29 - The Chance
Dua hari demam sudah lebih dari cukup untuk membuatku tersiksa dengan betapa posesifnya Killian. Belum lagi Jaden akan cerewet kalau aku tidak segera minum obat. Bagi banyak orang, mungkin menyenangkan dikelilingi orang yang penuh perhatian. Namun percayalah, sekali mendapatkannya dari Killian atau Jaden, rasanya ingin langsung sembuh detik itu juga.
Sayangnya, makin lama menghabiskan waktu bersama Killian membuatku terus merasa bersalah. Maksudku, karena cerita Emma waktu itu. Dia menjadi orang pertama yang menentang keras keputusan kami untuk menyembunyikan status.
Aku baru selesai mengancing kemeja dan melakukannya seperti anak kecil yang masih belajar. Tidak susah menyelipkan kancing-kancing itu ke lubangnya, tetapi tangan kananku masih belum bisa bergerak leluasa karena lukanya yang baru-baru saja kering. Bergerak banyak bisa membuat lukanya terbuka lagi. Setidaknya luka di jari-jari sudah cukup kering.
"Kau yakin pergi ke Macy's hari ini? Demamnya bagaimana? Sudah turun? Tanganmu bisa digerakkan? Kalau masih pusing, jangan lupa minum lagi obatnya. Kau belum sarapan, jadi sarapan dulu. Setelah itu baru kuantar."
Jaden baru muncul di ambang pintu dan sudah bicara sepanjang itu tanpa jeda. Kapan dia selesai dengan pekerjaannya?
"Lihat aku." Aku berbalik menghadapnya dan meletakkan kedua tangan di pinggang. Tangan kiri melakukannya dengan sempurna, sedangkan tangan kananku agak canggung karena tidak mampu mencengkeram pinggangku. "Apa yang seperti ini tampak sakit di matamu?"
Jaden mendengkus, seperti sedang menahan tawa. "Jangan lupa pakai lipstik, wajahmu masih pucat." Dia mengatakan itu sambil berlalu pergi.
Mari buktikan kalau ucapannya tidak benar. Aku menghadap cermin sekali lagi dan tersenyum masam. Kali ini saja aku menurut dan memakai lipstik yang lebih merah dari yang biasa kupakai. Aku bahkan tidak ingat pernah membelinya atau tidak ketika menemukan ada satu di rak lipstik milikku.
Mungkin pernah kuterima sebagai hadiah dan aku melupakannya.
"Warna itu bagus untukmu."
Killian berkomentar di ambang pintu--posisi yang sama seperti Jaden sebelumnya. Aku membalas tatapannya melalui cermin sebelum dia berjalan masuk ke kamar, dan aku segera menyimpan kembali lipstik yang keberadaannya sangat misterius.
"Jaden bilang wajahku pucat, jadi aku memakainya." Aku tidak ingin Killian berpikiran macam-macam, jadi aku langsung menjelaskan alasannya meski tidak diminta.
"Dipakai setiap hari juga tidak apa-apa. Kau tampak menggoda untuk dicium."
Masih melalui cermin, aku mendelik tajam padanya yang sudah duduk di sofa. Namun, aku tidak jadi marah padanya setelah sadar apa yang sedang dia lakukan.
"Kenapa sarapannya dibawa ke sini?"
Killian rupanya membawa nampan ke sini, dengan dua gelas susu dan dua piring berisi dua lembar roti panggang di atasnya. Itu semua sudah diletakkan ke atas meja di depan sofa. Aromanya baru tercium dan mengingatkanku pada rasa lapar. Sekarang Killian sedang memotong-motong roti di salah satu piring yang akan jadi milikku.
"Jaden sudah pergi, jadi kuputuskan untuk makan di sini. Kupikir kau kesulitan jadi aku bermaksud ingin membantumu sekalian."
"Aku sudah sehat." Aku menghampiri Killian dan duduk di sebelahnya. "Hanya belum bisa menggunakan tangan kanan."
