37 - Dinner

Aku sering mendengar tentang roda kehidupan, bahkan ada banyak orang yang menulis tentang itu. Fakta bahwa dalam hidup, kita tidak selalu berada di atas, karena roda terus berputar. Termasuk juga dengan jalan untuk mencapai sesuatu tidak selalu lurus. Akan ada belokan, simpangan, speed bump, atau lubang jalan yang biasa menampung air ketika diguyur hujan dan tentunya akan membuat rugi orang-orang yang melaluinya. Sebenarnya, itu perumpamaan yang agak berlebihan. Namun, ketika bicara tentang kenyataan, benar memang ada saatnya kita merasa nyaman dan agak susah. Semua hambatan itu jelas berpengaruh pada laju roda yang berputar.

Perjalanan karierku juga tidak terlalu baik, meski baru sebentar menggeluti dunia fashion. Jalanku tidak mulus. Bagian paling buruk dari semua itu adalah ketika rancanganku dicuri oleh orang yang begitu kupercaya. Dia adalah teman terdekat saat kuliah. Memiliki jurusan yang berbeda dengan Killian membuatku mau tidak mau harus bersosialisasi dengan caraku sendiri. Dia cukup baik, bahkan yang lebih dulu menyapaku dan menawarkan pertemanan yang tentu saja tidak akan kutolak. Kami punya mimpi yang sama, dan memulainya bersama begitu lulus.

Buku rancanganku hilang ketika dia menginap di rumah. Bukan hilang di rumah, tetapi saat kami kembali dari membeli kain, buku itu lenyap dari tasku dan aku khawatir itu terjatuh saat di jalan. Awalnya aku tidak ingin menuduhnya sebagai pencuri, mengingat sejauh ini dia selalu mengerjakan semuanya sendiri. Killian terus mendesakku untuk berhati-hati padanya, tetapi bagaimana mungkin aku curiga kalau dia membantuku mencari pada saat itu?

Kecurigaan Killian terbukti ketika sebulan kemudian dia memutuskan pindah dan seminggu setelahnya meluncurkan butik sendiri. Pertama, dia mengkhianati pertemanan kami dan rencana yang sudah kami pertimbangkan sangat matang. Kedua, baju yang dia pamerkan di butiknya adalah hasil rancanganku. Memang ada kemungkinan mirip, tetapi aku mengenal betul bagaimana gayaku yang lebih suka memberi aksen ruffle ketimbang pernak-pernik yang berkilau. Mungkin saat itu dia mendapat kesempatan mengambilnya dari tasku ketika aku menitip untuk dia bawakan selagi aku membawa kain.

Sejak saat itu, aku tidak pernah membiarkan buku sketsa jauh-jauh dariku. Benda itu selalu kubawa meski aku tidak sedang ingin menggambar.

Hari ini, di sini, aku tidak berhenti bersyukur. Meski butik yang lama berencana ingin kututup--dan aku sedang mempertimbangkan untuk menawarkan rekan-rekanku di sana untuk pindah ke sini, mereka akan sangat membantu setelah merekku bekerja sama dengan Soppaholik. Yah, walau sebenarnya agak berat karena harus menanggung tempat tinggal juga, sedangkan pemasukanku belum sebanyak itu untuk sekadar memberi bonus, kecuali ketika ada pesanan khusus dan dari itu aku bisa menawarkan harga tinggi ke pelanggan, setidaknya masih mampu menggaji dua orang lagi. Namun, setidaknya ada dua orang yang tertarik pindah ke sini dan tidak mempermasalahkan tempat tinggal. Bagi mereka, tinggal di sana dan di sini tidak ada bedanya, sama-sama harus membayar sewa bulanan tempat tinggal.

Sampai detik ini, aku belum bisa sepenuhnya percaya kalau jalanku begitu mulus. Maksudku, semuanya lancar di sini, tenant-ku makin dikenal dan ada pengunjung baru setiap beberapa hari. Killian benar soal mengikuti kompetensi itu akan membuat namaku makin dikenal, karena predikat kemenangan akan membuat orang lain merasa penasaran untuk datang. Aku belum bisa berhenti berdebar ketika seseorang membicarakannya dan datang untuk membuktikan kalau predikat itu memang pantas diberikan padaku atau tidak, bagaimana jika ternyata itu tidak memenuhi ekspektasi mereka?

