33 - I Think I'm in Love
Aku jatuh cinta pada Killian?
Berapa kali pun aku mempertanyakannya, rasanya sulit untuk menemukan alasan itu bisa terjadi. Apakah dengan berdebar berarti aku sudah jatuh cinta padanya? Itu spekulasi yang terlalu dangkal. Mengalami sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya juga membuat jantung berdebar.
Serius, pada Killian?
Makin dipikirkan, makin tidak masuk akal saja rasanya. Sayangnya aku tidak bisa berhenti memikirkannya sejak tadi siang, bahkan ini sudah sore dan Killian akan menjemputku sebentar lagi. Lihat apa dampak yang kurasakan setelah Emma mengatakan itu, memikirkan namanya saja sudah membuatku berdebar lagi.
Namun, itu tidak boleh terjadi. Jatuh cinta akan membuat situasi kami menjadi lebih rumit. Katanya patah hati itu sangat menyakitkan dan mampu membuat seseorang tidak bisa fokus saat melakukan banyak hal. Belum lagi, pernikahan kami bukan sesuatu yang akan bertahan selamanya. Cepat atau lambat, situasi ini akan berakhir, dan aku tidak mau perasaan yang tidak diinginkan kehadirannya akan menghambat proses perceraian.
Andai saja aku bisa jatuh cinta dengan orang lain lebih cepat, aku tidak perlu berlama-lama bersama Killian hingga memberi kesempatan perasaan itu untuk tumbuh. Andai boleh memilih, aku ingin jatuh cinta dengan pria lain saja. Katanya lagi, perasaan tidak bisa dipaksakan.
Mari lupakan itu, Ana. Lihat, aku sampai tidak bisa menggambar lagi karena itu terus menghantui kepala. Bahkan aku tidak keluar dari ruangan sejak tadi, dan tidak tahu bagaimana penjualan hari ini, atau seberapa banyak pelanggan yang datang.
Aku sudah melepas pensil, sejenak merilekskan seluruh otot yang menegang. Aroma kain-kain yang baru diantarkan dua jam lalu kuhirup dalam-dalam. Tidak ada yang suka dengan aromanya, tetapi itu membuatku merasa nyaman. Perasaan yang menenangkan, bisakah kurasakan kembali?
Pintu yang terbuka memaksaku berhenti untuk mengenang masa-masa yang berkesan. Perjuangan yang berat ketika aku dengan nekat membangun butik, bahkan modalnya saja harus berutang pada Jaden. Mulai dari mengurusnya sendiri, sampai sekarang aku memiliki tujuh orang yang kupercaya untuk mengurus. Sayangnya, dengan aku berada sangat jauh, aku tidak bisa benar-benar memperbarui katalog. Dan penyebab aku harus meninggalkan semua itu berada di depanku sekarang, dengan senyum kaku dan rambut yang diguguri beberapa butir salju.
Tanganku gatal ingin menyapunya, tetapi masih segar di ingatan kalau aku sedang kesal padanya. Meski begitu, aku tidak bisa mengusirnya, bahkan tidak ada niat sedikit pun untuk melakukannya.
"Bukannya sudah kubilang akan menghubungimu?" Segera kubereskan sisa peralatan menggambar agar terlihat sibuk. Aku tidak mau dia menyadari kalau aku banyak memikirkannya hari ini. Dan kenapa aku berdebar lagi sekarang?
Killian menutup pintu dan bersandar di baliknya. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu.
"Urusanku sudah selesai hari ini, jadi aku akan menunggumu saja." Meski tidak dipersilakan, dia melepas mantel dan menggantungnya di rak bersama milikku. Dia bahkan mengenali punyaku, padahal ada milik yang lain di sana.
"Kau akan bosan."
"Aku tidak pernah merasa bosan bersamamu." Dia tersenyum dan duduk di sebelahku. "Kalian sudah makan malam?"
"Tidak perlu repot, kita akan pergi saat makan malam. Jangan buang uangmu untuk mereka, aku jadi tidak enak." Aku menyimpan barang-barangku tadi ke laci meja, sekaligus menunjukkan bahwa aku tidak punya kegiatan lain yang berarti untuk dilakukan setelah ini. Dengan begitu, Killian akan percaya aku sudah tidak terlalu sibuk.
