40 - November 30th

Satu paket jadwal yang padat terlewati hari ini. Sebenarnya tidak banyak pelanggan yang datang, tetapi jeda waktu tanpa pelanggan yang datang kami pakai untuk mendiskusikan tentang rencana kerja sama bersama Soppaholik. Kami menerimanya, dan tadi siang aku menemui Margaretha bersama stafnya untuk menandatangani kontrak kerja sama, tentunya setelah aku bersama tim berdiskusi panjang dan  menentukan apa yang akan kami buat untuk produk edisi terbatas. Tidak lupa juga aku melibatkan pegawai di butikku yang lama. Mereka semua sudah kuhubungi, dan dari tujuh karyawan, hanya dua yang bisa pindah ke New York. Limanya lagi akan menganggur jika butiknya ditutup. Jujur saja, aku pun tidak siap jika butik itu tutup, pelanggan masih berdatangan dan itu adalah hasil jerih payahku.

Namun, aku sudah memutuskan harus melakukan apa setelah mempertimbangkan hasil diskusiku dengan Killian beberapa hari lalu.

"Hei, Ana, aku punya usul agar kau tidak menutup butik."

Saat itu dia datang padaku yang sedang sibuk memotong kain di studio. Pola-pola berhamburan di lantai. Sementara itu, dia tidak tampak sedikit pun terganggu, bahkan berjalan dengan hati-hati, memastikan tidak menginjak kainku, lalu berakhir duduk di sebelahku, ikut bersila juga. Aku sungguh mencintai betapa dia sangat mengapresiasi karierku.

"Aku akan mendengarkan." Gunting di tangan pun kujatuhkan. Akhir-akhir ini aku sengaja tidak mengajaknya berdiskusi karena takut akan mengganggu, apalagi di kantornya juga sedang banyak pekerjaan sebelum libur akhir tahun. 

"Tentang kerja sama dengan Soppaholik. Bagaimana kalau butikmu di sana dijadikan sebagai markas produksi? Mereka yang akan mengurus proses penjahitan baju. Meskipun tawaran kerja samanya ada di sini, tapi bukan berarti kau tidak boleh mengirim barang dari California, 'kan?"

Aku belum memikirkan soal itu, jujur saja. Aku terlalu sibuk mengurus desain.

"Itu akan menambah biaya ongkos untuk pembeli di NY sendiri."

"Bagaimana kalau dikirim ke sini dulu sebagian? Akun penjual di Soppaholik punya info lokasi di bagian profil--aku tahu karena mereka bekerja sama dengan kami, aku sempat melihat fail programnya. Pembeli akan tahu kalau produkmu dikirim dari mana. Kalau memang mereka menyukai rancanganmu, mereka tidak akan keberatan membayar ongkos mahal. Lalu dengan melibatkan orang-orang di butik, akan memperkecil kemungkinan mereka menjadi pengangguran, dan kau tidak perlu menutup butik di sana. Hanya sementara, tempat itu akan menjadi rumah produksi untuk baju-baju edisi terbatas."

"Seperti biasa, Killian, otak jeniusmu selalu bekerja di saat-saat seperti ini. Kalau begitu aku harus pulang segera untuk membicarakannya dengan mereka. Awal tahun tokonya buka. Berdiskusi melalui panggilan video saja tidak cukup."

Kabar baiknya, setelah berencana untuk pulang, orang tua Killian mengabari kalau tidak jadi datang untuk akhir tahun. Sebaliknya mereka meminta kami pulang. Tentu saja aku langsung setuju, tetapi Killian belum mengiakan kalau bisa pulang. Dia mungkin sudah punya rencana untuk merayakan akhir tahun dan tahun baru dengan Gabby. Seandainya memang benar begitu, berarti ini akan menjadi kali pertama kami tidak merayakannya bersama.

Untuk dua orang yang akan pindah, aku menyewakan sebuah flat rekomendasi dari salah satu pegawaiku di sini. Mereka sama-sama belum menikah dan sudah lumayan dekat, jadi tidak ada masalah jika tinggal bersama. Keduanya akan datang bersama awal tahun. Setidaknya itu bisa menghemat biaya pengeluaran.

"Ana."

