34 - Indirect Confession
Perjalanan pulang dari Rockefeller Center yang diselimuti keheningan menjadi situasi paling mencekam yang pernah terjadi di antara kami berdua. Biasanya, baik aku atau Killian, selalu punya topik untuk dibicarakan. Namun, tidak ada yang bisa diharapkan dari kecanggungan yang menyiksa. Dan setelah aku mulai percaya pada apa yang kurasakan padanya, aku justru khawatir mendengar apa pun yang akan terucap dari bibirnya, terlebih lagi sejak dia tidak menjawab permintaanku tadi. Situasi ini sejujurnya sedikit membingungkan dan aku tidak tahu siapa yang memulainya lebih dulu. Killian yang salah karena membawaku melihat Tree Light di waktu yang salah, atau aku yang terlalu cepat merasa kecewa. Atau mungkin dia merasa kesal karena aku terlalu banyak meminta.
Aku benar-benar tidak bisa merasa tenang saat ini, bahkan setelah membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan piyama pendek tanpa lengan berbahan satin.
Sejak mobil Killian berhenti di garasi, aku keluar lebih dulu dan segera ke kamar. Meski kami tidur sekamar akhir-akhir ini, tetapi tampaknya Killian akan tidur di ruang kerjanya. Dia tidak kunjung datang ke kamarku meski aku sudah berbaring di bawah selimut. Kamarnya tidak dipakai Jaden, mengingat pria itu lebih suka tidur di lantai satu dan akhirnya menempati kamar tamu, tetapi akan lebih masuk akal jika Killian beralasan kelelahan bekerja dan tertidur di ruang kerjanya daripada kedapatan keluar dari kamar yang berbeda. Jaden terlalu peka jika sesuatu terjadi pada kami dan akan bertanya. Tentu saja aku dan Killian tidak boleh terlihat canggung atau kaku besok pagi.
Aku ingin segera tidur, lalu terbangun setelah hari berganti. Aku ingin melupakan fakta bahwa hari ini ditutup dengan suasana yang tidak menyenangkan meski ada beberapa jam lagi untuk memperbaikinya. Namun, apa aku harus tetap terjaga sampai dia masuk ke kamarku? Ini bahkan sudah setengah jam berlalu sejak aku meletakkan ponsel di atas nakas, tetapi Killian tidak kunjung datang.
Sebenarnya apa yang kuharapkan? Killian datang dan mengucapkan 'selamat tidur' lalu terlelap di sebelahku?
Itu konyol. Namun, aku tidak bisa menyangkal kalau kasurku tiba-tiba terasa sangat luas tanpa ada dia di sini. Selimutku terasa dingin meski penghangat ruangan sudah kunyalakan. Kehampaan yang mencekik ini mungkin yang membuatku tidak bisa tidur. Mataku terus terbelalak, menatap langit-langit kamar yang dicat krem. Lampunya sudah mati, digantikan oleh lampu tidur milik Killian yang menghasilkan cahaya remang-remang.
Sekali lagi aku mencoba tidur dengan membelakangi ruang kosong yang seharusnya ditempati Killian. Sayangnya, aku terpaksa kembali terbelalak ketika pintu kamar terbuka dan kasur sedikit bergerak. Aroma sabun Killian memenuhi penciumanku, mengalahkan pengharum ruangan otomatis yang aktif empat kali dalam satu jam. Kamar ini terasa jauh lebih nyaman daripada beberapa menit lalu.
"Ana, kau sudah tidur?"
"Belum." Aku segera menjawab tanpa sedikit berubah posisi.
"Jika kau tidak merasa keberatan, apa kau punya waktu untuk bicara denganku?" Aksen British-nya keluar. Killian adalah pria kelahiran Inggris yang lama tinggal di Benua Amerika. Kebiasaan berbicaranya pun berubah seiring waktu. Namun, tanpa dia sendiri menyadari itu, aksennya berubah kembali ketika merasa tidak enak.
