47 - Deep Talk with the Mother in Law

Aku sudah menduga-duga kalau kondisi Killian akan memburuk besok harinya. Namun, dia sudah makin tidak berdaya begitu pesawat mendarat. Setidaknya dia masih sanggup berjalan, mengingat aku sudah berencana ingin meminjam troli dari. Bukan untuk koper kami yang kecil itu, tetapi untuk membawa Killian sampai ke depan bandara, di mana orang tua Killian menunggu untuk menjemput kami.

Perbedaan waktu yang cukup jauh dengan New York juga berpengaruh pada kondisi Killian, kurasa. Dia mengaku makin pusing, mengantuk berat, tetapi saat di jalan pulang dia tidak bisa tidur, padahal sudah berpejam sangat lama. Kalau begini, aku yang jadi merasa tidak enak pada orang tuanya. Aku sudah bilang untuk menunda pulang, dan dia menolak. Sekarang siapa yang repot? Aku.

Dengan bantuan ayahnya, Killian kini berbaring di kasurnya yang bersih. Kelly mungkin sudah membersihkannya karena tahu kami akan datang. Tentunya aku juga harus tidur di sini meski rumah orang tuaku ada di sebelah. Mereka tidak tahu kalau pasangan suami istri ini tidur terpisah sejak lama. Aku bahkan belum sempat bertemu orang tuaku karena bayi besar ini harus diurus lebih dulu.

Jaket yang membungkusku tadi sudah kugantung ke tiang gantung, tersisa sweter tebal berwarna krem dengan celana jeans berwarna hitam yang melebar di bagian bawahnya. Penghangat ruangan sudah menyala sebelum kami datang, jadi tempat ini tidak begitu dingin. Sebelum berpikir untuk mengurus Killian, aku mengikat rambutku yang sudah sedikit lebih panjang.

Sekarang adalah bagaimana cara agar Killian bisa mengganti pakaiannya agar tidurnya lebih nyaman. Dari lemarinya, aku mengeluarkan setelan piyama panjang berwarna hijau tua. Tidak lupa selembar celana dalam untuk mengganti miliknya, yang berhasil membuat wajahku panas saat menyentuhnya. Aku memang jarang menyentuhnya karena untuk pakaian dalam, kami mencuci dan menjemurnya masing-masing. Aku meletakkan semua itu di sisi lain kasur.

"Killian." Kutepuk tangannya yang panas tiga kali.

"Hng?" Hanya gumaman yang dia keluarkan dengan mata terpejam.

"Kau harus mengganti pakaianmu." Lepas jaketnya dulu.

Killian hanya menarik turun ritsleting jaket tebalnya sebelum kedua tangan yang lemas itu kembali tergeletak di kedua sisi tubuhnya. "Tolong bantu aku. Aku terlalu lemas."

Tanganku jatuh lemas di kedua sisi tubuh. Biasanya aku hanya menyaksikan sambil membawa baskom berisi air hangat ketika Kelly melakukan itu untuknya, bahkan itu saat kami masih remaja, ketika tubuhnya belum terbentuk sesempurna sekarang. Kalau melepas pakaian saja tidak sanggup, berarti aku harus menyeka badannya juga.

"Tunggu sebentar."

Aku keluar untuk mengambil air hangat, lalu ke kamar mandi di kamar Killian untuk mengambil handuk kecil. Orang tua Killian sedang tidak ada ketika aku ke dapur. Namun, karena mobil mereka terparkir di halaman, aku mengira mereka sedang berada di rumah orang tuaku. Aku akan menyusul nanti, setelah urusan dengan Killian selesai.

Lengan sweterku kugulung sampai siku agar tidak basah saat aku merendam handuk kecil ke air hangat.

"Killian, apa kau benar-benar tidak bisa duduk sebentar? Hanya untuk melepas atasanmu." Aku tidak tahu apa dia tertidur atau belum, tetapi dari deru napasnya yang belum benar-benar teratur, aku tahu dia masih bisa mendengarku.

Killian duduk dan aku segera melepas jaketnya, disusul dengan sweter yang sama dengan milikku. Kami memang membeli itu berpasangan beberapa waktu lalu. Tidak hanya sweter yang saat ini kami pakai, tetapi masih ada yang lainnya. Kami selalu membeli setidaknya satu pakaian berpasangan setiap kali pergi berlibur.

"Apa ini cukup hangat?" Aku bertanya ketika baru menempelkan handuk yang basah ke bahu Killian. Dia menatapku sebentar dan mengangguk.