Satu helaan napas yang hangat dia embuskan, disusul dengan menyugar rambut. Killian tampak berkali-kali lipat lebih tampan hari ini. Mungkin aku sudah lupa kalau dia punya tahi lalat kecil di bawah sudut bibir kirinya. Itu tidak akan terlihat jika tidak dalam jarak sedekat ini.
Tunggu. Benar, ini terlalu dekat. Sejak kapan jadi seperti ini? Aku yang tidak sadar sudah memajukan wajah karena tahi lalatnya yang menarik perhatian, atau Killian yang sudah sengaja memajukan wajah? Karena dia jadi terlihat menyebalkan dengan senyumnya yang usil.
"Bisakah berhenti merasa tidak enak? Sudah berapa kali kubilang kalau itu membuatmu jadi aneh, tidak seperti biasanya."
Kali ini aku yang menghela napas. "Aku sedang berusaha untuk tidak bergantung padamu, ingat?"
"Kau ... tidak memintaku melakukan ini dan itu, rasanya juga aneh. Aku tidak terbiasa tanpa kau membuatku repot." Dahinya berkerut, tampaknya sedang membayangkan kalau itu terjadi.
"Akan ada membuatmu repot nanti. Gabby akan menggantikan posisiku dengan baik." Aku nyaris berwajah masam ketika menyebutkan nama itu. Jadi, cemburu itu seperti ini rasanya. "Ngomong-ngomong, kau tidak bertemu dengannya hari ini? Daripada menungguku tanpa melakukan apa-apa, lebih baik menghabiskan waktu dengannya, bukan?"
Mulutmu, Luciana. Kenapa menyarankan itu kalau belum benar-benar bisa menerima Killian menjadi lebih dekat dengan wanita itu?
Kebahagiaan Killian nomor satu. Ya, begitu saja. Kapan lagi melihatnya tersipu malu dan mesem-mesem seperti sekarang, padahal baru disebutkan namanya. Sungguh reaksi yang berkebalikan denganku.
"Sebaiknya tidak terlalu sering bertemu, nanti bisa bosan."
"Oh, apa bosan akan berlaku padahal kau mencintainya? Kukira itu berarti kau ingin sering-sering menghabiskan waktu dengannya."
Tepat setelah mengatakannya, aku pun menyadari kalau itu juga apa yang sedang terjadi padaku. Merasa kecewa karena dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama orang lain, bukankah bermaksud sama?
"Bosan itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, entah kita sudah mencintainya atau tidak. Tinggal bagaimana kita menemukan sesuatu dari dirinya untuk tetap bertahan di sisinya." Ini seperti sedang mengikuti kelas cinta ketika Killian mengatakannya dengan nada sok bijak, bahkan tidak ketinggalan senyumnya yang sulit untuk diartikan.
"Kau baru mengakui kalau pernah merasa bosan denganku."
"Ah, itu ... ." Dia tampak merasa bersalah seketika. "Aku lupa apa pernah bosan denganmu."
Yah, kalau dipikir-pikir, aku juga tidak punya alasan untuk sampai merasa bosan padanya. Sudah banyak hal menyenangkan yang kulakukan padanya. Aku juga sering kali memintanya melakukan ini dan itu tanpa pernah dia tolak. Alih-alih rasa bosan yang muncul, aku justru merasa sedih ketika waktu kebersamaan kami banyak berkurang.
Namun, dia ada di sini sekarang, sengaja menyisihkan waktu untuk pergi denganku. Di samping belum memaafkannya, aku juga tidak akan menolak ajakannya. Dan tentu saja, aku tidak ingin waktu terbuang banyak hanya untuk adu mulut. Meski belum waktu makan malam, aku beranjak mengambil tas dan mantel.
"Ayo pergi."
•••
Killian membawaku ke 7th Ave, memarkirkan mobilnya di suatu tempat dan berjalan kaki mendatangi tiga street food yang ada di sana. Mustahil tidak membeli sesuatu di sana, apalagi dengan perut yang lapar. Pertama jajanan khas Thailand, kemudian berlanjut ke jajanan khas Afrika, dan berakhir di jajanan khas Asia yang dijual oleh orang Singapura--aku tidak akan tahu sedetail ini jika bukan karena Killian mewawancarai penjualnya selagi pesanan kami disiapkan.
