43 - Uncomfortable Situation
"Maaf, Allen, aku tidak bisa meninggalkan beruang besar ini."
Aku belum selesai bicara tadi, tetapi Killian sudah melesat ke kamarnya dan berganti pakaian. Dia hanya peduli pada perutnya yang lapar, tidak dengan waktu yang ingin kuhabiskan berdua saja dengan Allen. Dia yang ingin aku cepat-cepat jatuh cinta dengan pria lain, dia juga yang menghambat itu terjadi. Awas saja kalau dia sampai menyalahkanku lagi kalau kami tidak kunjung bisa bercerai.
"Tidak masalah. Lebih banyak orang, mungkin akan menyenangkan." Seperti biasa, dia banyak tersenyum. Sulit bagiku untuk bisa tahu apakah dia memang baik-baik saja, atau merasa terganggu karena keikutsertaan Killian. Aku berharap Allen menunjukkan sedikit rasa tidak senang sampai Killian menyadarinya. Setidaknya dengan begitu Killian akan mengurungkan niatnya untuk ikut makan malam karena aku sudah gagal menahannya pergi.
Awalnya Allen mengirim pesan, menanyakan apakah tadi malam aku tiba dengan selamat, tentu aku mengiakan karena tidak mungkin menceritakan betapa mabuknya aku semalam sampai diusir oleh bartender. Dia sendiri sadar kalau terlalu terlambat menanyakan hal tersebut, tetapi tanpa diminta dia menjelaskan bahwa pekerjaan sebagai EO untuk upacara Tree Light membuatnya tidak tidur hampir semalaman dan baru pulang pukul tiga dini hari. Dia langsung tidur setelahnya dan bangun ketika matahari sudah berada di puncak. Setelah itu kami saling berkirim pesan hingga tanpa sadar saling memberi tahu kalau belum makan malam.
Mungkin seharusnya aku langsung menunggu di luar rumah, atau membawa mobilku sampai depan rumah Allen, tidak perlu duduk dulu di ruang tengah untuk menggambar hingga Killian turun dari kamarnya. Tidak ada niat sedikit pun untuk membawanya pergi. Dia sudah dewasa untuk memesan makanan sendiri. Sayangnya, aku juga terlalu lemah sampai tidak bisa menolaknya. Oh, dan aku masih peduli dengan kondisinya. Ketika kuperhatikan dengan saksama, wajahnya pucat. Wajar saja, dia juga tidak makan siang, hanya menyantap camilan yang dibawa Gabby dan setelahnya tidur sampai malam.
"Kita akan pakai mobilku." Killian mengatakan itu sebelum menekan tombol pada kunci mobilnya. "Silakan."
Allen berjalan ke sebelah kiri mobil sedangkan aku dan Killian ke sebelah kanan. Sebenarnya agak aneh untuk Killian mengingat posisi kemudi ada di sebelah kiri. Namun, rupanya dia masih memikirkan kebiasaanku ingin selalu duduk di depan, samping kursi kemudi. Dia sudah membuka pintu untukku dan menunggu aku memasukinya, tetapi aku ingin mengganggunya hari ini, jadi aku menjulurkan lidah padanya dan membuka pintu penumpang di belakang. Aku tidak mungkin membiarkan Allen sendirian di belakang.
Killian sempat menunjukkan wajah kecewa, tetapi dengan cepat menyembunyikannya ketika menutup kembali pintu penumpang depan. Setelahnya dia berjalan memutar bagian depan mobil untuk menempati kursi kemudi.
"Ana, kau belum memasang sabuk pengaman." Teguran Allen menyadarkanku. Aku mengabaikan itu karena sejak tadi terus memperhatikan gelagat Killian.
"Ah, terima kasih sudah diingatkan."
Killian melajukan mobilnya setelah memastikan sabuk pengamanku terpasang. Dia bahkan sampai berbalik untuk memeriksanya sendiri. Perhatian kecil seperti itu, yang dilakukannya secara natural, membuat jantungku berdebar lebih cepat tanpa alasan. Tidak hanya saat aku duduk di belakang, tetapi juga ketika aku duduk di sebelahnya. Itu kebiasaan yang tidak pernah dilewatkannya.
Selama kira-kira sepuluh menit perjalanan, kami tidak saling bicara, tepatnya tidak ada yang memulai. Jika hanya aku dan Allen, atau hanya aku dan Killian, mungkin ada sesuatu yang bisa dibicarakan. Namun, kali ini kami pergi bertiga, aku tidak tahu apakah ada satu topik yang bisa dibicarakan bersama. Selain itu, Killian juga terlihat memainkan ponselnya sesekali--pantulannya terlihat dari kaca di atas dasbor. Mungkin sedang berkirim pesan dengan Gabby, itu sebabnya dia tidak terlalu mempermasalahkan kesunyian di mobil ini.
