35 - Warning
"Selamat pagi, Killian."
Aku menyapa saat masih membelakanginya. Aroma dari parfumnya sudah cukup untuk membuatku mengenali siapa yang baru saja menarik kursi dari meja makan di belakangku. Panekuk di wajan lebih membutuhkan perhatian daripada sekadar berbalik untuk melihatnya. Dia pasti sudah rapi dengan setelan kerja, aku sangat yakin itu.
"Kau bangun pagi sekali hari ini."
"Bukankah itu bagus?" Aku baru berbalik untuk meletakkan panekuk ke atas piring di atas meja. "Aku harus membuat sarapan untuk suamiku." Aku masih tidak menatapnya sampai kembali menuangkan adonan panekuk ke wajan. Dan aku yakin Killian juga bisa memaklumi sikapku pagi ini.
Sudah kuputuskan kalau kejadian semalam tidak akan mengubah apa pun di antara kami. Kami tetap pasangan suami istri yang kelak akan bercerai, dan setelah itu hubungan kami kembali menjadi sepasang sahabat--aku berharap ini tidak akan pernah berakhir. Dia tahu atau tidak tahu perasaanku, selama itu perasaan yang tidak berbalas, jelas tidak akan mengubah apa-apa. Namun, aku juga tidak bisa lari dari situasi ini, tidak untuk membuat kedua orangtua kami heboh, dan tidak juga sebelum aku merasa situasiku cukup aman untuk tetap melanjutkan tinggal di sini sendiri.
Rasanya menyakitkan memang, tetapi aku tidak ingin menghalanginya mendapatkan apa yang dia mau. Well, seperti dia yang sering membatalkan rencana bersama teman‐temannya karena aku tiba-tiba memintanya melakukan ini dan itu. Dia sudah terlalu baik sampai aku tidak bisa membiarkan perasaanku menjadi penghalangnya. Aku tahu tidak ada balas budi dalam persahabatan, tetapi untuk saat ini, aku ingin membalas kebaikannya.
"Ana, soal semalam--"
"Bisa kita tidak membicarakannya?" Aku buru-buru menyela, kemudian memperdengarkan suara penggorengan ketika aku menuangkan adonan telur. "Lupakan saja. Bukankah kita selalu seperti ini, berdebat untuk dilupakan besok harinya?"
"Kau benar. Apa itu akan baik-baik saja untukmu?" Dia menjawab setelah beberapa saat.
Aku mengerang kecil saat menambahkan potongan Trout yang sudah kugoreng setengah matang sebelumnya ke wajan, mencampurnya dengan telur orak-arik yang hampir matang. Kenapa dia masih menanyakan hal itu ketika aku sudah memintanya untuk melupakan?
"Aku akan baik-baik saja selama kau mau bersabar sampai aku menemukan pria yang tepat. Orangtuamu akan datang. Aku tidak mau memperpanjang masalah dan membuat mereka khawatir karena interaksi kita menjadi kaku."
Setelah kompor kumatikan, aku baru benar-benar fokus pada Killian. Dia duduk tegak di kursi, menandakan bahwa ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Panekuk yang bukan untuknya dipandang lamat-lamat, seperti ada tulisan di sana dan dia membacanya. Lama-lama keningnya mulai berkerut dan tiba-tiba mendongak, menatap langsung ke mataku. Kegelisahan itu sirna seketika.
"Baiklah. Mari bersikap seperti sepasang sahabat yang hanya kebetulan tinggal serumah." Senyumnya yang usil kembali, betapa lamanya aku tidak melihat itu. "Maaf sudah menciummu terlalu agresif kemarin, sahabat seharusnya tidak berciuman, 'kan?"
Ada secuil rasa lega yang kurasakan. Killian yang menyebalkan kembali lagi. Aku lebih suka dia bersikap seperti itu daripada terus memberi perhatian karena rasa bersalah dan merasa perlu bertanggung jawab. Sayangnya, dia salah memilih topik. Seharusnya aku melupakan itu, bukan malah mengingatnya. Kalau soal ciumannya saja tidak apa-apa, yang ada aku juga harus mengingat bagian di mana ciuman semalam merupakan luapan atas apa yang kurasakan. Jika bukan karena itu, aku tidak mungkin sampai menangis.
