27 - Sick
"Ana, bangun."
Aku menggeliat pelan karena tidur yang terusik. Cahaya yang terang membuatku tidak bisa benar-benar membuka mata, tetapi meski mengerjap beberapa kali untuk membiasakannya pun, rasanya aku masih ingin berpejam lagi. Kepalaku juga rasanya terlalu berat, enggan untuk bangun.
"Sebentar lagi, Killian, mataku masih terasa berat. Kau bisa berangkat sendiri, aku akan cari taksi nanti." Kemudian aku berbalik arah, dari berbaring menghadap sebelah kiri menjadi sebelah kanan. Tentunya dengan sangat hati-hati agar tangan kananku tidak tertindih. Killian sudah bangun dan aku bisa leluasa menempati space kosong di kasurku.
Killian menyentuh lenganku dengan tangannya yang dingin dan bisa kurasakan dia tersentak. "Kau demam, Ana."
Meski masih berpejam, telapak tanganku naik untuk menyentuh dahi. Aku ingin membuktikan ucapannya. "Tidak, tanganmu yang terlalu dingin. Kau sudah mandi dan aku belum."
Decakan keras dia keluarkan dan sepertinya dia pergi menjauh. Aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan apa yang dia lakukan setelah kudengar suara keributan kecil di sudut ruangan. Killian sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan untuk bekerja. Entah sudah jam berapa sekarang, aku jadi merasa bersalah karena tidak membuat sarapan untuknya.
Killian kembali ke sebelahku dengan sebatang termometer digital di tangan. "Buka mulutmu," suruhnya. Aku tidak bisa menolak karena pembawaannya terlalu serius.
Ada alasan kenapa aku enggan mengakui kalau sedang sakit pada Killian, dia akan bersikap seperti ini dan rasanya aku ingin menenggelamkan diri begitu saja. Bahkan Jaden saja tidak sampai seperti ini, yang ada justru menertawakan kondisiku yang kacau-- benar-benar saudara yang tidak berguna.
Aku menjepit ujung termometer di bawah lidah. Killian tidak beranjak sedikit pun dari sisian kasur sampai akhirnya termometer ini mengeluarkan suara pelan. Dia menarik termometer itu dan menghela napas panjang ketika memperhatikan digit angka yang tertera di layar kecil di sana.
"105⁰ (fahrenheit). Kau menyentuh dahi dengan tangan yang sama panasnya, tentu saja tidak terasa perbedaannya." Killian mengatakan itu sembari membersihkan termometer dengan tisu basah antiseptik yang sudah dia siapkan di tangan.
"Baiklah, aku akan istirahat di rumah." Ada rasa senang dan gelisah saat mengatakannya. Senang karena aku bisa tidur lagi--memikirkannya saja sudah membuatku kembali menarik selimut untuk menyelimuti tubuh. Lalu gelisah karena aku tidak bisa ke Macy's. Lagi-lagi aku membebani Emma untuk mengawas di sana.
"Aku juga akan meminta izin tidak masuk hari ini."
"Kenapa?"
Aku baru memejamkan mata, tetapi kembali terbelalak karena ucapannya. Mataku langsung menangkap adegan Killian membuka kemejanya dari belakang, menyisakan kaos dalam yang membungkus tubuh bagian atasnya dengan erat. Aku nyaris protes seandainya tidak ingat kalau kami memang tidur sekamar sejak Jaden datang.
"Siapa yang akan menjagamu?" Ada nada tidak suka di suaranya. Killian membawa kemeja yang dilepasnya tadi ke ruang penyimpanan dan kembali lagi dengan sudah mengenakan celana training dan kaos berlengan pendek. "Jaden tidak pulang. Dia mengirim pesan padaku dua jam lalu karena ponselmu tidak bisa dihubungi."
"Ah, begitu." Aku mencebik dan memandang langit-langit sebentar. "Tapi kau sungguh tidak perlu sampai libur bekerja, Killian."
Detik berikutnya, dia sukses membuatku kaget. Di samping kasur, dia membungkuk, membiarkan wajahnya berada tepat di atas wajahku. Sulit mengontrol diriku untuk tidak memujinya tampan meski sudah sering melihatnya. Terlebih lagi ketika dia berwajah serius seperti sekarang. Kerutan di dahi pun tidak melunturkan daya tariknya.