"Jadi, kalian berencana menetap di sini sampai berapa lama?" Allen benar-benar penyelamat. Dia memecah keheningan dan melenyapkan rasa kantuk yang nyaris merenggut kesadaranku.
"Kalau aku ... tergantung bagaimana karierku di sini. Kau tahu, hadiah dari acara fashion show kemarin tidak untuk selamanya. Dalam setahun, aku harus menemukan tempat baru untuk baju-bajuku, dan jika tidak, aku mungkin akan kembali ke California." Begitu memikirkannya, aku jadi merasa sedih. Tanpa persiapan, di negeri orang, dan akan meninggalkan banyak hal berharga lainnya. Setelah kupikirkan kembali, ternyata aku sebodoh itu sampai menuruti ajakan Killian.
"Bagaimana denganmu, Killian?"
"Tergantung. Kalau semuanya lancar di sini, aku mungkin akan mengganti kewarganegaraanku."
Semuanya lancar? Berarti itu tidak hanya kariernya, tetapi juga hubungannya dengan Gabby. Untuk pria dengan penuh perencanaan seperti dirinya, tentu saja banyak hal akan berjalan lancar. Bahkan ketika hal buruk terjadi, dia tentu punya rencana cadangan.
"Ah, begitu. Berarti rumah yang sudah dibeli itu akan ditempati Killian jika Ana memutuskan kembali, ya."
Aku memandang ke luar jendela dan tersenyum miris. "Ya ... begitulah." Sudah kuduga membawa Killian ikut makan malam bersama adalah sebuah kesalahan.
"Ana." Allen memanggilku, tetapi setelahnya menggumam panjang. Keraguan tergambar di wajahnya. "Kalau kau mau, aku bisa membantumu meneruskan karier di sini. Tidak perlu di Macy's, aku kenal seorang kontraktor, dia bisa membantu menemukan sebuah bangunan dengan harga sewa yang murah untukmu."
"Serius?" Kupikir mataku sedang berbinar saat menatap Allen sekarang. Itu tawaran yang menakjubkan, sesuatu yang membuat kepindahanku ke sini tidak berakhir sia-sia. Aku menantikan itu. Sudah saatnya berhenti terus menggantungkan nasib pada seorang Killian, dan kupikir Allen bisa dipercaya.
"Aku serius." Allen tersenyum sebelum kemudian mendekatkan wajah ke telingaku. "Sepertinya aku masih ingin kau menetap lama di sini," bisiknya dan menyisakan rasa hangat di telingaku.
Kami saling bertatapan untuk beberapa saat, sampai kemudian dehaman keras Killian menginterupsi. Dia mungkin menyaksikan adegan tadi melalui kaca di depan. Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan setelah ini. Toh dia pasti senang jika aku makin dekat dengan Allen.
"Aku tidak tahu kita akan makan di mana, jadi aku mencari-cari di internet dan ada satu di Manhattan yang mendapat ulasan bagus akhir-akhir ini. Jadi kita perlu putar--"
"Allen, aku ingin dengar kau mau membawaku ke mana untuk makan malam." Aku tidak mengira kalau sejak tadi Killian justru sibuk mencari rekomendasi rumah makan atau justru bertanya pada Gabby. Allen adalah yang pertama mengajakku, jadi aku lebih tertarik untuk tahu dia akan membawaku ke mana ketimbang mendengarkan celotehan Killian. Mengabaikan opsinya tadi juga termasuk bagian dari cara untuk membuatnya kesal, menyesal sudah menjadi orang ketiga. Namun, sampai sekarang itu belum berhasil. Seperti tadi, reaksinya hanya kening yang berkerut.
"Ada resto piza yang enak di Brooklyn. Lucali Pizza, Carroll Gardens, posisinya tepat di Henry St. Teman-temanku bilang kau belum diakui menjadi seorang New Yorker jika belum makan di sana." Dia mengatakan itu sambil bergurau.
"Baiklah, kita ke sana."
•••
"Tempatnya sangat ramai." Killian berkata begitu ketika kami melewati Lucali Pizza, ada kesan rasa pesimis di suaranya. Halaman depan Lucali sempit, sudah diisi oleh meja-meja untuk pelanggan yang ingin makan di luar meski di musim dingin seperti sekarang tidak terpakai, tidak ada area untuk parkir mobil. Sementara itu, mobil Killian tidak mungkin diparkirkan sembarangan di pinggir jalan karena akan mengganggu kendaraan lain yang berlalu lalang. Aku penasaran di mana pengunjung itu memarkirkan kendaraan mereka.
