36 - Good Things

Pagiku berakhir tidak terlalu baik meski aku sudah bersusah payah membangun interaksi yang tidak canggung dengan Killian. Sulit melupakan kejadian semalam dan membuatku sangat malu begitu mengingatnya. Belum lagi dengan Jaden mengetahui hubungan Killian dan Gabby membuat New York terasa tidak aman lagi.

Tujuan lain kepindahan kami ke sini juga agar tidak ada yang mengetahui tentang hubungan mereka, sebenarnya ini hanya asumsiku, tetapi rasanya masuk akal. Namun, justru orang terdekat kami yang lebih dulu mengetahuinya. Kabar baiknya, Jaden tidak suka mencampuri urusan orang lain. Seperti ketika kami ingin dinikahkan, mudah saja kalau Jaden untuk bicara pada orang tua kami, tetapi dia tidak melakukannya karena tidak kuminta.

Cukup dengan pagi yang buruk, beberapa jam setelahnya tempat kami kedatangan seseorang dari pengembang aplikasi belanja online. Kupikir dia hanya orang kelas atas yang biasa berbelanja di mal elite yang dibagi menjadi beberapa kelas, dan orang-orang seperti mereka adalah pelanggan yang hanya mengunjungi bagian VIP. Tidak, mungkin VVIP. Aku tidak bermaksud memberi nilai pada seseorang melalui penampilannya, tetapi sulit untuk tidak teralihkan pada jam tangan Cartier di tangannya. Kilau rantainya saat terkena cahaya lampu tidak mampu menyembunyikan digit harganya. Karena penampilannya yang jauh berbeda dari pelanggan kami biasanya, aku langsung turun untuk melayaninya. Namun, dia langsung memperkenalkan diri begitu kami bertemu.

"Margaretha Dominique, Manager Marketing kantor pusat Soppaholik. Senang bertemu dengan Anda secara langsung seperti ini." Jabat tangannya lumayan kuat sebelum akhirnya dilepaskan. "Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, kalau Anda tidak keberatan. Seharusnya membuat janji secara resmi, tapi maaf karena saya datang seperti ini. Anda ... tidak mungkin tidak tahu tentang kami, bukan?"

Soppaholik, siapa yang tidak mengenal platform belanja online nomor satu di dunia? Pelopor munculnya platform-platform belanja online yang lain. Tidak tertandingi. Dampak yang dihasilkan sangat besar. Meski bukan pengguna aktif, tetapi aku tahu mereka menjual hampir semua barang yang dibutuhkan. Mereka sangat berhasil meski di awal kemunculannya menimbulkan kontra dan ditentang oleh banyak pedagang kecil. Namun, orang-orang Soppaholik berhasil menawarkan wadah usaha melalui platform mereka. Di balik itu semua, kesuksesan Soppaholik tidak akan terjadi tanpa adanya sebaran jaringan internet yang merata, hingga semua orang mengaksesnya. Namanya disebut di mana-mana, mustahil kalau aku tidak tahu tentang mereka.

Aku berusaha mempertahankan senyum senormal mungkin. Dan menggeleng untuk menjawab dugaannya bahwa aku tidak mengetahui tentang mereka. Aku hanya terkesima pada pembawaannya yang elegan. Profesionalisme yang nyata ditunjukkan dari caranya menyampirkan tas di lipatan tangan kiri dan menggenggam ponsel di depan perut. Ya, hal sederhana itu sudah membuatku kagum.

"Senang bertemu dengan Anda juga. Selamat datang di tenant kecil kami. Saya Luciana Pereira, biasa dipanggil Ana. Jika tidak keberatan, kita bisa mengobrol di sana agar tidak terus berdiri." Aku menunjuk salah satu sofa yang menempel pada dinding. Sayang sekali di sini aku tidak punya tempat yang lebih nyaman, atau menyajikan jamuan untuk tamu. Meski begitu, bukan salahku juga karena dia datang tiba-tiba tanpa persiapan.

Margaretha tersenyum begitu hangat. Kulit wajahnya masih kencang dan berkilau meski di usia yang tidak lagi muda. Kupikir sudah memasuki usia empat puluhan akhir. Cekungan di matanya tidak bisa membohongi berapa banyak tahun-tahun yang sudah dijalaninya.

