39 - Good Mood

"Maaf, kau harus repot-repot datang karena telepon Emma. Lain kali kau tidak perlu menurutinya."

Seperti biasa, Allen hanya akan tersenyum padaku. Dan semenjak aku tahu apa yang dia rasakan padaku, aku tidak bisa tidak merasa malu melihatnya, bahkan nyaris tersipu? Melihat senyumnya berhasil membuat wajahku menghangat.

Tahu apa yang wanita itu lakukan begitu Allen datang? Dia pergi menemui kepala toko, melakukan transaksi sendiri. Aku sempat menghampirinya dengan maksud menggantikannya, tetapi dia menolak dan terus menarik perhatian kepala toko sampai aku terabaikan. Mau tidak mau, aku harus kembali duduk di teras toko bersama Allen. Emma, terlalu jelas memberi kami kesempatan untuk menjadi lebih dekat.

"Tidak apa-apa. Aku justru senang diundang, kebetulan hari ini sedang kosong. Mau permen jahe?" Allen menyodorkan beberapa permen di telapak tangannya dan aku mengambil satu.

"Terima kasih." Permen itu tidak langsung kumakan, tetapi kumainkan di pangkuanku, sekadar menyibukkan diri agar tidak terlihat canggung. "Tapi ini bukan undangan untuk bersenang-senang. Waktumu terbuang banyak kalau hanya menunggu seperti ini."

"Ini lebih baik daripada hanya mendekam di kamar yang terlalu biasa."

Allen yang membuang muka membuatku turut melakukannya. Jalan setapak di depan toko yang nyaris tertutup salju sepenuhnya menjadi pendaratan tatapan kami. Area untuk memarkirkan kendaraan justru bersih dari salju. Seorang pria yang mungkin usianya dua kali lipat usiaku berjaga di dekat pagar dengan mesin pengeruk salju di sampingnya, sudah pasti dia yang memastikan area tersebut bersih dari salju dan dikumpulkan di tepiannya hingga nyaris membentuk pagar pembatas antara area parkir dengan jalan setapak. Pemandangan itu memancing kembali ingatan masa lalu.

Halaman rumah orang tuaku sangat luas jika dibandingkan dengan milik orang tua Killian. Tidak jarang ayahnya akan menitip meletakkan dua atau tiga koleksi mobilnya di sana. Di halaman itu pula aku dan Killian sering membuat benteng pertahanan dari salju sebelum saling menyerang satu sama lain dengan bola salju. Ya, persis seperti gundukan salju di tepi area parkir, hanya saja kami membuatnya lebih tinggi. Biasanya, kami tidak akan berhenti sampai salah satunya menyerah, atau Jaden sudah berteriak ingin memakai halaman untuk bermain bersama teman-temannya. Sungguh masa-masa yang kurindukan. Kami selalu melakukannya setiap tahun sampai Killian berusia lima belas tahun.

"Kau tersenyum. Apa ada sesuatu yang bagus?"

Aku tidak sadar sudah melakukannya jika bukan ditegur Allen.

"Tidak ada. Hanya teringat sesuatu yang menyenangkan." Aku mengulum senyum sebentar sebelum menatap Allen. Tadinya ingin kuajak mengobrol, tetapi malah menemukan dia sedang menatapku terlalu intens. "Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Kuharap aku bisa menjadi alasanmu tersenyum. Itu terlihat cantik." Bisa-bisanya dia mengatakan itu dengan tenang. Aku jadi merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Tidak mungkin kalau kukatakan hal serupa, bukan?

"Kau ... tidak bisa menahannya, ya?" Aku menunduk, memperhatikan kakiku yang berbalut sepatu bot warna krem menendang-nendang udara.

