41 - Wishlist
Daftar tempat yang akan dikunjungi oleh Luciana dan Killian:
1. Menyaksikan Tree Light di Rockefeller Center (L)
2. Las Vegas untuk bermain Casino (K)
3. Menghadiri Fashion Show di Paris (L) ✔
4. Menyelam di Banana Reef (K & L)
5. Amalfi Coast, Italia (K) ✔
6. Buenos Aires (L) ✔
7. Mencicipi anggur secara langsung di Napa Valley (K & L)
8. Skydiving di Grand Canyon (K)
9. Berkeliling di Shibuya, Jepang (L) ✔
10. Mendatangi Museum Ninja Igaryu di Jepang (K) ✔
To be continue ...
•••
Jadi, Killian tidak pulang semalaman.
Aku terbangun kira-kira pukul tujuh. Karena masih mengantuk, aku menguap dan terduduk di dua anak tangga terbawah. Aku menopang kepalaku di sebelah tangan yang bertumpu di atas paha. Kepalaku masih berdenyut karena sisa-sisa mabuk semalam. Setelah acara di Rockefeller Center berakhir, aku tidak bisa membawa Allen kabur bersamaku, mengingat dia punya pekerjaan untuk membereskan sisa acara. Jadi, aku mampir sendirian ke sebuah bar. Aku bukan pemabuk, tetapi tadi malam aku sedikit ingin minum. Namun, aku justru tidak berhenti meminta sang bartender untuk menuangkan minuman di gelasku, sampai akhirnya dia juga yang memaksaku untuk berhenti. Sekarang aku tidak ingat bagaimana caraku tiba di rumah dengan selamat.
Killian akan mengamuk jika tahu aku mengemudi dalam keadaan mabuk. Ada bagusnya dia tidak pulang semalam, aku tidak perlu mendengarnya mengomel.
Sayangnya, aku tidak punya obat untuk mengatasi pengar. Aku tidak pernah membeli secara khusus untuk berjaga-jaga mengingat aku jarang minum sampai sangat mabuk, bahkan tidak pernah. Aku selalu pergi minum bersama Killian, dan dia adalah alarm yang terus berdering ketika tiba waktunya untuk berhenti. Sungguh, aku benar-benar merasa takjub karena berhasil mengemudi sampai ke rumah. Tidak hanya itu, aku bahkan mengganti pakaian dengan piyama berlengan dan bercelana pendek. Hanya saja aku tidak mandi dulu sebelum tidur karena aroma minuman semalam masih tercium kuat di tubuhku.
Aku belum sempat kembali ke kamar, atau minum segelas air mengingat itu adalah tujuanku turun ke lantai satu, tetapi Killian sudah muncul dari pintu. Dia telanjur melihatku, jadi aku tidak bisa menghindarinya dengan kembali ke kamar. Padahal aku tidak ingin dia mengendus aroma alkohol yang menguar dari tubuhku.
"Untuk ukuran seseorang yang menghabiskan waktu bersama kekasihnya, kau tampak kacau." Aku tersenyum miring setelah mengatakan itu. Aku tidak bermaksud menyindir, tetapi penampilan kacaunya terlalu mencolok. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, seperti langsung tidur tanpa mencuci muka--kupikir wajahku sekarang juga sekacau itu, dasinya longgar, lalu kemejanya juga sudah keluar dari lingkar celana. Kalau memang semalam sesuatu terjadi pada mereka, setidaknya dia akan terlihat begitu segar.
Maksudku, setelah berkeringat, seseorang pasti perlu mandi.
"Apa maksudmu?" Dia melempar dasinya ke bahu, bergabung dengan mantel yang sudah tersampir di sana. "Jam dua belas malam aku ditelepon karena aplikasi yang sedang dalam tahap beta diretas seseorang. Timku harus kembali ke kantor dan mengurus itu. Aku sudah mengirim chat padamu soal itu." Dia menguap kemudian. Baru kusadari langkahnya sempoyongan. Begitu jarak kami lumayan dekat, aku menemukan lingkaran hitam di sekitar matanya, bibirnya juga kehilangan warna, pucat sekali. Sekarang aku merasa buruk karena sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya.
