3 - New Home
Tidurku terusik ketika ponsel milik Killian tak berhenti berdering. Aku tahu itu miliknya, sebab dering ponsel kami berbeda. Milik Killian terdengar lebih mengganggu daripada milikku. Sebagai pria yang mencintai kesunyian dan kerap kali tenggelam di momentum itu, dia memang perlu sesuatu yang mengagetkannya agar kembali ke ambang kesadaran.
Tadinya aku sudah menutup telinga dengan guling yang seharusnya berada dalam pelukanku. Namun, ponsel itu terdengar sangat dekat denganku hingga mau tak mau aku harus bangun dan menyapukan pandangan ke sekeliling. Hanya kertas bergambar rancangan busanaku, buku-buku katalog fashion dan satu set pensil warna yang berhamburan yang tertangkap oleh mata mengantukku ini. Tidak disangka aku tertidur nyenyak sebelum membereskannya.
Ponsel yang tidak berhenti berdering itu kembali menarik perhatianku. Entah itu alarm, atau telepon masuk, Killian memakai dering yang sama. Aku mengumpat pelan karena dia tak kunjung mematikannya. Entah apa yang dia lakukan sekarang sampai tidak sempat menyentuh benda paling berisik itu.
Akhirnya kutemukan ponsel itu di atas kasur. Karena masih dikuasai oleh rasa kantuk, aku sampai kesulitan menemukan benda yang jelas-jelas berada tak begitu jauh dariku. Aku merangkak mendekati kasur—saking malasnya berdiri—lalu mengulurkan tangan untuk meraih ponsel Killian. Namun, si pemilik sudah lebih dulu meraihnya.
Aku menatap Killian dengan mata menyipit. Di belakangnya terdapat jendela yang tirainya sudah dibuka lebar. Sinar matahari langsung menghantam wajahku dan aku tak mampu membuka mata lebar-lebar karena silau.
"Kau mau ke mana?" Aku bertanya dengan suara yang lemah dan serak.
Killian tidak langsung menjawab, tetapi sibuk dengan ponsel dan dasi yang melilit kerah kemejanya. Di bagian atas tubuhnya tampak siap untuk bekerja. Sedangkan dari pinggang ke bawah, menolak untuk pergi bekerja. Maksudku, celana piyama yang dia kenakan semalam masih membungkus kakinya dengan mantap. Seandainya Killian ingin pergi, kuharap dia lupa mengganti celana.
"Aku harus menghubungi klien." Killian menjawab sembari melempar ponselnya kembali ke kasur. Kemudian dia menghadap ke sebelah kanan di mana terdapat cermin full body yang menyatu dengan dinding.
"Serius? Bukannya cuti hari ini? Kita harus pindahan." Aku mengatakannya sambil mengempaskan tubuh ke kasur. Ah, empuk sekali. Kenapa aku tidak tidur di sini saja semalam.
"Iya. Klien ini ... cukup penting." Dia meraih laptopnya dan duduk di sebelahku, bersandar pada kepala ranjang. "Sistem keamanan berlian. Dia akan membayar mahal untuk ini." Killian mengedipkan sebelah matanya kepadaku, menggelikan sekali.
"Memangnya apa yang bisa coding lakukan untuk mengamankan berlian, hm?" Aku melirik layar laptopnya ketika benda mahal itu menampilkan wallpaper foto kami saat berlibur ke Tokyo tiga tahun lalu.
"Aku hanya perlu membangun sistem kendali, timku yang akan merancang alatnya. Kau bisa bayangkan sebuah koper yang memiliki sistem pemantau?"
Aku memiringkan tubuh dan menggunakan tangan kiri untuk menumpukan kepala, hanya agar aku dapat lebih leluasa memandang laptop Killian yang kini menampilkan beranda aplikasi video conference yang biasa dipakainya untuk menghubungi klien secara daring.
"Jujur saja, aku tidak bisa membayangkannya. Aku lebih suka menyebut diriku sebagai user, hanya memakai tanpa perlu tahu seperti apa benda itu dibuat." Aku membalas dengan santai, padahal aku sudah tahu itu akan berujung membuatnya kesal.
"Setidaknya beri sedikit rasa simpati pada perjuangan kami, Babe." Killian berkata dengan gemasnya. Dua jarinya menjepit hidungku sampai aku meringis kesakitan. Dia ingin membunuhku dengan menghambat jalan masuk udara ke paru-paru. Aku sampai memukul tangannya berkali-kali agar dia melepaskan hidungku.
