44 - Bad Dream

"Killian, kita perlu bicara."

Aku baru meletakkan mantel dan tas ke sofa, lalu bersedekap menghadang jalannya. Dia ingin langsung tidur setelah apa yang terjadi tadi? Jangan harap akan kubiarkan kali ini. Hanya penjelasan atas sikapnya yang perlu kudengar. Dulu aku bisa menerimanya karena memang merasa terganggu oleh sikap laki-laki yang berusaha dekat denganku, tetapi tidak kali ini. Aku sudah cukup dewasa untuk menilai sendiri apakah mereka mendekatiku dengan maksud serius atau hanya main-main, tidak perlu lagi melibatkan Killian untuk membantuku membuka mata.

"Sudah terlalu malam untuk bicara, besok saja." Dia menepuk lenganku tiga kali, lalu berusaha melewatiku lagi dengan berjalan di sisi kananku. Dengan tekad yang sudah matang ingin meluruskan semuanya malam ini, aku turut bergeser ke arah yang dia tuju, kokoh menghalangi langkahnya. Tidak akan kubiarkan dia tidur nyenyak tanpa membicarakannya dulu denganku. Lagi pula, besok hari Minggu, dia bisa beristirahat sebanyak yang dia mau, kecuali jika waktunya dipakai untuk berkencan atau panggilan pekerjaan yang tidak terduga.

"Tidak, kita harus membicarakannya sekarang. Karena menunggu besok sama artinya dengan melupakan apa yang terjadi hari ini."

"Hal khusus apa yang mau dibicarakan?" Killian menyerah meski tampak enggan. Satu helaan napas yang panjang dia embuskan. "Aku minta maaf karena mengganggu makan malam kalian--kalau saja itu yang mau kau dengar."

"Tidak sesederhana itu."

Aku mendengkus kesal. Killian selalu peka pada hal-hal kecil yang dianggap menggangguku, atau akan mendatangkan sesuatu yang buruk. Namun, tidak berlaku untuk tidak mengganggu waktu berkualitas orang lain. Padahal dia sendiri yang membuat aturan agar tidak menghalangi satu sama lain untuk pergi dengan orang yang disuka. Atau mungkin mengganggu tidak termasuk dalam aturan itu. Sepertinya kami juga harus membicarakan ulang terkait aturan-aturan konyol tersebut.

Killian hanya mengangkat bahu dengan maksud yang ambigu. Itu bisa berarti dia memang tidak benar-benar paham dengan apa yang kumaksud, atau dia hanya tidak berminat membicarakannya. Gara-gara sikapnya itu, aku pun jadi malas bicara banyak-banyak. Aku sudah menyiapkan kata-kata untuk menyerangnya, tetapi semua itu lenyap begitu saja.

Kuraih lagi mantel dan tas yang tadi kulempar ke sofa, bersiap untuk pergi ke kamar. Kupikir akan percuma membicarakannya jika dia tidak mau berusaha untuk mengerti.

"Bagaimana kalau kita berpisah dari sekarang saja?"

Berpisah sekarang atau nanti, pada akhirnya akan sama saja. Aku tetap akan melakukannya semuanya sendiri. Kupikir akan lebih baik jika berhenti mendapat perhatian Killian dari sekarang daripada makin berat berpisah darinya nanti.

Aku beranjak dari sana setelah mengatakan itu tepat di depan wajahnya. Namun, langkahku terhenti tepat di depan tangga karena Killian menarik lenganku.

"Aku tahu aku salah, tapi apa seburuk itu?"

"Bukankah itu yang kauinginkan? Bercerai sekarang atau nanti, tidak ada bedanya. Setidaknya setelah berpisah kita tidak akan punya alasan untuk saling mengusik satu sama lain."