"Ah, aku belum memeriksa ponsel sejak pulang ke rumah." Tepat setelah aku mengatakan itu, Killian membungkuk hingga wajahnya cukup dekat denganku. "Apa?" Suaraku terdengar merasa terganggu.
"Kau mabuk semalam?" Dia seperti anjing yang mengendus dalam proses penyelidikan terhadap kasus pembunuhan. Kenapa hidungnya kuat sekali? "Bukannya sudah kubilang jangan minum dengan sembarang orang? Jangan lakukan hal bodoh yang bisa membahayakan dirimu."
Aku merengut dan wajahnya kudorong dengan sebelah telapak tangan. "Kau bukan satu-satunya orang yang aman untukku, Killian. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa memilah apa yang berbahaya untukku, dan apa yang tidak. Berhenti memperlakukan seperti anak kecil."
Dia menangkap tanganku yang belum benar-benar meninggalkan wajahnya. Tangannya dingin, begitu pun dengan wajahnya. Itu seperti dia habis berada sangat lama di luar ruangan. Padahal pekerjaannya tidak mengharuskan dia untuk bekerja di lapangan, tidak seperti Jaden yang perlu berkeliling tempat-tempat tertentu demi memperbaiki perangkat-perangkat keras yang biasa dipakai untuk menghasilkan jaringan internet. Tadinya kupikir tidak masalah pada wajahnya yang dingin, wajah memang sedikit rentan terhadap dingin jika dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.
"Apa kau baik-baik saja?"
Killian menarik napas dalam-dalam untuk kemudian dia embuskan pelan-pelan pula. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu."
Aku menyentak tangannya hingga terlepas, kemudian berdiri dan berbalik menarik tangannya yang berbalut kemeja ke lantai dua. "Tubuhmu sangat dingin. Apa yang kau lakukan di luar? Pemanas di mobilmu tidak dinyalakan atau bagaimana? Berhentilah memberiku perhatian seperti anak-anak ketika kondisimu juga sedang tidak baik."
"Kau mau membawaku ke mana?" Protesnya terdengar lemah.
"Kau perlu Menghangatkan tubuh, Killian. Astaga. Nanti saja bicaranya."
Sialnya, dia masih bisa tertawa di saat-saat aku mengkhawatirkannya seperti ini. Killian tidak menderita hipotermia memang, tetapi itu kondisi yang bisa terjadi pada siapa saja jika terlalu lama berada di suhu tertentu. Kondisinya memang belum menunjukkan tanda-tanda gejalanya, tetapi setidaknya aku sudah melakukan sesuatu untuk mencegah itu terjadi. Killian tidak akan seceroboh ini jika sesuatu tidak terjadi. Dia belum menjawab rentetan pertanyaanku dan aku masih merasa penasaran. Aku tidak akan memaksanya menjawab sekarang.
Aku membuka pintu kamarnya agak keras dan meninggalkan Killian di sana sementara aku berjalan terus sampai memasuki kamar mandinya. Tadinya aku sudah berniat untuk langsung mencari keberadaan remote pengatur penghangat ruangan, tetapi ruangan ini sudah hangat begitu kami memasukinya. Lantas aku teringat kalau perangkat elektronik di kamarnya dan di beberapa ruangan sudah terintegrasi dengan aplikasi di ponsel, dia mungkin sudah menyalakannya sebelum tiba di rumah.
Aku nyaris limbung karena kepala yang masih pusing dan berpegangan pada sekat kaca di kamar mandi agar tidak terjatuh. Beruntungnya, Killian tidak menyusul dan tetap berada di kamarnya karena situasinya akan berbalik kalau dia tahu. Setelah tubuhku mulai kembali seimbang, aku baru menyalakan keran air hangat dan menunggu sampai bathtub Killian terisi setengahnya. Dia perlu menghangatkan tubuhnya walau mandi bukan cara yang sepenuhnya tepat. Selagi dia berendam nanti, aku akan membuat sesuatu yang bisa membantu menghangatkan tubuhnya.