Kami duduk berjarak di sofa panjang, hanya agar kami bisa menyerongkan badan dan bisa melihat satu sama lain. Sebenarnya ada dua sofa single yang diberi jarak sebuah meja kecil di sisi ruangan yang lain dan tentunya lebih nyaman untuk mengobrol di sana, tetapi salah satu sofanya sudah diisi oleh tas pelanggan yang sedang berada di kamar pas.

"Sebelumnya, selamat atas pencapaiannya yang luar biasa pada fashion show musim kemarin." Aku menahan senyum malu-malu karena tidak menyangka berita kecil itu sampai pada orang besar sepertinya. Well, walau ada kemungkinan besar dia mencari tahu tentangku lebih dulu sebelum bertemu, apalagi dia bukan datang sebagai pelanggan. "Kami membicarakan tentang produk Anda saat diskusi bersama minggu lalu. Melihat dari polling yang kami buka awal bulan ini di media sosial dengan kategori brand baru untuk menjual barang edisi spesial bersama kami, merek Anda yang paling banyak diusulkan pengguna. Kalau Anda tertarik, kita jadwalkan pertemuan dan saya akan membawa proposalnya."

Astaga. Apakah ini sungguhan? Aku tidak tahu jika mengikuti fashion show saat itu akan memberi pengaruh yang cukup signifikan untuk namaku. Kami bahkan belum membuat media sosial resmi untuk promosi. Aku melakukannya lewat akun Reira's Boutique, dan itu adalah nama butikku di California. Namun, aku juga memakai nama itu di sini. Kalau sedang tidak sibuk dan tidak malas, aku akan mempromosikan tenant ini di akun tersebut. Jantungku berdebar karena euforia yang meledak-ledak dalam perutku, dan aku berusaha keras menahannya agar tidak terlalu menunjukkannya. Maksudku, itu akan terlihat sangat kuno, bukan?

"Terima kasih atas tawarannya. Saya terlalu senang sampai tidak tahu harus berbuat apa." Bibir ini bahkan tidak bisa berhenti tersenyum. Aku takut itu akan membuat Margaretha merasa risi, tetapi dia hanya mengayunkan tangan di depan wajah sebagai isyarat bahwa dia memaklumi itu. "Mari kita jadwalkan pertemuan kembali. Kami akan mengikuti jadwal Anda saja."

"Senang sekali Anda mau menerimanya. Ada kartu nama yang boleh saya bawa? Untuk kami hubungi terkait pertemuan selanjutnya."

Ah, kartu nama. Kalau kartu butik dengan nomor teleponnya aku punya, tetapi tentu saja tidak akan terhubung denganku karena butiknya bukan di sini. Di sini bahkan aku belum genap setahun, baru beberapa bulan dan terlalu cepat untuk membuat kartu nama.

"Kami belum punya. Bagaimana kalau kartu nama Anda saja, nanti akan saya hubungi, sekadar memberi tahu kalau itu nomor saya." Euforia tadi masih membuatku berdebar, lebih-lebih lagi ketika menantikannya mencari-cari sesuatu dari tas kecilnya yang mahal.

"Ini kartu saya. Pastikan Anda menghubungi, atau kami akan datang lagi dengan cara yang tidak nyaman seperti ini."

Aku menerima kartu berwarna keemasan berisi nama, nama perusahaan, dan nomor telepon darinya dengan senyum yang tidak kunjung luntur. "Terima kasih. Saya pastikan akan menghubungi Anda nanti. Maaf, kami tidak menyuguhkan apa-apa karena di sini agak terbatas."

"Tidak masalah, sebenarnya aku datang untuk belanja, tapi karena pemiliknya menemuiku, saya tidak tahan untuk tidak membicarakan penawarannya." Tawanya yang renyah membuatku lebih rileks. Sejak tadi aku juga merasa tegang karena pembawaannya yang serius. "Saya tertarik dengan gaun yang di sana. Boleh saya coba?"

Mataku mengikuti arah tunjuknya dan mendarat di sebuah manekin dengan gaun berwarna biru malam yang berkilau di sepanjang garis dada dan pinggang. Lengan gaun itu hanya satu dan panjang. Mulai atas sampai setengah paha baju itu akan memeluk erat tubuh, tetapi makin lebar begitu turun ke kaki. Aku memberi aksen ruffle dari lutut sampai ujung gaun. Aku masih ingat betul apa yang kupikirkan saat merancangnya, berpikir aku akan bagus saat memakainya, tetapi setelah gaunnya selesai dijahit aku justru merasa itu tidak akan cocok di tubuhku.