Killian menempelkan punggung tangan ke dahiku sebelum aku sempat menghindar. Dahinya berkerut selama melakukan itu, seolah-olah sedang menunggu angka suhu tubuhku di sana. "Masih agak hangat."
"Tanganmu yang dingin." Aku segera membantah begitu tangannya sudah tidak di dahiku.
"Tapi Jaden bilang kau pucat. Kalau masih tidak enak badan, istirahat lagi saja. Aku bisa mampir ke Macy's kalau kau perlu memastikan sesuatu."
Dia menyodorkan piring berisi roti yang sudah dipotong kecil-kecil. Bukannya berterima kasih, aku justru berdecih pelan. Aku bukan tidak menghargai, tetapi itu respons untuk ucapannya tadi.
"Memangnya kau mengerti apa? Paling itu hanya modus, kau bisa pergi ke sana bersama Gabby."
Thanks to Emma, dia memberitahuku kemarin kalau mereka datang bersama. Satu jam setelahnya, aku justru mendengar dia mengomel tentang status yang kami sembunyikan.
"Ah, itu, dia suka sekali dengan pakaianmu."
"Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin dia memercayakanku untuk menjahit gaun pengantinnya?" Aku sengaja menyindir Killian. Tentu aku ingat dia berkata agar aku menolak permintaan Gabby yang satu itu.
"Kau terdengar kesal, Ana."
Kunyahanku terhenti begitu saja. Killian menatapku dengan serius, berusaha mencari-cari kebenaran atas ucapannya. Aku tidak tahu kalau nada bicaraku sampai sebegitunya.
"Siapa yang tidak kesal saat disuruh menolak uang? Dia kaya, dan kau juga punya banyak uang. Aku bisa memasang harga mahal, bukan?" Meski bukan jawaban yang sebenarnya dari apa yang kurasakan, tetapi kupikir itu bisa diterima.
"Setelah kupikir-pikir lagi, pernikahan itu tidak akan terjadi kalau kau juga tidak menikah dengan orang lain." Setelah mengatakannya, Killian justru menyantap sarapannya seolah-olah itu tidak berarti apa-apa. Maksudku, apa baginya pernikahan adalah hal main-main?
"Kau mau memainkan perasaannya?"
Aku tidak membenci Gabby, sungguh. Aku bahkan khawatir dia akan terluka seperti yang pernah Emma rasakan. Baru kupikirkan saja rasanya aku tidak siap melihat wajah sedihnya. Walau di sisi lain, dengan aku tidak menemukan satu orang untuk dicintai, aku bisa mendampingi Killian selamanya. Sebenarnya, itu agak bagus.
"Aku yakin kau tidak ingin itu sampai terjadi."
Oke, sekarang Killian menganggap aku bukan orang jahat dan akan mencari satu orang agar mereka bersama. Namun, apa aku akan sebaik itu?
"Setelah melihatmu sakit kemarin, rasanya aku tidak bisa memercayai siapa pun untuk menjagamu. Ya, walau aku yakin ada banyak pria baik di luar sana. Dan aku juga tidak bisa benar-benar meninggalkanmu sebelum tahu kalau pria itu memang tepat untukmu."
Aku memandangnya takjub. Dari banyaknya kemungkinan, aku tidak menduga akan mendengar itu darinya. Killian dengan segala misteri yang ada di dalam kepalanya itu makin sulit ditebak.
"Kenapa kau bersikap seolah-olah berhak memutuskan semuanya--termasuk hidupku? Kau hanya sahabatku, Killian."
"Aku juga suamimu."
"Suami yang akan menceraikan istrinya."
Killian menghela napas panjang, sebelum akhirnya keheningan menyelimuti. Dia mungkin kesal dengan apa yang kukatakan.
"Kita, kan, sudah sepakat, Ana." Mungkin Killian memang sangat ingin mendapatkan Gabby sampai-sampai bicaranya terdengar frustrasi.
