45 - Friends don't Kiss

Saat Killian berkata ingin ikut denganku, kupikir dia akan membawa serta laptopnya dan menungguku sembari bekerja. Namun, dia tidak melakukan apa-apa selain ikut mengobrol dengan pelanggan yang datang dan membantu memberikan pendapat ketika orang-orang sedang memilih. Sepertinya aku perlu banyak berterima kasih padanya karena pelanggan yang bicara dengannya berakhir di meja kasir. Entah itu karena kemampuan marketing-nya atau karena tertolong oleh wajahnya yang rupawan. Mungkin opsi kedua lebih tepat, mengingat tempat ini lebih banyak didatangi oleh pelanggan wanita. Aku jadi sadar kalau tempat ini perlu wajah seperti Killian.

Dari balik meja kasir, aku masih menyaksikan seorang wanita berumur yang datang mengantar anak perempuannya untuk belanja tampak mesem-mesem ketika Killian mendampingi Hanah untuk melayani mereka. Wanita itu memandang Killian nyaris tidak berkedip. Namun, aku yakin itu bukan tatapan terpesona, tetapi sarat akan harapan kalau saja Killian bersedia menjadi menantunya. Maksudku, orang tua mana yang akan menolak jika pria tampan bertutur kata santun melamar putri mereka? Jika Killian datang ke sini setiap hari selama seminggu saja mungkin jumlah pengunjung tenant ini akan meningkat pesat.

Sekali lagi Killian berhasil membuat wanita berumur tadi bersedia membayar tiga blus dan satu jaket berbulu yang diinginkan putrinya. Mereka sudah berdiri di depanku. Aku mengurus pembayaran, sementara Emma menyusul untuk memasukkan belanjaan mereka ke tas karton. Mereka masih semringah, tidak sedikit pun merasa keberatan dengan nominal yang dibayarkan, mengingat aku sendiri sadar harga baju-bajuku agak mahal. Tidak lupa kami berterima kasih sebelum mereka pergi meninggalkan tenant.

"Suamimu sangat aktif." Emma berucap pelan. "Kukira dia hanya mampir sebentar, tapi ini sudah lewat setengah hari." Dia menatap jam di ponsel yang digantungnya di leher. "Sudah hampir sore."

Sekarang Killian berbicara dengan Hanah, mengingat belum ada pelanggan yang datang lagi. Tidak ada kecanggungan sedikit pun dari interaksi mereka, padahal Hanah agak pemalu. Killian memang ahlinya membuat orang-orang merasa nyaman mengobrol dengannya, kecuali pria yang dekat denganku. Dan begitu aku memikirkannya, kejadian semalam kembali mengingatkanku akan rasa kesal.

"Aku tidak tahu. Tiba-tiba dia meminta ikut." Keningku berkerut sebentar begitu menyadari sesuatu. "Mungkin dia hanya sedang berusaha menebus rasa bersalah."

Aku tidak sempat mempertimbangkan dulu apa yang akan kukatakan. Dengan Emma, aku tidak boleh mengatakan sesuatu yang merujuk pada sebuah masalah, karen dia tidak akan diam sampai aku menceritakan apa yang terjadi. Dan lagi, aku merasa sudah cukup dekat dengannya hingga kata-kata itu terucap begitu saja.

"Apa terjadi sesuatu?"

Aku meringis. Tatapanku tertuju pada Killian sebentar lagi sebelum beralih pada Emma. "Hanya adu mulut biasa. Sudah terselesaikan."

Emma tidak merespons apa-apa, melainkan menatap Killian begitu intens. Pelan-pelan keningnya berkerut, seperti ada sesuatu yang tidak biasa pada pria itu. Sampai sesaat sebelum Emma bersikap begitu, aku cukup percaya diri untuk berkata bahwa aku tahu banyak tentang Killian. Sekarang aku justru ingin tahu apa hasil analisisnya.

"Apa dia tahu bagaimana perasaanmu?"

"Menurutmu aku akan memberitahunya?"

Emma berdecak pelan dan berbalik badan. Dari yang semula perutnya yang bersandar pada konter, menjadi punggungnya yang ada di sana. Lalu dia melakukan sesuatu yang kubenci; menatapku seolah-olah aku adalah manusia paling sengsara di planet ini.