"Turunkan aku di sini, biar kuperiksa apakah masih ada meja kosong untuk kita. Biasanya orang-orang akan parkir di pinggir jalan Carroll Gardens, agak ke sana, lebih sepi. Kalian tunggu di sana sampai kuberi tahu apakah masih ada yang kosong atau tidak."
Killian menepi setelah memastikan tidak ada kendaraan lain yang melaju dan berhenti tidak jauh dari resto Lucali. Allen segera keluar dari mobil tanpa mengatakan apa-apa dan langsung masuk ke resto tersebut. Sesuai instruksi Allen tadi, Killian melajukan kembali mobilnya menuju area parkir Carroll Garden.
"Ana, kau serius mau makan piza lagi?"
Dahiku spontan berkerut pada pertanyaannya. "Lagi? Memangnya kau ingat kapan terakhir aku makan piza? Aku saja lupa." Apalagi aku jarang memesan piza untuk dimakan sendiri. Di Macy's juga akan merepotkan jika kami makan piza bersama. Pelanggan akan datang di waktu yang tidak terduga, dan kami bukan orang-orang yang menikmati piza menggunakan sendok dan garpu agar tangan tetap bersih.
"Gabby membawa piza hari ini, kau lupa?"
Ah, sial. Aku bahkan lebih memilih menghabiskan sisa pai di kulkasku daripada ikut bergabung makan dengan pasangan yang sedang bermesraan. "Percayalah, aku tidak tahu kalau dia membawa piza."
Killian tidak bicara lagi, tetapi fokus memarkirkan mobil di area yang kebetulan agak sempit dan hanya cukup untuk satu mobil. Di saat itu pula ponselku berdering. Allen mengirim pesan kalau kami bisa makan di Lucali. Ada satu meja dengan empat kursi di dalam restonya. Aku segera memberitahu Killian dan bersiap keluar mobil setelahnya.
"Hati-hati, jalannya licin." Dia memperingatkan tepat sebelum keluar dari mobil, bahkan sabuk pengamannya saja belum dilepas. Caranya bicara begitu seolah-olah aku selalu terpeleset ketika berjalan di area yang licin karena bersalju.
Apakah Killian sadar atau tidak, kalau sikapnya yang seperti itu justru membuatku makin berat untuk terlepas darinya. Akan lebih mudah melepaskan diri kalau seandainya dia mengurangi kadar perhatiannya padaku. Kebiasaan memang susah hilang, tapi bukan berarti dia tidak bisa mengganti kepada siapa dia memberikan perhatian. Namun, jiwa sebagai anak tunggal keluarganya masih sangat kental. Tunggu saja sampai dia sakit dan jadi sangat manja, bahkan bisa melebihi aku. Sebaiknya memang dia tidak perlu sakit, aku akan kerepotan luar biasa.
Aku terlalu sibuk memikirkan betapa kesalnya aku pada perhatian Killian, tetapi juga tersipu karena meski sudah dekat dengan Gabby perhatiannya padaku masih sama, sampai-sampai tidak lagi menyadari apa yang kupijak. Sebelah kakiku melayang dari aspal saat melangkah dan tubuhku sudah terjungkal ke belakang. Hanya saja, Killian berada tepat di belakangku, jadi punggungku mendarat di dadanya dan dia segera memegangi kedua lenganku. Mataku terpejam saat itu, dan ketika kubuka lagi, tatapan Killian menyambutku.
"Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati?" Uap dari napasnya terembus di wajahku dan rasanya hangat bercampur aroma mint.
Aku segera melepaskan diri dan berdiri dengan benar. "Terima kasih. Aku akan berhati-hati." Hanya itu yang kukatakan padanya. Setelah ini aku berjalan lebih hati-hati lagi. Namun, dia tetap menggandeng tanganku dan kami berjalan beriringan menuju Lucali Pizza.
Allen melambaikan tangan pada kami saat kami muncul di depan pintu Lucali. Selain para pegawai resto, dia adalah satu-satunya pelanggan yang berdiri. Posisinya agak jauh di dalam resto dan kami tidak akan menemukannya jika dia hanya duduk di kursi. Sebelum Allen menyadari, aku buru-buru melepaskan tangan dari Killian. Aku tidak ingin dia mengira ada sesuatu di antara kami, meski kenyataannya itu lebih dari sekadar sesuatu.