Aku hanya mengedikkan bahu, pertanda tidak ingin bicara lebih banyak. Kalau topik ini akan berujung perdebatan, lebih baik aku diam saja.
•••
"Hei, orang sakit. Senang melihatmu sudah bisa datang ke Macy's."
Aku berjalan lebih ke dalam tenant sambil melepas mantel. Mendapati Emma tersenyum semringah pagi ini sukses membuat perasaanku membaik. Yah ... meski caranya memanggilku agak menyebalkan.
"Sini biar kubantu." Dia menarik mantelku saat tersisa bagian lengan kiri yang belum terlepas. Tangan kananku belum bisa menggenggam, apalagi menarik mantel sampai benar-benar terlepas.
"Terima kasih, Em," kataku sembari menerima mantel yang disodorkannya dan kembali merajut langkah. Aku belum tiba di ruangan belakang.
"Tanganmu masih sakit kenapa datang?" tanyanya. "Tunggu, dan kau memakai lipstik yang menarik. Sedang menggoda siapa?"
Tarik lagi kata-kataku tentang Emma membuat perasaanku membaik. Setelah mendengar pertanyaannya, aku jadi berpikiran untuk kembali pulang saja. Meski aku tahu dia hanya bercanda, tetapi setelah pembicaraan yang berat dengan Killian tadi, aku tidak siap mendengar hal-hal aneh lagi hari ini.
"Memangnya aku merias diri hanya untuk menggoda?"
Emma mencebik. "Mungkin kau berpikir mencari seseorang untuk menggantikan Killian."
Aku melotot ketika dia membawa-bawa tentang itu sampai ke Macy's. Namun, dia tetap tenang karena memang di ruangan ini hanya ada kami berdua. Dan bukan berarti seseorang tidak bisa mendengarnya dari luar.
"Em, sekarang aku mulai menyesal sudah menceritakannya padamu." Aku sama sekali tidak melibatkan emosi saat mengatakannya, tetapi aku yakin dia mengerti kalau hal buruk bisa terjadi jika seseorang mengetahuinya.
"Maaf, maaf. Aku hanya belum bisa berhenti memikirkannya."
"Kalau begitu, pastikan hal itu tersimpan di kepalamu saja."
Aku berjalan menjauhinya, menuju meja kerja yang di atasnya terdapat beberapa buku sketsaku. Beberapa halamannya terbuka di bagian yang sedang dalam proses pengerjaan. Satu note kecil di sudut kertas bertuliskan tanggal besok. Aku baru ingat pesanan yang itu belum selesai kukerjakan meski sempat meminta bantuan Emma untuk mengerjakannya. Kurasa aku harus lembur dan entah bagaimana aku akan mengerjakannya nanti.
"Em, bisa berjaga di depan? Aku harus menyelesaikan ini."
Emma melirik sketsa yang kutunjuk dan memasang wajah skeptis. Jujur saja, aku tidak ingin melihat ekspresi itu darinya.
"Kau yakin melakukannya sendirian? Kau tidak harus memaksakan diri kalau kesulitan."
"Aku harus mencobanya dulu, 'kan? Lagi pula, tinggal bagian detail, kau sudah banyak membantu."
Emma masih memandangku seperti tadi sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Aku harus ingat kalau kau keras kepala. Panggil aku jika perlu sesuatu." Dia keluar dari ruangan setelah mengatakan itu.
Ada beberapa hal yang Emma tidak ketahui. Pertama, aku tidak pergi ke New York tanpa alasan. Killian membawaku ke sini karena kompetisi itu dan tentu saja aku berencana untuk sukses setelah tahu di sini memiliki peluang lebih besar. Aku tidak ingin saat berpisah dari Killian, aku belum menjadi apa-apa. Aku memikirkan ini selama beberapa hari ke belakang.
Kedua, klien ini orang yang punya nama. Kalau saja aku berhasil menyelesaikan tepat waktu dan membuatnya terkesan, orang itu akan dengan senang hati mengumumkannya pada dunia melalui media sosialnya. Well, siapa lagi yang akan melakukan itu jika bukan influencer?