"Ya. Apa yang mau kau bicarakan?"
Tidak sopan memang membelakangi seseorang yang sedang bicara denganku. Mungkin itu yang membuat Killian menghela napas cukup keras dan memerlukan waktu sebelum bicara. Sayang sekali, aku tidak siap menunjukkan wajah kecewa ini padanya. Alih-alih membuatnya merasa tenang, dia akan lebih merasa tidak nyaman.
"Aku sempat melihat posternya. Maksudku, upacara menyalakan Tree Light. Tertulis tanggal tiga puluh November dan maaf, aku tidak bisa membawamu ke sana, Ana. Itu bertepatan dengan hari ulang tahun Gabby."
Secara impulsif, aku meremas seprai di bawah tanganku, bahkan dengan tangan yang masih memiliki beberapa luka sebelumnya. Telapak tanganku berdenyut, tetapi aku lebih peduli pada rasa sesak yang mengimpit dada. Kekecewaan itu makin menjadi-jadi. Seharusnya aku pura-pura tidur saja daripada harus mendengar penolakannya. Terlalu banyak hal tidak terduga yang terjadi dalam satu hari, yang mungkin tidak akan terbayar hanya dengan tidur dalam semalam.
Aku harus menerima kalau prioritasnya bukan lagi aku.
"Apa kau tertidur?"
Aku berputar hingga telentang, membalas tatapan sendu Killian yang duduk bersandar pada dua bantal yang ditumpuk. "Jadi, kau akan memberinya kejutan?" Sambil terus berusaha untuk turut merasa bersemangat pada rencana itu, bibirku bergetar saat tersenyum. Dan sebelum dia sempat menyadari itu, aku mengulum bibir.
Senyum Killian perlahan-lahan mekar. Sebelah tangannya berpindah ke atas kepalaku dan mengusap rambutku yang sudah kering. Sementara itu rambutnya masih meneteskan air dan membasahi piyamanya. Hal itu tidak pernah menarik sebelumnya, tetapi aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya sekarang.
"Aku baru saja memikirkan sesuatu untuknya."
"Kalau itu darimu, dia mungkin akan menyukainya."
Memangnya, siapa yang tidak suka diberi kejutan? Apalagi dari pria seperti Killian. Setidaknya begitu yang sering kudengar dari wanita-wanita yang pernah dekat dengannya, atau yang punya rasa ketertarikan padanya. Dulu itu terasa biasa saja, bahkan ketika Killian tidak berhenti membicarakan tentang kekasihnya pun aku masih mampu untuk berdecih dan mencibir, sebab aku tahu dia tidak akan pernah melepaskanku. Namun, setelah aku benar-benar mengerti bahwa tali yang ada di antara kami akan putus suatu saat nanti, rasanya menakutkan sekali.
"Itu cukup melegakan. Sejak tadi aku terus memikirkannya dan bermaksud ingin bertanya padamu. Tapi kupikir lebih baik menantikan reaksinya tanpa menduga apa-apa daripada lebih dulu mengira dia akan menyukainya. Sensasi mendebarkannya akan berbeda."
"Ya, kau benar." Aku bahkan tidak benar-benar mencerna ucapannya, dan itu terucap begitu saja, asal-asalan. Kupikir itu respons yang pas karena Killian makin mesem-mesem. Lihat, Ana, kau harus ikut merasa bahagia untuknya.
"Sebagai ganti dari kegagalan hari ini, apa ada suatu tempat yang mau kaukunjungi?" Killian menatapku dengan serius kali ini. Tangannya tidak lagi berada di puncak kepalaku, tetapi dipakai untuk menopang kepalanya ketika setengah berbaring menghadapku. Aku mengikutinya, berbaring miring menghadapnya. Wajah kami berhadap-hadapan, meski jaraknya cukup dekat, tetapi tidak sampai membuat kami merasakan embusan napas satu sama lain.