"Astaga. Bisa-bisanya kau membicarakan itu tanpa merasa canggung. Lihat, aku kepanasan."
Aku mengipas wajah dengan tangan, tidak berbohong soal kepanasan, meski tujuan berkipas hanya untuk balas bergurau. Bukan karena kata-katanya--karena bagiku itu tidak cukup seksi untuk diingat, tetapi karena panas dari penggorengan. Aku yakin karena itu, apalagi sudah setengah jam lebih aku berkutat di dapur.
"Wajahmu merah."
Aku spontan menyentuh wajah setelah dia berkata begitu. "Tidak." Aku tahu takada gunanya mengelak, tetapi aku tetap melakukannya.
"Jelas-jelas merah begitu. Kau tidak perlu malu, toh kau juga yang memulainya."
"Memulai apa?"
Kami serempak menoleh ke arah Jaden yang baru tiba di dapur. Tidak ada yang menarik dari kehadirannya selain koper yang turut menyertai langkahnya. Penampilannya juga tidak seperti seseorang yang akan pergi bekerja. Maksudku, seorang Jaden tidak akan repot-repot menata rambutnya sampai berkilau jika hanya untuk bekerja. Dia lebih suka mengusapkan air sedikit dan disisir seperlunya. Tidak akan ada yang tertarik padanya jika terus berpenampilan seperti itu.
"Kau sudah mau pulang?" Bagus kalau dia menjawab iya. Lagi pula, untuk apa membawa-bawa koper itu ke lokasi kerjanya.
"Apa aku belum memberi tahu kalian?" Wajahnya terlalu polos untuk seseorang yang sadar sudah melakukan kesalahan.
"Dia tidak akan bertanya kalau kau sudah melakukannya." Killian membalas dan aku mendukungnya dengan anggukan kuat.
"Maaf, kalau begitu." Jaden menunjukkan cengiran yang lebar yang menyebalkan. "Aku tidak dapat sarapan pagi ini?" Matanya bergerak liar pada piring kosong di hadapannya. Sementara di hadapan Killian dan di seberangnya duduk sudah ada dua piring berisi tiga lembar panekuk. Dia tahu kursi di seberang Killian adalah milikku karena aku meletakkan ponsel di sana.
"Panekuk di hadapan Killian adalah punyamu." Aku berbalik mengambil wajan dan ke meja makan untuk menuangkan isinya ke piring kosong. "Punyamu yang ini, Killian," kataku sebelum pria itu protes.
"Wow. Aku bertanya-tanya kenapa tubuh Killian masih sangat bagus, ternyata karena istrinya begitu perhatian." Jaden menatap lapar pada menu sarapan Killian dan bermuka masam ketika aku meletakkan panekuk di hadapannya. "Setidaknya Mom akan bangga anak perempuannya bisa berguna. Aduh!"
Selagi masih berdiri di sebelahnya, aku menyempatkan mencubit lengannya yang keras. Tidak hanya lengannya yang kesakitan, jari-jariku juga sudah memerah sekarang. Mencubit otot seseorang adalah salah satu upaya menyakiti diri sendiri.
"Mungkin kau juga perlu mencari satu." Killian tersenyum, tampak puas setelah memamerkanku sebagai istrinya. Dan bagiku itu benar-benar sangat menyebalkan. Kenapa harus pamer kalau suatu saat akan diceraikan?
Ugh. Aku tidak bisa berhenti memikirkan soal 'diceraikan'.
"Pesawatnya jam berapa? Apa masih sempat kuantar ke bandara?" Aku bertanya sembari menarik kursi untuk kemudian diduduki.
Jaden melihat arlojinya lalu mengerutkan dahi ketika mulai menghitung. "Kurang lebih dua jam lagi."
"Aku saja yang mengantar. Ke bandara lumayan jauh." Killian menawarkan diri.
"Tidak, Killian, kau harus bekerja. Sebenarnya Ana juga, tapi dibandingkan denganmu yang harus mengikuti aturan, Ana adalah si pembuat aturan."
Aku tersedak kunyahan panekuk karena hendak tertawa. Itu lucu, sungguh. Wajah Killian yang tertekuk adalah moodbooster pagi ini. Meski begitu, dia masih memberiku segelas air miliknya yang tersisa setengah. Aku menerimanya dan meminum isinya hingga tandas.
