49 - Napa Valley
Ada alasan kenapa dulu kami tidak pernah ke Napa Valley meski tinggal di negara yang sama. Los Angeles dan Napa Valley berada di negara bagian yang sama; California. Jaraknya terlalu dekat dibandingkan dengan daftar kami yang lain. Selagi waktu luang yang kami punya cukup banyak, kami memilih tempat jauh lebih dulu. Karena dipikir-pikir, tempat yang dekat akan lebih mudah dituju meski dengan waktu senggang yang sedikit. Namun, itu sebelum Killian menyeretku ke New York. Dan sekarang Napa Valley terasa begitu jauh.
Killian yang memesan tiket pesawat, sekaligus penginapan yang akan kami tempati selama di sana. Bukti dia sudah memesan adalah dari foto yang dia kirimkan. Yang berarti kami tidak akan merayakan tahun baru bersama orang tua kami. Kami akan merayakannya sendiri di ladang anggur terbaik dengan ditemani berbotol-botol anggur fermentasi. Aku bukan peminum, bahkan tidak tahu sampai mana tubuhku mampu menerima alkohol sampai benar-benar kehilangan akal sehat. Sejauh ini aku sendiri yang membatasi diri, meski terkadang mabuk membuatku lebih berani melakukan sesuatu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, tetapi aku masih memiliki setidaknya empat puluh persen kesadaran. Tidak pernah lebih rendah dari itu. Yang pasti, perjalanan ke Napa membuatku lebih bersemangat untuk minum. Maksudku, siapa yang tidak akan merasa begitu?
Sayangnya, kami datang di waktu yang kurang tepat, kurasa. Anggur biasa dipanen di musim gugur, sedangkan sekarang musim dingin. Kebunnya bahkan diselimuti salju, hanya dipenuhi ranting tanpa daun. Aku sudah protes padanya, tetapi tidak mungkin uang yang dihabiskannya akan kembali seratus persen. Killian berusaha meyakinkanku, kalau kita hanya akan minum anggurnya kali ini, dan bisa direncanakan pergi ke Napa lagi suatu saat. Yah, itu pun jika kami belum berpisah. Namun, aku juga tidak menolak pergi mengingat di rumah orang tua kami, kami terus digoda.
Terlebih lagi Kelly. Dia memang tidak membocorkan pengakuanku pada Killian, tetapi tidak berhenti membuat kami terjebak hanya berdua. Killian memaklumi dan menanggapinya dengan santai, bahkan masih bisa fokus bekerja di laptopnya. Karena dia tahu ibunya sangat terobsesi dengan hubungan kami. Dan aku berusaha mencari celah untuk kabur dan pergi ke butik, lagi dan lagi. Di sana aku mengobrol dengan rekan-rekanku, lalu makan siang sendiri sambil mengobrol dengan Allen melalui telepon. Dia selalu punya banyak hal untuk diceritakan, dan itu membuatku jadi rindu bertemu dengannya. Sejauh ini Allen adalah teman yang asyik.
Tiga hari lagi kami pulang, biarkan aku menikmati hotel ini terlebih dahulu.
"Hanya satu kunci ?" Aku bertanya ketika Killian kembali dari meja resepsionis dengan hanya satu kartu kunci di tangan.
"Kita selalu seperti ini," sahutnya dan berjalan mendahuluiku. Senyumnya menyebalkan. Kalau dia ingat, kamar-kamar yang dulu selalu punya dua kasur.
"Kuharap dengan dua tempat tidur, atau dua kamar?" Aku menyusulnya, dengan langkah cepat karena Killian berjalan agak terburu-buru meski terlihat santai. Kaki-kakinya yang panjang membuat langkahnya jadi lebih lebar.
Dia tersenyum lagi. Aku mulai berpikir dia sedang menutupi sesuatu dan aku tidak tahan untuk tidak curiga padanya. "Mereka punya penawaran khusus untuk pasangan, tidak mungkin kutolak."
"Kau terdengar seperti seorang wanita yang perhitungan."
Diamnya Killian memberiku waktu untuk menyesali apa yang sudah kukatakan padanya. Kalimat yang sederhana, tetapi itu mungkin bisa membuatnya tersinggung. Niatnya baik. Pergi ke Napa Valley adalah keinginan kami bersama, tetapi dia justru mempersiapkan semuanya sendirian. Killian mungkin jarang memberi hadiah kepada orang lain, tetapi dia tidak pernah menagih uangnya yang keluar untuk akomodasi liburan seperti ini. Beberapa kali kami liburan bersama, dia yang lebih sering mengeluarkan uang.
Semakin sering kata-kata itu berputar di telingaku, makin menyebalkan pula diriku.