"Tentu. Anda boleh mencobanya. Tidak masalah jika bersama pegawai? Saya perlu menelepon seseorang."

"Oh, tidak masalah. Saya baik-baik saja dilayani oleh siapa pun. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk yang tadi."

"Sama-sama, Nyonya, saya ke belakang dulu." Aku tersenyum sekali lagi sebelum berbalik dan memberi kode pada Emma untuk mengurus Margaretha dan dia segera menghampirinya. Sementara aku berjalan cepat ke ruanganku.

Ponsel. Di mana benda itu berada? Aku mencari di tas, atas meja, laci, sampai menemukannya di kantong celana yang kupakai. Aku tidak bisa tidak menertawakan kekonyolan diriku saking ingin cepat-cepat menelepon Killian. Yah, selagi euforia itu masih kurasakan, dia harus ikut merasakannya juga. Seperti biasa, dia akan menjadi orang pertama yang akan kuhubungi ketika hal-hal baik terjadi. Tidak, tidak hanya itu, tapi ketika aku mengalami kesulitan juga.

Panggilan pertama berakhir dengan suara operator yang menyatakan kalau Killian sedang dalam panggilan lain. Aku menahan sebentar untuk duduk, menetralkan napas, dan minum infused water dengan buah apel, kemudian meneleponnya lagi. Panggilan kedua juga berakhir dengan suara operator, tetapi dengan kalimat berbeda. Killian tidak bisa dihubungi. Itu sedikit aneh karena tidak biasanya dia jauh-jauh dari ponsel, bahkan dering untuk nomor ponselku juga berbeda dari kontak yang lain--aku sendiri yang menggantinya saat kami masih kuliah. Panggilan ketiga, Killian menerimanya, tetapi bukan untuk mendengarkan apa yang mau kukatakan.

"Ana, telepon lagi nanti, aku sedang sibuk."

Dia hanya mengatakan itu sebelum mengakhiri sambungan. Aku berdecak kesal. Euforia itu menguap begitu saja seperti uap makanan yang ditiup kipas angin. Keinginan untuk berbagi dengannya padam begitu saja seperti api yang disiram air. Satu kalimat sederhana darinya sudah mampu mematahkan semuanya. Tidak biasanya seperti ini, Killian tidak pernah mengabaikanku tidak peduli sesibuk apa dirinya. Dia punya sepasang Airpod dan akan memakainya untuk mengobrol denganku jika tangannya sibuk. Sekarang aku berbagi pada siapa lagi? Aku belum menemukan orang lain sebagai pendengar yang sangat baik seperti dirinya.

Aku lupa kalau Killian sudah punya prioritas yang lain. Kenapa sulit sekali melepas kebiasaan?

•••

Malamnya, aku menikmati semangkuk puding cokelat, yang kubuat sendiri tadi pagi, sendirian di ruang tengah. Buku sketsa, peralatan menggambar sampai pensil warna berserakan di atas meja. Lampu ruangan kumatikan dan penerangan yang kuterima hanya dari TV dan perapian. Aku bukan ingin menggambar, tetapi aku terbiasa membiarkan mereka berserakan di dekatku saat sedang bersantai, agar aku bisa langsung eksekusi ketika mendapat inspirasi. Dan ya, inspirasi itu ada di hadapanku sekarang, pada acara Fashion Show sebuah brand terkenal yang diselenggarakan di Paris dan ditayangkan secara langsung di kanal televisi internasional.

Killian belum pulang, dia sempat mengirim pesan tadi sore kalau akan lembur. Itu kabar yang baik mengingat aku tidak perlu menyiapkan makan malam, tetapi membuatku kesal juga karena dia sama sekali tidak menanyakan kenapa aku meneleponnya. Aku berusaha untuk mengerti kalau dia memang sangat sibuk dengan pekerjaan hari ini dan akan kabar baik itu bisa kuceritakan di rumah begitu dia pulang. Namun, perasaannya tidak akan sampai. Aku mungkin menceritakan tentang betapa bahagianya saat menerima tawaran tersebut, tetapi apa yang kurasakan tidak akan sampai padanya. Bukan berbagi namanya kalau dia tidak ikut merasakannya. Lagi pula, euforianya sudah habis karena aku membaginya kepada pegawaiku di tenant.