Kerutan di dahinya makin menjadi-jadi. Ada sesuatu dari ucapanku yang tidak membuatnya senang, padahal kupikir itu adalah sesuatu yang sangat ingin dia dengar. "Kita hanya berpisah sebagai suami dan istri, Ana. Kita tetap bersahabat dan itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Kau mengatakannya seolah-olah kita akan mengakhiri semua jenis hubungan."

Aku pun tidak ingin hubungan yang sudah kami bangun sejak kecil itu berakhir begitu saja. Aku yakin tidak akan menemukan satu orang lain yang akan menjadi teman baik seperti Killian.

"Sebenarnya, Killian, aku tidak senang dengan sikapmu ke Allen tadi." Aku menarik lepas tanganku darinya dan duduk di tiga anak tangga terbawah. "Kau akan membuatnya pergi seperti yang sudah-sudah, sedangkan aku ingin merasakan sesuatu yang baru dengannya. Aku ingin bertemu seseorang yang spesial seperti kau bertemu Gabby. Tapi kenapa kau justru bersikap seperti dia sedang berusaha membuatku celaka?"

Killian hanya menunduk, memandangku dengan sorot yang tidak kumengerti. Karena dia tidak kunjung mengalihkan pandang, aku yang lebih dulu menghindarinya, menunduk hanya untuk menemukan kakinya bergerak ke arahku. Dia menyusulku, duduk di anak tangga tepat di sebelahku. Tidak hanya ketiadaan jarak di antara kami, tetapi dia juga mendaratkan kepalanya di bahuku. Napasnya yang panas menembus serat-serat kain sweterku, membelai lembut kulit bahu.

Aku tidak ingin situasi ini membuatku terlena dan berujung melupakan rasa kesalku, tetapi bersama Killian seperti ini tidaklah buruk. Aku suka ketika dia bersandar padaku, sesuatu yang sungguh sangat jarang terjadi.

"Setelah kupikirkan lagi, ternyata aku tidak siap melihatmu lebih dekat dengan pria lain selain aku. Mungkin itu alasan kenapa aku selalu menyingkirkan mereka sejak dulu."

Kami sering berbagi apa yang kami rasakan dengan satu sama lain, tetapi ini adalah kali pertama aku mendengarnya dari Killian. Aku terus percaya kalau laki-laki yang mendekatiku dulu punya latar belakang yang buruk, dan tentunya Killian selalu berhasil melakukan pengecekan latar belakang mereka entah bagaimana caranya. Ada yang memang suka, tetapi dia seorang pemain; ada yang memang serius, tetapi dia anak yang manja; sampai yang mendekatiku hanya untuk taruhan. Bisa dibilang, aku sulit didekati karena Killian berada di sekitarku, itu membuat mereka tertantang.

"Bagaimana kau selalu sanggup melihatku lebih dekat dengan perempuan lain?"

Sekarang kenapa dia justru terdengar begitu frustrasi?

"Karena aku tahu hubunganmu dengan mereka akan berakhir? Tapi tidak dengan persahabatan kita." Aku mungkin terdengar begitu yakin soal itu, tetapi saat itu berbeda dengan sekarang. Aku hanya perlu menunggu hubungannya dengan kekasihnya berakhir, tetapi sekarang aku justru harus menghitung hari sebelum kami berpisah.

Dalam bayanganku pernikahan adalah sesuatu yang indah, tetapi sekarang aku justru harus mempersiapkan diri untuk sebuah perceraian meski sejak awal ini bukan pernikahan yang kami inginkan. Dulu aku setuju-setuju saja karena mengira ini tidak akan serumit ketika perasaan ikut terlibat. Perasaan tidak rela ini sungguh menyiksaku.

"Aku tidak berpikir sampai ke sana. Apa kau juga berpikir aku dan Gabby mungkin akan punya akhir?"

Aku diam cukup lama untuk menjawab yang satu itu. Setelah sedewasa itu bahkan tidak lagi terpikir olehku. Apa yang menjadi perhatianku hanya apa yang membuat Killian begitu bersemangat. Meski di sisi lain aku juga mulai percaya bahwa pria dan wanita tidak akan bisa hanya berteman.