Aku menyapukan handuk basah tadi ke punggungnya terlebih dulu. Untuk dada dan perutnya bisa kulakukan saat dia berbaring. Sesekali bahunya akan menegang saat tanganku tidak sengaja bersentuhan langsung dengan kulit punggungnya. Aku tidak sengaja, sungguh. Jantungku berdebar kencang sekali saat ini. Begitu selesai, aku memasangkan atasan piama dan membiarkan kancingnya terbuka. Killian berbaring dan selanjutnya aku menyeka bagian dada dan perutnya. Dada Killian bersih, tidak ditumbuhi rambut-rambut halus. Tidak ada bekas cukuran juga. Jujur saja aku suka ketika tubuh pria tidak punya terlalu banyak rambut, terutama bagian dada.

"Kalau kau melakukannya pelan seperti itu, sama saja kau sedang menggodaku, Ana." Tanganku berhenti tepat di tengah dadanya. Yang ada justru aku khawatir kalau terlalu kasar akan membuat tidurnya terusik.

"Kau saja yang mudah tergoda, Killian. Aku bermaksud baik di sini." Aku membasahi kembali handuk tadi ke air hangat untuk menyeka wajah dan lehernya. Dia sudah berkeringat saat di mobil menuju ke rumah tadi, jadi kupikir itu membuatnya merasa lengket.

Gerakanku lagi-lagi terhenti ketika dia membuka matanya. Untuk beberapa saat kami hanya saling pandang, dalam posisi aku duduk dan bertumpu dengan sebelah tangan di samping kepalanya. Matanya benar-benar sayu, khas orang yang tidak punya sedikit pun tenaga.

"Terima kasih," katanya sembari menyelipkan rambutku yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga.

Dia sedang sakit, tetapi masih mampu tersenyum begitu menawan. Aku harus fokus mengurusnya, bukan malah terpesona padanya terus-menerus. "Kau perlu sesuatu yang lain?"

"Tidak. Selesaikan ini saja, aku akan tidur setelah itu. Jadi, kau bisa membersihkan diri."

Selesaikan? Aku menegakkan badan lagi dan melihat ke bagian bawah tubuhnya. Tunggu, apa aku harus membantunya sampai selesai? Ya, aku memang membantunya berganti pakaian, tetapi kalau sampai menyeka kakinya juga, sepertinya aku tidak akan sanggup.

"Killian, kau juga tidak bisa melepas celana?"

Tidak ada jawaban, yang terdengar hanya dengkuran halus darinya. Aku memandang celananya sekali lagi sebelum mengancingkan atasan piamanya. Isi kepalaku saat ini penuh dengan pertimbangan apakah aku harus mengganti celananya juga atau tidak. Sebenarnya dia tidak memiliki masalah tidur mengenakan celana jeans, tetapi aku risi melihatnya. Apalagi kami akan tidur seranjang selama di sini.

Sampai aku selesai mengancingkan piamanya, aku masih belum memutuskan apa yang harus kulakukan. Aku malu melihat miliknya. Memegang celana dalamnya saja aku sudah merasa malu sendiri. Meski kalau melihatnya satu sekali akan membuat kami impas. Dia pernah melihatku telanjang sebelumnya.

Mari kita lakukan, Luciana. Kau berniat baik, hanya agar Killian tidur dengan nyaman. Celana itu sudah seharian dipakainya. Aku akan menutup mata saat mengganti dalamannya.

Aku menelan ludah, seperti akan menghadapi masalah paling sulit selama hidupku. Tentu ini salah satunya. Kami mungkin bersahabat sejak lama, tetapi kami tentu punya batasan; apa yang pantas dilakukan kepada teman sendiri dan apa yang tidak. Kali ini aku akan mengabaikan batasan itu dan melakukannya sebagai seorang istri kepada suami.

Namun, saat tanganku baru menyentuh kancing celananya, sebelah tangannya menahan tanganku. Aku tidak sadar kalau sudah menahan napas, dan sekarang rasanya benar-benar melegakan.

"Tinggal saja. Aku akan menggantinya sendiri nanti." Killian mengatakannya dengan mata terpejam.

"Baiklah." Aku menarik tanganku dan berdiri di sebelah ranjang. "Bawahan piamamu dan celana dalam ada di sebelah kirimu. Aku akan keluar, mau kubawakan sesuatu?"

"Tidak perlu. Aku hanya ingin tidur."

"Oke. Tidurlah yang nyenyak." Aku meraih baskom beserta handuk kecil yang terendam di dalamnya untuk dibawa ke dapur kembali.

Keberadaan Kelly cukup membuatku terkejut. Dia sudah berada di hadapanku tepat setelah aku menutup pintu kamar.

"Bagaimana kondisi Killian?" Dia bertanya.

"Demamnya tidak memburuk. Tapi dia tidur sekarang. Aku baru saja menyeka badannya, Mom." Aku mengakhirinya dengan seulas senyum agar dia tidak terlalu mencemaskan putranya.

"Baguslah. Ana punya waktu sebentar untuk bicara?"

