memaksaku makan meski tidak mengatakan apa-apa.
"Ana, kau perlu belajar memasak sesekali, untuk suamimu."
"Hm. Biar kulihat jadwalku nanti," sahutku tanpa melihat kamera.
Mom pasti sedang menggeleng ringan dengan kening berkerut, seperti baru saja mendapati anak balitanya membalik mangkuk. Makanan berceceran di sekitarnya, sama seperti kekesalanku yang berlimpah.
"Aku hanya ingin tahu apa kalian baik-baik saja, dan yang kutemukan bahkan lebih dari yang pernah terbayangkan. Melihat kalian bahagia membuatku terharu." Mom menyeka matanya yang aku yakin tidak berair.
"Tenang saja, Mom. Kami akan bersenang-senang di sini." Killian yang merespons. Aku tidak ingin repot-repot mengucapkan janji yang tidak akan bisa kupenuhi. Boleh saja berpura-pura, tetapi tetap harus diingat batasannya.
"Kami tunggu kabar baiknya, selamat berusaha. Bye."
Panggilan video berakhir. Killian mengembalikan ponsel dan aku menerimanya agak kasar.
"Apa orangtua selalu seperti itu? Menunggu kabar baik, dan melupakan kalau anaknya menikah atas keinginan mereka. Memangnya kau mau punya anak bersama orang yang tidak dicintai?"
Killian menggumam. Dia sibuk mengumpulkan kembali map-map tugasnya, dan entah sejak kapan laptop sudah mendarat di pangkuannya lagi. Orang-orang yang melihatnya tentu akan mengira dia gila kerja.
"Aku sedang sibuk. Belum memikirkannya." Dia membalas kalem, seolah-olah ucapan terakhir Mom tidak berpengaruh apa-apa kepadanya.
Aku melanjutkan makan sambil memandangi wajahnya yang serius. Keningnya beberapa kali berkerut dan rahang yang tegas itu juga mengeras. Entah sesulit apa pekerjaannya kali ini. Aku melirik layar laptopnya dan hanya menemukan barisan tulisan tak jelas dan tak bisa kubaca.
"Ana, kau bisa kembali ke kamar kalau sudah selesai."
"Jahat sekali kau mengusirku."
Killian memukul dahinya pelan dan telapak tangan itu tetap berada di sana, menutupi sampai pertengahan batang hidungnya.
"Justru aku mengira kau sedang menggodaku saat ini."
"Hah?"
"Kau lupa sedang memakai apa?"
Aku menunduk dan baru sadar belum mengenakan apa-apa selain selembar jubah mandi.
***
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
10 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top