48 - The Ring
Kelly bilang tidak ada kata terlambat untuk jatuh cinta dan percaya kalau suatu saat Killian akan merasakan hal yang sama padaku. Namun, aku melewatkan bagian di mana aku sendiri terlambat menyadari itu. Dia tidak tahu kalau putranya sudah jatuh cinta pada wanita lain. Dan mungkin tidak akan pernah sadar sampai kami tiba-tiba memberi kabar perceraian dan Killian memperkenalkan Gabby padanya. Akan seperti apa reaksi mereka, adalah urusan Killian untuk menghadapinya. Aku sudah merasa cukup buruk karena obrolan kemarin membuat tidurku tidak begitu nyaman. Aku terbelalak hampir setiap satu jam sekali. Atau mungkin itu terjadi karena kondisi Killian, karena setiap terbangun, yang kulakukan adalah merendam kembali kompresnya yang hampir kering.
Satu hal yang kulakukan pertama kali begitu bangun tidur hari ini adalah memeriksa suhu tubuh Killian lagi. Demamnya sudah tidak seburuk saat aku belum tidur, itu bagus. Aku bisa meninggalkannya pergi ke butik hari ini tanpa perlu khawatir berlebih. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin merepotkan juga dirinya. Kuharap hari ini dia punya lebih banyak tenaga agar aku tidak harus membantunya berganti pakaian lagi. Bukan tidak ingin membantu, tetapi aku sudah membayangkan akan betapa banyak tenaga yang harus dikerahkan untuk mengangkat tubuhnya untuk duduk. Itu pernah kualami dulu, bahkan sebelum dia sebesar sekarang.
Setelah menghabiskan dua puluh menit di bawah guyuran pancuran air hangat, pintu kamar Killian diketuk. Aku tidak bisa menyebutkan ini adalah kamar kami karena hanya menempatinya sementara. Tatapanku berpencar ke sekeliling ruangan, berusaha mencari pakaian yang layak untuk menggantikan jubah mandi yang sedang membungkus tubuhku. Namun, setelahnya aku berhenti melakukan pencarian setelah terdengar suara Kelly memanggil namaku. Panik yang sempat menderaku seketika sirna. Aku akan merasa tidak nyaman jika yang mengetuk pintu adalah suaminya.
"Ya, Mom?" Meski lega dia adalah si pengetuk pintu, aku tetap menyembunyikan tubuh di balik pintu dan hanya kepala yang menyembul untuk menyambutnya. Aku berusaha untuk tidak tertarik pada aroma yang mulai memenuhi rongga hidung. Di tangan Kelly ada nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Asap masih mengepul dari keduanya. Satu hal yang pasti, itu bukan untukku.
"Killian sudah bangun?" Dia bertanya disertai dengan senyum yang hangat. Kendati demikian, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Kelly selalu seperti itu ketika Killian sedang sakit. Sisi gelap di area matanya menjadi bukti bahwa tidurnya tidak nyenyak semalam. Karena itu, aku mulai mempertimbangkan keputusan untuk pergi ke butik.
Aku menggeleng sembari melempar senyum yang kuharap bisa membuatnya sedikit tenang. "Dia tidur dengan baik sampai sekarang. Tidak ada mengigau, atau wajah gelisah." Kemudian aku menepi, memberi ruang barangkali dia ingin masuk dan melihat langsung kondisi Killian.
Namun, yang dia lakukan hanya menyodorkan nampan yang dibawanya padaku. "Ini untuk sarapan Killian. Kalau kurang, masih ada di dapur. Kami akan menunggu kalau Ana mau sarapan bersama kami."
Aku menerima nampan tersebut dengan rasa tidak enak hati, tetapi berusaha mempertahankan senyum untuk mengapresiasi niat baiknya. Pertama, karena dia yang membuat bubur untuk Killian dan bukan aku, meski aku sadar ini tidak sepenuhnya kewajibanku. Namun, kupikir Kelly sangat paham dengan situasi pernikahan kami. Dia tidak akan protes jika aku tidak bersikap selayaknya istri yang baik untuk putranya. Kedua, karena aku akan menolak tawaran sarapan bersama. Sejak kemarin, aku hanya bertemu sebentar dengan orang tuaku. Pagi ini saja aku bertemu mereka dan sarapan bersama. Siang harinya aku mungkin makan bersama rekan-rekan di butik. Lalu malamnya kami sudah berencana untuk makan bersama di luar--keluarga kami.