•••

Aku tidak terlalu suka situasi ini. Kukira kami akan mengobrol seperti biasa dengan diiringi tayangan acara televisi, tetapi kami justru berada di dapur yang merangkap ruang makan. Suasananya terlalu serius dan sedikit membuatku tegang. Aku diminta duduk di sana selagi Kelly membuat Eggnog. Wanita yang usianya sudah lewat setengah abad itu masih terlihat sangat cantik dan bugar. Tubuhnya sedikit berisi, tetapi masih masuk dalam kategori langsing, berbeda dengan ibuku yang dinilai sangat makmur.

"Ini untukmu." Dia meletakkan satu di hadapanku. Dan aku segera membungkus tanganku di sekeliling gelas demi mendapatkan kehangatan sekaligus menghirup aroma dari bubuk keningar di atasnya. Tidak kulupakan mengucapkan terima kasih untuknya, tetapi dia justru fokus pada hal lain. "Kau tidak memakai cincin pernikahan kalian."

Ya Tuhan. Aku lupa memakainya.

"Aku melepasnya saat menyeka Killian tadi. Ada di atas nakas." Itu adalah kebohongan yang akan dimaklumi, terbukti dari dia mengangguk pada jawabanku. Kelly tahu aku selalu merasa risi pada benda-benda yang melingkar di jariku ketika melakukan sesuatu. Meski sebenarnya cincin pernikahan kami kujadikan liontin kalung dan aku selalu memakainya. Hanya saja sweter yang kukenakan saat ini punya kerah yang menutup leher. Aku tidak ingin Kelly mempertanyakan kenapa aku tidak memakai cincinnya di jariku.

"Terima kasih sudah mengurusnya dengan baik, Ana." Ketulusan dari kata-kata Kelly membuat perasaanku menghangat.

"Bukan masalah. Dia melakukannya lebih baik."

"Ah, kudengar kau juga sakit beberapa waktu lalu, bukan?"

Aku terkejut dia tahu soal itu. "Iya. Apa Killian bercerita pada Mom?"

Kelly mengangguk ringan setelah menyesap Eggnog miliknya diiringi dengan helaan napas panjang. "Anak itu benar-benar panik saat tahu kau berdarah sangat banyak."

Aku meringis dan refleks menatap telapak tangan. Luka-luka di sana sudah hilang sepenuhnya, tidak berbekas.

"Apa orang tuaku juga tahu?" Aku kembali menatapnya dengan rasa waswas. Kuharap jawabannya bukanlah sesuatu yang kukhawatirkan.

Dan gelengan yang Kelly berikan membuatku mengembuskan napas sangat lega. Repot urusannya kalau mereka mengetahui soal itu.

"Ibumu akan histeris kalau tahu." Kelly mengenal orang tuaku dengan baik. "Kau tahu, Ana, Killian adalah anak kami satu-satunya. Saat masih bayi, ada perdarahan di lambungnya dan kami hampir kehilangan dia. Beruntung, Dokter berhasil menanganinya. Sejak saat itu, kami selalu khawatir berlebih saat dia sakit. Kami selalu memenuhi keinginannya, tidak sedetik pun meninggalkannya. Itu menjadi kebiasaan yang terbawa sampai dia dewasa."

Kelly mungkin melihat bagaimana sikap Killian padaku saat di mobil. Kalau tidak, dia tidak akan menceritakan tentang hal itu padaku. Sekarang aku bisa sedikit lebih mengerti kenapa Killian seperti itu saat sakit.

"Dan sekarang Killian menjagaku dengan baik, Mom." Sekali lagi aku tersenyum untuk membuatnya tenang. Satu hal lain yang tidak kusuka adalah ketika orang tuaku dan orang tua Killian mencemaskan kami.

Kelly meraih tanganku dan membungkusnya dengan hangat di atas meja. Ini mengingatkanku kalau aku belum menemui orang tuaku dengan benar. Kami belum bicara seperti ini, dan entah apa alasannya, mereka juga tidak menyusul ke sini.

"Sejak lama, aku selalu ingin melihat kalian menikah. Ana adalah perempuan yang kami harapkan akan diperkenalkan sebagai kekasih Killian. Kami menunggu saat itu tiba, tetapi Killian selalu memperkenalkan perempuan lain pada kami. Kalian terlalu dekat sampai kami berpikir sesuatu terjadi di antara kalian."

Aku tidak terkejut mendengar orang lain mengira kami adalah pasangan, tetapi mendengar itu dari Kelly, sungguh aku tidak menduganya. Kupikir mereka paham kalau hubungan kami tidak akan lebih dari itu.

"Sampai akhirnya ketika membersihkan barang-barang di atap  aku menemukan kotak milik kalian. Aku benar-benar sangat senang, Ana. Itu memang tulisan seorang anak kecil yang tidak akan mengerti apa pun soal pernikahan, tapi pasti ada alasan kenapa Killian masih menyimpannya."