Begitu aku menyadarinya, seseorang datang. Seseorang yang ... kukenal, lebih tepatnya. Emma yang baru kembali melayani pelanggan sebelumnya langsung menyenggol pinggangku. Aku lantas melirik jam ketika tahu siapa yang datang bersamanya. Sudah lewat satu jam pulang kantor rupanya.

"Kau yakin tidak apa-apa?"

Aku hanya melempar senyum pada Emma yang baru saja berbisik padaku. Tadi aku tidak memikirkan tentang kebersamaan mereka, tetapi sekarang aku jadi keberatan melihatnya. Aku selalu memastikan pengharum ruangan otomatis membuat udara lebih segar, tetapi aroma parfum Gabby terlalu kuat, mengalahkan aroma bunga mawar yang sudah mengisi ruangan. Aku tidak tahu bagaimana hidung sensitif Killian mampu bertahan berdekatan dengannya, atau sebenarnya itu tidak mengganggu dan hanya aku yang terlalu sensitif hari ini.

"Dia pelanggan, tolong layani dia, ya." Aku menepuk tiga kali punggung wanita yang lebih tua empat tahun dariku itu dan melesat masuk ke ruangan staf, tidak ketinggalan membawa buku dan pensil.

"Kau menumbalkanku, sayang sekali aku tidak bisa melawan." Wajah cemberutnya berhasil menghibur suasana hatiku yang mendadak jadi buruk.

"Aku menyayangimu." Aku memberinya blow kiss sebelum benar-benar menghilang di balik ruangan.

Killian juga ada di sana, turut mengiringi langkah Gabby dari satu rak ke rak yang lain. Aku tidak perlu repot-repot menyapa kalau tujuannya datang bukan untuk menemuiku.

Buku sketsa dan pensil yang kubawa-bawa sejak tadi kuletakkan ke atas meja dengan agak membantingnya. Selanjutnya disusul pinggulku bersandar di sana, hanya untuk memandangi betapa kerusuhannya ruangan ini. Sisa-sisa dari mengerjakan pesanan milik pelanggan beberapa hari ke belakang belum sempat kubereskan. Aku agak malas akhir-akhir ini, selain karena lelah badan, pikiran juga.

"Ana."

Dan salah satu dari banyak hal yang mengganggu pikiranku pun menyusul ke sini. Killian masuk ke ruangan ketika aku sedang mengumpulkan potongan-potongan kain di lantai. Tanpa kuminta, dia mengambilkan keranjang untuk aku meletakkan kain-kain itu di sana.

"Kau perlu sesuatu? Apa Gabby tidak puas dengan yang ada di luar?"

"Dia baru membayar dua atasan di kasir." Seperti biasa, Killian tidak akan mengeluarkan dompet untuk membayar belanjaan kekasihnya. Dia lebih suka mengumpulkan uangnya dulu dan menghabiskannya untuk membeli hadiah di hari-hari spesial, atau ketika dia sedang bermurah hati ingin membelikannya. Orang-orang mungkin akan menyebut Killian pria yang pelit, tetapi bagiku itu sangat cerdas. Dia tidak ingin banyak dirugikan.

Sambil masih memungut benda-benda yang seharusnya tidak ada di lantai, aku mengangguk. "Dia akan mencarimu kalau lama-lama di sini." Aku kembali berdiri tegak dan mengambil alih keranjang darinya.

"Dia tidak akan keberatan. Lagi pula, dia ingin aku mengundangmu untuk makan malam."

"Oh, ya? Kapan?"

Aku tidak mengira wanita itu masih punya keinginan untuk mengenalku lebih baik.

"Malam ini kalau kau tidak sibuk." Killian menggaruk tengkuknya dan berjalan mundur sampai pahanya menabrak pinggiran meja. "Aku tidak ingin memaksamu, tapi kuharap kalian bisa saling mengenal lebih baik."