Panggilan Hanah membuatku mengalihkan perhatian dari stok baju di gudang sebentar. Aku tidak tahu hal baik apa yang terjadi sampai dia begitu semringah memegangi ponselnya.

"Si pemilik gedung sudah setuju. Flat di sebelahku akan selesai direnovasi dan bisa ditempati minggu depan. Kalau boleh, bisa kuminta nomor ponsel mereka? Um, begini, aku tahu kau akan sangat sibuk dengan kerja sama bersama Soppaholik, jadi aku bermaksud ingin membantu mengurus kepindahan mereka. Itu pun kalau mereka tidak keberatan."

Aku menatap Hanah yang terlihat canggung dengan tatapan tidak percaya, tentunya dalam hal baik. "Kau baik sekali." Pujian itu terlontar begitu saja tepat saat aku memikirkannya. "Terima kasih banyak, Hanah. Aku akan bertanya pada mereka dulu, kalau mereka setuju, akan kuberi nomor ponsel mereka padamu."

Hanah tersenyum makin lebar, sampai-sampai dia menutupinya dengan kepalan tangan. Dia benar-benar sangat bahagia meski sebagai pihak yang memberikan pertolongan. Namun, aku mengerti perasaan itu, ketika seseorang memberi apresiasi atas hal baik yang kulakukan.

"Aku berharap bisa mengenal dekat mereka. Dia tidak merasa risi kalau dijemput oleh orang asing, 'kan?"

Aku menggumam sebentar, berusaha mencari kilas balik interaksi-interaksi dengan mereka dulu dalam ingatan. "Mereka akan menyukaimu. Yang pasti, santai saja, mereka akan tertekan kalau kau tampak tegang."

"Akan kuingat itu. Terima kasih, Ana." Setelah mengatakan itu, Hanah langsung lenyap dari pandanganku, pergi dari ambang pintu.

Aku mengambil ponsel di atas meja untuk memenuhi janjiku pada Hanah, yaitu meminta izin untuk memberikan nomor ponsel mereka padanya. Layarnya baru menyala begitu aku menekan tombol power, dan tatapanku langsung tertuju pada tanggal yang terpampang dengan ukuran huruf agak besar di sana.

30 November.

Aku tidak sengaja teringat akan agenda upacara menyalakan Tree Light di Rockefeller Center, bahkan sudah tidak ada rencana untuk pergi ke sana lagi. Sekarang aku justru ingin ke sana, sejenak melepas penat di pikiran. Padahal pergi ke sana sendirian akan terasa asing, dan daftar keinginanku untuk pergi ke sana pun meleset. Seharusnya datang bersama Killian, bukan dengan yang lain atau bahkan sendirian. Sayangnya, aku tidak bisa merusak agenda yang sudah Killian rencanakan untuk memberi kejutan ulang tahun pada kekasihnya.

Pergi hari ini, atau datang untuk melihat pohonnya sudah menyala besok dan besoknya lagi tidak akan mengubah fakta bahwa aku tetap sendirian. Mungkin Killian benar, aku memang tidak benar-benar berusaha untuk lebih dekat dengan seseorang, mungkin yang Killian maksud adalah aku juga perlu berinisiatif untuk membuka jalan agar bisa lebih dekat. Begitu aku memikirkannya, aku jadi mendapat ide untuk mengajak Allen pergi ke Rockefeller Center. Hanya jika dia tidak sibuk. Ajakanku mungkin terlalu mendadak, dan jika dia tidak bisa, aku akan pergi sendirian. Atau aku akan menyeret Emma untuk pergi ke sana.

Sebaiknya memang coba dihubungi dulu.

•••

Seperti dugaanku selama di perjalanan menuju Rockefeller Center, jalanan macet dan setibanya di sana aku kesulitan untuk menemukan tempat untuk memarkirkan mobil. Aku sudah khawatir akan datang terlambat dan membuat Allen menunggu lama dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu; pukul delapan malam tepat. Sebenarnya tidak akan terlambat kalau aku langsung ke sana dari Macy's, tetapi aku pulang dulu untuk berganti pakaian, demi membuktikan bahwa aku sedang berusaha kali ini. Beruntungnya, aku tiba sebelum Tree Light menyala. Sementara itu Allen memang sudah berada di sana sejak persiapan acara. Katanya kali ini dia bersama tim bertanggung jawab atas tata panggung untuk penampilan para penyanyi yang menjadi bintang tamu. Dan sekarang adalah yang penampilan terakhir dari Kelly Clarkson yang membawakan lagu Underneath the Tree, sebelum lima menit kemudian pohon akan dinyalakan.