"Aku yakin ada alasan yang membuat kalian tahan berteman sangat lama." Emma menanggapi situasi kami terlalu serius. Padahal aku saja tidak pernah memikirkan tentang itu.

"Kalau begitu aku akan bertahan dengan alasan itu."

Kupikir respons itu akan mengakhiri obrolan tentang kami, tetapi erangan yang Emma keluarkan justru membuatku bingung. Aku ingin mengabaikannya seandainya suara-suara yang dia keluarkan selama berpikir tidak menggelitik telingaku.

"Pancing alasan itu keluar, buat dia menyadari kalau kalian memang tidak terpisahkan."

"Sekarang kau terdengar seperti orang tua kami."

Itu bukan pujian, sungguh. Namun, sebuah sindiran keras mengingat pendapat orang tua kami yang seperti itu membuat hidup kami berubah total. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu kenapa diharuskan hidup bersama terus. Bukannya menemukan alasan, aku justru harus merasa tersiksa dengan perasaan yang tidak diharapkan kehadirannya.

Sementara Emma menanggapi sindiran itu dengan tawa kecil, nyaris terlihat bangga padahal tidak tahu seperti apa orang tua kami di luar cerita yang melatarbelakangi pernikahan ini. Kalau dia berada di posisiku, aku yakin dia tidak akan merasa seperti itu.

"Aku tidak akan bicara begitu kalau kau tidak berhenti memandanginya." Emma berbalik lagi, kali ini turut memperhatikan Killian yang sedang melakukan sesuatu pada ponselnya sambil tersenyum. "Bagaimana dengan Allen? Apa kau sudah memikirkan akan melakukan apa padanya? Begini, kau harus putuskan membuatnya patah hati dari sekarang atau berusaha untuk membalas perasaannya. Sakit hati belakangan itu menyiksa."

"Apa ini waktu yang tepat untuk membicarakan tentang itu?"

Aku bertemu tatap dengan Hanah tanpa disengaja dan aku langsung memberinya isyarat untuk menggantikanku di meja kasir sementara aku pergi ke ruang istirahat kami. Aku tidak lagi melihat ke belakang, tetapi aku tahu Emma mengikuti. Namun, dia berhenti di ambang pintu, bersandar di sana.

"Aku tidak akan bosan mengingatkanmu tentang mencegah seorang pria patah hati karena permainan rahasia kalian. Kau terlalu pemikir, Ana. Seseorang harus membuatmu berhenti berpikir dan mendorongmu untuk keluar dari ruang di kepalamu itu. Dan ... kita sudah bekerja lebih dari setengah hari, kupikir tidak apa-apa membahas yang lain."

Emma benar-benar tahu cara membuatku tersudut dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Buku-buku di atas meja kukumpulkan menjadi satu tumpukan demi terlihat sibuk. Aku tidak ingin mengatakan apa-apa, tetapi dia sedang menunggu.

Bagian menyebalkannya adalah, kenapa dia bersikap seakan-akan aku harus bertanggung jawab atas perasaan orang lain?

"Kupikir tidak patah hati dalam jatuh cinta itu wajar-wajar saja. Semua orang perlu mengalami itu setidaknya satu kali, 'kan?" Sekali lagi aku bersikap seperti yang sudah berpengalaman. Untuk teorinya, aku tidak benar-benar seperti gelas yang kosong, ada buku dan film untuk dipetik sedikit pelajarannya.

"Patah hati itu tidak enak."

"Seperti aku tidak pernah merasakannya saja." Aku berswdia mengingatkannya lagi tentang bagaimana situasi pernikahanku kalau dia memang lupa.

Emma tampak memikirkan sesuatu untuk dikatakan, tidak, mungkin ada banyak hal yang ingin dia semburkan padaku, tetapi diurungkan dan dia bersiap pergi dari sana. Namun, tidak lupa dia berkata, "Suamimu datang." Dan benar-benar melesat pergi.

Killian sungguhan muncul tidak lama setelah Emma menjauh dari pintu. Pria itu, dengan wajah sisa tersenyum untuk menyapa orang lain, kini berdiri di hadapanku.

"Kapan kita bisa pergi dari sini?"

•••

Memancing keluar alasan kami tahan bersama, ya?