"Apa seburuk itu satu ranjang denganku?" Dia bertanya begitu kami berhenti di sebuah pintu kamar yang posisinya nyaris paling ujung.
Aku memicing dan membuang muka. "Aku tidak bermaksud begitu." Kujawab seperti itu demi membuatnya merasa lebih baik--jika memang benar tersinggung.
Seringai yang dia tunjukkan begitu terdengar suara kunci pintu terbuka meleburkan rasa bersalah yang sempat menyergapku. Biar bagaimanapun, setersinggung apa pun dia, tetap tidak mengubah fakta bahwa dia menyebalkan. Aku tidak tahu apa yang akan kulihat begitu memasuki kamar. Penawaran untuk pasangan, katanya? Kuharap itu tidak seperti kamar yang Jaden pesan untuk kami.
"Wanita diutamakan," katanya dengan nada jenaka.
Aku masuk dengan rasa waswas. Ada sebuah lemari yang menyambut kami tepat di hadapan pintu. Sisi kiriku adalah kamar mandi, ada bathtub berukuran besar, kloset, shower bersekat kaca, dan dua wastafel, yang kupikir akan sia-sia karena aku dan Killian tidak akan sikat gigi berbarengan di sana. Di sebelah kanan merupakan kamarnya. Furnitur pelengkapnya tidak jauh berbeda dengan kamar-kamar hotel di luaran. Hanya saja desainnya terlihat begitu nyaman. Lampu yang agak temaram membuat kamar ini berkesan sensual, atau mungkin aromanya? Kalian tahu, sesuatu yang mendorongmu untuk menempel pada pasangan, padahal jelas-jelas tidak dingin di sini.
Aku melempar jaket ke sofa yang berada di depan kasur dan berbalik memicing pada Killian, karena gelagat mencurigakannya tidak berarti apa-apa. "Kukira ada sesuatu yang spesial."
Dia meninggalkan koper kami begitu saja di tengah-tengah ruangan dan berjalan melewatiku. Dia membungkuk pada sesuatu di bawah meja. Ada kulkas kecil di sana dan dia membukanya. "Penawarannya adalah menikmati wine spesial yang disediakan di sini." Dia mengangkat dua botol sampai sebatas dadanya dan masih ada satu lagi di dalam kulkas. Ketiganya dengan jenis berbeda.
Oke. Itu cukup membuatku sedikit lebih bersemangat.
Killian lalu berjalan menuju jendela dan menyibakkan tirainya. Itu jendela yang sangat besar dengan balkon di depannya. Namun, bukan itu yang menarik, tetapi pemandangan yang disuguhkan membuatku mendekat dengan sendirinya. Aku membuka jendelanya dan membiarkan udara dingin mengisi kamar kami demi melihat lebih jelas apa yang ada di luar. Kebun anggur yang sangat luas ditambah penampakan Pegunungan Palisades yang diselimuti salju. Ini tidak buruk. Mereka sangat cantik.
"Seharusnya kita datang di musim gugur." Aku mengatakannya lagi.
Aku tidak mendapat jawaban, tetapi sebuah pelukan dari belakang. Killian sudah melepas jaketnya juga. Dia sudah tidak demam, tetapi ini terasa hangat. Bagian bawah dagunya berada di puncak kepalaku. Betapa aku sangat menyukai suasana ini sampai-sampai menahan tangannya yang melingkari pinggangku.
"Sudah kubilang kita bisa datang ke sini lagi lain kali." Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan.
"Saat itu terjadi, aku juga akan mengajak Allen." Sebelum Killian berkata akan membawa Gabby, aku melakukannya lebih dulu. Yah, agar rasanya tidak begitu sakit ketika dia benar-benar mengatakannya. Setelah ini mungkin dia juga akan berkata turut mengajak Gabby.
"Oh, ya?"
Namun, itu meleset dari dugaanku.
"Ya. Seperti kau berencana mengajak Gabby untuk ikut."
Dia tertawa begitu hambar. "Ya, mungkin saja." Tidak ada antusias sedikit pun di suaranya.
"Apa sesuatu terjadi?" Bodoh kalau aku tidak menyadarinya. Sejauh ini Killian selalu begitu semringah dan penuh semangat jika membicarakan tentang Gabby, tetapi hari ini dia seperti enggan membicarakannya. Bahkan dia juga tidak banyak memainkan ponsel hari ini.
"Bukan apa-apa. Kau tahu, masalah-masalah kecil dalam hubungan."
"Tidak. Aku tidak tahu. Aku belum pernah punya pasangan." Aku diam, menggigit daging pipi dalam mulutku karena ragu untuk meneruskan.
