38 - Embarassed

Hari ini aku bangun lebih awal. Tidak, lebih tepatnya hampir tidak tidur semalaman. Aku sempat mengantuk di jam sepuluh dan tertidur di studio sampai jam setengah dua belas. Setelah itu aku terbangun karena alarm ponsel--yang bukan untuk membangunkanku, tetapi sebagai pengingat agar aku pindah ke kamar--dan tidak bisa tidur lagi setelahnya. Aku juga sudah ke dapur untuk membuat susu cokelat, mengira dengan begitu rasa kantuk akan segera datang, tetapi mataku tetap terbelalak.

Awalnya aku ingin membangunkan Killian dan mengajaknya mengobrol sampai aku mengantuk, seperti yang biasa dia lakukan ketika tidak bisa tidur. Namun, saat aku memeriksa ke kamarnya, pria itu sudah tertidur lelap sekali. Bahkan ketika aku membenahi selimutnya, tidurnya sama sekali tidak terusik. Kupikir dia kelelahan karena pekerjaan.

Aku kembali ke studio dengan membawa sisa pai apel dari kulkas. Seluruh tubuhku benar-benar begitu aktif sampai aku tidak ingin menyia-nyiakannya. Akhirnya waktu semalaman kugunakan untuk memotong kain menjadi beberapa bagian pola untuk dijahit nanti, dan berhenti melakukannya begitu menyadari kalau aku kehabisan kain tulle. Gaun itu bukan untuk pesanan pelanggan, atau untuk dijual, melainkan untuk koleksi pribadi. Dan jika saat kukenakan membuat orang lain tertarik, baru aku akan membuat lebih banyak.

Manekin yang ada di studio sudah dirancang khusus sesuai ukuran tubuhku, dengan begitu aku tidak perlu repot bolak-balik mengukur tubuh, kecuali jika berat badanku naik drastis. Sayangnya, untuk kasusku, menaikkan berat badan adalah hal yang sulit. Namun, aku juga tidak terlalu kurus. Jaden pernah bilang kalau aku bepergian dengan pakaian seksi, aku bisa menggoda banyak pria, tetapi aku lebih suka menyembunyikannya daripada berakhir disebut sebagai wanita genit.

Cukup memperhatikan tubuh telanjangku di kaca, lama-lama itu terasa menggelikan meski aku hanya sedang membalurkan scrub beraroma susu ke tubuh. Memang masih terlalu pagi untuk melakukan perawatan, tetapi aku perlu melakukan sesuatu agar tidak tertidur lagi, dan aku juga tidak ingin lama-lama di dapur. Kira-kira dua jam lagi, sekitar pukul delapan, aku dan Emma harus pergi mengambil pernak-pernik untuk mempercantik gaun di sebuah toko. Kalau tidur sekarang, biasanya aku akan bangun lima jam kemudian.

Bagian yang tidak boleh ditinggalkan dari sesi memanjakan diri di pagi hari adalah disiram oleh pancuran air hangat. Aku berdiri di dalam bathtub sambil berpejam selagi air mengalir dari puncak kepala sampai kaki, menyapu bersih sisa busa sabun dan sampo yang menyelimuti tubuh. Nyaman sekali. Rasanya baru ini aku benar-benar menghabiskan waktu di kamar mandi setelah sekian lama.

Mataku kembali terbelalak ketika terdengar sebuah benda jatuh, aku yakin tidak menyenggol apa-apa karena tanganku hanya diam di sisi kiri dan kanan tubuh. Sabun, sampo, dan berbagai perlengkapan untuk perawatan tubuh masih lengkap di rak yang dirancang menyatu dengan dinding. Aku mungkin akan mengabaikannya jika benda itu tidak berada di sekitarku, tetapi suara itu terdengar keras. Aku melihat seluruh lantai kamar mandi dan menemukan alat pencukur milik Killian ada di lantai depan wastafel.

Tunggu.

"Astaga, Killian!"

•••

Kami sarapan dalam diam. Setelah insiden di kamar mandi tadi, kecanggungan menyelimuti kami. Killian menghindari kontak mata denganku dan aku juga merasa tidak nyaman berada dekat-dekat dengannya, sampai posisi duduk saja tidak tepat berhadap-hadapan. Bahkan sampai sekarang malunya masih terasa.

"Killian." Dia membalas panggilanku dengan gumaman saja, sementara matanya tertuju pada buku di samping piringnya. Dia bahkan melakukan sesuatu yang tidak biasa. Ada jam khusus membaca untuknya, dan itu bukan saat sarapan, apalagi di akhir pekan seperti ini.