"Ya, ya, ya, bisa dibilang kau cukup sukses untuk seukuran orang yang gagal meraih cita-citanya," cibirku, membalas perbuatannya. Dia mendelik kesal ketika aku mengusap hidungku yang berdenyut, pasti memerah sekarang.
"Haruskah aku berterima kasih?"
"Harus. Tapi biarkan aku memikirkan cara terbaik untuk berterima kasih kepadaku." Aku beringsut menjauhinya ketika Killian mengulurkan tangan ingin meraihku. Beruntungnya, dia tidak bisa berusaha lebih keras karena di laptopnya sudah terpampang wajah seorang pria yang aku yakin adalah kliennya.
Killian adalah salah satu programmer di sebuah perusahaan yang bekerja di bidang IT. Awalnya dia tidak berminat sama sekali bekerja di bidang itu, tetapi takdir berkata lain. Setelah gagal memasuki fakultas kedokteran di dua universitas, Killian nyaris ingin menunda kuliahnya. Sedangkan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi dan mulai mencari cara untuk menghiburnya. Bayangkan saja kalau kami seangkatan dan sama-sama sedang mengerjakan skripsi, bagaimana caranya kami meminta bantuan satu sama lain?
Jaden yang waktu itu sedang dalam tahap pengerjaan skripsi, memerlukan tenaga tambahan untuk survei. Aku menyarankannya agar melibatkan Killian. Dia perlu orang yang cerdas, dan aku tahu sahabatku itu akan jadi orang yang tepat. Lagi pula, Killian tidak akan menolak jika aku yang turun tangan untuk membujuknya.
Awalnya frustrasi, tetapi lama-lama dia mulai menyukai algoritma sebuah program. Aku tidak tahu selama bersama Jaden apa saja yang mereka lakukan, sampai tiba-tiba Killian menemuiku dan mendeklarasikan bahwa dia ingin kuliah IT. Beruntungnya, Killian cukup cerdas dan dengan cepat mengerti teori pemrograman. Sekarang dia menghasilkan lebih banyak uang dariku.
Selagi membiarkan dia sibuk dengan panggilan bersama klien, aku merapikan sisa pekerjaanku tadi malam. Ada secuil niat untuk tidur lagi, tetapi keinginan itu mendadak hilang setelah menyadari bahwa aku harus mengonfirmasi kepastian model yang akan mengenakan rancangan gaunku di fashion show nanti.
Sungguh cuti yang sangat tidak menyenangkan.
💍
Penerbangan dari Los Angeles ke New York menghabiskan waktu lima jam. Kami tiba di rumah yang dibeli Killian—dengan uang berdua tentunya—pukul lima sore. Lelah yang kurasakan selama perjalanan dari bandara dengan taksi seketika sirna begitu melihat rumah kami secara langsung.
Aku memandang takjub bangunan di depanku. Aku sudah melihat versi grafisnya dan rumah ini memang tampak luar biasa, tetapi tidak kusangka ketika melihatnya secara langsung justru jauh lebih baik. Rumah ini berlantai dua dengan desain Scandinavian dan catnya didominasi oleh warna krem. Tidak salah aku memercayakannya pada Killian.
Halamannya sangat luas, tetapi agak gersang karena minimnya tanaman. Aku akan mengajak Killian berkebun jika dia sudah tidak terlalu sibuk nanti. Ada dua mobil yang terparkir di garasi tak berpintu. Seperti yang sudah kubilang, Killian penuh persiapan.
Ada alasan kenapa kami memilih pindah ke New York. Pertama, Killian dipindahtugaskan ke perusahaan yang berpusat di New York. Selamat atas kerja kerasnya, karena itu juga berarti penghasilannya meningkat. Kedua, aku tidak memiliki masalah pindah ke mana pun. Lagi pula, New York termasuk kota metropolitan terpadat di Amerika Serikat. Kupikir karierku sebagai desainer akan sukses di kota yang juga dikenal sebagai pusat mode ini.
"Melihat reaksimu, kukira ini bisa jadi momentum untuk aku berterima kasih kepadamu?" Killian menyenggolku pelan dengan sikunya. Dia pasti merasa bangga dengan dirinya sendiri sekarang. Parahnya, aku tidak bisa menyembunyikan betapa aku menyukai rumah ini dan sudah pasti itu disadarinya.
Aku menatap Killian dan tersenyum geli. "Aku bilang akan memikirkannya, 'kan? Sama sepertimu yang tidak memberi solusi untuk rambutku." Aku mengibaskan rambutku yang panjang dan diikat satu tinggi.