Kerannya kumatikan dan aku berjalan keluar kamar mandi. Punggung telanjang Killian adalah pemandangan yang menyambutku begitu tiba di kamarnya. Aku kaget dan sempat berhenti melangkah. Untung saja celananya belum dilepaskan.
"Air hangatnya sudah siap." Aku membuang muka saat mengatakan itu padanya. "Berendam seperlunya saja, kalau sudah selesai, langsung keluar dan berpakaianlah. Aku akan di dapur untuk membuat teh jahe. Kalau aku terlalu lama, segeralah berbaring di kasur dan jangan lupa pakai selimut."
Aku pergi begitu saja tanpa sedikit pun meliriknya. Reaksi berdebar yang aneh itu kembali lagi meski aku hanya melihat tubuh bagian atasnya. Padahal sejak dulu ini bukan pemandangan yang jarang kulihat. Aku bahkan sering memergokinya baru keluar kamar mandi dengan hanya lilitan handuk di pinggang sampai lututnya dan tidak ada masalah dengan itu. Tidak ada reaksi berdebar atau terpesona pada lekukan-lekukan ototnya. Perasaan ini sungguh sangat mengganggu.
"Ana." Panggilannya membuat langkahku terhenti di ambang pintu. Aku meresponsnya dengan gumaman tanpa berbalik badan. "Aku lupa seperti apa saat kau mengkhawatirkanku, ini membuatku senang."
"Aku selalu khawatir padamu, Killian, aku hanya tidak menunjukkannya sebagus dirimu. Segeralah mandi sebelum airnya jadi dingin. Kalau kau masih merasa tidak nyaman, libur bekerja saja. Lagi pula, kau sudah lembur semalaman."
"Ini hari Sabtu, Ana. Aku memang mau libur." Lagi, dia tergelak.
Aku sudah jarang melihat hari mengingat semuanya sama saja bagiku. Akhir pekan atau tidak, aku tetap akan pergi ke Macy's. Tidak ada hari libur khusus untuk orang-orang yang berjualan, kecuali aku sendiri yang ingin tetap berada di rumah atau perlu melakukan sesuatu.
"Baiklah. Kalau begitu, gunakan waktumu untuk istirahat dengan benar."
Kalau dia sadar, itu adalah sindiran untuknya agar tidak pergi ke mana-mana.
•••
Dua gelas teh jahe selesai kubuat. Tadinya aku hanya ingin membuat untuk Killian, tetapi aromanya menggodaku untuk membuat satu lagi. Kupikir itu juga akan membantu meredakan sakit kepalaku.
"Apa yang membuatmu melamun sepagi ini?"
Aku berbalik dan menemukan Killian berada di seberang meja makan dengan sudah memakai sweter tebal dan celana training panjang. Rambutnya tidak basah, hanya lembap seperti habis diusap dengan air dan disisir rapi sedikit. Aku sudah berkata agar dia tetap di kamar, tetapi justru datang ke sini.
"Aku baru mau mengantarkan ini ke kamarmu." Dua gelas teh jahe kuletakkan ke atas meja makan, satu berada di dekat Killian, satunya lagi dekat diriku sendiri.
Killian membawa gelasnya menuju sofa ruang tengah, yang kemudian kuikuti. Sofa lebih empuk untuk diduduki jika dibandingkan dengan kursi di meja makan. "Ya. Tadinya aku ingin menunggu, tapi kau sangat lama. Bahkan tidak sadar aku sudah berdiri memperhatikanmu sejak beberapa menit yang lalu. Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Pantatku baru mendarat tepat di sebelahnya, sengaja berlambat-lambat demi mengulur waktu untuk memberinya jawaban. Kami duduk bersebelahan di sofa panjang, dan aku langsung membanting punggung ke sandarannya.