"Aku yang dirugikan di sini, kenapa justru kau yang lebih tertekan?"

Betapa dramatis dirinya saat ini. Dia mengakhiri membaca bukunya, tidak lupa menyelipkan pembatas ke halaman yang terakhir dibaca, lalu menenggak habis Latte yang tersisa di gelasnya. Dia menahan pandangannya pada gelas kosong agak lama sampai akhirnya satu helaan napas dia loloskan.

"Tubuhmu masih membayang di kepalaku, dan aku sedang berusaha melupakannya."

Wajahku panas meski tidak tahu apa alasannya. Ketika hal seperti itu terus membayang di kepala seorang pria, apa berarti bagus? Atau justru berbahaya? Ah, dia mungkin akan menjadikanku sebagai objek fantasinya. Killian sendiri pernah mengakui kalau otak pria dipenuhi oleh pemikiran semacam itu. Setelah kupikirkan lagi, ternyata berbahaya juga.

"Salah siapa langsung masuk kamar mandi tanpa mengetuk dulu?" Aku minum sisa air putih di gelasku, berharap itu bisa mendinginkan wajahku yang makin panas.

"Kau selalu mengunci pintu."

"Karena kita sudah tidak tidur sekamar, Killian, aku sengaja membiarkan pintunya tidak dikunci."

"Kau harus menguncinya lain kali. Kau tinggal bersama seorang pria yang hormonnya akan bergejolak ketika melihat sesuatu yang begitu menggoda. Kita bukan bocah lagi, yang tidak merasakan apa-apa meski saling menggosok punggung satu sama lain." Dia mengepalkan tangan di depan mulut dan berdeham. Wajahnya juga dipalingkan ke arah lain. "Tidak kusangka kau tumbuh sangat baik."

Telingaku berdengung seperti kereta api uap yang hendak melaju. Tentu aku sangat mengerti maksud dari kata-katanya. "Kau ... mesum. Aku akan melaporkanmu karena mengintip orang mandi."

"Lalu apa? Kau berharap mereka menahan seseorang karena melihat istrinya mandi?" Killian menepuk dahinya sambil menggeleng ringan.

"Tetap saja kau tidak langsung pergi saat tahu aku sedang telanjang. Menyebalkan."

Aku masih ingat betapa kerepotannya aku mencari-cari benda untuk menutupi tubuh. Kaca pembatas antara wastafel dan bathtub tidak buram dengan jenis kaca yang tidak mengembun meski terkena uap air. Semuanya terlihat jelas. Parahnya, setelah aku meneriaki namanya, Killian masih tertegun dengan mulut terbuka. Tidak lama, tetapi waktunya cukup untuk menyapu tubuhku dari atas sampai bawah dengan matanya yang melotot.

"Ana, semua pria akan seperti itu ketika melihat tubuh wanita tanpa cela. Bersih dan porsinya pas."

Kali ini aku yang membuang muka. Bagaimana mungkin aku tidak merasa lebih malu setelah dipuji begitu. Namun, aku juga tidak membenci mendengar itu darinya. Ini reaksi yang berbeda dari biasanya, aku sangat yakin begitu. Biasanya aku selalu punya cara untuk mengelak, karena semua hal dengan konteks memuji yang keluar dari mulutnya terdengar mengerikan.

"Aku akan pergi." Sarapanku belum habis, tetapi aku sengaja meninggalkannya demi segera terhindar dari situasi mengerikan ini. Mantel yang kusampirkan di kursi kukenakan sambil berjalan meninggalkan meja makan.

•••

"Kau bilang berangkat jam delapan. Ini baru setengah delapan dan kau sudah di depan rumahku." Emma menguap tanpa menutup mulutnya begitu berada di dalam mobilku. Tangannya sibuk memasang sabuk pengaman. "Aku masih mengantuk."

Kuakui wajahnya memang tidak cukup segar untuk seseorang yang bangun tidur pagi hari, meski lingkaran gelap di bagian bawah matanya menjadi bukti kalau dia juga begadang semalam, tetapi aku yakin jam tidurnya lebih banyak dariku. Setidaknya aku lebih baik dalam menyembunyikan area gelap tersebut.

"Aku juga belum sarapan," keluhnya sambil mengusap perut.

Aku meringis, diiringi dengan suara mesin mobil yang baru kunyalakan lagi. Ini tidak akan terjadi jika bukan karena Killian, meski aku sadar dia tidak sepenuhnya bersalah. "Maaf. Aku bangun terlalu pagi hari ini dan tidak ada hal lain yang kukerjakan di rumah. Kita mampir ke kafe nanti, aku juga masih lapar."