"Kita masih membahas soal rambut? Sudah kubilang untuk dipotong, 'kan? Sedikit ke atas dari panjang rambutmu yang sebenarnya." Killian bahkan membuat gestur menggunting dengan dua jarinya yang panjang.
"Rambutku akan tambah pendek kalau begitu."
"Bukankah biasanya selalu pendek? Aku tidak tahan kalau rambutku panjangnya melebihi bahu. Ingat siapa yang selalu mengatakan itu?"
Aku mencebik setelah dia berhasil meledekku, bahkan sampai gaya dan intonasinya pun mirip denganku. Namun, versinya lebih menggelikan dan dilebih-lebihkan. Aku yakin tidak sampai merengek saat mengatakan itu.
Kumainkan rambut orang yang sialnya terasa jauh lebih halus dari milikku sendiri. Hairstylist itu benar-benar merawat rambut orang ini sebelum diperjualbelikannya.
"Padahal kau sendiri yang lebih dulu berkata kalau wajahku terlalu kecil untuk rambut panjang."
Lalu aku sadar, pria yang menikah denganku ini rupanya banyak memengaruhi hidupku.
"Sepertinya aku berubah pikiran, kau jauh lebih cantik dengan rambut panjang."
Aku sering mendapat pujian darinya, entah itu hanya sekadar untuk menghiburku atau dia memang tulus mengatakannya. Killian pandai berakting, bahkan ketika kukira dia tulus, setelahnya dia akan tertawa lepas. Lalu berkata kalau reaksiku cukup menghibur.
Sekarang pun aku menunggunya mengatakan sesuatu yang menyebalkan. Namun, dia hanya menatapku dengan ekspresi yang tidak berubah sejak tadi. Situasi ini lantas membuatku kebingungan. Apa dia sungguh-sungguh memujiku?
"Kenapa wajahmu seperti itu?" Sudut alisnya yang tebal bak semut berbaris itu nyaris bertemu di atas batang hidung. Bentuk hidungnya adalah favoritku. Sejak dulu aku suka sekali menyentuhnya, apalagi saat berkerut.
"Wa-wajahku kenapa?"
Sial, kenapa harus tergagap? Menggelikan sekali kedengarannya. Namun, Killian tidak menjawab dan hanya mengangkat bahu sebelum berpindah ke belakangku.
"Kau tahu apa yang lebih baik dari ini?" Killian melingkarkan tangannya di bahuku. Tautan jari-jarinya berada di bawah daguku. Aku segera memanfaatkan tubuhnya untuk bersandar.
"Apa?"
"Ayo masuk dan kita makan malam. Aku tidak bisa memikirkan yang lebih baik lagi selain mengisi kekosongan di perutku."
Perutku pun baru saja berbunyi, dan aku tersenyum sendiri karenanya. Aku tidak peduli Killian mendengarnya atau tidak, karena untuk kebutuhan perut, aku tidak pernah malu mengaku di depannya.
"Menurutmu kita pesan apa? Kau tahu aku tidak pandai memasak, 'kan?"
💍
Setelah mengelilingi rumah sembari menunggu pesanan datang, kami memutuskan untuk menonton film di salah satu kamar yang memiliki TV. Ruang tengah belum bisa dipakai karena sofanya masih terbungkus plastik dan belum ada stop kontak yang bisa dipakai untuk mengalirkan listrik ke TV. Padahal di ruang menonton TV-nya jauh lebih besar dan di sudut ruang terdapat mini bar.
Boleh dibilang, Pizza Hut dan Starbucks bisa berkolaborasi menjadi sebuah definisi kesempurnaan. Apalagi bagi kami yang sama-sama penikmat kopi dan mozarella. Satu loyang piza sudah habis dimakan, menyisakan kotak yang tergeletak di lantai. Sekarang kami menikmati kopi sambil menonton film komedi. Sesekali kami akan tertawa ketika muncul adegan yang lucu.
"Jadi, kapan butikmu dibuka?" Killian bertanya ketika aku beranjak dari kasur untuk meraih ponsel di atas meja TV.
"Aku harus mendapat poin tertinggi di fashion show minggu ini. Setidaknya salah satu dari lima tertinggi agar mendapat tenant di Macy's."
Aku kembali ke kasur dan Killian segera membantuku menyampirkan kembali selimut yang sebelumnya membungkus separuh tubuh kami. Rasanya nyaman meski hanya seperti ini.
"Aku tahu kau bisa." Ucapannya menghangatkan meski tak sedikit pun mengurangi rasa gugup yang kurasakan. Suaranya sedang menyedot minuman terdengar keras, dia selalu seperti itu, menghabiskan minuman sampai tetes terakhir.