"Terima saja, aku akan berada di sekitarmu seharian ini."
•••
Killian tidak berbohong. Dia benar-benar di sebelahku seharian, selayaknya tangan kananku. Pertama dia mengantarku ke kamar mandi, membantu membersihkan punggung dan, tentu saja, membantuku memakai pakaian. Aku tidak keberatan karena ini bukan kali pertama dia mengurusku. Padahal dia sangat sibuk, aku tahu pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan hari ini sangat banyak, terbukti dengan dia selalu membawa laptopnya ke mana-mana.
Aku berharap Jaden segera pulang dan menggantikan Killian. Meski dia tidak mungkin pergi bekerja, setidaknya dia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya di rumah.
Saat ini kami sedang makan siang bersama di ruang tengah. Sofa kami berbentuk U dan aku duduk di sisi kanan dekat sudut agar bisa menyelonjorkan kaki. Dia memesan banyak makanan enak dan sekarang memenuhi meja rendah di depan sofa. Killian akan mengiris makanan terlebih dahulu sebelum diberikan padaku. Sebagai pengguna tangan kanan, aku tentu akan kesulitan makan dengan tangan kiri jika tidak langsung kusuap.
"Setelah ini kau harus minum obat lagi." Dia mengatakannya sembari mengganti piring kosong dengan piring berisi filet ikan yang sudah diiris-iris.
"Aku tahu," sahutku sekenanya. "Kenapa memandangku begitu?"
Karena kutegur, Killian jadi menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Padahal dia sudah melakukan itu sebelum kami makan.
"Masih panas. Kalau besok masih lemas, istirahat lagi saja." Dia membenahi selimut yang menutupi kakiku. "Masih lemas?"
"Sedikit."
"Kepalamu bagaimana?"
"Masih pusing juga."
Killian menghela napas cukup panjang. Meski tidak menunjukkan kalau dia keberatan mengurusku, tetapi aku merasa tidak enak--lagi--karena harus merepotkannya.
"Anemiamu pasti kambuh. Tidak heran, darahmu terbuang banyak." Dia menghela napas lagi setelah menyamankan posisi di sebelahku. "Kenapa pulang sendirian semalam?--aku ingat belum menanyakan ini padamu."
Kunyahanku memelan untuk mengulur waktu agar tidak segera menjawabnya. Killian yang seperti ini jauh lebih menakutkan daripada guru konseling yang menginterogasiku saat aku terlibat kasus bullying--padahal jelas-jelas aku adalah korban.
"Karena tanganku berdarah, jadi aku pulang. Aku tidak mau mengotori lantainya." Aku tidak bisa memikirkan kebohongan lain selain itu sekarang. Kepalaku sudah berdenyut sejak dia bertanya.
"Aku masih tidak percaya kau memecahkan gelas dalam genggaman. Sekuat apa tenagamu sampai gelas itu pecah?" Killian masih menunjukkan ketidakpercayaannya pada ceritaku. Dia memang akan seperti ini ketika sesuatu terjadi tanpa bisa diterima akalnya.
"Lalu aku harus mengarang cerita apa kalau memang itu yang terjadi?" Aku mulai kesal, tetapi tidak bisa melayangkan protes atau marah-marah karena dia banyak membantuku hari ini.
"Apa yang membuatmu sampai meremas gelas itu? Kamu cukup sadar kalau tidak boleh terluka, tapi kenapa bisa sampai ceroboh kali ini?"
Aku menatap kosong TV di depan kami. Kalau seandainya aku jujur, dia pasti akan menahan dirinya lagi untuk tidak berdekatan dengan Gabby. Sedangkan aku bisa melihat dengan jelas betapa dia sangat bahagia saat menghabiskan waktu bersama Gabby. Lagi pula, aku belum tahu apa yang membuatku sampai merasa sesak menyaksikan mereka berdua. Namun, kalau Killian terus seperti ini, bisa-bisa aku berujung mengatakan yang sejujurnya.
"Aku melihat sesuatu yang tidak mengenakkan dan terkejut." Kuharap dia berhenti bertanya lagi setelah ini.