"Ah, apa itu membuatmu tidak nyaman?" Allen menyadarinya. Alisnya bertaut karena rasa tidak enak. "Aku selalu seperti ini, Ana, dan aku memberi tahu agar kau bisa mengerti. Tapi tolong katakan jika sikap atau perkataanku membuatmu tidak nyaman. Aku terbiasa mengungkapkan apa yang ada di pikiranku--kebanyakan untuk hal-hal baik. Orang-orang sebelum dirimu cenderung merasa senang setelah dipuji, jadi kupikir kau juga akan merasa demikian."

Memuji karena itu bisa membuat orang lain senang, ya? Aku tidak biasa mendapatkannya karena tidak bergaul dengan orang banyak, sedangkan satu-satunya teman yang kupunya punya banyak aspek yang jauh lebih bagus dariku, hingga dirasa-rasa tidak mungkin akan memuji perempuan biasa sepertiku. Yang mereka pikirkan hanya 'betapa beruntungnya Luciana menjadi teman baik Killian', dan jelas itu bukan pujian, melainkan rasa iri. Ketika aku berjalan bersama Killian, semua mata hanya tertuju padanya hingga membuatku menjadi tidak terlihat. Itu sebabnya aku tidak benar-benar tahu bagaimana merespons sebuah pujian.

Sekarang aku justru membuat orang lain merasa bersalah karena berusaha membuatku merasa senang.

"Um, maaf, tapi lain kali bisakah kau simpan sendiri pujian itu? Seperti yang kubilang, aku tidak biasa menerimanya." Betapa mudahnya berkata jujur pada orang-orang seperti Allen. Dia begitu terbuka, tidak menutupi apa yang dia rasakan pada orang lain. Entah sebenarnya sifat yang seperti itu bagus atau tidak.

Allen tertawa kecil dan menyugar rambutnya yang klimis. "Maaf kalau begitu. Aku ingin membuatmu setidaknya merasa nyaman saat bersamaku. Dan bolehkah aku jujur sedikit?"

"Ya, silakan."

Allen menjatuhkan tatapannya pada lantai sebentar sebelum kembali menatapku. Bisa kurasakan keraguan di sana. Mungkinkah ada sesuatu dariku yang tidak berkesan baginya? Dia bahkan tidak tersenyum sekarang.

"Aku merasa kau sedikit berbeda dengan saat kita pertama kali bertemu. Saat itu kurasa kau ... begitu ramah. Sekarang jadi mudah merasa canggung. Kalau karena aku mengaku tertarik padamu, tolong maafkan aku."

"Benarkah? Tapi aku tidak merasa begitu." Aku jadi mengusap tengkuk karena perasaan yang tidak enak ini membuat leherku terasa dingin.

"Apa hanya perasaanku?" Allen menatap wajahku masih dengan kening yang berkerut, seperti sedang menginspeksi.

"Mungkin?"

Kuakui intuisinya cukup kuat sebagai seorang pria. Mungkin memang benar begitu. Aku masih ingat pertemuan pertama kami saat barang pesananku datang dan dia membantuku menata rumah. Aku cukup banyak bicara sampai menceritakan asal-usul namaku. Lagi pula, dibandingkan akhir-akhir ini, aku juga lebih bersemangat saat baru pindah. Saat itu aku memang bersemangat menata rumah, mungkin juga berpengaruh pada interaksiku kepada orang lain.

"Sebenarnya aku cukup khawatir." Allen menghentikan ucapannya, seperti sengaja untuk menunggu apakah aku tertarik untuk mendengar kelanjutannya. Lantas, begitu menemukan aku sedang memandangnya dengan rasa penasaran, dia melanjutkan, "Mungkin kau tidak nyaman setelah tahu aku menyukaimu?"

"Itu ... sedikit. Biasanya laki-laki yang ingin dekat denganku berakhir pergi sebelum menyatakan perasaannya, atau mungkin pergi karena tahu aku tidak memenuhi ekspektasi mereka?" Aku tertawa sebentar. "Ya, begitulah. Tapi bukan berarti aku tidak nyaman bersamamu. Kau pria yang menyenangkan, Allen."

