4 - Allen

Aku memandang sekeliling bagian tengah rumah kami yang lapang sembari berkacak pinggang. Aku bukan sedang emosi atau semacamnya, tetapi hanya sedang bertumpu, karena sudah berdiri seperti ini cukup lama.

Aku memancing ingatan kembali ke saat melihat-lihat katalog di situs IKEA. Kemudian menembakkan refleksinya ke beberapa titik di ruangan ini, membayangkan akan seperti apa jadinya furnitur yang kupesan jika kuletakkan di sana. Cukup lama aku seperti itu, mulai dari rak buku, meja pajangan, beberapa dekorasi dinding, sampai tirai jendela yang kupesan. Perlu kuingatkan kalau jendela di ruangan bercat cokelat muda ini hanya ditutupi oleh tirai tipis biasa.

Ponselku berdering dan aku segera menghampiri benda itu yang sebelumnya kuletakkan di atas rak TV. Ketika kuperiksa, isinya hanya pengingat kalau aku harus datang ke tempat di mana acara fashion show akan diadakan.

Aku berdebar bukan main, padahal agenda hari ini hanya technical meeting. Yang berarti, aku akan bertemu dengan desainer yang lainnya. Aku harus berhasil lolos sebagai salah satu dari lima orang yang akan mendapat tenant gratis untuk menjual rancangan busananya. Walau tenant itu hanya bisa ditempati selama setahun, setidaknya aku akan menghasilkan uang daripada terus-terusan menodong suami.

Aku tidak suka memenuhi kebutuhanku dengan memakai uang dari orang lain, tak peduli kalau aku memang berhak memintanya pada Killian. Namun, sejak kecil aku memang sudah dibiasakan untuk tidak sembarangan meminta ini itu. Aku benar-benar dididik dengan baik, bukan?

Perhatianku kembali mendarat pada dinding di samping kiri perapian yang dibangun menyatu dengan sudut ruang, di sana akan sangat bagus jika diisi dengan rak buku kami yang sebentar lagi akan datang. Kemudian tiga dus besar di depan perapian mendadak sangat menarik, mengalahkan ekspektasiku tentang akan senyaman apa ruangan ini nanti.

Semua itu milik Killian; dus berisi buku-buku tentang pemrograman. Dia mengeluarkan modal besar untuk mengoleksi semuanya. Seperti yang diharapkan dari orang yang sangat berdedikasi sepertinya. Semua itu takkan ada di sana kalau Killian bukan orang yang menjadi gila jika serius terhadap satu hal.

Namun, aku tidak akan repot-repot menyentuhnya hari ini. Tidak setelah dia membatalkan janji yang dibuatnya sendiri. Semua niat baik yang susah-susah kubangun untuk membantunya merapikan buku pupus sudah. Padahal aku sampai begadang beberapa hari lalu agar pagi ini aku bisa menata rumah bersamanya.

Suara klakson yang memekik sangat nyaring membuyarkan fantasiku akan rumah impian. Si pengantar furnitur pasti sudah ada di depan. Aku menyimpan ponsel ke kantong celana selututku sebelum bergegas keluar. Senyumku mengembang tatkala mobil kontainer besar sudah terparkir tepat di depan. Satu sebagai bentuk ramah-tamah, dua karena aku memang sudah menantikannya sejak aku baru bangun tidur. Barang-barang ini sudah harus masuk rumah dengan rapi sebelum aku berangkat.

"Ms. Pereira?" Seorang pria berbadan tegap dan lumayan tinggi menghampiriku dengan sebuah papan di tangannya.

"Ya, itu aku." Jangan tanya kenapa aku masih memakai namaku, sebab aku memesannya beberapa hari sebelum pernikahan. Lagi pula, aku belum siap melepas nama belakang keluargaku dan menggantinya dengan milik Killian. Tidak, mungkin tidak akan pernah siap.

"Tolong tanda tangan di sini," ujarnya sembari menyodorkan papan yang di atasnya sudah terdapat kertas yang dijepit di sana dan sebuah pena.

Aku memindai tulisan di sana dengan cepat sebelum menggoreskan tanda tanganku di sana. "Selesai. Terima kasih," ujarku sembari mengembalikan kertas papan dan pena tadi kepadanya.

"Kami akan mengeluarkannya sekarang. Tolong tunjukkan pada kami ke mana harus meletakkan barangnya."

"Oh, tentu." Aku membalas tanpa menyadari kalau nadanya terlalu riang. Rupanya aku tidak mampu menahan diri untuk tidak menikmati euforia ini di depan orang lain.

