30 - We are Friends
Aku baru mengunci tenant sebelum memandang telapak tanganku yang ditutupi plester luka. Saat menerima ajakan Allen, aku lupa dengan ini. Bagaimana aku makan nanti? Lukanya memang sudah tidak separah kemarin lagi, tetapi bukan berarti tidak terasa sakit saat aku memegang sesuatu. Hari ini aku sudah cukup membuat Emma kerepotan dengan memotong kecil-kecil makananku, seperti yang biasa Killian lakukan. Dan aku tidak mau membuat repot lebih banyak orang lagi, termasuk Allen.
Napasku beruap ketika terembus di depan gedung Macy's. Embusan angin membuatku harus memasang tudung mantel. Aku tidak ingin rambutku beterbangan ke sana kemari karena dibelai angin. Dari posisiku, aku bisa melihat Allen sedang berdiri di depan jalan masuk Macy's, tampaknya sedang mengobrol dengan seorang petugas keamanan. Kuharap dia tidak menunggu terlalu lama karena aku sempat termenung karena memikirkan tangan.
Mau tidak mau aku harus segera berjalan menghampirinya karena dia berbalik dan sudah melihatku. Padahal aku belum benar-benar siap menemuinya. Setelah meninggalkannya saat Pesta Halloween kemarin, meski sudah meminta maaf dan tampaknya dia oke-oke saja dengan itu, aku tetap merasa tidak enak bertemu lagi dengannya.
"Hai, Ana." Seperti biasa, dia tersenyum. Senyum yang sama, sama sekali tidak berubah, seperti aku tidak pernah membuatnya kesal.
"Hai, Allen. Maaf sudah membuatmu lama menunggu." Kurasa aku sering sekali meminta maaf padanya.
"Tidak masalah, aku juga baru tiba di sini beberapa saat lalu. Kita pergi sekarang?"
Allen menyentuh pelan punggungku, sekadar mengisyaratkan agar kami mulai berjalan beriringan. Setelah itu, dia menjatuhkan tangannya lagi. Allen pria yang sopan kurasa. Dia tidak sembarangan menyentuhku dan mungkin itu yang membuatku merasa aman saat bersamanya.
"Kita akan ke mana? Kau yakin di jam-jam ini masih ada resto yang buka?" Nada bertanyaku terdengar pesimis. Meski di jam-jam ini NYC masih seperti siang hari, tetapi kebanyakan resto-resto mulai tutup, kecuali makanan cepat saji. Dengan tangan seperti ini kurasa akan lebih baik kalau pergi ke sana saja. Aku tidak perlu memakai alat-alat makan kalau mau menyantapnya.
"Aku punya kenalan yang menjual burger yang enak dekat Central Park." Allen mengeluarkan kunci dari saku celananya dengan gantungan dompet kecil yang sudah tampak usang. "Kuharap kau tidak keberatan menaiki pikap usang."
Saat dia menekan tombol di kuncinya, suara alarm mobil melengking begitu saja. Tidak jauh di depan kami, ada sebuah pikap abu-abu yang lampunya berkedip-kedip. Suara tadi berasal dari sana.
"Apa aku seorang putri yang harus menerima pelayanan sebaik mungkin?"
"Tidak. Tapi kau pantas dilayani dengan baik." Senyum Allen membuatku ikut menarik sudut bibir. Dia benar-benar tahu cara membuat seorang wanita merasa dihargai.
Allen mempercepat langkahnya ketika posisi kami sudah lebih dekat dengan mobil. Dia membuka salah satu pintunya dan mempersilakan aku untuk masuk lebih dulu. Aku menggumamkan kata terima kasih dan itu sudah berhasil membuatnya tampak sangat senang--senyumnya makin lebar, jadi aku menyimpulkannya begitu.
Pikap yang dikemudikan Allen melaju dengan kecepatan sedang di jalanan New York City yang masih cukup ramai. Dan aku sengaja membuka jendela untuk menikmati udara luar yang berembus ke dalam mobil. Sebenarnya itu juga sebagai pengalih perhatian agar aku tidak mengganggu Allen yang mengemudi dengan mengajaknya bicara. Dia hanya diam dan mengajaknya bicara hanya akan menciptakan kecanggungan dan merusak konsentrasinya.