Kuharap itu pengakuan yang jujur, bukan karena ingin menjaga perasaannya. Sejauh ini bersama Allen tidak benar-benar seburuk itu. Aku hanya belum terbiasa dengan sikapnya yang terlalu manis. Well, kalau dibandingkan, Killian cenderung menunjukkan perhatiannya melalui sikap. Mungkin itu sebabnya aku merasa aneh dengan kata-kata yang manis.

"Berarti tidak apa-apa kalau aku berusaha?"

Mataku spontan bergulir ke arah lain. "Sebenarnya aku tidak bisa menghalangi apa pun yang kau rasakan padaku, tapi aku tidak berjanji bisa membalasnya dan kau juga tidak boleh merasa kecewa untuk itu."

Sama seperti yang kurasakan pada Killian. Aku tidak menginginkannya, tetapi itu terjadi. Perasaan itu hadir sendiri, tanpa pernah kuundang sebelumnya. Aku juga tidak bisa menuntutnya untuk tahu dan membalas. Saran dari Emma, tentang membuat Killian menyukaiku juga, adalah sebuah usaha yang percuma.

"Tidak masalah. Dengan kau masih mau bicara padaku pun, sudah cukup untuk saat ini." Dia memamerkan senyum khasnya lagi. Lesung pipitnya juga, terlalu menarik perhatian. "Sebaiknya kau bersiap, pria ini mungkin mampu membuatmu jatuh hati." Allen mengakhiri ucapannya dengan mengedipkan sebelah mata. Setelah itu dia beranjak karena dipanggil Emma.

Aku ikut menyusul, tetapi hanya sampai depan pintu toko. Emma mengacungkan jempol padaku, pertanda bahwa barang yang kami pesan sudah lengkap semua. Namun, sempat ada yang terlewat dari daftar, dan itu yang Emma bicarakan denhan kepala toko. Lumayan, pekerjaanku sedikit lebih ringan hari ini. Hanya tinggal mengangkut barang-barang tersebut ke mobil. Itulah tujuan Emma menghubungi Allen, selain agar kami makin deka, tetapi juga untuk membantu mengangkat beberapa gulungan kain dan dus-dus berisi pernak-pernik untuk busana.

Sampai detik ini, aku cukup merasakan ketulusan dari seorang Allen. Bahkan mungkin adalah warga New York tertulus yang kukenal, benar-benar pria yang mudah tersenyum kepada siapa saja. Aku jadi bertanya-tanya, apakah suatu saat nanti dia juga akan mampu membuat jantungku berdebar? Bisakah aku menghapus apa yang kurasakan pada Killian dan menyukai Allen?

Aku tidak akan tahu kalau tidak mencobanya.

"Apa ada sesuatu yang baik yang terjadi di antara kalian?" Emma baru tiba di sebelahku dan sudah bicara seperti itu. Dia mengangkat dua dus berukuran sedang dan atas inisiatif pribadi, aku mengambil alih satu. Kami membawanya untuk diletakkan di bangku belakang mobil, karena di bagasi akan penuh dengan gulungan kain.

"Sesuatu seperti apa?" Kami hanya mengobrol tadi, entah hal baik seperti apa yang Emma maksud, tetapi aku tidak merasa ada perubahan di antara kami.

"Dia tampak berseri-seri. Kau membuat seorang pria merasa bahagia, Ana. Bagaimana mungkin kau tidak sadar." Dia berucap agak frustrasi.

"Dia yang merasakannya, 'kan? Mana aku tahu." Aku membuka pintu mobil untuk meletakkan dus yang kami bawa, kemudian berpindah ke depan untuk membuka pintu bagasi. Allen bersama beberapa orang pegawai toko mulai mengangkut gulungan kain ke sini.

"Kau memberinya kesempatan?" Senyum Emma tampak menyebalkan, jelas sekali bertujuan untuk menggodaku.

"Aku hanya berusaha tidak menghalanginya."