"Apa itu?" Sayangnya, Killian adalah pria dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
"Aku tidak mau mengingatnya lagi. Itu mengerikan." Aku menutup wajah dengan tangan kiri yang dibuat-buat bergetar, sekadar untuk memperlihatkan kalau hal itu membuatku ketakutan.
"Hantu?"
Satu geraman lolos dalam kerongkonganku. "Bisakah berhenti bertanya? Aku sungguh tidak mau mengingatnya lagi."
"Baiklah, baiklah. Ikannya sudah habis? Sini piringnya biar kucuci."
Killian mengambil piring di pangkuanku dan meletakkannya ke atas tumpukan piring kotor lain di atas meja. Setelah itu dia menurunkan sandaran sofa agar aku bisa setengah berbaring, karena jujur saja, aku capek duduk lama-lama. Kepalaku masih terasa berat. Sebelum pergi ke dapur, Killian meletakkan kompres dulu di dahiku.
Ponsel Killian yang ada di sofa berdering beberapa kali. Aku tidak bermaksud untuk mengusik privasinya, tetapi layarnya menyala setiap ada pemberitahuan yang masuk. Dari posisi ini, dengan kepala yang berada di atas bantal tinggi, aku bisa membaca sekilas apa isi dan siapa pengirimnya.
Lagi-lagi, aku merasa bersalah karena Killian harus tetap di rumah untuk mengurusku. Jaden keterlaluan karena masih bekerja di saat adiknya sakit.
Aku meraih ponsel yang terjepit di antara sisi tubuhku dengan sandaran sofa. Baterainya sudah terisi sejak aku digendong Killian pindah dari kamar ke ruang tengah. Aku mencari kontak Emma dan mengetik pesan dengan lambat menggunakan tangan kiri.
Luciana
Em, bisakah mampir ke rumah sore ini? Tidak masalah meninggalkan Macy's. Biar mereka yang menutupnya. Aku perlu sedikit bantuanmu.
Terkirim. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan Emma lebih jauh, tetapi aku harus melakukannya agar tidak membuat Killian jauh lebih kesusahan lagi.
Emma
As you wish, Hon. Aku memang berencana ingin menemuimu. Kau mau kubelikan sesuatu selama di jalan?
Luciana
Apa pun yang mau kaumakan saja, aku tidak bisa menyajikan apa-apa untuk tamu.
Emma
Get well really soon. Aku sudah merindukanmu.
Luciana
🙇🏻♀️🙇🏻♀️
Emma adalah orang baik yang kukenal. Dia menjadi bukti nyata bahwa penampilan bukanlah pengukur seperti apa kepribadian seseorang.
Aku mematikan ponsel ketika Killian kembali dari dapur.
"Kau mau tetap di sini atau pindah ke kamar?" tanyanya.
"Kau terlalu berlebihan. Aku tidak lumpuh, Killian. Aku masih bisa berjalan kalau aku memang mau ke kamar."
Namun, sekali lagi Killian tampak tidak senang dengan responsku. "Kau tidak perlu sok kuat. Aku tahu betapa lemasnya dirimu. Lekaslah sembuh." Dia duduk di sebelahku dan kembali memangku laptopnya. Killian harus kembali mengerjakan apa pun yang ada di sana dan gurat-gurat lelah tercetak jelas di wajahnya.
"Pasti kalau sakit aku sangat merepotkan, ya."
"Hah ... kenapa kau selalu mengatakan itu?" Sekarang dia benar-benar tampak sangat terganggu dengan ucapanku. "Semua orang sakit pasti akan membuat orang lain repot, Ana. Tapi ingatlah kalau aku mengurusmu atas kemauan pribadi, bukan karena paksaan."
"Tapi kau tidak akan melakukannya kalau--"
Ucapanku terhenti ketika wajahnya menghalangi pandanganku. Tidak hanya itu, bibirnya juga membungkam milikku. Aku segera mendorongnya karena tidak mau dia menyusul demam. Meski aku tahu, demam tidak menular, tetapi siapa yang tahu sistem imunku sedang bekerja untuk melawan apa.
"Apa yang kaulakukan?" Aku menutup bibir karena wajah Killian masih berjarak sangat dekat denganku. Maju sedikit saja, dia akan menciumku lagi.
"Untuk membungkammu." Dia menjawab dengan tenang dan kembali menegakkan badan.