Selain menyaksikan Tree Light di Rockefeller Center, aku belum memikirkan tempat lain yang ingin kukunjungi. Aku sudah cukup repot mengurus tenant dan memikirkan jalan keluar untuk butikku yang nyaris terbengkalai. Setelah melewatkan upacara untuk menyalakan lampu-lampu yang mengitari pohon Natal besar itu, aku yakin akan biasa saja rasanya jika pergi ke sana beberapa hari setelahnya. Ya, percuma saja.
"Aku tidak bisa memikirkan apa-apa saat ini, tidak untuk bersenang-senang."
Tatapanku turun ke dada Killian ketika dia mulai menatapku cukup intens, sarat akan kecemasan. Itu membuatku dapat bergantung padanya, padahal itu bukan apa yang kumau untuk saat ini.
"Kau bisa ceritakan apa saja padaku, Ana. Aku akan membantumu. Aku akan marah pada diriku sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa untukmu."
Kalau begitu, marahi dirimu yang sudah menjebakku untuk datang ke sini dan akan ditinggal pada akhirnya. Yah, andai aku bisa berkata begitu. Aku jadi ingat seharusnya masih marah padanya.
"Aku akan mengatasinya sendiri. Tenang saja, aku masih akan mengandalkanmu jika memang benar-benar perlu." Aku kembali telentang hanya untuk membenahi selimut. "Aku ingin tidur, selamat malam, Killian." Lalu membelakanginya dan mencoba untuk tidur lagi. Meski aku tahu akan sangat sulit karena rasa kantuk itu juga tidak kunjung datang.
Beberapa menit berlalu. Sempat ada pergerakan dari kasur di belakangku, mengira Killian juga membenahi posisinya dan menyusul tidur. Namun, punggungku mulai terasa hangat, lalu makin panas, sampai akhirnya dada Killian menempel di sana setelah lengan kekarnya menarik mundur pinggangku.
"Killian!" Aku berusaha memperingatkan, tetapi sebagaimana larangan adalah perintah, Killian bermain-main dengan menghujani bahu dan leherku dengan ciuman. Kalau dia beralasan ini adalah gejolak hormon, aku tidak akan membiarkan dia tidur di kamarku lagi mulai besok.
Aku tidak tahu Killian sedang demam atau apa, tetapi setiap sentuhannya, di mana pun kulitnya bertemu dengan kulitku, rasanya panas. Darahku mendidih dibuatnya, dan menjadi bahan bakar untuk jantungku bekerja lebih keras, suaranya berdengung di telingaku.
"Kau demam, Killian?" Pada akhirnya aku berbalik menghadapnya karena dia tidak kunjung berhenti menciumi bahuku. Sebelah tanganku bergerak susah payah keluar dari impitan tubuh kami demi menyentuh dahinya yang hangat.
"Aku tidak tahu. Apa itu membuatmu merasa panas?"
Aku tidak bodoh sampai tidak mengerti maksud lain dari pertanyaannya. Selagi tanganku masih di dahinya, aku langsung mengacak-acak rambutnya yang lembap. "Ya. Jadi, bisakah menyingkir?" Meski percuma, aku tetap mendorong dadanya, dan tentu saja tidak ada hasilnya.
"Biarkan seperti ini dulu, sudah lama aku tidak memeluk istriku."
Istriku. Begitu mudah kata itu keluar dari bibirnya ketika hanya kami berdua di sini. Bayangkan saja bagaimana jadinya jika Gabby ada di sini, menyaksikan kekasihnya sedang bermesraan dengan wanita lain. Aku yakin wanita yang berkelas itu juga punya harga diri untuk mengencani pria yang sudah beristri. Mudah saja jika mau menghancurkan hubungan mereka kalau aku mau, tetapi janjiku sebagai sahabat Killian tidak boleh diingkari. Hubungan kami akan hancur sepenuhnya jika itu sampai terjadi.