Aku memeriksa ponsel sebentar. Meski sudah sangat malam, tetapi Killian tidak menghubungiku. Entah itu untuk menanyakan apakah aku akan pulang, atau menawarkan diri untuk menjemput. Aku bukan perempuan manja, tetapi hanya teringat akan kebiasaannya. Dan tidak menerima itu darinya hari ini tentu saja terasa aneh untukku. Aku akan menganggap dia sedang sibuk dan tidak bisa menghubungiku. Dengan begitu, aku bisa sedikit merasa tenang tanpa harus menjadi overthinking.
Sekarang ponselku mati sendiri. Aku tidak sempat memeriksa sisa baterainya karena layarnya sudah lebih dulu menjadi hitam saat aku membuka aplikasi lain. Kupikir tidak masalah tidak menghubungi Jaden atau Killian bahwa aku akan pulang terlambat. Mereka tahu aku lembur untuk menyelesaikan pesanan.
Pikap Allen berhenti di lahan kosong sebuah ruko yang sudah tutup. Dia mengisyaratkan kalau kami sudah sampai dan aku menyusulnya keluar dari pikap. Allen menekan satu tombol di kunci dalam genggamannya dan pikap yang baru kami naiki tadi berbunyi. Suaranya cukup keras sampai aku berjengit kaget. Itu bukti kalau pikapnya terkunci dan aman dari tangan-tangan nakal pencuri.
"Maaf, pikapnya mungkin sudah tua, tapi alarmnya jauh lebih canggih." Allen menunjukkan senyum tidak enaknya padaku.
"Tidak masalah, aku hanya tidak terbiasa dengan suaranya. Maksudku, milikku tidak senyaring itu." Kedengarannya akan sangat aneh jika orang yang memiliki mobil sepertiku tidak memasang alarm, jadi aku buru-buru mengoreksi ucapanku.
"Yah, aku sudah bilang itu terlalu nyaring, tapi teman-temanku menolak untuk mengecilkannya. Aku sendiri masih sering terkejut."
"Mereka penuh antisipasi, kurasa. Akan sangat menguntungkan jika kebetulan harus diparkirkan sangat jauh dari lokasi berkumpul." Aku mengedarkan pandangan sebentar, mencari-cari lokasi penjual burger yang dimaksud Allen sebelum kami pergi. "Kenalanmu itu berjualan di mana?"
"Oh, dia di seberang jalan." Allen menunjuk sebuah truk makanan dengan lampu-lampu gantung yang terang. "Ayo kita ke sana."
Tadinya aku ingin bertanya kenapa Allen memarkirkan pikapnya di seberang jalan dan bukan di dekat truk makanan itu. Namun, setelah melihat banyaknya pengunjung dan lahan yang dipakai untuk memarkirkan kendaraan nyaris terisi penuh, aku mulai mengerti. Dia akan kesulitan parkir tentunya.
Kami tiba di depan truk makanan. Dalam jarang yang dekat ini aku bisa mencium aroma daging yang dipanggang. Rasa laparku makin menjadi-jadi. Ini memang sudah sangat lewat dari waktu makan malam. Beruntungnya, meski pengunjung ramai, tetapi antreannya tidak banyak. Mereka sudah menikmati burger di kursi-kursi taman yang tersedia tidak jauh dari truk.
"Ini daftar menunya, silakan pilih. Dan kalau perlu isian khusus, katakan saja." Allen menunjuk sebuah papan menu yang ditempel dekat konter untuk memesan.
Baru melihat menunya saja mataku langsung tertuju pada menu burger kesukaanku. "Creamy Mushroom Burger satu. Minumnya air mineral saja."
"Akan kupesan."
"Hai, Allen, Bro!"