"Seharusnya kau tidak melakukan itu!"
"Kenapa? Aku suamimu dan tidak perlu izin untuk melakukannya."
Gila. Apa dia tidak tahu kalau hal-hal seperti itu bisa membuat jantung berdebar? Aku merasakannya sekarang.
"Pokoknya jangan!"
Killian diam dan memandangku dengan dahi yang berkerut. Keheningan yang menyelimuti tiba-tiba terasa mencekam dan suara jarum jam yang bergerak terdengar makin jelas. Seandainya tidak lemas, aku pasti sudah pergi ke kamar sekarang. Aku benci situasi ini.
"Baiklah." Dia berucap dengan tenang dan kembali fokus pada pekerjaannya.
"Hei, Killian. Kalau kau mau pergi nanti sore, pergi saja. Aku sudah meminta Emma untuk datang."
•••
"Kemarin kau baik-baik saja, kenapa sekarang tidak berdaya seperti ini? Pucat sekali."
Suara keripik yang dikunyah Emma sangat renyah. Itu berhasil menggodaku untuk memakannya juga meski tidak bernafsu makan apa-apa saking kenyangnya.
Emma sudah datang sejak dua puluh menit yang lalu. Seperti instruksiku, dia membeli banyak camilan dan beberapa kaleng minuman. Berkat kedatangannya, Killian bisa sedikit bebas dariku. Pria itu pergi tidak lama setelah Emma datang, dan berpesan untuk menghubunginya jika Emma sudah pulang.
Daripada mengganggunya, aku jelas akan memilih meminta Emma untuk menginap.
"Aku akan seperti ini jika terluka. Lihat tangan kananku, tidak bisa digunakan." Aku memamerkan tanganku yang berbalut perban. Perbannya baru, Killian menggantinya sebelum berangkat. Menjelang sore tadi aku tidak sengaja menabrakkan tanganku ke sudut meja hingga lukanya berdarah lagi.
"Itu mengerikan, apa yang terjadi padamu? Kenapa sampai terluka?" Emma meraih tangan kananku pelan-pelan sekadar untuk memeriksanya. "Kalau dibungkus samapi jari-jari seperti ini, pasti lukanya tidak main-main."
"Hanya enam atau tujuh luka karena goresan kaca. Setidaknya itu yang kuhitung dari posisi perihnya ketika Killian meneteskan cairan antiseptik di sana."
Emma menatapku ngeri. "Itu menyakitkan. Aku tidak bisa membayangkannya."
"Ya, mau bagaimana lagi? Sudah terjadi." Aku mengembuskan napas pasrah. "Boleh minta tolong, Em?"
"Memangnya untuk apa aku ke sini kalau bukan menolongmu?"
Aku terkekeh geli karena reaksinya. "Itu ... ambilkan buku agendaku di ruang studio, aku perlu memeriksa pesanan apa saja yang harus diselesaikan lebih dulu. Kalau tidak salah ada di laci."
"Baiklah, kucari dulu."
Emma beranjak dari sofa, dan ketika dia sudah akan menaiki tangga, aku berseru, "Sampulnya warna putih gading dengan gambar gaun ungu."
"Oke, oke."
Sambil menunggu Emma kembali, aku menonton tayangan sitkom di TV. Emma yang bilang kalau itu acara yang menarik, dan aku sukses tertawa karena kelucuan para pemerannya. Karena terlalu asyik menonton, aku sampai tidak sadar kalau Emma sudah cukup lama pergi. Aku mulai bertanya-tanya apakah dia kesulitan mencarinya.
Baru akan kuhampiri, dia sudah kembali dan buku itu berhasil dia temukan. Namun, wajahnya dipenuhi oleh keterkejutan yang luar biasa. Dia seperti baru saja melihat hantu di atas sana, tetapi tidak mungkin itu alasannya.
"Kau kenapa, Em?"
Dia tidak langsung menjawab, tetapi menyerahkan buku itu dan kembali duduk di sebelahku. Tatapan syoknya masih tertuju padaku.
"Serius, kau membuatku takut, Em. Ada apa?"
"Ana, kau dan Killian ... sudah menikah?"
•••
Nah loh, ketahuan Emma. Apa yang dia lihat, ya?
:")
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
1 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top