Jarak di antara tubuh kami hanya tanganku yang terlipat. Aku lebih suka merasakan tanganku keram karena terimpit daripada membiarkan dia tahu jantungku sedang berdebar kencang. Dengan dia menyebut 'istriku', meski tentu saja tidak berarti apa-apa baginya, sudah sukses membuat darahku berdesir.
Kupikir, aku akan mematahkan teori orang-orang tentang dua orang berbeda gender tidak bisa hanya bersahabat selamanya. Namun, sebagai yang bersuara paling keras untuk mengelak, aku justru yang lebih dulu memiliki perasaan itu pada Killian. Jika memang benar, ternyata pengalaman pertamaku tidak benar-benar bagus.
"Mau sampai berapa lama seperti ini?" Aku kembali menegur karena Killian mulai terpejam. Aku belum mengantuk sejak tadi, dan situasi ini rasanya makin membuatku akan terus terjaga sampai besok jika dia tidak melepaskanku.
"Tidakkah kau menyadari sesuatu, Ana? Kita sedikit berjarak akhir-akhir ini. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aneh ketika aku tidak melakukan apa-apa untukmu. Aku mengerti, kau sedang berusaha menghargai kesepakatan yang kubuat. Tapi aku masih suamimu, dan sahabatmu--ini tidak akan pernah berubah sampai kapan pun." Suaranya agak serak saat mengatakan itu.
"Aku sangat tahu soal itu. Dan kalau kau ingin itu berhasil, biasakan dirimu. Aku masih sangat kesal padamu karena malam kemarin. Meski menurutmu pria-pria yang kutemui berbahaya, kuharap kau diam saja dan perhatikan. Aku yang lebih pantas menilai mereka, karena suatu saat aku yang akan memilih untuk menjadikan mereka pasanganku atau tidak."
"Aku mengerti."
Untuk beberapa waktu berlalu, kami tetap dalam posisi ini dan menikmati hangat tubuh yang terpancar satu sama lain. Sampai akhirnya Killian terlelap lebih dulu, menyisakan aku dengan mata yang terbelalak menyaksikan dengkurannya yang halus. Embusan napasnya sangat hangat di wajahku, sampai membuatku khawatir kalau ternyata dia demam. Aku mengangkat tangan pelan-pelan lagi untuk memeriksa dahinya dan merasa lega karena sudah tidak sepanas sebelumnya.
Namun, tanganku enggan mengakhiri sentuhan fisik tersebut. Rambutnya yang menutupi dahi kusingkirkan pelan-pelan, seolah-olah Killian adalah barang mudah pecah. Berkali-kali kubilang pada orang-orang kalau aku bosan memujinya tampan, atau mendengar pujian untuknya, tetapi malam ini aku merasa dia benar-benar sangat tampan. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung karena sering menyaksikan wajah tidurnya. Gila sekali. Setelah meyakini bahwa aku memang menyukai Killian, rasanya aku seperti memakai kacamata yang berbeda saat melihatnya. Apa perasaan itu membuat seseorang menjadi konyol seperti ini?
Aku bahkan tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk tidak menyusuri lekuk wajahnya. Mulai dari dahi, hidungnya yang lurus dan tajam, sampai tanganku ditangkapnya sebelum sempat menyentuh bibirnya. Matanya langsung menyoroti mataku begitu dia terbelalak. Napasku tercekat dan seketika terasa berat. Caranya menatapku begitu seksi hingga membuat perutku seperti dikelilingi oleh sesuatu yang menggelikan.
"Apa yang kaulakukan, Ana? Kenapa belum tidur?"
"Aku ... menyentuh dahimu untuk memastikan apa kau benar-benar demam dan penasaran dengan hidungmu. Aku belum bisa tidur." Aku membual tentang merasa penasaran. Lagi pula, aku sendiri tidak tahu apa yang membuatku melakukannya. Akal sehatku bahkan tidak bisa menghentikan apa yang kulakukan.