"Itu bagus! Dia akan membantumu segera melupakan perasaanmu pada Killian." Suara Emma makin pelan ketika Allen makin dekat dengan mobil.

Aku hanya merespons dengan tersenyum, sementara pikiranku mulai dipenuhi oleh keraguan lagi. Melupakan Killian dan tidak lagi merasa cemburu pada hubungannya dengan Gabby terdengar seperti ide yang bagus. Namun, ada satu bagian dari diriku yang memekik tidak siap harus berpisah dengannya. Masih ada banyak hal yang belum bisa kulakukan sendiri, yang biasanya Killian akan menawarkan diri untuk membantu. Bahkan kalau dipikir-pikir, semua hal yang pernah Killian lakukan untukku bisa saja menjadi sesuatu yang merepotkan bagi orang lain. Tidak perlu jauh-jauh, Jaden sendiri pernah berkata demikian. Apa Allen juga akan dengan ikhlas melakukan semua itu untukku?

Untuk saat ini, aku percaya dia bisa menerimaku. Namun, aku tidak tahu sampai mana dia akan bertahan setelah mengenalku lebih jauh.

•••

Barang-barang yang kami beli tadi dibawa pulang ke rumahku terlebih dahulu. Sebagian akan kutinggal di studio, sementara sisanya akan kubawa besok ke Macy's. Allen dan Emma membantuku memindahkan barang-barang ke studioku. Setelah banyak membantuku, tentu saja aku memberi waktu mereka untuk beristirahat dulu. Selain itu, aku juga tidak ingin sendirian di rumah karena Killian pergi berkencan. Untuk dua tamuku, aku menyuguhkan beberapa stoples camilan dan dua botol anggur yang dibeli Killian beberapa waktu lalu. Dia mungkin akan protes karena stok anggurnya berkurang, tetapi aku akan menggantinya nanti.

Sore ini, mereka sudah pulang. Tadinya aku ingin mengantar Emma mengingat aku yang menjemput, tetapi tidak jadi karena Allen yang menawarkan diri untuk mengantarnya. Kami banyak bicara sampai aku pun tidak menyadari berapa kali menuang anggur itu ke gelasku sendiri. Kalaupun aku akan mabuk, aku akan baik-baik saja karena sudah di rumah. Bahkan, sepeninggal mereka, aku tetap menghabiskan sisa setengah botol dari anggur tersebut.

Sekarang aku pusing dan berbaring di sofa ruang tengah, tempat kami berkumpul tadi. Sejak pulang aku belum berganti pakaian. Sudah setengah jam pula Allen dan Emma pergi, tetapi aku belum membereskan sisa kami bersenang-senang. Gelas-gelas, dua botol anggur yang sudah kosong, dan stoples-stoples camilan yang isinya sudah tidak penuh lagi, masih memenuhi meja. TV pun masih menyala, menayangkan acara gosip selebriti karena film yang sebelumnya kami tonton sudah habis. Suaranya memenuhi kesunyian di ruangan ini.

Aku memiringkan badan menjadi menghadap TV, yang sebelumnya telentang. Tanganku terlipat dan dijadikan bantal. Dalam posisi ini nyeri di kepalaku berkurang sedikit, efek kebanyakan minum, kurasa. Lama-lama aku mulai bosan. Killian belum pulang. Tidak mungkin dia ingin segera mengakhiri kebersamaan dengan kekasihnya. Dia juga akan makan malam bersama di luar. Memikirkan itu membuatku makin malas buru-buru membersihkan meja, apalagi menyiapkan makan malam. Kalau lapar, aku bisa memakan apa saja yang ada di kulkas tanpa harus repot-repot memasak.

Namun, itu rencana yang hanya bisa kusimpan di kepala.

"Seseorang sedang bersenang-senang hari ini."

Jika dibandingkan dengan tadi pagi, suasana hati Killian jauh lebih baik. Sepertinya menemui sang kekasih berhasil membuatnya melupakan kejadian tadi pagi hingga dia sudah lebih berani menatapku dan menyeringai. Tentu saja, aku juga membalas senyumnya, menunjukkan bahwa benar aku habis bersenang-senang. Meski jujur saja, aku masih merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Wajahku terus terasa panas karena malu.