Kami kompak menoleh ketika seseorang memanggil Allen. Dan orang itu adalah pria yang berada di dalam truk atau di balik konter untuk memesan. Senyumnya terkembang sangat lebar. Kurasa tidak hanya Allen, tetapi orang-orang yang dekat dengannya juga semuanya ramah. Mungkin penelitian itu benar, bahwa seseorang cenderung akan memiliki kesamaan dengan orang-orang yang berada dalam satu lingkaran sosial dengannya.
"Kau sengaja tidak menyapaku karena datang bersama teman kencan, ya?" Pria bertubuh besar dengan perut besar yang nyaris menyaingi wanita hamil itu menaikturunkan alisnya untuk menggoda Allen. Rambutnya keriting agak gondrong dan dia membungkusnya dengan penutup kepala yang transparan.
Sadar bahwa yang dimaksud dengan teman kencan Allen adalah aku, aku lantas berusaha mengklarifikasinya dengan menggoyangkan tangan.
"Maaf, kami bukan--"
"Jangan mengada-ngada, Mike. Dia Ana, kami hanya bertetangga." Allen menginterupsi. Dan dia melakukannya lebih baik, lebih tegas dan tidak sepertiku yang malu-malu. "Ana, ini Mike, pemilik truk makanan di sini."
Pria bernama Mike ini mengulurkan tangan ke arahku dan aku menjabat tangannya penuh hati-hati agar luka di telapak tanganku tidak mendapat tekanan. Dan kurasa dia sempat melihat perban di sana dan melakukannya pelan-pelan.
"Kau sungguh-sungguh hanya tetangganya?" Mike memicing. Entah apa yang membuatnya tidak memercayai ucapan Allen.
"Benar. Kami hanya bertetangga."
Kekecewaan memenuhi wajah Mike. Begitu jabat tangan kami terlepas, dia mengusap wajahnya agak kasar. "Baiklah. Kalian mau apa? Kali ini tidak perlu bayar karena aku mau Allen merasa berutang kebaikan padaku."
"Eh?" Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bereaksi mengingat hal itu akan membuatku merasa tidak enak pada Allen. "Bagaimana kalau kubayar milikku saja?"
Aku melirik Allen ketika dia menggeleng "Tidak apa-apa, Ana. Justru dia yang berutang padaku. Itu hanya akal-akalannya saja agar terlihat keren." Terakhir Allen melayangkan senyuman jahatnya pada si pria burger. Tentu saja itu memberi efek pada Mike yang sekarang mengangkat tangan sebagai bentuk kekalahan.
Senyuman bagi Allen bukan hanya sebuah bentuk ramah tamah, tetapi bisa menjadi media untuk memperingatkan perbuatan seseorang juga. Itu membuatku takjub.
Sebelum memesan, Allen memintaku memintaku menghampiri sebuah kursi kosong untuk kami duduki. Bisa dibilang menjaganya dulu sebelum didahului orang lain. Namun, saat sudah dekat dengan itu, aku justru melihat seorang wanita dengan perutnya yang besar berjalan menuju kursi yang sama, tetapi ada seorang pria yang membantu wanita itu berjalan tepat di sebelahnya.
Aku menduga wanita itu sedang hamil dan pria di sebelahnya adalah si suami. Aku bahkan sengaja memperlambat langkah hanya untuk memperhatikan mereka sekaligus membiarkan kursi yang mau kutuju tadi lebih dulu ditempatinya. Wanita itu tampak kesulitan berjalan, tetapi wajahnya justru memancarkan aura yang berbeda. Dengan jarak yang makin dekat, makin jelas pula terlihat kalau keduanya dipenuhi oleh kebahagiaan.
Apa semua pasangan akan selalu seperti itu?
Pasangan itu benar-benar menempati kursi yang mau kutuju. Jadi, aku berbelok menuju terali besi yang membatasi antara trotoar dengan taman. Karena kami hanya membeli burger dan minuman, kurasa tidak masalah tanpa ada kursi atau sebuah tempat untuk meletakkan minuman kami.
"Kenapa ke sini?" Suara Allen menginterupsi, padahal aku baru berpejam untuk menikmati embusan angin yang membuat siapa pun menggigil. Dia sudah datang dengan dua bungkus burger dan dua botol air mineral. "Ini milikmu."