Sampai sebelum Emma menyinggung soal itu, aku tidak pernah tahu, dan tidak pernah repot-repot memikirkan bagaimana kami bisa terus bersama. Yang kutahu kami akan selalu berada di baris terdepan ketika satu sama lain saling membutuhkan. Itu bukan komitmen, tetapi sesuatu yang terjadi secara natural, tanpa ada maksud tertentu. Pada akhirnya, mencari-cari alasan yang dimaksud hanya berujung pada jalan buntu. Kami hanya cocok dengan satu sama lain untuk saling merepotkan, seperti pasangan di meja berjarak dua meja dari kami. Si pria menyuapi wanita di sampingnya, yang satu tangannya sedang sakit dan tangan lainnya sibuk melakukan sesuatu dengan iPad-nya.

Mendatangi tempat-tempat di Upper East Side sudah biasa, hari ini Killian membawaku ke Loreley Beer Garden di Lower East Side. Sebuah resto penyedia koktail dan bir outdoor yang akan sangat cantik saat musim dingin. Namun, di tempat ini juga aku harus menemukan banyak pelanggan yang berpasangan. Mereka tidak bermesraan, tetapi aku dengan jelas bisa melihat kalau mereka saling memandang satu sama lain penuh damba, tidak berbeda seperti ketika Killian bersama Gabby.

Lalu ada lagi yang saling berpegangan tangan di atas meja. Aku tidak bisa membaca pergerakan mulut mereka, tetapi apa pun yang si pria katakan selalu membuat si wanita tersenyum kesenangan, dan akhirnya mereka berciuman singkat. Itu tsmpak begitu romantis jika dibandingkan dengan yang pernah aku dan Killian lakukan; tidak ada perasaan yang utuh yang menyertai. Namun, bagaimana mungkin Killian bisa begitu menikmatinya padahal tidak merasakan apa-apa padaku?

Sial. Kenapa terlalu banyak kebetulan melihat pasangan di mana pun aku pergi? Membuat iri saja.

"Kenapa belum dimakan?"

Suara Killian membuatku mengerjap, setelah sebelumnya nyaris melamun karena memandang beragam jenis pasangan yang datang ke tempat ini. Dia meletakkan dua gelas bir Khölsch, yang bisa dibilang salah satu menu favorit resto ini, ke atas meja, menyusul dua porsi Avocado Toast yang sudah lebih dulu dihidangkan.

"Tidak apa-apa. Aku menunggumu."

Kursi di seberangku kosong, tetapi Killian lebih memilih duduk di sebelahku setelah memindahkan mantel dan tasku. Pelanggan yang ingin menempati kursi di seberang akan mengira kalau tempat itu sudah diisi.

"Kau membuat resto ini kehilangan pelanggannya," tegurku ketika dia ingin menenggak birnya.

"Kita selalu melakukannya seperti ini, 'kan?" Killian membenturkan gelasnya dengan udara seolah-olah sedang bersulang sebelum menenggaknya. "Lalu kita akan mengarang ulang kisah orang lain dengan versi kita. Seperti pasangan yang di sana." Dia menunjuk pasangan yang sejak tadi kupandangi. Aku tidak tahu apakah dia sadar aku melihat ke sana sejak tadi atau memang pelanggan yang itu cukup mencolok.

"Aku tidak tahu kalau kau masih suka melakukannya."

Killian tertawa ringan. Sampai saat ini, aku tidak pernah tahu kalau akan menyukai suaranya. "Kau menularkan itu padaku."

"Apa kita sedang bernostalgia sekarang, hm?"

Alpukat yang berada di atas roti bakar ini terasa lembut sampai aku tidak bisa menahan gumaman. Ini sangat enak dan aku mulai tidak berhenti mengunyah setelah ini.

Dia tidak segera menjawab, tetapi menenggak kembali birnya dengan tatapan masih tertuju pada pasangan yang sebelumnya dia tunjuk. Kalau dia seperti itu terus, aku mulai merasa dia sedang berpikir seandainya yang bersamanya saat ini adalah Gabby. Mereka akan melakukan hal-hal menyenangkan seperti yang pasangan itu lakukan. Memikirkan itu membuat kerongkonganku kering dan aku menenggak birku sampai tersisa setengah. Sekarang perutku penuh dengan air dan tidak lagi bernafsu menghabiskan sisa roti bakar.

"Kau terus melihat pasangan itu, apa kau juga menginginkannya? Kita bisa melakukan yang seperti itu." 