"Ini tidak seperti biasanya, Killian. Aku akan memamerkan rancanganku di depan lebih banyak desainer ternama. Itu mengerikan padahal aku baru membayangkannya."
Kuraih remote di pangkuannya dan mulai memilih tayangan di Netflix. Acara komedi yang kami tonton sudah menampilkan daftar kredit, dan aku paling tidak suka menunggu sampai film lain menggantikannya.
"Apa bedanya? Toh, yang menghadapi mereka nanti model-modelmu, 'kan?"
Kurasa dia ada benarnya. Aku gugup untuk apa? Rancanganku jelek, keaslian yang diragukan, atau modelnya nanti tidak berhasil menunjukkan keindahan busana-busanaku? Aku makin cemas begitu memikirkannya. Killian berhasil membuatku tidak bisa tidur malam ini. Bukan karena habis meminum kopi, tetapi karena aku harus memastikan gambaranku sebelum benar-benar kukerjakan bajunya besok.
"Hm. Bisa lupakan itu dulu? Aku jadi cemas dan tidak bisa menikmati film," ujarku sembari menyamankan posisi di sebelahnya.
Ponsel Killian bergetar. Aku tidak tahu apa yang sedang dia tunggu sampai sebegitu terburu-burunya mencari keberadaan ponsel yang sebenarnya berada di bawah kakiku. Aku mengambilnya dan menyerahkan benda itu kepadanya.
"Kayaknya penting?" Aku langsung menanyakan itu kepadanya. Bahkan saat mengambilnya dariku pun sangat tidak hati-hati. Bayangkan saja seperti apa orang yang sedang buru-buru ingin pergi dan merampas apa saja yang perlu dia bawa.
"Ya. Mungkin dari kerjaan," balasnya sembari memfokuskan perhatian pada ponselnya.
Aku mengabaikan TV dan memperhatikan ekspresinya. Awalnya dia tampak sangat serius membaca pesan di ponselnya, tetapi setelahnya dia menahan senyum seperti orang yang malu-malu. Aku bisa saja membaca tulisan di ponselnya, tetapi aku menghargai privasi Killian, jadi aku hanya berusaha menerjemahkan ekspresinya.
Jari-jarinya bergerak cepat sekali untuk mengetik balasan. Selama beberapa saat ponselnya bergetar beberapa kali. Sedangkan aku kembali menikmati tayangan di TV meski tak bisa benar-benar menikmatinya. Rasanya agak aneh ketika Killian merasa senang tanpa dibagikan kepadaku. Aku jadi penasaran apa yang membuatnya seperti itu.
"Besok aku harus ke kantor."
Aku mengernyit tak suka pada ucapannya, segera saja kulayangkan tatapan protes kepadanya. "Kenapa? Besok kita harus menata rumah, 'kan? Kau sudah berjanji, Killian. Lagi pula, kau libur sampai tiga hari ke depan."
Killian mengusap tengkuknya dan tak berani menatapku. Biasanya kalau seperti itu, dia sedang merasa bersalah.
"Aku perlu bertemu seseorang," balasnya dengan wajah yang mesem-mesem, setelah berani menatapku.
"Perempuan?"
"Yap. Dia rekan kerjaku." Killian berdeham dan mengubah posisinya jadi menghadapku. "Dengar, Ana, aku ... tertarik dengannya sejak kami mengerjakan proyek bersama walau belum pernah bertemu. Besok adalah waktu yang tepat karena dia punya waktu luang."
Penuturan Killian sama sekali tidak meredakan kekesalanku.
"Aku tidak perlu tahu alasanmu. Aku hanya tidak suka kau melanggar janji, Killian. Kau tahu seperti apa aku, 'kan?"
"Aku tahu. Maaf, Ana, aku tidak—"
"Sudahlah," ujarku sembari beranjak dari kasurnya. Kamar ini memang kamar yang akan ditempati Killian. Milikku berada tepat di sebelahnya. Aku ingin segera keluar, tetapi sesuatu menyadarkanku hingga aku kembali menatapnya. "Apa dia tahu kalau kita sudah menikah?"
"Menurutmu dia akan menemuiku kalau tahu aku sudah beristri?"
Ya. Itu sudah menjawab pertanyaanku dengan sangat jelas.
"Baguslah." Aku meraih ponsel dan minumanku yang masih tersisa setengahnya. "Maaf, aku tidak bisa membantumu membereskan sisa makan malam kita. Aku lelah, selamat malam, Killian."
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
26 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top