Aku berusaha mengabaikan picingan mata yang sarat akan rasa curiga dari Emma. Sepertinya aku perlu belajar untuk menyembunyikan masalahku sedikit lebih baik. Kecuali mereka memang punya kemampuan khusus membaca apa yang sedang dialami oleh seseorang, maka akan percuma aku menyembunyikan kuat-kuat. Bagi sebagian orang mungkin bagus dikelilingi oleh orang-orang yang peka, tetapi untukku itu sedikit sulit. Sekali dua kali mendapat simpati orang lain, tidak masalah. Tiga empat kali, aku mulai lelah merespons, tidak sanggup menerimanya lebih banyak.

Sampai mobilku berhenti di sebuah kedai kecil yang menjual beragam panekuk, kami tidak bicara. Bahkan Emma kutemukan tertidur dengan kepala bersandar pada kaca jendela mobil. Aku makin merasa bersalah karenanya. Sebagai permintaan maaf, aku akan mentraktirnya pagi ini.

Tidak sulit membangunkan Emma. Meski tampak sangat nyenyak, dia langsung melek begitu aku menyentuh lengannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?"

Pertanyaan itu kuterima darinya tepat setelah meletakkan nampan berisi dua porsi panekuk dengan topping madu dan dua gelas susu cokelat hangat.

"Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku menyantap panekuk lebih dulu. Rasanya jauh lebih baik dari roti panggang yang kubuat tadi pagi, dan itu membuatku merasa lebih baik.

"Wajahmu agak merah, kau demam? Aku sempat berpikir pemanas di mobilmu bermasalah, tapi ternyata tidak."

"Serius?"

Aku sudah mencari ponsel di dalam tas di pangkuanku, bermaksud ingin berkaca di sana. Sebagai wanita yang tidak biasa merias ulang wajah, cermin adalah barang yang jarang ditemukan di tasku. Seseorang pernah berkata penampilanku tidak benar-benar mencerminkan citra seorang desainer busana, yang kebanyakan tampil stylish. Lagi pula, aku merasa tidak perlu repot-repot seperti itu setiap hari.

Aku tidak jadi memeriksa wajah ketika Emma mengangkat sepotong panekuknya sembari mengedikkan bahu. "Sekarang sudah tidak lagi."

Ponsel tadi kuletakkan ke atas meja dengan posisi tengkurap. Wajah syok Killian tadi memang belum benar-benar tersingkirkan dari kepalaku, mungkin itu juga yang membuat wajahku masih merah karena malu. Apalagi itu adalah kali pertama seorang pria melihat tubuhku. Polos.

"Sebenarnya aku penasaran." Aku hanya merespons Emma dengan gumaman karena sedang mengunyah panekuk. "Kau sungguh tidak mau berusaha membuat Killian membalas perasaanmu, atau setidaknya tahu perasaanmu? Aku tidak sanggup memikirkan kau ... melihat kebersamaan mereka lebih sering lagi."

Aku bertopang dagu, sambil memandang ke luar jendela, tepatnya pada jalanan bersalju yang mulai dipadati oleh para pejalan kaki. Di kepalaku, tidak hanya ketika Emma menyinggungnya, sudah berkali-kali aku membayangkan mereka bersama dan bahagia, tetapi aku tidak bisa melihat diriku sendiri di fase kehidupan yang seperti itu.

Aku menatap Emma lagi tanpa mengalihkan posisi kepala. "Hal seperti itu tidak akan terjadi di antara kami." Dan melanjutkan kembali menyantap panekuk. Harganya agak mahal di sini, jadi aku tetap berusaha menghabiskannya meski pembicaraan tentang Killian selalu berhasil membuat nafsu makanku menguap.

"Padahal kupikir ...." Masih sempat-sempatnya Emma bicara ketika kunyahan panekuknya masih di mulut dan baru saja dia menelannya. "Posisimu jauh lebih unggul dari wanita itu. Dengan mengetahui lebih banyak tentang Killian, kau punya lebih banyak peluang untuk membuatnya berpaling, melihatmu sebagai wanita. Kalau aku jadi kau, meski tahu akhirnya akan berpisah, aku tidak ingin menyesal karena tidak berusaha. Bisa saja dia akan menyadari sesuatu setelah tahu bagaimana perasaanmu."

Membuat Killian menyukaiku? Hell, nyaliku saja sudah menciut setelah apa yang dia katakan saat makan malam waktu itu.