Aku memicing ke arahnya. Dia mengatakannya tepat ketika pasangan itu kembali menautkan bibir mereka.

"Teman tidak berciuman, Killian." Aku harus menyingkirkan ingatan tentang kapan kami melakukannya sebelum berkata demikian. Tiga kali. Dan sekarang aku berdebar karena teringat rasa dari bibirnya.

"Tapi sebagai sepasang suami istri kita bisa melakukan yang lebih dari itu."

Aku langsung mendorong wajahnya yang tiba-tiba begitu dekat denganku. "Jangan bercanda." Dan dia cekikikan setelahnya.

Selama beberapa saat kami tidak bicara, tetapi aku justru tidak berpaling dari wajahnya. Killian tidak menyadari itu karena sibuk menyantap roti bakarnya. Gara-gara membicarakan tentang ciuman, tatapanku jadi terpaku pada bibirnya. Untuk ukuran seorang pria, bentuk bibirnya sangat bagus.

Saat pertama kali bibir kami bertemu adalah di altar. Semua orang bersorak, padahal kami mati-matian menahan gejolak menggelikan yang berputar di perut kami saat melakukannya. Kedua adalah saat dia bergurau tentang suami yang mendapat ciuman dari istrinya. Kupikir tidak masalah melakukannya lagi saat itu jadi melakukannya dengan maksud main-main, tetapi Killian justru merespons dengan serius. Ketiga adalah ketika aku hampir mengungkapkan apa yang kurasakan padanya. Sekarang aku justru mempertanyakan apa arti dari semua itu. Aku tidak lagi bisa menganggapnya sebagai kontak fisik biasa. Terlebih lagi setelah melihat Killian juga melakukannya bersama Gabby.

"Hubunganmu dengan Gabby tampaknya menunjukkan perkembangan yang bagus." Bir ini begitu cepat berefek pada tubuhku hingga secara impulsif mengatakan sesuatu yang aku sendiri tidak ingin mendengar kebenarannya. Aku bermaksud ingin mengalihkan pikiranku dari topik tentang ciuman, tetapi justru itu yang terucap. Satu hal yang pasti, aku tidak bisa mengembalikan kata-kata itu ke dalam mulutku.

"Aku berusaha melakukannya dengan benar kali ini. Kau tahu, hubungan yang tidak akan berakhir dengan mudah."

Aku memaksakan seulas senyum karena dia juga melakukannya. Harapan akan masa depan yang sempurna tergambar jelas di matanya. Dan menatapnya saja aku tidak berani, rasanya seperti aku akan merusak angan-angannya. Jadi, aku kembali menenggak birku sembari memandang langit-langit yang nyaris penuh oleh lampu gantung kecil-kecil. Setidaknya itu membuat perasaanku sedikit lebih tenang.

Sekarang aku mulai pusing. Entah efek dari birnya, atau karena topik pembicaraan yang tidak menyenangkan. Bodohnya, aku juga yang memulai itu.

"Aku menaruh harapan besar pada Allen. Pria itu sepertinya benar-benar tulus denganmu."

Karena kepalaku terasa makin berat, tanganku sampai menumpunya di atas meja. Badanku dimiringkan dan kini kepalaku menghadap ke arah Killian. "Hubungan kami tidak akan punya progres apa-apa kalau sikapmu masih seperti tadi malam." Aku jadi kesal lagi begitu mengingatnya.

"Hei, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji. Asal kau beri tahu aku jika sesuatu tidak berjalan dengan baik dengannya."

Apa gunanya memberi dukungan seperti itu jika tangannya saja masih tidak bisa diam ketika beberapa helai rambut menutupi wajahku? Dia membuatku terlena hanya karena menyelipkannya ke belakang telingaku dengan lembut.

"Kuharap aku bisa merasakan hal yang sama dengannya." Aku ingin minum lagi setelah mengatakan itu, tetapi gelasku sudah kosong.

"Kau jarang bercerita tentang seorang pria yang menarik perhatianmu. Tunggu, bahkan hampir tidak pernah." Dahinya berkerut begitu berusaha mengingat apa-apa saja yang biasanya kami bicarakan dulu.

Bukan hampir lagi, tetapi memang tidak pernah.

"Mungkin benar kata orang-orang, bagaimana mungkin aku bisa melihat pria lain kalau teman priaku saja seperti dirimu." Terima kasih alkohol, aku jadi lebih berani mengatakan hal-hal yang selama ini hanya mengendap di pikiranku.