Aku berdeham untuk meredakan sedikit rasa tidak enak untuk mengatakannya. Rupanya serumit ini situasinya jika mertua bertetangga dengan orang tua sendiri. "Aku mau langsung bertemu orang tuaku dan tidak ikut sarapan, sepertinya."
Kelly menepuk lenganku dan berakhir dengan usapan lembut. Dia tersenyum geli karena permintaan kecilku itu. Setelah Mom, dia adalah wanita paling pengertian yang pernah kutemui. "Untuk mengatakan itu saja kau ragu? Tidak apa-apa, kami akan mengurus Killian. Kau belum bertemu orang tuamu sejak kemarin."
"Itu ... hari ini aku juga perlu ke butik, ada beberapa hal tentang pekerjaan yang harus dibicarakan. Tapi aku tidak bisa membawa Killian, jadi--"
"Rileks, Ana. Tidak apa-apa, kami akan menjaga Killian. Selesaikan saja urusanmu." Sebelum aku digerus oleh rasa bersalah lebih banyak lagi, Kelly memaklumi keinginanku.
Senyumku mengembang lebar, terasa lebih ringan. Tanganku menggenggam pegangan nampan karena menahan diri untuk tidak memeluknya. "Terima kasih, Mom."
Kelly menepuk lenganku sekali lagi sebelum beranjak dari hadapanku. Aku terus memperhatikan punggungnya sampai menuruni tangga dan benar-benar menghilang dari jangkauan pandanganku, baru setelah itu kembali masuk ke kamar dan tidak lupa menutup pintu.
Nampan tadi kuletakkan di atas nakas sebelum mencoba membangunkan Killian. Percobaan pertama, aku menggoyang lengannya dan gagal. Kedua, aku juga memanggil namanya, itu berhasil membuat tidurnya terusik. Namun, dia mengabaikanku dan malah berbalik membelakangiku. Itu membuktikan kalau kondisinya sudah jauh lebih baik. Aku bisa mengabaikannya dan pergi begitu saja, tetapi aku tidak mungkin membuat Kelly merasa kecewa karena sikapku. Aku akan pergi dengan tenang setelah memastikan dia bangun dan mulai menyantap buburnya.
Ini akan menjadi percobaan yang terakhir. Dia tidak akan bisa tidur dengan tenang setelahnya. Targetku adalah telinganya. Jari-jariku membelainya dengan lembut, seakan-akan itu adalah benda paling rapuh yang pernah ada. Bayangkan saja ketika tisu yang terbakar menjadi lembaran abu, yang ketika disentuh akan langsung melebur menjadi butiran-butiran yang jauh lebih halus daripada pasir. Aku harus memastikan lembaran itu tidak hancur saat disentuh.
Killian bergidik. Dia menarik tanganku dengan tenaga seadanya, membungkusnya dalam lingkaran telapak tangannya yang hangat. Namun, cukup berhasil membuatku terduduk di pinggiran kasur.
"Itu tadi sangat berisiko, Ana." Dia menegur dengan suara yang serak dan lemah. Aku yang mendengarnya sampai ingin menyiramkan air ke kerongkongannya.
"Kalau begitu bangunlah dan sarapan. Mom sudah membuat bubur untukmu."
Killian mengubah posisi menjadi telentang agar bisa menatapku, dan tanganku belum dia lepaskan. Sampai kemudian dia menyadari keberadaan cincin di jari manisku. Dia mengangkat tanganku ke atas, sejajar dengan wajahnya. Aku sedikit heran dengan sikapnya, tetapi membiarkannya tetap melakukan itu.
"Kau memakainya." Matanya melebar sedikit setelah tahu kalau itu adalah cincin yang pernah dia pasangkan di jariku di hari di mana kami berdiri berhadap-hadapan di altar; cincin pernikahan kami.
"Setelah ibumu menegurku kemarin. Aku lupa masih memakainya sebagai kalung. Dan kau harus memakainya juga, atau dia akan mencecar kita dengan banyak pertanyaan." Aku sudah merinding begitu membayangkan itu terjadi.
"Aku sudah memakainya." Dia mengangkat tangan kirinya, yang entah bagaimana aku tidak menyadari itu sejak tadi.
"Kapan kau memakainya?"
"Saat kudengar suara pancuran air di kamar mandi."