Pudingku habis. Entah karena aku lapar karena belum makan malam, atau karena suasana hati yang buruk. Mangkuk yang sekaligus kujadikan cetakan puding ini bahkan lumayan besar, rencananya untuk dimakan berdua bersama Killian. Baru aku memikirkannya, pria itu datang. Aku tidak mendengar suara mobilnya, tetapi aku mendengar suara pintu dikunci dari dalam.

"Kenapa lampunya dimatikan?" Killian bicara saat berjalan kemari. Begitu lewat di belakangku, dia masih sempat-sempatnya mencubit pipi kiriku. "LV lagi?" Suaranya kembali terdengar setelah tubuhnya terbanting di sebelahku. Sebagai seseorang yang sering menemaniku menonton acara seperti ini, dia hafal beberapa gaya merk fashion terkenal meski belum membaca label merknya.

"Ya, begitulah," balasku seperti orang yang tidak tertarik, padahal aku hanya sedang malas bicara dengannya.

Kali ini merek besar Louis Vuitton mengusung tema playful dan futuristik. Tidak ketinggalan setiap modelnya membawa tas dengan corak khas dari merek tersebut. Melihat baju-baju yang mereka pakai akan mengingatkan orang-orang pada masa lalu, tetapi kru kreatif LV berhasil merancangnya agar cocok dipakai di masa kini. Apalagi ketika dipadupadankan dengan bawahan yang beragam, mulai dari rok ruffle sampai rok denim. Aku mulai memikirkan kapan bisa seberani itu, memadukan gaya busana dengan model dan motif yang bertabrakan, dengan warna yang nyentrik, tetapi memiliki nilai seni yang tinggi.

"Siang tadi saat kau meneleponku, apa terjadi sesuatu?"

Dia sedang melepas dasi saat aku melihatnya. Jas dan tasnya sudah berada di sofa lain, entah kapan dia meletakkannya di sana.

"Kau ini, mandi dulu sana. Bajunya biar kucuci sekalian besok pagi." Itu alasan bagus untuk mengusirnya dan pengalihan yang tepat agar aku tidak perlu repot-repot menceritakan yang tadi siang.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ana." Baru ini aku benar-benar menatapnya dan tergambar jelas kekhawatiran di matanya. "Aku sungguh minta maaf karena tidak bisa menerima teleponmu, apa yang terjadi?"

Hal sesederhana itu saja sudah mampu membuat perasaanku berkecamuk. Killian tampak menyesal, seharusnya aku bisa menerima itu. Terlalu melekat pada kebiasaan yang sifatnya tidak abadi benar-benar menyiksa. Aku yang terbiasa melakukan banyak hal bersamanya, selalu melibatkannya pada hal sekecil apa pun, begitu kesulitan menghadapi perubahan. Tempatku berpijak sekarang, tidak akan selamanya kokoh. Akan ada saat di mana aku harus menemukan pijakan yang lain. Satu helaan napas kuloloskan, begitu juga dengan rasa kecewa dan kesal yang bercokol di dada, kuharap ikut terembus dan membaur di udara.

Aku tersenyum, sembari berusaha mengumpulkan sisa-sisa euforia yang seharusnya kubagi pada Killian. Menarik sekali saat menemukan keningnya berkerut karena penasaran.

"Hei, serius. Kau terlihat aneh kalau tersenyum begitu." Kali ini pipi kananku yang dicubit dan ditariknya.

"Astaga! Itu sakit!" keluhku sambil memukul tangannya.

"Jadi, ada apa? Tidak perlu sok misterius."

"Aku mendapat tawaran untuk menjual produk edisi terbatas di Soppaholik." Aku berusaha mengingat kembali isi dari fail proposal yang dikirimkan Margaretha segera setelah aku mengirim pesan untuk memberitahukan nomorku. Begitu potongan-potongan kalimatnya tergambar di kepala, perutku bergejolak dan tidak tahan untuk segera meremas tangan Killian, seperti berusaha menyalurkan perasaan senang inu kepadanya. "Akun tokoku langsung mendapat bintang tanpa harus memenuhi persyaratan untuk verifikasi. Itu luar biasa, bukan?"

Senyumku tambah lebar ketika aku menceritakan secara detail. Reaksi dan antusias dari Killian saat mendengarkan membuat suasana hatiku membaik, dan aku tidak meninggalkan satu hal pun.