Aku menerimanya dan tersenyum tipis. Aroma dari burger ini cukup menggoda. "Terima kasih. Tadi ada wanita hamil yang datang, karena tidak tega memikirkan dia akan berdiri terus--hanya satu kursi kosong yang tersisa, aku tidak tega dan membiarkan dia menempatinya."
"Selain cantik, kau juga baik."
Aku mendengkus menerima pujian itu. "Kurasa semua orang akan melakukan hal yang sama." Namun, kerutan yang muncul di dahinya membuktikan kalau dia tidak sepenuhnya setuju.
"Tidak semua orang akan sepeka itu. Kalau iya, tempat umum atau kendaraan umum tidak akan memasang penanda khusus untuk mengutamakan wanita hamil, atau lansia, atau orang-orang dengan keterbatasan lainnya."
"Kau benar. Aku tidak sampai memikirkan itu."
Allen tidak merespons apa-apa selain tersenyum. Dia mengangkat burger miliknya dan mengisyaratkan agar kami mulai makan. Selama beberapa saat kami tidak bicara. Kurasa Allen juga sama laparnya denganku. Dan itu terbukti dari seberapa besar potongan burger yang masuk ke mulutnya setiap dia menyuap. Namun, aku juga tidak bisa menyebut bahwa itu adalah bukti kalau dia sedang lapar, karena Killian pun menghabiskan burgernya dengan cepat meski bukan karena merasa lapar.
Oh, benar, apa pria itu mencariku sekarang?
"Ana."
Aku menoleh, tetapi tidak mengatakan apa-apa karena sedang mengunyah burger. Allen sudah menghabiskan miliknya dan kertas pembungkusnya sudah menggumpal dalam remasannya. Dan aku menemukan tatapannya tertuju pada tangan kananku.
"Tanganmu masih sakit?"
Aku turut menatap perban di tanganku. "Sedikit, ada dua luka lagi yang belum benar-benar kering, jadi aku menutupnya agar tidak terkena benda-benda aneh saat beraktivitas." Aku tidak menyuap sisa burgerku sebentar karena Allen masih melihat ke tanganku. Aku menggunakan tangan kanan untuk makan tentunya.
"Maaf, aku tidak menjagamu dengan baik malam itu." Allen memandangku dengan sorot penyesalan.
"Jangan minta maaf, lagi pula ini karena kecerobohanku." Ya, memangnya siapa yang akan meremas gelas sampai pecah hanya karena melihat sesuatu yang tidak kusenangi. Bahkan aku tidak yakin apa motif sebenarnya sampai menjadikan gelas sebagai pelampiasan. Kenapa aku sampai memecahkan gelas itu hanya karena Killian mencium Gabby?
"Tapi aku datang bersamamu, aku yang mengajakmu dan tentu saja itu menjadi tanggung jawabku kalau sesuatu terjadi padamu."
Aku menyentuh lengan kanannya, sekadar untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Kuharap dia tidak mengartikan itu sebagai sesuatu yang lebih baik dari itu. Aku takut membuatnya menaruh ekspektasi yang tinggi dari sikapku.
"Tolong berhenti merasa demikian. Itu membuatku makin merasa tidak enak. Aku sudah kesakitan karena luka itu, jadi bisakah tidak membuatku merasa bersalah karena kau terus bersikap seperti ini?" Kupikir itu cara yang tepat untuk membuatnya sedikit lebih tenang karena tahu dia sangat peduli padaku.
Kami saling menatap cukup lama. Dan aku tidak mengerti kenapa sulit untuk berkedip ketika dia tidak berhenti menatap. Sorot matanya selalu hangat, penuh perhatian. Aku tidak tahu apakah sikapnya juga seperti ini pada orang lain atau hanya padaku. Sejujurnya, aku tidak siap kalau ada seseorang yang menyukaiku. Tidak yakin bisa membalas mereka, lebih tepatnya. Kuharap dugaan Emma tentang apa yang Allen rasakan padaku tidak benar.