Kami berjanji bertemu di depan sebuah kafe dan dia sudah berada di sana lebih dulu. Minuman yang dipesannya di atas meja sudah tersisa setengah, tetapi dia membeli dua, satunya lagi masih utuh. Aku mempercepat langkah begitu di depanku sudah tidak banyak orang yang berlalu lalang. Rockefeller Center sangat ramai pengunjung, meski biasanya selalu ramai, tetapi hari ini lebih-lebih lagi. Maksudku, siapa yang akan melewatkan penampilan gratis penyanyi terkenal dunia? Aku tidak tahu siapa saja yang menjadi bintang tamu, tetapi yang jelas siapa yang mau melewatkan penampilan Kelly Clarkson?

"Akhirnya kau tiba." Allen berdiri, menghampiriku yang masih beberapa langkah lagi tiba di depannya dengan membawa satu minuman yang masih utuh. "Ini untukmu, sudah kupesan sejak tadi, jadi itu tidak dingin lagi."

Menerima minuman yang dia sodorkan dan sudah tidak panas lagi membuatku makin merasa bersalah. "Maaf," kataku sembari menerima minuman tersebut. Allen menatapku kebingungan, kepalanya bahkan ditelengkan ke kanan, seolah-olah ingin tahu kenapa aku tiba berkata begitu.

"Aku terjebak macet." Bahuku mengedik saat mengatakannya.

"Astaga. Kukira kau melakukan sesuatu yang tidak wajar." Allen menepuk dahinya dan tertawa pelan. "Itu situasi yang tidak bisa kau kendalikan." Dia mulai beranjak dari sana dan aku lantas mengikutinya. 

"Aku tidak akan membuatmu menunggu seandainya langsung ke sini dari Macy's." Suaraku harus dikeraskan karena sedang melewati para pengunjung yang bersorak untuk meramaikan penampilan Kelly Clarkson, lebih tepatnya mereka ikut bernyanyi bersama penyanyi tersebut, hanya saja dengan nada yang meleset sedikit.

"Aku tidak keberatan meski harus menunggu lama." Allen berbicara tepat di telingaku, dengan begitu dia tidak harus berteriak. Seharusnya aku tadi juga begitu, tetapi aku masih tidak terbiasa terlalu dekat dengan pria lain, selain Killian. "Lagi pula, aku memang punya pekerjaan di sini. Kau tidak perlu merasa bersalah, justru aku sempat meninggalkan kafe beberapa kali karena panggilan darurat."

Aku berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa bersalahku padanya kali ini. "Seharusnya kau menolak ajakanku kalau memang sedang sibuk."

Allen tiba-tiba berhenti berjalan dan menatapku sedikit lebih serius kali ini. Aku tidak ingin mengartikannya sebagai sesuatu, jadi aku berpura-pura sedang menggaruk pelipis dan melihat ke arah lain. Semenjak dia mengakui bagaimana perasaannya, aku jadi tidak nyaman membalas tatapannya lama-lama. Um, mungkin akan terus seperti itu selama aku belum bisa membalas apa yang dia rasakan padaku.

"Bagaimana mungkin aku akan melewatkan kesempatan menghabiskan waktu bersamamu di saat-saat yang spesial seperti ini? Apalagi ini hanya terjadi satu kali dalam setahun."

Ini gawat. Jantungku mulai berdebar hanya karena tidak sengaja bertemu tatap dengannya. Kenapa dia menatapku seperti itu? Seakan-akan dia sedang berusaha meyakinkanku bahwa dia rela melakukan apa saja demi wanita sepertiku.

"Allen, aku--" Kata-kataku terpotong karena seseorang menyenggol punggungku cukup kuat hingga membuatku terjerembap. Namun, tubuhku tidak sampai mendarat ke atas susunan bataku karena Allen dengan sigap menangkapku. Sebelah tangannya melingkar di pinggang dan punggungku. Ini jarak terdekat yang pernah terjadi di antara kami, hampir seperti berpelukan, tetapi jaket yang kami pakai terlalu tebal.