Ada sekitar dua orang pria lagi yang keluar dari mobil kemudian. Mereka mengeluarkan furnitur-furnitur yang besar lebih dulu, dan aku menuntunnya ke dalam rumah, meminta mereka meletakkan furnitur sesuai yang sudah kuimajinasikan tadi pagi. Selagi mereka sudah tahu di mana saja harus diletakkan, aku ke dapur sebentar untuk mengambil minum. Ya ... hanya minuman kaleng agar aku tidak perlu repot mencuci gelas bekasnya.

"Kalau barang yang kecil-kecil?" Pria pertama menunjuk ke dus besar yang dibawa oleh masing-masing temannya dengan jempol.

"Letakkan di teras saja."

Mereka benar-benar melakukannya. Setelah dua dus dipindahkan, aku mengucapkan terima kasih dan memberi mereka tips. Orang-orang itu beserta mobil kontainernya pergi tak lama kemudian. Menyisakan aku yang berdiri memandang belakang mobilnya sampai menghilang di belokan.

Aku berbalik, merasa sangat bersemangat untuk mendekorasi rumahku. Namun, langkahku terhenti ketika seseorang menyapaku. Dia seorang pria yang tampaknya seumuran denganku. Tidak kusadari dia berjalan dari arah mana tadi.

Pria ini tampak ramah, bahkan tersenyum sangat manis kepadaku. Kelihatannya dia baru selesai jalan pagi jika melihat dari pakaian training dan sneakers-nya sekarang.

"Orang baru?" tanyanya tepat setelah aku mengucapkan salamnya tadi.

"Ya. Baru pindah kemarin."

Dia merespons dengan anggukan.

"Kita akan jadi tetangga. Rumahku di sebelah sana," sahutnya sembari menunjuk sebuah rumah yang berada di sebelah kiri rumah di seberangku. "Asli orang sini atau?"

"Kami dari California, dan merantau ke sini."

"Kami?"

Dia banyak bertanya, tetapi berkat keramahan dan suaranya yang lembut, aku tidak merasa risi. Setidaknya belum, tetapi pria ini sudah memberi kesan pertama yang cukup baik untukku. Kapan lagi aku akan disapa oleh pria seumuranku lebih dulu?

"Housemate-ku. Aku tinggal berdua bersama temanku di sini." Aku memasang senyum terbaikku, sebisa mungkin menyembunyikan kalau aku berbohong.

Kalau Killian saja tidak mengaku kalau sudah beristri, untuk apa aku mengaku memiliki suami yang bahkan enggan memperkenalkanku pada orang lain. Aku nyaris terkekeh, pemikiran itu membuatku merasa seperti seorang istri yang tidak dianggap.

"Sama. Aku juga tinggal bersama beberapa orang teman." Senyumnya semakin lebar dan aku baru menyadari ada lesung pipit yang dalam di kedua pipinya. "Oh, namaku Allen Fletcher. Karena kita bertetangga dan akan sering bertemu, sebaiknya tahu nama satu sama lain." Dia mengulurkan tangan kepadaku. Melalui tatapannya, dia berharap agar aku segera membalasnya.

Tetangga. Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti akan memerlukan bantuannya, sebagaimana yang biasa dilakukan Mom; saling membantu, aku jabat saja dulu uluran tangannya dengan erat.

"Luciana Pereira. Panggil aku Luci atau Ana, senyamanmu."

"Luciana Pereira." Dia mengulang namaku dan kedengaran sangat sopan darinya. Aku suka caranya menyebut namaku, apalagi dengan senyum yang tak kunjung luntur itu. "Kedengaran seperti bukan Amerika."

"Keturunan Portugis sebenarnya. Avô dan Vovô sangat strict soal keturunan, mereka tidak ingin keturunannya tidak terasa seperti Portuguese." Aku tertawa sendiri saat menceritakannya, karena merasa itu lucu dan memalukan. Namun, lucunya mungkin hanya aku yang merasakan, karena Allen tidak ikut tertawa. "Oke, itu tidak lucu."

Barulah dia tertawa. Itu membuatku semakin malu hingga kepalaku jatuh untuk menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah. Reaksi itu justru menyadarkanku kalau tangan kami masih bertautan. Dia masih menggenggamnya cukup erat.

"Kau lucu sekali."

Alisku spontan naik pada celetukannya. Bukan kali pertama aku mendengarnya, tetapi mendengarnya dari orang lain selain Killian agaknya aneh.

"Itukah alasanmu tidak melepas tanganku?" Aku mendelik ke tautan kami dan dia melepaskannya seketika. Allen tertawa garing, lagi. Aku semakin tidak mengerti dengan pria ini. Dia memang suka tersenyum dan tertawa atau bagaimana?

"Kotak itu sangat besar."

Cara yang bagus untuk mengalihkan pembicaraan. Dia menunjuk ke belakangku dengan telunjuknya yang panjang. Aku tidak akan menyinggung soal pengalihan, karena itu pasti akan membuatnya tidak nyaman.