"Aku tidak tahu. Tapi siapa yang tahu apa yang terjadi besok? Percayalah, Killian, aku tidak pernah sekali pun mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi padamu. Walau kita masih bisa saling menceritakan apa yang terjadi pada satu sama lain, tetapi kita tidak bisa merengek lagi seperti dulu. Begitu juga dengan pemikiranku, dulu aku berpikir sesempit itu, tapi sekarang kita adalah dua orang dewasa yang mampu merencanakan sesuatu dengan matang. Kau tentu tidak berencana untuk berakhir dengannya, 'kan?"

Dia mungkin akan merasa takjub dengan betapa bijaksananya aku bertutur kata, begitu juga denganku yang kemudian menelan ludah dengan susah payah seperti menelan kenyataan hidup yang menyebalkan.

"Aku sangat menyayangimu, Ana. Maaf kalau sikapku tadi terlalu berlebihan. Lain kali aku tidak akan mengganggumu kalau ingin pergi dengannya, seperti kau yang tidak mengusikku ketika bersama Gabby."

"Sudah seharusnya begitu."

Aku tersenyum dan kepalaku bersandar pada puncak kepalanya. Dulu pengakuannya itu sudah lebih dari cukup untukku. Dia menyayangiku, tentu saja sebagai sahabatnya. Sekarang aku merasa makin egois. Aku ingin sesuatu yang lebih dari itu, aku mengharapkan balasan atas apa yang kurasakan padanya. Aku tidak ingin tersiksa sendirian, tetapi aku bisa apa? Mengungkapkan perasaanku akan membuatnya menjauhiku, dan aku tidak ingin itu terjadi.

***

Aku terbangun karena dering ponsel. Itu jelas bukan alarm, tetapi seseorang yang mengganggu karena sudah meneleponku. Aku tidak punya janji khusus untuk bangun lebih awal hingga harus mengatur alarm hari ini. Siapa pun itu, kuharap memang punya alasan bagus hingga harus membangunkanku sepagi ini, apalagi ini hari Minggu.

"Ya?" Aku bahkan tidak lagi memeriksa siapa yang menelepon dan langsung menerimanya karena tidak ingin mendengar deringnya yang berisik lebih lama lagi.

"Ana, di mana wajahmu? Kau baru bangun tidur?"

Mataku seketika terbelalak begitu tahu kalau itu suara Mom. Aku duduk dan memandang ponselku dengan tatapan horor. Wajah Mom memenuhi layar dengan seringai nakal.

"Maaf, Mom. Aku tidak tahu Mom melakukan panggilan video, tapi justru menempelkan ponsel ke telinga."

"Bukankah ini sudah jam sepuluh di sana? Bisa-bisanya kau masih tidur."

Aku mengucek mata sebentar karena masih tampak buram memandang ke sekitar, termasuk jam di sudut layar ponselku. "Kemarin sangat melelahkan, Mom, wajar kalau tidur sedikit lebih lama, 'kan?" Setelahnya aku menguap. Rasa kantuk ini benar-benar tidak tertahankan.

"Di mana Killian?"

"Aku tidak tahu, dia tidak ada di sini, mungkin di--" Kesadaranku seketika terkumpul penuh sesaat sebelum memberitahunya kalau kami tidur di kamar berbeda. "Maksudku, dia sudah bangun sebelum aku." Akan rumit urusannya jika informasi itu bocor pada Mom. Kabarnya akan sampai ke orangtua Killian juga.

"Kau terlihat tegang, anakku, padahal apa pun yang kalian lakukan, tidak akan menjadi masalah." Tawanya terdengar renyah setelah itu, bahkan Dad yang berada di balik kamera pun juga ikut tertawa.