Dia sudah bangun saat aku sedang mandi, dan tidur lagi dengan sangat lelap seakan-akan dia tidak bangun sejak semalam. Untung saja aku memakai jubah ini di kamar mandi dan tidak melepasnya di kamar. Killian mungkin belum benar-benar tertidur dan membuka matanya diam-diam. Well, dia bukan pria mesum, tetapi hal seperti itu memiliki peluang akan terjadi. Begitu memikirkannya, aku pun sadar sekarang juga masih mengenakan jubah mandi. Bagian depannya terbuka sedikit lebih lebar daripada seharusnya dan aku buru-buru merapatkannya.
"Terlambat. Aku sudah melihatnya. Warna hitam."
Wajahku panas begitu dia mengatakannya. Mengabaikan kalau dia sedang sakit, aku mencubit hidungnya sekuat tenaga. Tidak apa-apa dia sakit lagi kalau sehatnya justru semenyebalkan ini. Selagi pertahanannya melemah, aku buru-buru menjauhinya dan meraih setelan pakaian yang sudah kusiapkan tadi malam. Setelah ini aku tidak punya baju lain untuk dikenakan dan harus mengambilnya ke rumah orang tuaku.
"Aku jadi lebih suka saat kau tidak berdaya seperti semalam." Kata-kata itu agak kasar, tetapi aku sudah telanjur kesal padanya.
"Ya, aku juga suka saat kau mengurusku."
Aku berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai menggelitik dadaku karen ucapannya. Terlebih lagi dengan dia menatapku seperti itu, aku tidak tahan untuk tidak segera berpaling.
"Aku harus pergi ke butik hari ini, Killian, jadi tolong habiskan buburnya dan minum obat agar aku tidak merasa bersalah pada ibumu." Aku memelas, tahu bahwa tanpa cara itu Killian mungkin tidak akan melakukannya sampai bubur itu dingin dan berair.
Bubur itu dipandangnya sebentar sebelum satu helaan napas dia embuskan. Tangannya belum berhenti mencubit hidungnya yang merah. Dia persis seperti penderita flu.
"Aku ingin mengantarmu, tapi kepalaku masih pusing."
"Itu sebabnya kau harus minum obat," sahutku sembari memakai stocking tebal tanpa melepas jubah. Untuk yang satu ini memang sudah sering kulakukan di depannya. Aku hanya perlu memastikan pakaian dalamku tidak terlihat.
"Kau akan pergi dengan siapa?"
"Jaden ada di rumah, aku akan memaksanya."
Killian hanya mengangguk. Setelahnya dia duduk dan bergerak mundur sampai punggungnya membentur kepala ranjang. "Ana, aku ingin disuapi."
Astaga. Dia berhasil membuatku ingin menuangkan obat tidur ke dalam mangkuk bubur tersebut.
•••
Gara-gara Killian, aku jadi terlambat ikut sarapan bersama keluargaku. Aku tidak menyuapinya, tetapi dia harus dipantau agar isi mangkuk itu berpindah semua ke perutnya. Aku harus menontonnya makan sambil mendebatkan pemanasan global. Namun, itu justru mengingatkanku pada masa lalu, kami sering melakukannya. Bedanya, dulu kami hanya membicarakan hal-hal lucu, sebagaimana anak-anak yang belum terjamah masalah hidup pada umumnya.
Meja makan di rumah sudah bersih, hanya ada sisa menu sarapan Mom, Dad, dan Jaden. Saat aku datang, Mom sedang mencuci piring di wastafel, Jaden membaca koran di meja makan dengan tampang seriusnya yang menyebalkan, dan Dad sudah sibuk memberi makan ikan-ikannya di kolam dalam ruangan, yang dibangun berhadapan dengan dapur. Setidaknya suara pancuran air yang dipasang di kolam tersebut sedikit membuatku merasa lebih tenang.
"Bagaimana kondisi Killian?" Mom bersuara setelah kami saling diam cukup lama. Parahnya, dia bukan bertanya tentang aku. Ini reuni keluarga yang tidak begitu berkesan, padahal terakhir kuingat, Mom yang sampai tersedu-sedu saat aku pindah.
Saat aku datang dia hanya memintaku untuk langsung makan. Tangannya yang dipenuhi busa menjadi alasan tidak bisa memelukku. Dad juga sama, tangannya sudah mengobok-obok pakan ikan dan air kolam. Aku tentu tidak mau dia menyentuhku dengan tangan seperti itu. Sementara Jaden juga tidak benar-benar memedulikan keberadaanku. Keluarga ini memang anti berbasa-basi.