"Hei, hati-hati saat berjalan!" Seruannya menyadarkanku hingga buru-buru melepaskan diri. Dan tatapanku langsung tertuju pada noda di lengan kiri jaketnya. Aku tidak tahu kalau minuman darinya berisi kopi, dan tahu, kan, bagaimana jadinya jika tumpah di jaket abu-abu muda? Warnanya sangat kontras.

"Maaf, Allen. Minumannya tumpah sedikit di lenganmu."

Allen menengok ke arah telunjukku dan dengan santai menyapunya dengan tangan. "Ini bisa diatasi, tapi yang tadi sangat keterlaluan. Kau bisa terluka karena kecerobohannya."

Alisnya menukik karena merasa kesal. Bisa kupahami kalau dia khawatir padaku, tetapi tidak bisa kubiarkan dia lama-lama merasa seperti itu. "Aku baik-baik saja, terima kasih padamu."

Aku tersenyum konyol dan segera menutupinya dengan menyesap minuman pemberiannya, sengaja untuk menghindari tatapan menyelisik darinya. Dia mungkin sedang memindai untuk memastikan aku baik-baik saja. Aku sengaja melambat-lambatkan minum meski tidak benar-benar menenggaknya lagi dan baru berhenti setelah dia menghela napas.

"Baiklah. Ayo, sebentar lagi pohonnya akan dinyalakan, aku tahu tempat bagus untuk kita."

Allen menarik tanganku kali ini dan aku membiarkannya. Mungkin seperti ini lebih baik daripada kami terpisah saat melewati kerumunan pengunjung yang lain. Kami tidak bicara lagi sampai akhirnya tiba di bagian belakang panggung di mana Tree Light berada. Satu-satunya jarak terdekat yang pernah kulihat dari Tree Light adalah beberapa meter dari depan pohon, atau dari foto. Namun, sekarang aku tidak bisa tidak terkesima pada betapa cantiknya pohon di hadapan kami meski lampu-lampunya belum dinyalakan.

"Apa tidak apa-apa berada di sini?" Aku berbisik pada Allen, mengingat di antara beberapa orang lain yang ada di sini, hanya mantelku yang berbeda. Mereka memakai satu yang sama seperti yang Allen kenakan, hingga membuatku berpikir mungkin ini adalah tempat untuk para tim pelaksana acara.

"Ini adalah keuntungan dari datang menonton bersama orang dalam." Allen merespons sembari mengedipkan sebelah mata.

Baiklah, aku akan menganggap ini sebagai hari keberuntunganku. Kapan lagi bisa menyaksikan upacara menyalakan Tree Light dalam jarak sedekat ini? Sayangnya, aku terlalu cepat menyimpulkan soal beruntung sampai akhirnya aku menemukan Killian juga ada di sini bersama Gabby. Mereka bahkan berada di baris terdepan.

Tree Light yang satu per satu lampunya mulai menyala pun terabaikan hanya karena terlalu asyik menyaksikan mereka berdua. Betapa mudahnya aku teralihkan oleh tawa mereka berdua, padahal seharusnya tidak perlu peduli tentang mereka. Gabby tampak sangat bahagia ketika Killian membisikkan sesuatu padanya, bahkan wanita itu mengangguk sangat kuat. Mungkin 'selamat ulang tahun, sayang, aku mencintaimu', atau 'apakah kau siap dengan kejutan setelah acara ini?', atau mungkin 'ayo menikah'. Aku tidak pernah benar-benar menyaksikan bagaimana saat Killian bersikap romantis pada kekasihnya, jadi aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang akan dia tunjukkan. Yang jelas, saat ini aku yakin dia sangat bahagia.

Perlahan-lahan aku jadi tersenyum. Entah itu sebagai bentuk dukungan untuk Killian, atau untuk meratapi betapa menyedihkan diriku karena harus menyaksikan mereka. Namun, aku tidak benar-benar menyesal datang ke sini. Meski menyaksikannya sudah tidak terasa spesial lagi, tetapi setidaknya satu dari keinginan lamaku terpenuhi. Sebaiknya hanya hal-hal baik yang kuambil dari situasi ini.