Interior resto ini tidak begitu mewah, tetapi memberi kesan yang hangat dengan furnitur yang didominasi oleh kayu-kayuan. Dekorasi di dindingnya mampu membawa kita merasakan bagaimana nuansa tahun 90-an, tetapi tidak terkesan kuno. Rasanya benar-benar hangat.
"Kuharap kalian tidak punya alergi atau apa pun, tapi aku sudah memesan dua piza untuk kita. Sedangkan untuk minumnya Apple Cider hangat. Kalian bisa pesan lagi kalau mau yang lain."
Allen langsung bicara sepanjang itu setelah kami tiba di depannya. Aku duduk di hadapan Allen, dengan Killian berada di sebelahku. Dia sudah baik sekali membiarkan kami tidak menunggu lama-lama. Mulutku sudah terbuka, ingin mengucapkan terima kasih, tetapi Killian mendahului.
"Ana tidak boleh minum Apple Cider. Itu bisa mengganggu lambungnya."
Sebenarnya itu akan menjadi informasi baru untuk Allen, seandainya Killian mengatakannya dengan cara yang sedikit lebih baik. Sayangnya, dia bicara begitu seperti seorang ayah yang protektif, dan ada kesan menyalahkan--tentu aku akan mengira seperti ini jika tidak mengenal baik dirinya.
"Oh, benarkah? Maaf, aku tidak tahu soal itu. Aku akan pesan minuman yang lain kalau begitu."
Aku buru-buru menahan tangan Allen ketika dia akan beranjak dari kursi. Dia sudah repot memesan, dan aku tidak ingin menambah beban lagi dengan dia pergi ke konter. Kalau aku mau minum yang lain, aku bisa memesannya sendiri. "Tidak, tidak perlu. Kalau hanya sesekali tidak masalah."
Aku mendelik tajam pada Killian setelah itu. Tidak masalah dia memberi tahu sesuatu tentang aku, malah aku sangat terbantu, tetapi tidak dengan cara seperti tadi. Sekali lagi dia bersikap seperti dulu, ketika ada laki-laki yang berusaha dekat denganku, seolah-olah dia tahu kalau Allen akan mempermainkanku. Padahal siapa yang justru mempermainkan status di sini?
"Tapi tolong jangan paksakan dirimu. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."
Aku tersenyum dan mengangguk, berharap setidaknya dengan begitu dia berhenti merasa bersalah. Beruntungnya, momen tidak mengenakkan ini terselamatkan oleh aroma yang menguar dari piza yang baru saja diantar ke meja kami, minuman kami juga menyusul tepat setelahnya.
"Tolong tambah air mineral satu, ya." Killian meminta pada pelayan yang baru selesai meletakkan tiga gelas Apple Cider ke atas meja.
Mari abaikan Killian. Dua piza dengan topping berbeda ini sungguh meningkatkan lapar yang kurasakan. Kurasa organ-organ pencernaanku pun bersorak ingin segera menyantapnya. Allen mengambil satu irisan dari masing-masing piza dan diletakkan di satu piring untuk kemudian diberikan padaku. Satu diselimuti oleh keju Mozarella dengan beragam jenis topping lain di atasnya, satu lagi dengan jamur yang banyak. Aku memastikan semua sudah mengambil irisan piza untuk kemudian kumakan.
"Hmm. Ini enak sekali." Aku bicara di sela-sela kunyahan, sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengungkapkan perasaanku untuk menikmatinya. Lucali jelas punya resep khusus yang membuat pizanya terasa berbeda dari piza kebanyakan.
"Aku lega kau menikmatinya. Beyoncè bahkan pernah datang ke sini. Lucali menyajikan piza yang legendaris."
"Aku setuju!" balasku penuh semangat. Memangnya kapan makanan gagal membuat suasana hati orang menjadi lebih baik? Aku tidak biasa makan piza dengan cepat, tetapi aku sudah menghabiskan satu iris. Ini rekor baru, sungguh. Rasanya yang lezat membuatku tidak sabar ingin segera menyuapnya lagi. "Kapan-kapan kita harus ke sini lagi."
"Tentu. Kau bisa menyeretku kapan saja."
Aku lupa kapan terakhir begitu bersemangat seperti ini hanya karena efek setelah makan. Saking bersemangatnya, aku sampai lupa minum dan sekarang rasanya sesuatu mengganjal kerongkonganku. Aku meraih segelas Apple Cider, sengatan aromanya yang asam dan manis langsung memenuhi hidungku begitu gelasnya sudah dekat dengan bibirku. Keraguan menyerangku untuk sesaat, apakah baik-baik saja meminumnya, atau tidak. Mungkin satu atau dua teguk tidak masalah?