"Dia sendiri yang bilang kalau hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Bahkan ada dua orang lagi yang mendengarnya."

Emma menjatuhkan tangannya yang memegang garpu ke meja dengan mengentak keras. Benda-benda lain di atas meja ikut bergetar karenanya. Decakan keras turut dia keluarkan.

"Dia sadar apa tidak, sih? Berkata seperti itu tapi masih bernafsu padamu."

Satu hal yang akan kuingat, jangan minum saat Emma sedang bicara. Tidak akan ada yang tahu kejutan apa yang akan dia suguhkan melalui kata-kata. Dan aku sudah tersedak pada kata 'bernafsu'. Dia berusaha mengorek kejadian tadi pagi karena sedang menebak-nebak, atau hanya tidak sengaja mengatakannya? Momennya terlalu pas dan aku kembali membayangkan wajah Killian pagi ini.

"Lihat, wajahmu merah lagi." Emma menyunggingkan seringai nakal dan alisnya bergerak naik turun. "Kalian sudah melakukannya berapa kali?"

Sempat kutebak dia akan berpikiran seperti itu.

"Yang seperti itu tidak akan terjadi." Aku mengatakannya sembari menyapu sekitar bibir dengan tisu. Terkena cipratan susu cokelat akan lengket saat mengering.

"Tapi bekas cupang wak--"

Pelototanku berhasil membuat Emma bungkam. Aku memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yang tertarik untuk mendengarkan. Suara Emma agak nyaring, sampai aku khawatir seseorang mendengar. Lagi pula, itu topik pembahasan yang terlalu vulgar. Bisa-bisanya dia masih mengingat soal itu.

"Itu tidak seperti yang kaupikirkan, Em."

"Memangnya apa yang kupikirkan?"

Aku menahan geraman dalam kerongkongan. "Jelas terbaca dari ekspresimu."

Emma mengernyit sebentar sebelum kemudian menenggak habis sisa susu cokelatnya. Begitu gelasnya kembali menyentuh tatakan, dia menggeleng seperti orang tua yang sedang menyaksikan betapa berbeda kebiasaan generasi sekarang dengan generasinya. Namun, Emma tidak sekuno itu, dia bahkan berpikir lebih luas daripada aku.

"Killian sahabatmu, jika memang benar-benar tidak ada rasa sedikit pun, tidak mungkin dia akan menciummu di luar upacara pernikahan kalian. Dan apa yang kulihat di sekitar leher dan bahumu waktu itu, jelas sekali dia punya keinginan untuk menyentuhmu. Well, ini hanya dari pandanganku. Sebenarnya tidak masalah dua orang sahabat saling menyentuh, di luar sana mungkin ada banyak yang melakukannya selagi mampu mengontrol perasaan yang bisa saja muncul setelahnya. Tapi kau sudah menyukainya, Ana, aku tidak ingin kau terluka."

"Lalu aku harus bagaimana?" Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terlihat merasa terusik oleh ucapannya. Bukan berarti Emma menggangguku, tetapi kebenaran yang dia ucapkan membuatku takut. "Kalau dia sudah berkata begitu, aku tidak bisa memaksanya, 'kan?"

Emma berdeham. Mungkin dia juga tidak tahu apa jawaban untuk pertanyaan itu.

"Kau terima Allen saja kalau begitu. Kalau menurutmu tidak mungkin membuat Killian jatuh cinta padamu, buat saja dirimu jatuh cinta pada Allen. Dia jelas-jelas sangat menyukaimu." Emma mencondongkan badan ke arahku, tampak ingin mengatakan sesuatu yang sangat serius, padahal aku masih berusaha memproses ucapannya. "Banyak orang bilang lebih baik dicintai daripada mencintai. Ide bagus, 'kan?"

Mencoba lebih dekat dengan Allen terdengar tidak buruk. Kalau berhasil dan kami memang punya kecocokan, itu akan membantu Killian lebih cepat berpisah dariku.

"Aku sedang memikirkannya," sahutku sembari menggaruk telinga.

"Untuk apa dipikirkan? Aku akan menelepon Allen sekarang." Emma bersemangat sekali. Ponselnya, aku tidak tahu sebelumnya dia simpan di mana, sudah berada di tangannya.

"Kau bercanda."

"Tidak."

Dia menunjukkan layar ponselnya padaku dan sudah menunjukkan proses memanggil Allen. Aku berusaha merampas ponselnya, ingin mengakhiri sambungan telepon, tetapi suara Allen sudah terdengar.

"Halo, Emma?"

Setelah ini apa?

•••

:"))

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
8 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top