"Kami akan bertemu lagi minggu depan untuk membicarakannya. Coba bayangkan ini, Soppaholik x Reira's, produk dengan edisi terbatas. Kupikir keren sekali."

Killian mengangguk sambil turut membayangkannya dengan menatap langit-langit. "Tentu. Kau akan kerepotan dengan banyaknya pesanan dan rumah kita akan menjadi tempat berkemas. Akan luar biasa kalau seseorang dari belahan dunia lain memesan di tokomu. Kalau kau perlu tenaga tambahan, kau bisa merekrutku untuk mengemas."

Spontan aku memukul dadanya sambil tertawa. Betapa ini sangat menyenangkan. "Kau ... itu tidak masuk akal. Kau sangat buruk melakukan itu. Bahkan aku masih bisa mengintip benda apa yang kau bungkus untuk hadiah ulang tahunku. Kau bisa membayar seseorang, tetapi lebih percaya tanganmu yang ajaib."

Aku mengangkat sebelah tangannya dan menjatuhkannya kembali. Sulit sekali berhenti untuk tertawa ketika mengingat lagi kado-kado yang pernah dia berikan padaku. Dia selalu berhasil membuat kejutan gagal.

Killian sekarang merengut. Alisnya bertaut dengan mata yang masih tertuju padaku. Cukup lama seperti itu sampai akhirnya dia membanting punggung ke sandaran sofa dengan merentangkan kedua tangan. Sebelah tangannya bermain di punggungku.

"Ana, apa tadi kau kesal padaku?"

Tawaku perlahan-lahan luntur. Lalu tubuhku kembali menghadap TV, yang sebelumnya berubah menjadi menghadap Killian. "Ya, sedikit." Dia sudah tahu, tidak ada gunanya lagi berbohong.

"Maaf, sungguh. Ada masalah di sistem yang kami kerjakan hingga menimbulkan tabrakan data yang dimasukkan pengguna, dan aku meninggalkan Airpod-ku di mobil." Dia tampak berpikir sebentar. "Tapi kupikir lebih baik mendengar ceritamu seperti sekarang daripada ketika fokusku tertuju pada hal lain."

Aku mengangguk. Kali ini benar-benar mengerti sepenuhnya dan akan lebih menahan diri agar tidak mengganggunya saat jam kerja. Killian masih pulang ke rumah, dan kami masih punya banyak waktu untuk dinikmati seperti sekarang. Namun, itu juga membuatku takut. Bagaimana kalau semua kesenangan ini berakhir?

"Apa sesuatu mengganggu pikiranmu?" Killian yang terlalu peka akan menjadi satu-satunya orang yang paling mengerti diriku--setelah orangtuaku, pastinya. Tangannya yang tadi berada di punggungku, kini naik untuk menyelipkan helai-helai rambutku ke belakang telinga.

Mari pikirkan sesuatu untuk mengalihkan pembicaraan. "Kapan orangtuamu datang?" Yah, secara teknis, mereka jadi orangtuaku juga, tapi masih terasa nyaman kalau menyebutnya begitu.

"Entahlah. Mereka belum mengabari lagi. Dad kesulitan mencari waktu untuk cuti, padahal dia bosnya."

"Kita tahu dari mana jiwa kerja kerasmu berasal."

"Bagus. Setidaknya ada sesuatu yang diwariskan padaku mengingat fisikku sepenuhnya menjiplak Mom."

Aku tertawa kecil karena saat merengut dia memang sangat mirip seperti ibunya. Hanya tinggal menambah kerutan dan rambut palsu, orang-orang akan percaya kalau mereka kembar.

"Kalau boleh jujur, kau beruntung mendapat hidung Mom daripada Dad. Tapi telingamu mirip milik Dad."

Tanganku refleks ikut menyentuh telinganya, seperti biasa memainkannya hingga membuat Killian menggeliat seperti cacing. Tidak, itu berlebihan. Dia hanya berusaha menghindar dan mendorong tanganku menjauh. Namun, aku tidak menyerah. Daun telinganya mungkin tidak selembut dulu, tetapi masih lebih halus daripada milikku. Akhirnya dia menyerah dan beranjak dari sofa untuk pergi mandi.

Ah, betapa aku sangat merindukan saat-saat seperti ini.

•••

Akhirnya rampung juga bab ini :")

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
9 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top