Padahal aku sudah memikirkan tentang alasan untuk menolak, tetapi Killian sudah bicara seolah-olah tahu aku tidak akan setuju. Bayangkan saja akan seperti apa situasiku nanti. Andai mereka bukan sepasang kekasih, tidak masalah. Masalahnya, mereka akan mengobrol, mungkin saling merayu meski itu bukan kebiasaan Killian, dan aku akan tampak menyedihkan karena hanya bisa menonton. Sayangnya, aku tidak bisa menolak kalau itu sudah keinginan Killian.

"Aku akan datang kalau kau mengizinkanku membawa seseorang."

"Emma?"

Tebakan yang beruntung, aku hanya pamer cengiran untuk memberi tahu bahwa jawabannya benar.

"Baiklah. Aku akan mengirim alamat rumah makannya padamu nanti."

•••

"Tidakkah ini seperti kencan ganda?"

Gabby begitu bersemangat mengatakannya. Matanya yang berbinar tidak mampu menyembunyikan betapa dia merasa senang hari ini. Dia memandang kami yang duduk di depannya bergantian dan senyumnya tidak kunjung luntur, sementara Killian sibuk memisahkan tulang ikan dari dagingnya.

"Seandainya ini kencan, seharusnya bisa dipersiapkan sedikit lebih spesial." Allen yang menimpali selagi aku tidak punya jawaban untuk merespons ucapan Gabby.

Setelah gagal rencanaku membawa Emma, Allen muncul seperti biasa setiap sore menjelang malam. Biasanya dia akan beralasan kalau sedang ada pekerjaan, atau mampir dari suatu tempat, tetapi hari ini dia terang-terangan memberitahuku kalau memang sengaja berkunjung hari ini. Tentu saja Emma langsung membatalkan rencana ikut makan malam denganku dan menawarkannya pada Allen. Padahal aku sama sekali tidak terpikirkan ingin mengajak Allen pergi.

"Benar, ini seperti kencan ganda yang buruk." Killian menimpali sambil menukarkan seporsi spageti yang sudah kusuap dua kali di hadapanku dengan seporsi ikan tanpa tulang. Aku tidak menyangka dia sibuk melakukan itu untukku dan tidak peduli apa yang Gabby lakukan sejak tadi. Sempat kukira Killian memang sengaja memesan spageti untukku, mengingat aku sudah terlalu sering makan ikan.

Aku sempat menangkap tatapan tidak senang dari Gabby ketika Killian melakukan itu. Aku jadi merasa tidak enak meski bukan aku yang meminta. 

"Tidak masalah. Lagi pula, tujuan malam ini hanya untuk makan dan mengobrol, bukan?" Gabby bersandar pada bahu Killian ketika menyesap minumannya dan pria itu sama sekali tidak merasa risi. "Ada banyak yang ingin kutanyakan pada Ana, karena dia sudah menjadi teman baik Killian selama ini."

Itu sangat tidak terduga dan sangat berbeda dari yang Killian katakan saat memintaku untuk ikut bersama mereka. Namun, aku harus bersikap baik padanya. "Mungkin direncanakan lain kali saja. Sulit menjawabnya kalau yang dibicarakan ada di sini." Aku mengerling pada Killian, sengaja untuk mengganggunya.

"Haruskah aku merasa terancam? Ana mungkin akan menceritakan yang jelek-jelek tentangku." Picingan matanya kubalas dengan juluran lidah. Sudah lama aku tidak menggodanya seperti ini di depan seorang wanita yang dia suka. Aku perlu dialihkan dari sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak.

"Justru itu bagian terbaiknya, Killian. Orang-orang tidak akan menganggapku sebagai wanita yang tergila-gila oleh kesempurnaanmu saja, tapi kekuranganmu juga." Gabby memeluk lengan Killian sebentar sebelum kembali menegakkan punggungnya. Posisiku kali ini tidak cukup menguntungkan. Berhadapan dengan Killian membuatku bisa dengan jelas melihat senyumnya yang tulus dan betapa dia memandang wanita itu dengan penuh damba.

Tiba-tiba tawa hambar Allen terdengar. "Apa kalian pasangan?" 