"Ini saja." Killian meletakkan sebotol air mineral yang tutupnya sudah dibuka di bawah daguku. "Biar aku yang minum itu. Kau tidak makan siang dengan benar hari ini, lalu makan malam terlalu banyak, dan kau akan meminum itu? Pikirkan bagaimana perutmu setelah ini."
Wajahku tertekuk masam. Dia tidak salah menegurku begitu. Namun, tidak dengan Allen ada di sini, dia jadi tampak kikuk karena menyaksikan Killian begitu intens memperhatikan aku makan. Malam ini benar-benar kacau karena kehadirannya. Namun, pada akhirnya aku tetap batal meminum Apple Cider dan menenggak air mineral darinya. Niat awal untuk membuatnya menyesal pun lenyap. Gagal total.
"Hei, kalau ini dilihat oleh orang yang tidak begitu mengenal kalian, mereka bisa salah paham kalau sebenarnya kalian ini pasangan."
Celetukan Allen nyaris membuatku tersedak seandainya masih menenggak air mineral tadi.
"Kami sudah biasa disalahpahami seperti itu." Respons Killian membuat mataku berotasi.
"Ini seperti aku harus berjuang untuk mendapatkan hati dua orang sekaligus." Sekali lagi aku tidak tahu apakah Allen merasa keberatan dengan itu atau tidak, bahkan kata-katanya nyaris terdengar seperti gurauan dan mendapat respons tawa geli dari Killian.
"Aku baru menyadari itu begitu kau mengatakannya."
Ya. Aku pun sama. Laki-laki di dekatku tidak akan berjuang begitu keras dan menyerah jika yang dihadapinya hanya aku. Pertama, sebagian laki-laki itu kehilangan percaya diri setelah tahu aku dijaga oleh pria yang sangat tampan. Kedua, Killian ahli dalam mengintimidasi, seperti ketika dia tidak terima aku harus minum Apple Cider malam ini. Di samping mendapat perhatian, rupanya aku juga dirugikan.
"Tapi bukan berarti Killian harus memberi restu." Aku mengakhiri obrolan tentang itu dan berusaha memikirkan topik yang lain. "Apa kau akan pulang liburan akhir tahun ini, Allen?"
"Rencananya begitu. Sudah lama tidak merayakannya di rumah. Bagaimana denganmu?"
"Pulang. Selain bertemu orang tua, aku juga perlu mengurus beberapa hal di sana. Kemungkinan akan sangat sibuk."
Allen mengangguk. "Kalian akan pulang bersama?"
"Sepertinya tidak." Aku mendahului Killian yang akan bicara. "Dia keberatan meninggalkan pacarnya." Aku sengaja berkata begitu untuk mengganggunya, padahal aku ingat dia sudah berkata akan pulang bersamaku. Selain itu, aku tidak ingin Allen buru-buru menyimpulkan kedekatan kami dengan sesuatu yang lain, meski sebelumnya dia sudah bertemu Gabby.
"Kubilang akan pulang denganmu, 'kan?" Dia tampak kesal kali ini.
"Kau tidak bilang begitu sebelumnya," sahutku sembari mengedikkan bahu.
"Terserah. Ini meja nomor berapa? Biar aku yang bayar sebagai gantinya karena sudah merusak waktu kalian." Killian berdiri, mengedarkan pandangan pada meja yang dipenuhi oleh sisa kami makan piza demi mencari keberadaan papan nomor meja.
Allen tertawa kecil dan menyodorkan selembar kertas berisi keterangan pesanan kami. "Air mineralnya belum termasuk di sana."
"Aku tahu. Makanya aku yang membayar."
Killian kemudian pergi.
"Ana, itu tadi sangat intens, rasanya seperti aku sedang menemui ayahmu. Apa biasanya seperti itu?"
Seperti yang kuduga sejak tadi, sikap Killian membuat Allen tidak nyaman. Beruntungnya, Allen tidak langsung pergi seperti yang sudah-sudah, tetapi masih ingin membicarakan tentang sikapnya.
Aku menggaruk pelipis dan bergumam panjang sambil memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan padanya. Namun, pada akhirnya jawaban konyol yang terucap.
"Dia terlalu lapar, makanya seperti itu. Kau tahu, jadi sangat menyebalkan."
"Ah, bisa kumengerti. Kupikir aku akan berterima kasih padanya suatu saat nanti."
"Kenapa?"
"Karena dia menjagamu dengan baik."
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
May 3rd, 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top