"Kepalaku hanya masih sakit. Itu saja." Dan memang benar begitu. Aku tidak bisa memikirkan apa pun selain nyeri dan betapa menyesal aku sudah banyak minum semalam.
"Tentu saja. Tubuhmu masih bau alkohol dan aku tidak perlu mengendus kuat-kuat, aromanya menghampiri hidungku."
"Hm. Dan aku sedang berusaha mengingat kenapa aku minum semalam." Dahiku berkerut ketika sesuatu tiba-tiba menyadarkanku. "Jangan bertanya apa-apa soal itu, tapi bisakah jawab pertanyaanku dulu? Kenapa kau sampai pulang kedinginan?"
Dia menaruh gelasnya dulu yang isinya tersisa setengah ke atas meja. Aku sempat mengira dia enggan menjawab karena diam cukup lama. "Gabby tidak membawa mobil, jadi aku membiarkan dia memakainya. Dia mengantarku ke kantor, tapi aku tidak bisa mengantarnya pulang. Kami selesai jam lima pagi, tapi aku baru pulang setelah yang lainnya. Tidak ada tumpangan, aku menunggu Uber di depan kantor ketika salju berjatuhan selama hampir satu jam. Begitulah yang terjadi."
Itu sangat detail. Tahu bahwa situasi yang dialaminya tidak begitu buruk, aku hanya mengangguk.
"Kau jauh lebih sensitif ketika mobilmu disentuh orang lain, sekarang aku merasa takjub karena kau begitu percaya padanya."
Bahunya mengedik. "Aku hanya merasa perlu bertanggung jawab. Sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku."
Aku menutupi kalau sedang memutar bola mata dengan menyesap jaheku. Aku tahu betul apa yang mau dia tanyakan padaku, jadi aku tidak begitu tertarik untuk mendengarnya. Namun, ini adalah momen di mana dua orang yang bersahabat saling terbuka, berbagi apa saja yang kami alami dalam rangka memperkuat ikatan, hingga akhirnya terucap 'hanya dia yang tahu banyak tentangku'.
"Aku menyaksikan Tree Light bersama Allen. Lalu pergi minum seorang diri karena dia sibuk untuk membereskan acara dan tidak bisa kuajak. Kalau kau khawatir, tenang saja, aku pulang dengan selamat. Bartendernya mengusirku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya."
"Kenapa kau pergi minum?"
Ya. Kenapa aku pergi minum? Aku pun tidak tahu apa alasannya. Awalnya kupikir aku sedang mengulur waktu untuk pulang, sambil berharap Killian sudah tidur saat aku datang. Namun, hasilnya tidak sesuai rencana. Dan kalau hanya untuk melupakan kebersamaan Killian dengan kekasihnya, seharusnya tidak sampai mabuk. Ada banyak hal lain yang bisa kulakukan.
"Hanya ingin? Tidak semua hal harus punya alasan, 'kan?" Aku kembali menyesap teh jahe milikku, ingin menyusul Killian yang sudah menghabiskan miliknya. "Tidakkah kau perlu tidur sekarang? Kau begadang semalaman." Dan yang itu untuk membuatnya kembali kamar, lalu pembicaraan ini berakhir.
Killian ikut bersandar pada sofa, tetapi kali ini kepalanya ada di bahuku. "Sepertinya aku rindu rumah. Ayo pulang."
Tentu saja aku paham rumah mana yang dia maksud. "Kau yakin tidak ingin menghabiskan akhir tahun bersama Gabby?"
Dia menggeleng ringan. "Orang tuanya ada di sini. Aku tidak ingin sendirian karena kau juga akan pulang. Lagi pula, tidak mungkin aku membiarkanmu pulang sendirian."
Matanya terpejam ketika aku berusaha melihat wajahnya. Dia benar-benar mengantuk.