"Ya ... begitulah. Ngomong-ngomong, aku ingat dirimu. Kau datang bersama Ana saat Halloween Macy's. Benar, 'kan?" 

Satu hal yang kupelajari dari kepribadian Gabby, dia mudah bergaul dengan orang baru. Orang-orang sepertinya kebanyakan punya nasib yang bagus, apalagi kalau sudah punya banyak relasi. 

"Maaf, aku tidak ingat pernah bertemu denganmu di sana. Lagi pula, aku tidak lama berada di sana. Aku kehilangan Ana di tengah-tengah acara."

Mendengar Allen menyebut namaku, aku jadi tersedak daging yang sedang kukunyah. Dua gelas air putih lantas disodorkan padaku, dari Killian dan Allen. Namun, aku memutuskan mengambil yang Allen sodorkan demi menjaga perasaan Gabby. Aku menggumamkan terima kasih dan menyerahkan gelasku yang belum tersentuh pada Allen. Tidak mungkin aku mengembalikan gelas bekas bibirku.

"Oh, ya? Kau ke mana, Ana? Pantas saja kalian tidak muncul saat dipanggil ke atas panggung." Sebagai satu-satunya yang tidak tahu tentang tanganku yang terluka, Gabby tampak begitu antusias ingin mendengarkan. Kabar baiknya, tanganku sudah tidak perlu diperban lagi sekarang dan aku cukup beruntung memiliki kulit yang bagus karena sisa lukanya tidak bertahan terlalu lama. Masih ada samar-samar, tetapi tidak akan terlihat jika tidak dalam jarak dekat.

Aku dan Killian saling tatap sebentar sebelum aku kembali menatap daging ikan yang aku sudah tidak bernafsu memakannya. Jadi aku hanya memainkannya dengan garpu sambil memikirkan jawaban untuk wanita itu. Killian sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu, tetapi aku tidak ingin Gabby mengetahuinya.

"Tanganku terluka karena terkena pecahan gelas dan langsung pulang agar tidak membuat Allen repot." Dan aku masih menyuap potongan ikan. "Bukan masalah besar."

"Tapi besoknya kau sakit, 'kan? Killian memberitahuku saat dia bilang tidak bisa masuk kerja."

Aku tersenyum pada Gabby. Sama sekali tidak terlihat rasa cemburu di wajahnya. Setidaknya menurutku begitu, dia bahkan tampak mengkhawatirkanku saat ini. Dia menunjukkan sikap sebagai seorang teman baik, yang membuat siapa pun ingin berteman dengannya, tetapi pengalaman buruk yang terjadi di masa lalu membuatku sedikit waswas. Apalagi dia seumuran dengan kami.

"Aku tidak biasa terluka, jadi ... begitulah." Aku tidak pandai membual, jadi saat mengatakannya aku lebih banyak menunduk, menghindari kontak mata.

"Seharusnya kau mencariku, Ana. Aku tidak akan merasa direpotkan. Toh aku yang membawamu ke pesta itu." Kali ini Allen yang mengkhawatirkanku.

"Ayolah, itu sudah cukup lama, lupakan saja. Sebaiknya kita makan dulu, sebelum dingin."

Aku tersenyum untuk meyakinkan Allen dan Gabby, tetapi seketika luntur saat menatap Killian. Dia tidak bersuara sedikit pun sejak kami mulai membicarakan tentang pesta Halloween Macy's. Mungkin seharusnya malam itu aku bisa lebih menahan diri untuk tidak meluapkan perasaanku. Sekarang justru aku menyiksanya dengan perasaan bersalah. 

Kontak mata kami berakhir ketika Gabby menyentuh lengan Killian, dan ingin menyuapi pria itu dengan sepotong daging dari steik yang dipesannya. Wanita itu memperlakukan Killian dengan baik, bahkan dengan natural menyapukan noda minyak dari daging tadi di sudut bibir Killian. Dibandingkan dengan Gabby, aku justru lebih banyak merepotkan Killian daripada membantunya. Ikan yang sudah dipisahkan tulangnya ini tidak lagi ingin kumakan. Perutku mual meski hanya memikirkannya.