"Ana." Aku baru menoleh begitu Allen menepuk pundakku. "Tidak apa-apa kutinggal sebentar? Aku harus mengurus sesuatu di bawah sebentar."

Aku melirik agak gelisah ke sekitarku sebentar. "Mereka tidak akan mengusirku, 'kan?"

Dia tertawa. Tenang saja, mereka tahu aku mengajak seseorang ke sini. Aku janji akan segera ke sini begitu urusannya sudah selesai."

"Baiklah kalau begitu."

Allen langsung melesat pergi, bahkan sedikit terburu-buru sampai aku khawatir dia akan tergelincir di turunan yang licin. Sambil menunggu dia kembali, aku mengeluarkan ponsel, bermaksud ingin mengabadikan keindahan di hadapanku. Harus ada yang diabadikan dari momen ini meski itu hanya sepersekian detik. Namun, aku tidak jadi membuka aplikasi kamera pemberitahuan pesan dari Killian mencuat di bagian atas layar.

Killian
[📷]
[📷]
[📷]
Maaf aku tidak datang bersamamu, tapi ini sangat cantik, bukan?

Itu adalah foto-foto Tree Light yang sudah menyala lampunya. Dia mengambilnya dengan sangat cantik, sampai-sampai aku merasa tidak perlu mengambil foto lagi. Karena kalau dipikir-pikir lagi, foto yang kuambil juga akan memperlihatkan mereka berdua. Mereka tidak akan melihatku karena posisiku tertutupi oleh pemandu acara yang berdiri beberapa meter di depanku. Aku menatap Killian yang sedang memegang ponsel, tetapi berbisik pada Gabby. Baru aku akan mengetik balasan untuknya, dia sudah menelepon.

"Fotonya bagus, terima kasih." Aku menyebutkan balasan yang ingin kutulis.

 "Aku datang bersama Gabby. Seperti yang kubilang, dia berulang tahun hari ini, aku sudah menyiapkan kejutan, tapi dia penggemar berat Kelly Clarkson, jadi kami pergi ke Rockefeller Center dan menyaksikan Tree Light." Killian tampak kerepotan menghalangi speaker ponsel agar tidak turut merekam suara keributan di sekitarnya. "Aku bertanya padanya apa boleh aku mengundangmu untuk datang menyusul, dan dia bilang tidak masalah. Kita bisa makan malam bersama kalau perutmu masih punya ruang."

"Aku tahu. Nikmati waktu kalian, aku juga sedang berada di sini dan menyaksikan pohonnya." Aku mendongak untuk melihat puncak pohon setinggi kira-kira dua puluh sampai tiga puluh meter itu. "Aku tidak ingin merusak momen kalian."

Ada jeda cukup lama darinya. Oh, apa yang sedang kau pikirkan, Killian?

"Kau sendirian?"

"Tidak. Kau tahu aku benci bepergian ke tempat ramai sendirian."

"Dengan siapa?"

Ini bagian yang tidak kusuka. Killian bersikap protektif lagi. Nada bicaranya yang terdengar seperti sedang menginterogasi itu sedikit memunculkan percikan dalam diriku. Yang pasti itu bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Aku sedang berusaha, Killian. Sebaiknya kau tidak mengacau lagi kali ini."

Aku mengakhiri sambungan telepon. Itu menjadi sikap paling kasar yang pernah kulakukan padanya. Dari sini, aku menyaksikan seluruh perubahan ekspresinya. Tidak terlalu jelas memang, tetapi mataku masih sangat sehat untuk bisa menyadari kalau dia tidak lagi bisa menikmati kelanjutan acaranya. Namun, dia masih harus mengimbangi apa yang dirasakan wanita di sebelahnya.

Sayangnya, aku belum mempersiapkan diri untuk rentetan pertanyaan yang akan dia lontarkan saat kami di rumah nanti. Bagaimana kalau lebih banyak bersenang-senang setelah ini? Lalu pulang setelah dia sudah tidur. Dengan begitu, dia tidak akan merusak hariku.

•••

Semangat, Ana! Mari kita porakporandakan Killian ✊🏻

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
23 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top