"Ya. Aku membeli banyak barang untuk menghias rumah."

"Mau kubantu? Aku dikenal sebagai desainer interior yang luar biasa."

Aku tidak menduga akan mendengar tawaran itu darinya. Dia baik sekali kepada orang yang baru ditemuinya. Kalau aku, jangan harap akan membantu, mengajak berkenalan lebih dulu saja enggan.

Aku bergumam, berpura-pura mempertimbangkan untuk menerima tawarannya, padahal sudah punya jawaban. Untuk menata rumah, aku tentu memerlukan tangan tambahan, apalagi kalau untuk mengangkat barang berat atau memasang dekorasi dinding.

"Boleh. Kurasa aku perlu membuktikan kalau kau memang pantas mendapat julukan itu."

💍

Pukul lima sore aku menerima kopi yang dibelikan oleh salah seorang staf di sini. Aku tidak meminta, tetapi ketika dia menawarkan diri dan peserta lain juga menitip agar dibelikan, aku tentu ikut memanfaatkan kebaikan kecilnya. Lagi pula, aku memang sedang membutuhkannya untuk meredakan sedikit kegusaranku setelah bertemu dengan banyak rival untuk acara minggu ini.

Mereka semua terlihat sangat profesional dan mengintimidasi. Ada dua puluh orang yang akan memamerkan karyanya di acara fashion show nanti, termasuk aku. Aku pernah memenangkan beberapa kejuaraan saat kuliah dulu, bahkan pernah datang ke sini untuk mewakili kampusku, tetapi pencapaian itu mendadak tak berarti apa-apa begitu aku menapaki karier sebagai desainer yang sesungguhnya.

Ya ... walau aku tidak benar-benar gagal selama di California. Setidaknya, meski aku pindah, butikku masih buka di sana.

Cukup sudah membuat diriku merasa insecure, aku keluar dari ruang berkumpul. Lama-lama aku merasa gerah di sana begitu menemukan beberapa orang tak berhenti membanggakan modelnya. Awalnya aku ingin berkeliling, tetapi langkahku terhenti di ambang pintu masuk venue yang akan menjadi tempat para juri menyaksikan busana rancangan kami dipamerkan.

Tepat di hadapanku, terdapat panggung panjang berbentuk panah. Bayangkan saja huruf T berbaring, tetapi kepalanya bengkok ke dalam. Para model akan berjalan di sana. Orang-orang bekerja dengan serius dalam mendekorasi. Lampu sorot ditempatkan di beberapa titik di sekitar panggung dan langit-langit ruangan. Di dinding dekat jalan keluar masuk model ke panggung dipasangi TV yang sangat besar. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku yang berada di sana, mengayunkan pinggul ketika berjalan di antara orang-orang yang ahli di bidangnya.

"Permisi, Nona."

Aku segera menyingkir ketika suara itu terdengar dari belakangku. Ada dua pria yang lewat dengan membawa sebuah vas yang sangat besar. Aku tidak sadar kapan bergeser sampai ke tengah-tengah pintu.

"Hei."

Tepat di belakang dua pria tadi ada Allen. Entah kebetulan macam apa sampai aku harus bertemu dengannya lagi di tempat yang tak terduga ini. Ternyata, dunia jauh lebih sempit dari yang kubayangkan.

"Aku tidak melihatmu tadi."

"Oh, aku memang baru muncul." Dia membalas dengan anggukan kepala. Lagi, dia memamerkan senyum itu, seolah-olah takada ekspresi lain yang bisa dia suguhkan selain tersenyum. Atau dia sadar kalau senyumnya indah, jadi dengan leluasa dia pamerkan kepada orang-orang.

"Maksudku, saat aku berbalik, orang-orang tadi menghalangi tubuhmu. Tidak mungkin kau muncul secara tiba-tiba, 'kan?"

"Aku memang kecil," sahutnya sembari mengangkat tangan membuat gestur menyerah. "Apa yang kaulakukan di sini? Para model berkumpul di lantai bawah."

Kernyitan mungkin tercetak jelas di wajahku, tetapi aku tetap tersenyum untuk menanggapi ujaran yang kuanggap sebagai pujian. Kami menghabiskan waktu beberapa jam untuk mendekor tadi pagi, tetapi tidak saling memberi tahu tentang pekerjaan satu sama lain. Dia terlalu banyak menceritakan tentang agenda rutin orang-orang di komplek dan menjelaskan kenapa aku harus ikut sesekali. Antusias sekali dia saat menceritakannya, aku sampai tidak berpikir untuk mengetahui tentang dirinya atau memperkenalkan diriku lebih dalam lagi.