Aku tertawa hambar pada gurauannya yang tidak lucu. Lihat betapa Mom begitu senang memikirkan anaknya melakukan hal-hal yang umum dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Padahal itu tidak akan pernah terjadi pada kami.

"Mom, aku sadar betul kalau kalian mengharapkan sesuatu dari kami, tapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Kami masih terlalu muda, kalau kalian ingin cepat, suruh saja Jaden menikah. Dia sudah kepala tiga dan dituntut melakukan apa-apa."

Begitu memikirkannya, aku jadi merasa kesal. Kenapa aku tidak terpikirkan untuk menjadikan Jaden sebagai tumbal agar aku tidak jadi buru-buru menikah dengan Killian?

"Kami tidak masalah kalau dia bolak-balik ke luar negeri, tapi kami mengkhawatirkanmu, Luciana, harus ada yang menjagamu."

Terlalu pagi untuk berdebat dengan Mom. Aku telanjur kesal, aku bisa mengungkapkan ribuan alasan padanya, tetapi aku tahu itu sudah tidak berarti apa-apa lagi. Aku dan Killian sudah menikah, dan sekarang mereka menantikan buah dari pernikahan kami. Apa mereka tidak pernah sadar kalau kami terpaksa melakukannya?

"Jadi, kenapa Mom meneleponku?" Aku membanting punggung ke kepala ranjang yang empuk. "Kalian jarang meneleponku."

"Karena kami menitipkanmu di tangan yang tepat, jadi kami tahu kau akan selalu baik-baik saja." Mom tersenyum sangat lebar. Dia menjauhkan ponsel sebentar dan aku baru menyadari kalau dia sedang berada di mobil. "Tapi tadi malam aku bermimpi buruk tentang kalian, lalu bangun dengan perasaan gelisah."

Alisku bertaut karena penasaran. "Apa itu?"

"Kalian berdua memegang ujung benang, tapi kemudian benang itu putus. Ana menangis tersedu-sedu, tapi Killian justru melepaskan tali itu dan pergi begitu saja. Aku menyaksikan itu dan tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi Mom percaya Killian tidak akan meninggalkanmu."

Aku kesulitan untuk tersenyum setelahnya. Padahal aku tidak boleh memperlihatkan sesuatu yang membuat Mom merasa lebih buruk lagi. Mimpi itu sedikit aneh dan belum tentu berarti sesuatu. Namun, kupikir ini adalah bukti bahwa ibu dan anak punya kontak batin yang begitu erat. Kekhawatiranku sampai padanya.

"Mom, kami baik-baik saja di sini."

"Syukurlah. Mom lega mendengarnya. Kami akan menunggu kepulangan kalian akhir bulan ini. Mimpi itu, jangan sampai membuat Ana kepikiran."

Aku mengangguk pelan, meski kenyataannya itu sudah mengusik hidupku. Bayangkan saja bagaimana reaksi kedua orang tua kami kalau benar-benar berpisah nanti. Yah, tentu saja itu bukan untuk dipikirkan sekarang. Selagi aku belum benar-benar merasakan sesuatu pada Allen, kami tidak akan berpisah.

"Tentu saja aku akan menganggap itu hanya bunga tidur, Mom. Kami akan pulang tanggal 20, rencananya."

"Baguslah. Kami akan menyiapkan semuanya. Kami mencintaimu, Ana."

"Ya, aku juga mencintai kalian."

Mom memberi kecupan sembari melambai padaku sebelum mengakhiri panggilan. Mulut ini begitu mudah berucap, tetapi pada kenyataannya aku pun takut kalau mimpi Mom berarti sesuatu yang buruk pada kami. Kenapa dunia orang dewasa sangatlah menyebalkan?