Aku lebih percaya kalau benda itu hanya tidak sengaja terselip di antara mainan-mainan lamanya. Kalau memang itu berarti sesuatu bagi Killian, dia pasti akan menyimpannya dengan baik dan tidak akan membiarkan kotak tersebut sampai berdebu.

"Aku ... juga lupa kapan menulis itu, Mom. Saat kecil kami hanya berpikir bahwa pasangan yang menikah pasti akan bahagia, sebab mereka selalu tersenyum. Kalau kami tidak menemukan kebahagiaan itu pada orang lain, maka kami akan membuatnya sendiri bersama-sama."

Kelly menutup mulutnya dengan sebelah tangan seperti ingin menangis, padahal dia hanya sedang tersenyum penuh haru. Kalau dipikir-pikir lagi, kata-kata yang kuucapkan tadi memang terdengar agak dramatis.

"Apa kalian bahagia?"

Untuk beberapa saat aku hanya mempertahankan senyum yang lama-lama menjadi dipaksakan. Aku lalu menunduk untuk menghindari tatapannya yang menuntut jawaban. Bagaimana jawaban yang tidak akan membuatnya mencurigai situasi kami? Bahkan sepertinya dia sudah curiga oleh lamanya waktu yang kubutuhkan untuk berpikir.

"Semuanya baik-baik saja. Menikah dengan Killian tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kupikir akan terasa buruk, tetapi tidak ada yang berbeda dari hubungan kami sebelumnya, hanya intensitas pertemuan kami yang jadi lebih sering karena tinggal serumah."

Mari lupakan sejenak fakta bahwa kami jarang mengobrol karena kesibukan masing-masing.

"Aku lega mendengarnya. Kami sadar, kami terlalu egois dengan memaksa kalian untuk menikah. Aku dan ibumu pernah membicarakan soal ini, sampai-sampai dia terbawa mimpi buruk."

Ah, jadi itu alasan kenapa Mom memimpikannya.

"Aku juga jadi tidak tenang setelah membicarakannya, tetapi sekarang aku lega kalian baik-baik saja. Tapi ... ." Kelly sengaja menggantungkan kata-katanya hanya untuk tersenyum mesem-mesem. Teringat akan kata-kata Killian saat membicarakan soal hadiah, aku jadi tahu ke mana arah pembicaraannya. "Apa sesuatu yang baik belum terjadi pada kalian?"

Senyumku luntur, berganti dengan bibir yang dikulum. "Mom, kami terlalu dekat sebagai teman. Saking dekatnya sampai-sampai hal itu tidak pernah terpikirkan akan kami lakukan. Rasanya seperti ingin melakukannya pada saudara sendiri. Killian bahkan tidak pernah memikirkan akan jatuh cinta padaku. Itu sesuatu yang sulit terjadi pada kami. Kalaupun memang akan tiba saatnya, itu pasti tidak dalam waktu dekat. Kami dua orang yang tidak pernah tertarik pada satu sama lain."

Tatapan Kelly berubah kecewa. Aku berbohong lagi, tetapi cukup meyakinkan hingga dia sampai memercayainya. Sambil menunggunya mengatakan sesuatu, aku menyesap Eggnog yang sudah tidak sepanas tadi. Rasanya sangat enak sampai aku tidak berhenti menenggaknya.

"Tapi itu pendapat Killian, 'kan? Bagaimana dengan Ana?"

Aku mungkin akan tersedak seandainya tidak buru-buru berhenti minum ketika Kelly mulai bicara. Namun, apa aku bisa jujur padanya? Bagaimana kalau dia akan menceritakannya pada Killian?

"Entahlah, Mom. Itu sesuatu yang berat untuk dipikirkan. Yang jelas, aku menghargai keberadaan Killian di sisiku. Terkadang ada saatnya aku merasa begitu membutuhkannya, tapi di sisi lain aku merasa harus bergerak sendiri. Sesuatu seperti itu adalah sesuatu yang sangat istimewa."

Kelly memandangku lamat-lamat. Keningnya berkerut, seolah-olah sesuatu yang kukatakan cukup mengganggunya. Lagi, dia meraih tanganku.

"Ana tidak perlu menyembunyikannya, Mom tidak akan menceritakannya pada Killian kalau memang itu yang Ana mau."

Bibirku bergetar meski hanya untuk seulas senyum. Mataku bergerak gelisah ke sekeliling ruangan, takut ada orang lain yang datang dan ikut mendengarkan pembicaraan kami, sambil meyakinkan diriku untuk percaya pada Kelly.

"Mom, apa sangat terlambat kalau aku baru menyadari apa yang kurasakan pada Killian?"

•••

:")

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
2nd June, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top