Sekarang masalahku tinggal satu; tangan kanan, aku tidak bermaksud menyakiti diri sendiri, tetapi aku yakin jari-jariku masih sanggup untuk memegang jarum.
•••
Jari-jari tangan kananku mulai kaku ketika baru menyelesaikan bagian rok dari gaun pesanan itu. Sekarang aku tidak bisa melanjutkannya dulu karena kesulitan menusukkan jarum ke kainnya. Mengerjakan bagian detail yang akan mempercantik gaun tidak bisa menggunakan mesin jahit. Aku harus melepasnya dari manekin dan, ya, bayangkan saja betapa sulitnya ketika aku harus memosisikan gaun yang berlapis-lapis itu di mesin jahit.
Aku meraih gelas kopi di sudut meja dan membawanya ke ambamg pintu. Di posisi ini, aku bisa melihat rak-rak dan manekin yang dipasangi pakaian-pakaian untuk dipajang. Tenant sudah tutup dan aku tersisa sendirian di sini. Tentu saja hari sudah gelap saat aku melihat ke jendela.
Awalnya Emma ingin menemaniku, tetapi aku menolak dan memaksanya agar tetap pulang.
Ponsel yang berdering mengharuskanku untuk kembali ke ruangan. Saat kuperiksa, ternyata Allen menelepon. Ah, pria itu, sejak di malam Halloween, kami tidak ada bertemu lagi.
"Halo, Allen."
"Hei, Ana. Apa aku mengganggu?"
Aku memandang manekin dengan gaun setengah jadi. "Tidak, aku sudah bersiap mau pulang."
Lagi pula, aku belum bisa melanjutkannya dengan kondisi tangan seperti ini. Masih ada waktu besok pagi dan siang sebelum si pemesan mengambilnya.
"Aku sedang berada di sekitar Macy's mau sekalian kujemput?"
Aku menggumam panjang, berpura-pura mempertimbangkan tawarannya. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku belum pulang?"
Kali ini Allen yang bergumam penuh keraguan. "Aku bertemu Emma saat dia pulang, aku bertanya kau di mana dan dia bilang kau masih mengerjakan pesanan di tenant. Jadi, aku sibuk memikirkan kapan waktu yang tepat untuk meneleponmu."
"Padahal itu sudah sangat lama sejak Emma pulang."
"Seperti yang kubilang, sedang ada yang kukerjakan di dekat sini."
Aku tersenyum meski dia tidak bisa melihatku. "Kalau begitu sekarang aku yang akan menunggumu selesai."
Aku bisa membayangkan wajahnya saat dia tertawa ringan. "Aku sudah selesai sejak tadi. Kuharap kau punya ruang di perutmu agar kita bisa mampir dan mengobrol sebentar?"
"Begitu, ya. Baiklah. Aku akan turun sebentar lagi. Kau harus membayar agak mahal karena aku belum makan malam."
"Itu menyempurnakan rencanaku. Aku akan menemuimu di lobi lantai satu."
"Terima kasih, Allen."
Dia mengakhiri sambungan telepon setelah mengembalikan ucapanku. Aku bisa merasakan dia tampak senang di seberang sana. Apa seberpengaruh itukah aku untuknya?
Emma juga bilang Allen mungkin tertarik padaku. Bahkan meski tidak diberi tahu, aku cukup sadar Emma beberapa kali memberi kesempatan pada pria itu agar bisa memiliki waktu berdua denganku. Kalau itu benar, bisakah aku jatuh cinta padanya suatu saat nanti?
Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti akan mengenal pria lain atau tidak, tetapi ketika kesempatan itu sedang ada di hadapan mata, kenapa tidak kucoba?
Aku bukan ingin memanfaatkan Allen, tetapi ketika seseorang datang dengan ketulusan, seharusnya mendapat bayaran yang setimpal, bukan?
•••
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
16 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top