"Aku lebih suka bekerja di balik layar." Sengaja kukatakan menggantung untuk membuatnya menebak-nebak. Namun, ekspresi yang dia tunjukkan padaku seolah-olah dia langsung paham apa maksudnya.

"Serius? Kau satu peserta yang sejak minggu lalu tidak datang ke pertemuan?" Akhirnya senyum itu tergantikan dengan ekspresi yang lain. Muka kagetnya benar-benar lucu, matanya yang besar dan sebiru laut itu membulat. Aku sampai mengulum bibir untuk menahan tawa. Kupikir dia benar-benar sangat terkejut sekarang.

"Hm. Aku jadi merasa bersalah, tapi tidak ada yang mencariku, 'kan? Lagi pula aku sudah memberi tahu pihak acara kalau tidak bisa datang."

Allen menarikku masuk ke venue dan berhenti di dekat jendela. Ada alasan kenapa dia membawaku ke sini, kami mengobrol di dekat pintu dan menghalangi jalan orang lain.

"Desainer atau ilustrator?"

"Keduanya. Aku menggambar untuk kukerjakan sendiri. Kuharap itu tidak merusak ekspektasimu semakin jauh," balasku sambil bergurau. Aku tahu dia tidak bermaksud buruk. Reaksinya tadi bukan sesuatu yang terkesan negatif. Setidaknya, aku yakin seperti itu.

"Realitanya bahkan melampaui ekspektasiku. Sayang sekali kalau kau hanya bersembunyi di belakang panggung."

"Aku akan seperti batang kayu kalau berhadapan dengan orang-orang. Ya ... sekikuk itu." Aku menggaruk pelipis dengan telunjuk dan tak berani membalas tatapannya.

Aku tidak cukup bodoh sampai tidak mengerti kalau ucapannya tadi adalah pujian. Sebelumnya, dia mengira aku salah satu model. Mari bicara tentang kriteria menjadi model yang harus berpenampilan menarik. Aku tentu saja sangat jauh dari berbagai kriteria tersebut. Apalagi wajahku tidak cukup menarik untuk membuat orang lain menoleh. Namun, Allen mungkin melihatku dengan cara yang berbeda. Apa pun, itu kuharap bukan sesuatu yang akan menimbulkan harap di masa depan.

"Aku sudah membayangkannya di kepalaku." Dia memandangku, nyaris tak berkedip.

Aku menggeleng ringan dan beranjak dari sana, tanpa mengatakan apa pun karena aku tahu Allen akan mengikuti. Kupikir aku sudah cukup lama pergi, jadi aku kembali menghampiri yang lainnya sebelum dicari.

"Apa yang membuatmu mengikuti fashion show ini?" Allen bertanya setelah berhasil mengimbangi langkahnya denganku.

"Aku perlu uang dari profesi ini. Memiliki butik adalah impianku, aku sudah punya satu yang kecil di California, tapi kau melihatku ada di sini. Tentu saja kesempatan mendapat tenant di Macy's tidak akan kusia-siakan. Walau rasa percaya diriku turun drastis setelah bertemu mereka."

Aku sudah berada di ambang pintu ruang berkumpul dan melayangkan tatapanku pada mereka yang kumaksud. Sesuai profesi, mereka berpenampilan sangat modis dan ribet. Ya, memadupadankan potongan baju menjadi sesuatu yang unik itu ribet. Apalagi untuk dipakai di acara technical meeting seperti ini.

Allen masih bersamaku, dia bersandar pada sisi lain bingkai pintu dan bersedekap.

"Mereka berlomba-lomba untuk menunjukkan identitas mereka. Tidak sepertimu. Itu sebabnya aku sampai mengira kau adalah model. Porsi tubuhmu bagus."

Kurasakan wajahku memanas, semoga saja pipiku tidak merona. Belum pernah aku dipuji seperti itu oleh seorang pria, bahkan Killian pun tidak pernah melakukannya. Sekarang aku tahu kenapa perempuan-perempuan merasa senang setelah dipuji sedemikian rupa.

"Itu hal baik tentangku yang pernah kudengar. Terima kasih. Oh, apa yang kaulakukan di sini?"

"Aku—"

Sayang sekali. Aku belum mendengar jawabannya, tetapi ponselku berdering. Dari Killian. Aku harus menerimanya dan aku tidak ingin Allen mendengar apa pun pembicaraan kami. Jadi, aku pamit padanya untuk pergi ke kamar kecil.

"Halo. Aku sedikit repot di sini, bisa hubungi aku nanti?"

"Hanya ingin memberi tahu kalau aku ada di kafe seberang studiomu."

Aku ingin tidak percaya, tetapi Killian bukan pembohong.

"Apa yang kaulakukan di sana?"

"Menunggumu."

"Hah?"

***

To be continued

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
3 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top