"Akhirnya ada saat-saat di mana aku lebih--" Kupikir tersedaknya sudah selesai, jadi aku kembali bicara, tetapi aku terbatuk lagi.
"Kau ini, selesaikan dulu batuknya baru bicara." Jaden memang lebih suka mengomel daripada membantu adiknya yang kesusahan, padahal dia di sebelahku. Panjang tangannya lebih dari cukup untuk sekadar menepuk punggungku.
Di seberang, Killian tidak berhenti menatap aku yang masih terbatuk. Ada kekhawatiran di wajahnya dan sampai aku sudah baik-baik saja, dia tidak kunjung menyuap sarapannya. Dia mungkin ingin melakukan sesuatu seandainya batukku tidak kunjung selesai.
Bisakah sedikit saja dia turunkan kadar perhatiannya padaku?
•••
"Apa kalian baik-baik saja?"
Jaden membuatku urung menyuap wafel. Jadi, aku benar-benar mengantarnya ke bandara, tetapi sempat mampir untuk membeli wafel dan Latte hangat di kafe yang kami lewati. Aku masih merasa lapar setelah menghabiskan tiga lembar wafel. Namun, asupan pagi ini belum cukup untuk menerima pertanyaan semacam itu dari Jaden.
"Apa kami terlihat bermasalah?"
Aku membuang muka ketika menanyakan itu padanya. Gedung-gedung yang kupandang melalui jendela mobil menjadi saksi kalau aku sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Aku jarang membicarakan hal-hal yang sensitif dan seinstens ini dengannya, jadi situasi ini sedikit tidak nyaman. Sebenarnya hubungan kami tidak buruk juga, tetapi intensitas kebersamaan kami yang kurang hingga membuatku lebih nyaman menceritakan keluhan pada Killian daripada Jaden.
"Kau tidak perlu menutup-nutupinya. Tidak padaku. Kau bisa ceritakan apa saja padaku, dan aku tidak akan membocorkannya pada Mom atau Dad. Lagi pula, aku sangat tahu kalian tidak saling mencintai untuk bisa membangun rumah tangga bersama."
"Akan kuingat." Hanya begitu responsku. Lagi pula, aku tidak tahu harus menceritakan apa dan tidak tahu memulainya dari mana. Pembicaraan ini membuatku tidak lagi berselera menyantap wafel. Sebagai gantinya, aku tidak berhenti menyesap Latte yang masih panas, seolah-olah mampu melepas seluruh dahaga yang menyiksa. "Untuk saat ini, situasinya cukup terkendali."
"Beberapa hari lalu, aku bertemu Killian." Ada jeda sebelum dia akan bicara lagi dan aku merasa itu tidak akan terdengar baik. "Saat kau sakit, dia pergi bertemu seorang wanita. Aku memang tidak bisa menuntutnya untuk terus bersamamu, tapi aku kecewa karena dia masih bisa bersenang-senang di luar. Biar bagaimanapun, kalian suami istri sekarang."
Bagiku, itu tidak masalah. Namun, setelah mendengarnya dari Jaden, aku justru merasa seperti seorang istri yang gagal mengurus suaminya. Killian terlalu fokus menyembunyikan status kami dari orang luar, sampai mengabaikan keberadaan orang dalam. Untung baru Jaden yang melihat, bagaimana kalau orangtua, atau kenalan yang kemarin datang ke pernikahan kami? Nama Killian akan mendapat cap buruk. Memikirkan itu saja sampai membuatku tidak bisa berkata-kata.
"Kalian sendiri yang memutuskan untuk menerima agar dinikahkan, bukan? Seandainya kalian mau jujur dan berbagi padaku, aku bisa membantu agar kalian tidak jadi menikah. Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur, tapi aku khawatir denganmu, Ana. Ini di negara orang, kalau hal terburuk terjadi pada kalian, kau akan mengadu ke siapa?"
Latte-ku sudah pahit karena aku minta agar tidak terlalu banyak gula, tetapi kenyataan yang baru disinggung Jaden lebih-lebih pahit lagi. Status tidak hanya sekadar tempelan, tetapi memiliki tanggung jawab yang menyertai. Jaden berhasil membuatku berpikir berat pagi-pagi begini.