Dia benar-benar bisa berbaur di mana saja, beradaptasi dengan mudah, dan tidak merasa canggung untuk memulai obrolan lebih dulu dengan orang asing. Dengan perbedaan kepribadian yang menonjol seperti itu, bagaimana mungkin aku bisa bertahan hidup di New York tanpanya?
Aku cenderung kaku dan terlalu banyak berpikir sebelum mengenal orang baru, ada kekhawatiran orang itu tidak akan menyukai caraku menyapa. Katakanlah pada proyek fashion show kemarin aku sedang beruntung; beruntung menemui orang-orang yang berlawanan dengan kecanggunganku, orang-orang yang supel dan ramah.
Pada akhirnya, sekali lagi dibuat sadar tentang betapa sangat bergantungnya aku pada Killian. Bisa dibilang, lebih bergantung padanya daripada dengan Jaden, yang jelas-jelas adalah saudara kandungku.
Aku memikirkan perpisahan itu lagi. Kenapa itu baru saja terasa sakit? Kesepakatan seharusnya disetujui oleh dua orang, tetapi aku belum memikirkan dampak terburuk sebelum ikut menyetujuinya. Lagi pula, saat itu mungkin aku sudah berpikir akan ikut merasa bahagia untuknya. Namun, makin ke sini rasanya hal itu sedikit tidak adil. Kenapa terlalu peduli pada kebahagiaan orang lain ketika diriku sendiri juga perlu dibahagiakan?
Aku merasakan dorongan-dorongan yang kuat di tangan meski jaraknya berlapis-lapis dari jantung. Seandainya aku merasakan ini jauh lebih cepat, apa situasinya akan berbeda dari sekarang?
Mungkin aku tidak akan berada di mobil Killian. Mungkin juga aku tidak akan membuat pria itu merepotkan diri dengan mengajakku jalan-jalan agar aku memaafkannya. Dan pastinya, aku akan berada di butik lamaku sekarang, bersama beberapa pegawai dan mulai mendekorasi. Terlalu banyak hal yang kusesali dan sekarang aku justru bersenang-senang karena Killian membawaku pergi. Setelah sekian lama, kami pergi jalan-jalan bersama.
"Kita tidak akan pergi makan lagi, 'kan? Perutku sudah penuh." Aku bertanya tanpa melihat wajahnya. Jalanan bersalju tipis dengan pemandangan yang cukup memanjakan mata. Beberapa bangunan mulai mengganti dekorasi Halloween-nya dengan lampu-lampu berkilau yang menyatakan bahwa mereka siap menyambut Natal meski masih satu bulan lebih lagi.
"Aku juga merasa sudah cukup untuk makannya. Kita hanya akan mengunjungi beberapa tempat hari ini. Lalu akan mengambil banyak fotomu."
"Kalau begitu, pakai ponselmu. Aku akan memeriksanya suatu saat nanti dan akan marah kalau ternyata kau menghapusnya."
Itu bukan ucapan yang serius, aku hanya mengulang apa yang sering kukatakan padanya dulu. Killian mengambil gambar dengan baik. Dia punya penglihatan yang bagus dan dengan lincah mengarahkan seseorang yang ingin berfoto. Sayangnya, kalau memang ingin hasil yang bagus, aku harus membiarkannya memakai waktu sebanyak yang dia perlukan dan selama itu pula aku bisa mengantre untuk membeli es krim. Aku tidak akan pernah membiarkannya mengambil gambar di tempat di mana-orang mengantre untuk berfoto juga, itu hanya berujung memancing emosi orang-orang.
"Tentu. Aku akan melakukannya sampai baterai ponselku yang penuh ini habis."
Aku membayangkan dia sedang tersenyum ketika mengatakannya, dan itu benar, Killian sedang tersenyum padaku. Namun, alih-alih membalas senyumnya, aku tidak bisa bereaksi lebih dari sekadar mengerutkan dahi. Senyumnya terlalu lebar untuk bisa dibilang sebagai reaksi normal.
Kuputuskan untuk tidak berkomentar apa-apa lagi dan kembali memperhatikan jalanan. Killian memang terlihat sempurna, tetapi dia tetap pria biasa yang punya sisi konyol, memalukan, terkadang membuatku sampai bergidik. Namun, aku tidak berhenti menyayanginya, yang sekarang aku mulai ragu apakah masih sebagai sahabat atau justru berkembang menjadi perasaan yang lain. Dulu, orang-orang dekat kami tidak berhenti bergurau tentang kami yang akan menyukai satu sama lain, tetapi aku tidak pernah menyadari kalau itu bisa menjadi sebuah peringatan agar kami tidak terlalu dekat.