"Aku pasanganmu sekarang."
Kali ini aku yang tertawa hambar, sekaligus melepaskan diri darinya dan menjatuhkan diri di kasur. Kasurnya sangat nyaman, aku bisa langsung tertidur jika berbaring dengan benar.
"Hanya status. Kita tidak melakukan hal-hal yang dilakukan pasangan pada umumnya. Oh, bahkan pernikahan pertamaku pun mengalami kegagalan." Aku berubah jenaka di akhir kalimat.
Killian menutup jendela dan bersandar pada bingkainya sambil bersedekap. Dengan pose seperti itu, dia seperti sudah siap untuk difoto.
"Apa yang membuatmu berpikir kalau itu kegagalan?"
Aku duduk menghadap Killian, dengan tangan bertumpu di belakang untuk menopang tubuh. Dia mau bermain pura-pura tidak tahu? Aku akan dengan senang hati meladeninya. Napasku terembus agak keras, seperti seseorang yang sudah hidup sangat lama dengan masalah hidup yang beragam dan sangat berat. Meski begitu, aku siap untuk membagi pengalaman hidup tersebut padanya.
"Suamiku akan menceraikanku." Aku mengusap bagian bawah mata dengan satu telunjuk, seolah-olah ada air mata di sana. "Itu pernikahan pertamaku, dan dia bahkan tidak memberiku pengalaman pernikahan yang berkesan. Menyedihkan sekali, bukan?"
Hidung Killian mengerut untuk kemudian diremasnya sendirian. Sekarang apa dia punya jawaban untuk itu atau dia hanya akan diam setelah ini. Aku mengatakan kebenaran dan lebih percaya kalau dia tidak punya apa-apa untuk mengelak. Lagi-lagi dia tidak menjawabnya dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah gestur. Dia berjalan mendekat, lalu membungkuk setidaknya sampai mampu menyapukan embusan napasnya di wajahku.
"Aku punya ide bagus untuk membuat liburan kali ini lebih berkesan." Seringai penuh percaya diri itu tercetak di bibirnya, seakan-akan tahu aku pasti setuju dengannya.
"Terakhir kau bilang punya ide bagus, aku merasa dirugikan." Aku menepuk pipinya dua kali, menjadikannya sebagai teguran agar dia mundur. Ketampanannya berubah menjengkelkan jika di saat-saat seperti ini. Namun, aku tetap tidak bisa berpaling darinya.
"Mari jadikan ini liburan kita sebagai suami istri. Kita akan berkencan, makan malam romantis, bergandengan tangan ke mana pun kita pergi, atau melakukan hal-hal menyenangkan lainnya. Liburan ini hanya tentang kita, tidak ada yang lain."
Kepalaku mulai dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika kami melakukannya. Sebetulnya tidak masalah jika kami memang benar-benar suami istri, seperti pada umumnya, yang diselimuti cinta setiap harinya. Killian bahkan mencintai wanita lain, bukan tidak mungkin dia akan membayangkan aku adalah Gabby ketika dia bersikap romantis padaku.
"Kurasa itu ide yang buruk. Kau tidak memikirkan risikonya? Sesuatu bisa terjadi jika kita terbawa suasana." Aku menelan ludah setelahnya. "Kau punya kekasih, sebaiknya jangan lakukan hal-hal aneh. Jangan karena kalian sedang ada masalah, kau bebas bersenang-senang dengan wanita lain."
Killian memutar bola matanya dengan decakan kesal yang pelan. "Wanita lain itu adalah kau. Kita sama-sama tahu hal seperti itu tidak akan terjadi pada kita." Dia tidak suka aku menyebut diriku seolah-olah seperti orang asing baginya.
"Oh? Lalu apa yang membuat kalian hampir tidak berkomunikasi akhir-akhir ini?"
Dia diam agak lama. Sedangkan aku bertanya lagi karena lupa kalau dia tidak ingin membicarakan tentang kekasihnya. Namun, ya, sudah telanjur. Waktu yang berjalan makin membuat rasa penasaranku makin besar.
"Dia cemburu, sepertinya. Aku memberi tahunya kalau akan pergi ke Napa Valley denganmu, lalu dia bersikap dingin padaku."
"Kukira dia baik-baik saja dengan kebiasaan kita berlibur bersama?"
Killian hanya mengangkat bahu. "Itu bukti kalau dia benar mencintaiku, 'kan?"
Aku mencebik, tidak tahu bagaimana merespons itu. Kalau aku membenarkan, mungkin dia akan bertanya bagaimana aku bisa paham soal itu. Cemburu itu perasaan yang menyebalkan. Aku merasakannya setiap kali Killian menghabiskan waktu bersama Gabby, tetapi aku tidak ingin dia tahu soal itu.