"Sudah membaik. Dia bilang sisa pusingnya saja." Meski merasa kecewa sedikit, aku tetap merespons.
"Benar-benar seperti ayahnya, bekerja terlalu keras." Dad turut bersuara. Aku tidak menceritakan bagaimana dia bisa sakit, tapi kupikir Dad sudah mendengarnya dari ayah Killian. Mereka berdua sering menghabiskan malam bersama; bukan dalam konteks sensual pastinya.
"Dia harus begitu agar cutinya diterima. Menurutku itu hebat. Dia baru beberapa bulan di sana, tapi sudah dapat libur panjang."
Aku kembali menyuap sereal sembari berusaha membayangkan bagaimana Killian bekerja keras di kantornya. Jarinya tidak berhenti menekan tuts kibor, wajah yang fokus, saat tengah hari pekerjaan yang padat akan membuatnya frustrasi dan rambut yang pada pagi ditata sangat rapi pun menjadi berantakan. Atau udara yang panas membuatnya melepas dasi dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Dia membuat siapa pun akan tergila-gila jika memasuki ruangannya dalam kondisi seperti itu. Lalu ada Gabby yang akan menyombong pada mereka karena sudah pernah melihat yang lebih dari itu.
Wah. Aku menciptakan telenovela sendiri di kepalaku.
"Ana?"
"Uh. Ya, Mom?" Aku jadi kikuk seakan-akan mereka turut menyaksikan apa yang membayang di kepalaku. Tidak, berapa lama aku memikirkannya tadi?
"Kau mau pergi? Rapi sekali." Mom menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya. "Killian sedang sakit dan kau akan pergi?"
Lagi dengan teguran agar aku menjadi istri yang baik.
"Mom, dia sudah jauh lebih baik. Ibunya tidak masalah aku pergi, Killian juga sudah tahu. Aku perlu ke butik untuk mendiskusikan beberapa hal. Tempat itu tidak akan ditutup." Aku memutar badan dalam posisi duduk hanya untuk melihat Dad. "Dad, batalkan penawarannya!"
Setelah aku berseru begitu, Dad berdiri dan tersenyum begitu lebar padaku. "Itu baru rencana. Aku tidak pernah menawarkannya kepada siapa pun." Dad tahu aku tidak suka dia mendekat dengan tangan yang kotor, jadi mampir dulu ke wastafel dan memastikan sabun menyapu kulit tangannya, dari jari sampai siku. Setelahnya dia duduk di sebelah Jaden, cukup dekat untuk bisa melirik apa yang dibaca putra sulungnya itu.
"Serius, Dad?" Reaksi yang terlambat hanya karena sibuk memperhatikan pergerakannya.
"Aku tahu itu pencapaian pertamamu, Ana. Kau menabung selama kuliah demi bisa membeli tempat itu. Bahkan jika tutup, aku yang akan membelinya dan membiarkan namamu tetap ada di sana. Siapa tahu suatu saat kau akan kembali? Bangunannya berada di lokasi yang sangat strategis. Sayang kalau dilepas."
Sejak kapan ayahku jadi begitu romantis? Aku sampai menutup mulut, menyembunyikan senyum yang teramat lebar saking terharunya. Aku disadarkan tentang betapa aku rindu mendapatkan perhatian mereka. Killian mungkin bisa jauh lebih perhatian, tetapi tidak akan pernah mengalahkan mereka berdua. Ini membuatku tidak ingin kembali ke New York.
"Dad, aku mencintaimu. Sangat." Kuharap aku bisa ke seberang meja dan memeluknya. Namun, sarapanku belum habis dan menit-menit yang terbuang terlalu berharga, jadi akan kulakukan nanti.
Mom menyadari gelagatku dan tangannya terangkat untuk mengusap punggungku. Dia selalu berakhir dengan tidak mengatakan apa-apa ketika sedang membicarakan tentang karierku. Dulu dia menentangnya, berharap aku lebih realistis lagi dalam memilih pekerjaan dan itu terjadi sebelum aku mengambil jurusan Fashion saat kuliah. Meski begitu, aku tahu dia tetap mendukungku. Kalau tidak, hubungan kami mungkin akan lebih buruk dari ini.
"Ana pergi ke butik dengan siapa? Mom ada urusan dengan ibu Killian, dan Dad tidak bisa mengemudi karena kakinya."