Pancingan Emma berpengaruh terlalu besar untuk menarik keluar seperti apa yang sebenar-benarnya kurasakan. Dan selagi aku belum benar-benar mengerti bagaimana jatuh cinta yang sebenarnya, aku tetap akan menganggap yang kurasakan tidak sampai seperti itu. Namun, ketika aku memandang punggungnya ketika keluar dari mobil, aku tidak bisa menepis kalau dia adalah tempat yang aman. Tidak masalah meski berada hutan sekalipun, asalkan aku tetap bersamanya, aku tidak peduli dengan hewan-hewan karnivora yang akan menyerang kami.
Ini Rockefeller Center. Aku tidak lupa pernah punya keinginan untuk pergi ke sini dan melihat Tree Lighting saat menjelang Natal, tetapi aku lupa apa aku pernah bercerita pada Killian. Aku jadi bersemangat di detik-detik kami berjalan kaki menuju posisi pohon dan sesekali mendahului Killian. Segera ditariknya tanganku agar berjalan sejajar dengannya. Kami bergandengan dan aku takjub tangannya masih terasa hangat.
"Pelan-pelan saja, jalannya licin." Begitu pesannya sebelum aku melampiaskan antusiasme dengan menggenggam tangannya lebih erat.
Namun, tetap saja, kita boleh berencana, tetapi Tuhan yang memutuskan. Langkah kami berhenti beberapa meter dari posisi pohon cemara yang gelap gulita. Pohonnya besar, tingginya kira-kira setara dengan bangunan lima lantai. Meski sudah ada lampu-lampu yang melilit pohon, tetapi tidak disangka kalau belum waktunya untuk dinyalakan.
"Kita datang terlalu awal," kataku dengan bahu yang seketika lemas. Genggaman tangan Killian juga melonggar meski belum dilepaskan.
"Ya. Aku tidak tahu kalau ini belum dinyalakan," balasnya sedikit menyesal. "Maaf, Ana. Aku tidak mencari tahu lebih dulu."
Aku menatap pria yang berstatus suamiku ini lamat-lamat. Aku tahu dia sedang berusaha berbaikan denganku karena kejadian semalam--yah, walau nyatanya aku juga tidak bisa marah lama-lama. Namun, aku menghargai usahanya meski tidak sesuai yang kuharapkan. Killian adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Aku tidak masalah punya sedikit teman jika dia berada di sisiku.
Ya, di sisiku, yang kukira itu akan berlaku selamanya.
"Aku akan menunggu sampai upacara menyalakannya. Kita harus berada di sini, Killian. Aku sangat ingin melihat keindahannya. Apa kau ... akan berjanji membawaku ke sini lagi?"
Dia terdiam cukup lama dan itu sedikit menggangguku. Maksudku, ini adalah kali pertama aku meragukan dia ketika membuat janji. Dia tidak seburuk itu dan biasanya selalu mengiakan tanpa pikir panjang, tetapi sekarang aku tidak berhenti merasa cemas. Apalagi acara seperti itu terasa sedikit spesial. Mungkin dia sempat berpikir akan datang lagi bersama Gabby. Memikirkannya saja sudah membuat suasana hatiku memburuk. Oleh karena itu, aku buru-buru menyela, "Hanya jika kau tidak punya janji lain dan tidak sedang sibuk."
Aku menarik tangan dari genggamannya. "Ayo, kita pergi." Dan berbalik mendahuluinya, tetapi dia segera menyusul.
"Ana, masih ada satu tempat lagi yang ingin kita datangi. Aku akan pastikan tempat itu buka."
"Tidak perlu, Killian. Kita pulang saja, aku mulai mengantuk karena kekenyangan. Kita agendakan lain kali saja."
Bohong. Aku justru tidak bisa tidur malam ini. Sampai kami di perjalanan pulang pun, dia tidak merespons permintaanku. Dan malam ini, kukira sesuatu akan menjadi lebih baik, tetapi ini sama buruknya dengan malam sebelumnya.
Rasa kecewa yang berlebih ini ... mungkin benar adalah tanda kalau aku sudah jatuh cinta padanya.
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
11 Januari 2023 (waktu WITA)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top