"Killian!" Aku nyaris memekik keras ketika dia tiba-tiba mendorongku dan membawa beban tubuhnya ke atasku. Sebelah tanganku dia tahan di atas kepalaku, dan jarak tubuh kami hanya sedikit ruang udara dan sebelah tanganku yang menutupi dada kiri. Debar jantungku makin menggila saja.
"Biar bagaimanapun, aku seorang pria yang akan tergoda kalau kau melakukan itu. Selama ini aku selalu menahan diri karena baju tidurmu makin seksi dari hari ke hari."
Aku menelan ludah ketika sebelah tangannya yang tadi memegangi tanganku sekarang bergerak menyusup ke dalam atasan piyamaku. Jari-jarinya bergerak melingkar di perutku dan aku bersusah payah untuk tidak membuat gerakan sekecil apa pun karena sensasi yang kudapatkan.
"Aku hanya berusaha membuat diriku merasa nyaman saat tidur. Dan tanganmu, tolong berhenti." Meski meminta, aku bahkan tidak berusaha menghentikan tangannya.
Tanpa kuduga, Killian menyeringai. "Kau merasakannya juga, 'kan?" Dia mulai menghujani wajahku dengan kecupan-kecupan ringan. Ini tidak seperti yang kubayangkan akan terjadi, bukan? Maksudku, jika itu benar-benar terjadi, rasanya terlalu cepat. Kita bahkan tidak memiliki perasaan yang sama untuk melakukannya. Melakukannya sekali ... tidak apa-apa, bukan?
Killian berhenti dan tertawa. Bersamaan itu pula, tangannya sudah tidak lagi di perutku. Apa lucunya membuatku merasa frustrasi seperti ini?
Akan kutunjukkan padamu perasaan itu, Killian. Kedua lenganku mengalung di lehernya dan aku segera meraup bibirnya, melumatnya seakan-akan aku sedang berusaha membersihkan jejak Gabby di sana, berusaha melampiaskan kegelisahan yang akhir-akhir ini kurasakan, dan mungkin untuk menyampaikan apa yang kurasakan padanya. Ini tindakan paling nekat yang pernah kulakukan, tetapi Killian juga tidak menolak. Dia mengimbangi gerakanku, dan lama-lama bergerak lebih agresif sampai aku kewalahan.
Kesadaran lantas menamparku keras-keras. Di saat itu pula air mataku mengalir di kedua sudut mata. Konyol, kenapa harus menangis di saat seperti ini? Bahu Killian kudorong menjauh dan itu mengakhiri ciuman kami.
"Ini yang kau mau, 'kan? Mendapat keuntungan sebagai seorang suami. Kau ... seharusnya menolakku. Tidak baik mencium dua wanita berbeda ketika kau hanya punya satu hati." Aku tahu dia ingin protes, tetapi aku segera menyela, "Aku tahu, aku yang memulainya. Tapi seharusnya kau bisa menolak, demi kekasihmu."
"Kau ... bagaimana kau tahu aku sudah mencium Gabby?"
Aku mendorongnya sekali lagi dan kali ini Killian benar-benar menyingkir. Lalu aku membelakanginya lagi. Ini adalah posisi paling aman untukku.
"Sekarang kau tahu kenapa gelas itu pecah dalam genggamanku, Killian. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tekanan untuk segera menemukan pria lain agar kau bisa terlepas dariku dan hidup bahagia bersama wanita yang kau cintai. Parahnya, kau justru marah-marah ketika aku berusaha dekat dengan pria yang aku tahu memiliki ketertarikan padaku. Sampai sini, kau benar-benar mengerti kenapa aku sangat kesal padamu, bukan?"
Takada suara darinya, dan aku juga tidak menunggu responsnya karena rasa kantuk mulai merenggut kesadaranku.
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
18 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top