Aku jadi haus hanya karena memikirkannya. Kemudian lapar turut menyertai saat aku baru menurunkan kaki ke lantai. Decakan keras kukeluarkan begitu sadar tidak ada bahan apa-apa untuk dimasak. Yang kupunya hanya susu bubuk dan dua lembar roti yang mungkin sudah dimakan Killian untuk sarapan. Mungkin seharusnya tadi malam aku tidak terlalu menuruti ego dan setuju saja mampir pergi berbelanja bersama Killian. Dikuasai rasa kesal membuatku tidak bisa berpikir dengan benar.

Aku akan minum susu dulu lalu pergi berbelanja. Terserah Killian mau ikut atau tidak, aku akan belanja apa yang kubutuhkan saja. Namun, aku justru menemukan Killian berdiri membelakangiku dengan memakai apron. Suara penggorengan yang berdesis menjelaskan apa yang sedang dia lakukan.

"Kau memasak, itu sangat jarang," tegurku sembari menarik kursi di meja makan untuk diduduki.

"Selamat pagi, Ana." Dia menoleh padaku sebentar sembari tersenyum begitu cerah. Sikapnya berhasil mengalihkan rasa penasaranku tentang dari mana dia mendapatkan bahan-bahan untuk memasak menjadi kenapa dia begitu semringah. "Aku tidak tega membangunkanmu, jadi aku yang membuat sarapan. Aku sudah membuat susu, ada di depanmu, semoga saja masih hangat."

Aku tidak lagi bersuara dan menenggak susu cokelat yang dia maksud. Beruntung, ini masih hangat. Killian sudah lebih dari sekadar memahami apa yang kubutuhkan.

"Apa kau belanja pagi ini?" Aku bertanya setelah menghabiskan isi gelas.

"Ya, hanya sedikit. Allen memberitahuku kalau ada minimarket di blok sebelah. Kami pergi ke sana bersama."

Oke. Sekarang itu membuatku bingung. Semalam dia bersikap defensif pada Allen, tetapi sekarang menjadi akrab. Entah apa yang terjadi padanya semalam. Mungkinkah dia jatuh dari kasur dan membenturkan kepalanya?

"Aku tahu itu membuatmu terkejut." Killian berbalik dengan membawa piring di masing-masing tangannya. Isinya telur mata sapi dan daging orak-arik. Jujur saja, apa yang dimasaknya terlalu abstrak, tetapi aromanya cukup menggoda.

"Benar." Hanya itu yang kukatakan sebelum mulai menyantap mahakaryanya pagi ini. Ini tidak buruk, rasanya berbanding lurus dengan aroma yang menguar.

"Dia cukup menyenangkan dan terlalu to the point. Tidak banyak basa-basi, tapi aku suka kejujurannya. Dia benar-benar tertarik padamu, Ana."

"Kau memeriksa latar belakangnya lagi?" Aku menatapnya penuh curiga.

"Kau pikir aku agen CIA?" Killian menggeleng-geleng dan tertawa geli. "Dia tidak banyak mengekspos tentang dirinya, jadi perlu waktu untuk benar-benar mengenalinya. Meski begitu, dia pria yang cukup terbuka."

Sebelah sudut bibirku naik dengan rasa bangga. Dia akan tahu kalau kali ini aku tidak membuka diriku secara sembarangan kepada orang lain.

"Baguslah. Semoga aku berhasil membuka hati untuknya."

"Kau tahu, tidak perlu terburu-buru. Kalau memang tidak cocok, kau masih bisa menangkap umpan yang lain." Killian memandang hasil masakannya sendiri dan tersenyum tipis. Namun, tampak seperti tidak bernafsu memakannya entah karena alasan apa. Lalu dia tiba-tiba mendongak, memandangku dengan senyum lebar. "Aku ingin ikut denganmu ke Macy's hari ini. Pulangnya, kita bisa pergi jalan-jalan."

Aku penasaran apa alasannya tiba-tiba ingin ikut, tetapi juga malas bertanya. Jadi, aku hanya menjawab, "Oke."

Situasi ini seperti mematahkan mimpi yang Mom mengganggu Mom tadi malam.

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
May 7th, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top