Aku melirik Jaden yang masih tenggelam dalam artikel-artikel di koran. Dia berdeham, seolah-olah tahu aku sedang menatap, padahal wajahnya nyaris tertutup sepenuhnya oleh koran tersebut. "Aku tidak bisa," tolaknya sebelum diminta.
"Bagaimana kalau kau pinjamkan mobilku kalau begitu?"
Akhirnya koran itu diletakkannya di atas meja dan picingan matanya tertuju ke mataku. "Tidak bisa. Terakhir kau menyentuhnya, aku harus meninggalkannya ke bengkel dan dia dirawat seminggu penuh."
"Oh, ayolah, itu bukan salahku. Mobil orang itu yang lebih dulu menabrak bagian depan mobilmu. Sudah kujelaskan, 'kan? Aku sudah meminjamimu mobilku, setidaknya bayarlah kebaikanku. Aku menagih imbalan hari ini."
"Bukankah itu kecurangan?"
"Kau lihat dua tanganku ada di sini? Tidak sibuk menyabotase apa pun."
"Maaf. Tidak bisa."
"Hanya mengantarku. Aku akan pulang sendiri!"
"Jaden, antarkan Ana sebentar. Lagi pula, Mom sudah memintamu untuk keluar membeli sesuatu, bukan? Sekalian saja." Dad berujar lemah. Dia tidak lagi menegur keributan yang kami ciptakan. Bahkan Mom dan Dad mungkin merasa lega kalau kami tidak di rumah, atau salah satunya tidak ada, karena beginilah yang terjadi saat dua saudara ditempatkan dalam satu ruangan--meski tidak berlaku pada semua persaudaraan lain di luar sana.
"Baiklah, baiklah." Jaden pasrah, dan dia memang dikenal tidak bisa melawan Dad. "Tapi kenapa kau datang sendiri? Tidak membawa setidaknya satu pegawaimu yang lain?" Dia berdeham. "Mengajak Emma, misalnya."
Sendokku terhenti di udara, tepat di bawah dagu, tidak jadi disuap karena nama yang dia sebutkan. "Kalau kau mau tahu kabarnya, tanyakan langsung saja." Aku menggodanya kali ini. Dia sempat bilang tertarik pada wanita itu, tetapi setelah dia pulang, tidak ada lagi kelanjutan kisah mereka. Atau mungkin ada dan mereka tidak memberitahuku.
"Siapa Emma?" Mom mulai penasaran dan itu berhasil memunculkan semburat merah di wajah Jaden.
"Daripada menyebutnya pegawaiku, aku lebih suka menyebutnya rekan kerja, Mom. Aku mengenalnya sejak kompetisi. Dan kupikir wanita itu memenuhi selera satu-satunya pria lajang di rumah ini."
"Hei, mulutmu." Jaden tidak terima kukatai begitu dan kubalas dengan juluran lidah. "Temui aku di depan kalau begitu." Itu berarti 'aku akan mengantarmu'. Dia cenderung meninggalkan ruangan, atau di mana pun itu, ketika dirinya tersudut. Namun, dia juga tidak berusaha untuk menghentikannya. Dia tidak keberatan dibicarakan, tetapi dia tidak ingin mendengarnya.
"Itu cukup melegakan." Dad berceletuk. "Aku sudah khawatir dia menderita kelainan seksual karena tidak pernah memperkenalkan satu pun teman kencannya pada kami."
Aku dan Mom tergelak. Tidak pernah disangka Dad akan mengkhawatirkan itu meski selama ini terlihat mengabaikannya. Mereka juga tidak pernah mendesak Jaden untuk segera menikah, tetapi mungkin dari sekarang aku akan menuntut keadilan. Sebelum aku menyuarakan itu, ponselku berdering. Aku mengeluarkannya dari tas selempang yang tidak kulepas sejak tiba di sini dan menemukan Allen meneleponku.
Duh. Aku lupa memberitahunya kalau sudah sampai. Akan kutelepon balik dia setelah ini. Namun, ada satu lagi yang menarik perhatianku, pesan dari Killian. Aku tidak sadar kalau dia mengirimnya beberapa menit lalu.
Killian
[📷 Photo]
[📷 Photo]
Mumpung kita di Cali, ayo sempatkan pergi ke Napa Valley sebelum kembali ke NYC. Aku sudah memesan hotelnya. 3 hari cukup, 'kan?
Satu dari daftar liburan.
Hanya berdua, sesuai keinginanmu. 🥂
Killian benar-benar pria yang penuh kejutan.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
June 8th, 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top