Raut wajah Killian berubah jadi sedikit lebih waspada. Bola matanya bergulir cepat menyapu wajahku, mungkin untuk mencari-cari keseriusan di sana. Sepertinya ini adalah kesempatan untuk mencoba memancing, sekaligus untuk tahu bagaimana reaksinya jika aku mengungkapkan perasaanku.

"Apa kau tidak pernah mengira aku akan jatuh cinta padamu?" Sekarang giliranku menggodanya. Jari-jariku bergerak halus di atas rambutnya, setelah itu perlahan-lahan turun dan menyentuh telinganya. Killian spontan bergidik dan segera menangkap tanganku. Dia menahan tanganku di atas meja. Dia akan sangat sensitif jika disentuh di telinga.

Ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah. Rasa bersalah dan waswas bercampur aduk di sana. Lama-lama dilihat, aku jadi menyadari kalau itu adalah sesuatu yang tidak dia inginkan akan terjadi. Aku tertawa keras, nyaris mengalahkan keributan di restoran ini jika tidak segera kukulum bibirku. Satu, untuk menertawakan kemalanganku. Dua, untuk membuat Killian berhenti menatapku seperti itu.

"Ada apa dengan ekspresimu itu?" Aku menarik tanganku darinya dan menegakkan badan. "Kau sendiri yang bilang hal seperti itu tidak akan terjadi di antara kita."

Killian menghela napas panjang, seolah-olah dia sudah menahannya sangat lama. "Kau membuatku jantungan tadi."

Aku mengedikkan bahu. "Apa seburuk itu kalau aku jatuh cinta padamu?"

Dia kembali menatapku dengan serius. "Kau tahu, kan, aku selalu berusaha memenuhi apa yang kau butuhkan, membantumu meraih apa yang kau inginkan. Yang tadi itu ... sungguh mengejutkan."

"Kau tahu, Killian, perasaan seperti itu membutuhkan balasan. Untuk memenuhinya, apa kau akan meninggalkan Gabby untukku?"

"Astaga. Bisakah berhenti bercanda?" Killian bahkan mengerang di akhir ucapannya.

Apa dia tidak sadar kalau aku tidak bisa tertawa pada gurauan semacam itu? Mungkin aku terlalu pandai menyembunyikannya, atau Killian yang terlalu peka ini memutuskan untuk mengabaikannya kali ini. Setidaknya itu membuatku lebih yakin untuk memulai sesuatu dengan Allen setelah ini.

"Bagaimana kalau itu serius?"

Rupanya aku bertanya di saat yang tidak tepat. Killian sedang minum dan itu membuatnya tersedak. Aku mengusap punggungnya dan mengambil tisu untuknya. Bir yang dia minum mengalir keluar dari sudut bibirnya. Begitu dia mengambil tisu di tanganku, aku mengambil satu lagi untuk mengelap tetesan yang ada di meja.

"Ana, kumohon."

"Kalau begitu, aku minta satu hal padamu." Aku mengangkat telunjuk dan menempelnya di hidung seperti orang aneh.

"Apa itu?"

"Sebelum bercerai, aku ingin menyelesaikan daftar liburan kita. Tapi hanya kita berdua. Kau ... akan punya banyak waktu untuk berlibur kembali bersama Gabby. Begitu kalian menikah, aku yakin kau tidak akan punya sebanyak ini lagi untukku."

Dulu, itu adalah permintaan yang sederhana. Kilian akan langsung berkata 'iya' tanpa ragu, tanpa pertimbangan. Namun, sekarang perlu lebih dari tiga detik untuk mendengar jawabannya.

"Baiklah."

•••

Aaaaa
Maaf lama kali updatenya :")

Di kerjaan lagi padat acara dan pulang-pulang auto tepar. Abis itu Tuteyoo ketambahan jobdesk baru; jadi penulis berita kegiatan buat website prodi. Kayak apa, ya, semacam banting setir gitu ganti genre tulisan :") padahal lemah banget nulis nonfiksi. Alhasil ngaruh ke tulisan fiksi, jadi macet-macet :")

Anu, itu aja. Hehe.

See you on the next chapter (insyaaAllah segera)
Lots of Love, Tuteyoo
21 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top