Allen menghela napas dan dengan begitu kami tidak lagi saling menatap. Dia memandang taman di hadapan kami sebelum akhirnya tersenyum. "Aku tidak bisa berhenti merasa cemas pada seseorang yang sejak awal sudah berhenti menarik perhatianku. Maaf kalau terlalu mendadak, Ana. Tapi aku menyukaimu, sangat."
"Allen ...." Aku kehabisan kata-kata dan tidak tahu harus membalas apa. Baru saja kupikirkan tentang ketidaksiapanku, tetapi aku sudah mendengar itu darinya. Lalu, apa lagi?
"Kau pasti terkejut, 'kan? Begitu juga denganku. Aku bukan orang yang mampu menahan perasaanku, jadi kuharap kau tidak menjaga jarak setelah ini. Aku tidak meminta untuk dibalas, tapi izinkan untuk bisa melihatmu terus. Itu saja sudah cukup untukku."
Inikah yang Emma maksud dengan aku menjadi orang jahat karena membiarkan orang lain memiliki perasaan yang tulus padaku? Kuharap aku bisa membalasnya, tetapi setelah kupikirkan lagi, aku belum siap berpisah dari Killian.
Dan sekali lagi, pria itu, apa yang dia lakukan sekarang?
"Ana?" Aku terkesiap ketika tangan Allen mendarat di bahuku. "Kau melamun."
"Benarkah? Maaf. Aku hanya terlalu terkejut." Aku menutup separuh wajahku dengan tangan kiri, seperti sedang menyembunyikannya dari tatapan Allen.
Dia tampak bingung sebelum tawanya pecah begitu saja. Kurasa itu bukan hal yang baik karena tertawa setelah membuat orang jantungan oleh pengakuannya. "Terkejut dari apa? Kau memintaku untuk tidak merasa bersalah lalu melamun, aku belum mengatakan apa pun, tahu."
Oh? Jadi, pengakuannya tadi hanya ada di kepalaku?
Bisa-bisanya aku membayangkan hal itu hanya karena terlalu banyak memikirkannya. Separah inikah menjadi seseorang yang overthinking? Parah. Biasanya hanya terbawa mimpi, sekarang sampai melamun juga.
"Sekarang aku merasa konyol, Allen." Aku menghadap ke depan, menghindari tatapannya. Tanganku juga sudah tidak lagi berada di lengannya. Daripada terus menanggung malu, aku lebih baik menghabiskan burgerku.
"Tapi itu bagian dirimu yang lain, jangan ditahan-tahan. Aku ingin menjadi teman yang mengenal dirimu dengan baik, jadi ekspresikan saja suasana hatimu di depanku."
Teman, ya? Kurasa itu tidak buruk. Ya, setidaknya jika dibandingkan dengan dia menyatakan perasaannya, pasti akan sangat canggung.
"Baiklah, terima kasih burgernya, teman."
•••
Hai, maaf sudah membuat kalian menunggu setelah cerita ini terlantar sebulan lebih.
Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku tentang cerita ini, sesuatu yang bikin khawatir lebih tepatnya.
Ini cerita pertama yang kutulis tentang pernikahan yang akan melibatkan orang ketiga dan keempat. Aku khawatir cerita ini bakal ngebosenin karena konfliknya mungkin belum berasa. Takut yang baca kecewa juga, hiks. Karena, ya, kebiasaanku banget nulis banyak² bab.
Tapi, aku malah nggak menyangka kisah Killian justru dinantikan updatenya. Meski gak banyak orang, tapi jujurly itu menyentuh hatiku :"))
*Maklumlah, hati ini berdebu karena gaada yang ngebaperin wkk*
Yak, dengan begitu, aku pede lagi. Dan mikir, dahlah selesaikan dulu aja ceritanya. Abis itu masih bisa diedit-edit kalau dah selesai.
Akhirnya aku update lagi. :"))
Terima kasih buat yang sudah berkenan membaca kisah Ana dan Killian dan juga yang udah tanya-tanya kapan aku update lagi. Maaf buat yang gak kebalas, notifnya tenggelam dan aku juga gak tau mau bales apa :")
Tapi aku baca koks *terharu*
Oke, itu aja.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
24 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top