"Kau masih menolak tawaranku?" Killian menaikkan lututnya di antara kedua kakiku, disusul dengan dua tangannya di sisi kiri dan kanan tubuhku, mengurungku. Seringai menyebalkannya muncul lagi.
"Ayolah, Killian. Aku tidak mau ambil risiko." Aku mendorongnya dengan sebelah tangan dan tentu saja tidak berhasil.
"Kau takut akan jatuh cinta padaku?"
Aku berdecih pelan, memerankan sosok tangguh yang tidak akan mudah tergoda oleh pesonanya. Meski kenyataannya aku sudah kalah. Namun, aku tidak akan beringsut untuk menghindarinya kali ini. Aku justru mengimbangi permainannya dengan menautkan kedua tanganku yang dingin di lehernya.
"Tidak. Aku justru khawatir kau akan meninggalkan Gabby untukku. Apa kau siap untuk itu?" Hell. Aku bukan seorang penggoda, tetapi menyenangkan melihatnya menelan ludah dengan susah payah ketika tatapannya turun ke bibirku. "Wine mungkin akan mengubah caramu melihatku."
"Saat itu terjadi, aku akan percaya kalau Wine memang mengandung zat afrodisiak."
Afrodisiak, sebuah zat yang mampu merangsang daya seksual seseorang, meningkatkan gairah hingga lebih berani untuk memberi sekaligus menerima sentuhan dari seseorang. Kami pernah menghabiskan berbotol-botol bersama, tetapi hal seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, aku ingat betul ketika zat tersebut memengaruhi kendali tubuhku, aku melihat Killian menjadi berkali-kali lipat lebih menarik. Sekarang aku penasaran apakah Killian juga mengalami hal yang sama, atau zat seperti itu tidak berpengaruh padanya.
Kami hanya saling memandang dalam posisi ini. Belum ada setetes pun minuman anggur fermentasi itu yang masuk ke sistem tubuh kami, bahkan belum membukanya, tetapi memikirkannya saja sudah menaikkan ketegangan seksual di antara kami. Mungkin pengaruh dari aroma udara di ruangan ini, atau lampunya yang temaram. Mataku beberapa kali turun ke bibirnya, mengikuti apa yang dia lakukan. Entah siapa yang memulai lebih dulu, wajah kami saling mendekat. Aku sudah merasakan permukaan bibirnya ketika kemudian ponselku berdering keras. Bagai mendapat uluran tangan untuk kembali sadar, aku langsung melepaskan lehernya dan punggungku mendarat di kasur begitu saja.
"Ponselku. Menjauhlah." Sensasi tersebut belum benar-benar hilang, masih membuat sesak di dada hingga aku bernapas seperti habis berlari. Jantungku juga, kencang sekali berdebarnya. Hal seperti ini, juga dirasakan Killian sekarang. Dia terlihat seksi saat bernapas dengan cara seperti itu.
"Padahal itu bisa menunggu." Suaranya serak, tidak juga menyingkir dari hadapanku.
"Ayolah, itu dari Allen."
"Bagaimana kau tahu padahal belum memeriksanya?"
Aku tertawa kecil. "Dering itu khusus untuk telepon darinya saja. Dia sudah cukup spesial untukku sekarang."
"Oh?" Itu reaksi tidak menyenangkan yang kudapat darinya. Dan ponselku berhenti berdering.
"Apa kau merasa terancam sekarang? Karena kau bukan lagi satu-satunya yang punya dering berbeda di ponselku?"
Aku lega pada akhirnya dia menjauh dariku. Yang tadi itu hampir saja. Tidak masalah dengan ciuman, toh kami sudah melakukannya beberapa kali. Namun, bagaimana kalau kandungan afrodisiak dari anggur benar-benar akan mengambil alih kendali tubuh kami? Itu buruk, tetapi di sisi lain aku merasa itu berarti cukup baik.
Satu-satunya cara menghilangkan ketegangan ini adalah dengan melepaskannya.
"Itu sedikit mengganggu, tapi, lupakan saja. Silakan mengobrol. Aku akan mandi dan sebaiknya kau menyusul setelahku. Kita akan makan siang dan mengunjungi kilang anggur."
Seperti biasa, dia akan menyeret koper ke kamar mandi. Dia pikir aku akan bernafsu begitu melihat pakaian dalamnya? Kami bahkan mengepak barang bersama dan sudah tahu barang bawaan satu sama lain mengingat hanya satu koper yang dipakai.
Astaga!
"Killian! Keluarkan kopernya, di sana ada milikku juga!"
•••
This is too much for just one scene.
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
June 11th, 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top