Allen menyenggolku dan dengan gerakan alis bertanya ada apa denganku. Namun, aku hanya menggeleng, tidak mungkin terang-terangan memberi tahu kalau aku sedang cemburu.

"Ana, aku benar-benar menyukai baju-bajumu."

Aku tidak sadar kami saling diam cukup lama, karena ketika mendongak, piring Gabby sudah kosong. Punya Killian juga.

"Terima kasih." Rasanya seperti sudah kehabisan kata-katq untuk diucapkan.

"Desainmu mengingatkanku pada Christian Dior. Tidak sama, tapi punya vibe yang serupa. Gaun-gaunmu elegan. Kau pernah datang ke fashion show-nya?"

"Yap. Satu kali saat di Paris." Aku tersenyum tipis ketika Gabby bereaksi penuh rasa takjub.

"Astaga. Aku iri sekali, dia salah satu desainer favoritku. Apa kau pergi sendiri, atau bersama teman-temanmu?"

Aku tidak menjawab, melainkan menatap pria di sampingnya, sekadar bertanya apakah aku boleh menceritakannya atau tidak.

"Aku menemaninya saat itu." Namun, Killian memutuskan untuk memberitahunya sendiri. "Orangtua kami sepakat tidak akan mengizinkan kami pergi ke luar negeri seorang diri. Jadi, aku harus menemani Ana, dan Ana harus menemaniku. Seringnya aku yang harus mengantar Ana saat ada fashion week."

Gabby menatap kami bergantian dengan wajah memelas. "Ah, itu membuatku makin iri. Kalau begitu, kau harus menemaniku juga nanti, Killian." Dan berakhir menggamit lengan Killian lagi. Kesan pertama saat aku melihat Gabby adalah seorang wanita berkelas yang tangguh, tetapi aku justru menemukan dia juga bisa bermanja-manja seperti itu pada pria yang disukainya.

"Kita bisa jadwalkan itu nanti." Respons itu membuat Killian dipeluk Gabby makin erat.

"Aku penasaran." Allen tidak banyak bicara, tetapi sekali bersuara sudah berhasil menarik perhatian kami. "Dengan hubungan kalian yang sedekat itu, apa kalian sungguh hanya bersahabat? Apa tidak muncul rasa suka sedikit pun pada satu sama lain?"

"Ah, benar. Aku juga penasaran. Bahkan kalian juga membeli rumah untuk ditinggali bersama di sini. Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan orang kalau seandainya sesuatu terjadi di antara kalian."

Allen dengan mulutnya yang manis, tetapi juga berbahaya, seharusnya tidak berada di sini sekarang. Kalau tahu akan mendengar pertanyaan itu, mungkin dari awal aku datang sendiri saja. Sebenarnya aku dan Killian juga sudah membicarakan bahwa akan ada seseorang yang mempertanyakan tentang itu, tetapi tidak kusangka itu terjadi sekarang.

Aku yang sedang minum saat Allen bertanya begitu, sengaja berlama-lama agar Killian merasa terdesak untuk segera menjawab.

"Setelah mengetahui keburukan satu sama lain, agaknya hal seperti itu tidak akan terjadi pada kami." Ah, kenapa saat itu terdengar dari mulut Killian terasa jauh lebih menyakitkan daripada ketika aku mengatakannya pada Jaden? Tidak salah aku menentang opininya bahwa kekurangan bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk jatuh cinta. Itu memang memungkin terjadi, tetapi tidak berlaku pada Killian. "Kami memang saling memperhatikan, tetapi itu bukan sebagai sesuatu yang seperti itu. Kami hanya dua orang yang suka saling merepotkan."

Aku tersenyum dan mengangguk untuk membenarkan ucapan Killian. Sakit memang, tetapi aku terus mengingatkan diri ini untuk tidak menjadi egois.

"Bisa kumengerti, yang pasti itu cukup melegakan." Allen memamerkan senyum itu lagi padaku, dan jelas mengundang tanya di kepalaku. "Berarti aku masih punya kesempatan."

Ya ampun. Apa pria ini tidak bisa menahannya? Kenapa harus mengutarakan itu di depan mereka?

•••

:) :) :)

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
20 Februari 2023 (waktu WITA)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top