"Tentu. Seperti yang terlihat." Sombong sekali, padahal dalam hati meringis karena setelah ini harus menyiapkan makan malam untuk kami. Dan kuharap tidak dalam kondisi seperti ini, masih pusing rasanya.

Killian melepas mantel dan menggantungnya di tiang gantungan di sudut ruangan. Mataku tidak sedikit pun beralih dari tiap gerakannya. Kesempurnaan penampilan Killian membuatku kehilangan akal dari hari ke hari. Perasaan inilah penyebabnya. Seharusnya tidak perlu repot-repot untuk peduli. Dia sahabatku, sudah sepantasnya tidak memiliki ketertarikan seksual pada satu sama lain.

Killian masih tidak sadar kalau aku memperhatikan, setelah menggantung mantel, dia meraih remote di atas meja dan menjatuhkan tubuhnya di sofa single, yang posisinya dekat ujung sofa panjang tempat kepalaku berada. Saat tiba-tiba dia menoleh ke sini, barulah aku mengalihkan pandangan ke TV, aku tidak ingin ketahuan sudah memandanginya.

"Kau menghabiskan dua botol anggur seorang diri tanpa mengajakku. Itu sangat jarang terjadi." Dia tampak biasa saja, padahal aku sudah siap mengatakan kalau aku akan menggantinya.

"Aku tidak bilang kalau bersenang-senang sendirian."

"Oh, ya? Siapa yang kau undang?" Dia tampak tertarik untuk tahu, dan nada bicaranya seperti sedang menantangku. Tahu saja dia kalau aku tidak punya banyak teman di sini.

Aku bangun, memaksa tubuhku untuk bersandar pada sofa. Kepalaku masih terasa pusing dan makin berdenyut sekarang, aku tidak tahu apakah ini karena mabuk atau karena terlambat makan. Aku belum makan siang sampai sekarang, perutku yang kosong hanya diganjal dengan camilan. Jadi, aku tidak benar-benar merasa lapar. Anggur yang kuminum juga berpotensi menaikkan asam lambung.

Setelah dipikir-pikir lagi, itu bukan bersenang-senang, tetapi menyiksa diri.

"Allen dan Emma. Mereka membantuku memindahkan barang-barang ke studio." Aku mengangkat tangan dengan telunjuk teracung, sekadar untuk memberitahunya kalau studioku ada di lantai dua. "Jadi aku harus membayar mereka dengan sesuatu yang menyenangkan. Tapi karena aku tidak punya apa-apa, jadi aku pinjam anggurmu dulu dan beberapa camilan. Terima kasih."

Namun, wajahku yang makin semringah justru membuat senyumnya luntur.

"Sudah kubilang, nanti akan kuganti." Aku mengulangi kata-kata itu lagi karena yakin dia tidak senang aku mengambil anggurnya tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya. Killian agak perhitungan kalau berurusan dengan apa yang dia sukai, meski biasanya berakhir dengan menikmatinya bersamaku. "Kau menyeramkan kalau sedang marah."

Killian menghela napas pada akhirnya, tetapi masih tidak bisa menyembunyikan kekesalan yang dia rasakan sekarang. "Aku tidak peduli berapa banyak yang kauhabiskan. Aku hanya tidak terima kau meminumnya bersama orang lain." Dia beranjak pergi kemudian.

"Yang kau sebut orang lain itu teman-temanku, dan kau juga mengenal mereka." Aku membalas agak keras karena dia sudah menaiki tangga.

"Tapi tetap saja itu menggangguku," sahutnya tanpa berbalik sedikit pun.

Dia marah karena tidak diajak atau apa? Aneh sekali.

•••

Kangen kali aku dengan mereka :")

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
28 Maret 2023


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top