"Aku akan membicarakannya dengan Killian nanti." Kuharap itu akan mengakhiri pembicaraan, karena tidak mungkin aku memutuskan sendirian dan menjanjikan perubahan pada Jaden. Rumah tangga melibatkan dua orang, mustahil aku bisa menanganinya sendirian.
"Membicarakannya? Kau sudah tahu soal Killian bertemu wanita lain?" Jaden tiba-tiba memberhentikan mobil. Perhatiannya mungkin teralih pada hal lain beberapa saat, hingga tidak menyadari kalau di hadapan kami terdapat persimpangan dan lampu lalu lintas sedang menyala merah.
Napasku tercekat karena terkejut. Sabuk pengaman berperan sangat penting di situasi ini, jika tidak kupasang dengan benar, wajahku pasti akan menghantam dasbor. Namun, aku tetap marah karena wafelku meloncat keluar dari wadahnya dan terjatuh di samping kaki. Aku berencana memakannya lagi nanti saat tiba di Macy's. Setidaknya Latte-ku masih selamat.
"Wafelku tidak bisa dimakan lagi." Sebenarnya itu hanya gumaman untuk diriku sendiri ketika mengambil wafel dan memasukkan kembali ke wadah untuk dibuang nanti, tetapi berhasil membuat Jaden bereaksi.
"Kau masih memikirkan wafel saat kita membicarakan suamimu yang pergi bersama wanita lain? Dia bergandengan tangan, Ana. Lihat, seperti ini!"
Aku memandang Jaden dengan wajah malas, padahal dia sudah sangat histeris dan tidak ketinggalan mempraktekkan seperti apa mereka bergandengan dengan dua tangannya sendiri. Jari-jarinya bertautan begitu erat sampai urat-uratnya timbul. Aku tidak tahu apakah Killian memang bergandengan seerat itu atau Jaden hanya melebih-lebihkan.
"Lalu aku harus bagaimana?" Aku bertanya sembari melempar wafel beserta wadah kartonnya ke tempat sampah yang dipasang di bawah dasbor mobilku. "Kami tidak punya hak untuk saling menghalangi. Lagi pula, aku tidak punya alasan untuk cemburu."
Bohong.
Jaden akan mengamuk kalau tahu apa yang kurasakan dan sedang menjadi orang bodoh karena membiarkan mereka menginjak-injak lukaku.
"Tetap saja aku tidak terima dia bersenang-senang dengan wanita lain. Biar bagaimanapun, dia tetap suamimu, Ana. Kalau memang tidak bisa bersama, lebih baik cerai saja. Mungkin sekarang kau pikir tidak apa-apa, tapi apa kau tidak pernah memikirkan kemungkinan di masa depan kau akan jatuh cinta padanya?"
Aku memandangnya tanpa minat. Selain suasana hatiku sudah rusak oleh pembicaraan Killian bersama Gabby, Jaden juga membuatku baru menyadari sesuatu yang sudah terlambat. Aku sudah menyukai Killian sebelum aku memikirkan bagaimana jika itu terjadi. Aku juga tidak sempat merencanakan apa-apa.
"Apa mungkin dua orang yang sudah tahu kejelekan satu sama lain akan saling jatuh cinta?" Kalau salah satunya saja, sudah sering terjadi.
"Dengan nol pengalaman sepertimu, memangnya tahu apa?" Jaden menggeleng ringan, sementara perhatiannya tetap tertuju pada jalan di hadapan. "Kau tidak tahu, bahkan kejelekan saja bisa jari alasan seseorang jatuh cinta. Jangan remehkan kebiasaan merengekmu, bisa jadi itu alasan Killian tidak bisa pergi darimu."
"Ya ... bisa jadi bukan berarti pasti." Aku mencebik, merasa kesal karena dia masih menyebutku suka merengek, padahal aku yakin sudah tidak seperti itu lagi.
"Terserah kau saja. Yang penting sudah kuperingatkan."
Masalahnya adalah, peringatan darinya datang terlambat.
•••
Maaf telat lagi, Tuteyoo lagi di kota orang soalnya hehe.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
27 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top