"Rencananya aku akan pulang tanggal 20. Lalu kembali ke sini setelah tahun baru."
"Itu akan jadi libur akhir tahun yang panjang. Aku akan coba ajukan ke atasan untuk mengerjakan bagianku di rumah."
Kali ini aku yang mengangguk. Kuharap itu akan disetujui, karena tidak mungkin aku menghadapi rentetan pertanyaan kedua pasang orang tua kami. Mereka tidak pernah memercayakan kami untuk bepergian seorang diri, seperti sejak awal mereka memang ingin kami terus melekat seperti prangko pada surat. Bukan tidak mungkin kalau pernikahan kami juga sudah direncanakan sejak lama.
"Ngomong-ngomong, Killian, tentang daftar lokasi yang ingin kita kunjungi, masih ada yang belum terwujud, apa bisa kita lanjutkan lagi?"
Killian menegakkan badan dan menatapku dengan kening yang berkerut. Serius, aku akan kecewa dan sangat marah kalau ternyata dia melupakan soal itu.
"Tentu saja. Ayo kita rencanakan itu lagi. Aku akan mengajak Gabby juga. Dia pasti senang pergi berlibur."
Aku ingin protes karena seharusnya daftar itu hanya untuk dikunjungi berdua, tetapi Killian begitu bersemangat sampai aku tidak tega mematahkannya.
"Menurutmu dia akan senang ketika pergi berlibur dengan personil tambahan yang akan banyak merepotkan kekasihnya?"
Killian mungkin tidak menyadarinya, tetapi sebenarnya ada sedikit teguran di sana. Gabby memang tidak menunjukkan kesan terganggu oleh keberadaanku dan seberapa dekat aku dengan kekasihnya, tetapi bila melihat ke belakang, ada dua atau tiga wanita yang mengakhiri hubungan dengan Killian karena aku dianggap mengusik hubungan mereka. Well, belajar dari pengalaman.
"Dia sangat mengerti tentang kita, Ana. Syarat utama yang harus diterima siapa pun yang ingin menjadi kekasihku adalah harus menerima kalau kita tidak terpisahkan." Aku cukup paham kalau itu hanya kata-kata untuk membuatku merasa tenang, tetapi itu tidak berhasil.
"Baguslah. Aku tidak ingin dijadikan sebagai alasan berakhirnya hubungan kalian."
Aku menatap langit-langit dan tersenyum, tahu kalau Killian akan menatapku lagi, jadi aku menghindarinya lebih dulu.
"Ana." Aku hanya merespons panggilannya dengan gumaman. "Aku mengantuk."
"Tidurlah, Killian."
•••
Aloha~
Di sini Tuteyoo mau kasi peringatan dulu (harusnya di awal sih, ya, kalau di sini telat banget), kalau gaya nulisnya Tuteyoo itu slow pace banget. Dia gak bisa yang sat set sat set terus selesai dalam 20 atau 30 bab. Gak bisa begitu :")
Ana sama Killian juga jadi calon tulisannya yang punya banyak bab. Aku suka membiarkan tokoh-tokohku hidup dalam waktu yang lama, mengisi ruang imajinasi lama-lama, menemani kekosongan sehari-hari. Jika suatu saat teman-teman akan merasa bosan dengan cerita ini, Tuteyoo akan sangat memaklumi. Tapi yang jelas, itu nggak akan bikin Tuteyoo berhenti nulis kisah mereka sampai tamat. Hehe.
Dan selaluu Tuteyoo ucapkan terima kasih sama teman-teman yang sudah berkenan menunggu kelanjutan kisah Ana sama Killian walau sering banget ditelantarin. Pokoknya sekarang aku udah bisa fokus sama mereka. Akan diusahakan update secepat dan sesering mungkin.
Akhir kata, semoga cerita yang tidak mengandung banyak amanat atau hal-hal baik ini bisa menghibur kalian, ya.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
24 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top