24 - I'm not ready
Takada yang lebih nyaman selain tidur ketika badan sedang lelah. Awalnya kupikir aku akan segera tidur begitu memejamkan mata. Sayangnya, pikiranku tidak mau bekerja sama dengan tubuh yang lelah ini. Tidak peduli seerat apa aku berpejam, kelopaknya selalu punya cara untuk terbuka. Sekarang aku justru menatap langit-langit kamar bersama pikiran yang berkecamuk.
Aku tidak tahu apa yang membuatku tetap terjaga. Apakah karena aku tidak memberi tahu Killian kalau Jaden batal datang, atau karena di lantai satu Killian masih berduaan dengan Gabby, atau karena ini belum jam tidurku yang biasanya? Makin aku berusaha untuk tidak memikirkannya, semua itu makin menghantuiku.
Kuperiksa ponsel, hanya untuk menemukan baris pemberitahuan yang kosong. Dan benda dengan fitur canggih itu tidak memiliki aplikasi menyenangkan untuk dimainkan sebagai pengantar tidur, jadi aku mengembalikannya ke atas nakas. Setelah beberapa kali membalik badan, aku menyerah. Meski mencoba tidur dalam posisi apa pun, aku tetap tidak bisa tertidur.
Sekarang aku haus. Dengan rasa malas, aku terpaksa bangun. Seingatku masih ada botol air minumku di atas nakas sebelum mencoba tidur. Namun, benda itu sudah tidak ada. Mau tidak mau, aku harus mengambilnya ke dapur. Parahnya, aku harus turun tangga. Aku yakin masih ada orang lain yang enggan naik-turun tangga untuk hal sepele apalagi ketika tubuh sedang lelah.
Aku tidak mengerti kenapa kaki ini justru berhenti melangkah hanya karena menemukan Killian dan Gabby sedang tertawa bersama sambil makan camilan di ruang makan. Tidak ada yang aneh sebenarnya, selain Killian sangat menikmati momen mereka. Kuharap ini bukan rasa iri, tetapi aku tidak tenang melihatnya.
Rasa hausku mendadak hilang. Daripada muncul dan merusak tawa mereka, aku memilih kembali ke kamar. Lagi pula, aku punya wastafel yang airnya bisa kutelan. Kenapa juga harus repot-repot ke dapur?
Sayangnya, baru dua langkah aku kembali, Killian memanggilku. Dia berhasil membuatku kaget karena sudah berada tepat di hadapan saat aku berbalik. Aku sama sekali tidak sadar kapan dia menghampiriku. Dari bahu Killian, aku menemukan Gabby tersenyum sangat senang dan jujur saja, itu mengerikan.
"Aku sudah memutuskan."
Tatapanku kembali tertuju pada Killian ketika dia bicara begitu. Kalimat yang singkat, tetapi mampu membuat pikiranku berkelana ke mana-mana. Kami tidak mendiskusikan sesuatu yang memerlukan keputusan sebelumnya selain tentang rencana perceraian.
Tunggu.
"Memutuskan apa?" Susah sekali meloloskan pertanyaan itu dari kerongkonganku yang kering.
Killian menoleh ke belakang dan memberi senyum yang menawan kepada Gabby. Saat ini, aku benar-benar merasa seperti orang asing untuknya. Jantungku berdegup kencang ketika dia mulai mendekatkan wajahnya. Bukan karena aku merasakan sesuatu kepadanya, tetapi karena rasa cemas. Instingku dengan kuat meyakini bahwa ini bukan sesuatu yang akan terdengar menyenangkan.
"Tentang pernikahan kita," bisiknya.
Aku kaget, tentunya. Pelototan mataku tidak bisa ditahan. Sejak awal dia sendiri yang berusaha menyembunyikan tentang kami, tetapi sekarang dia juga yang membahasnya lebih dulu di hadapan Gabby.
Killian memang tidak mengatakannya dengan suara keras. Sayangnya, menemukan Gabby tidak tampak penasaran dengan interaksi kami membuatku menduga kalau Killian sudah menceritakan sesuatu kepadanya. Maksudku, aku paham betul kalau hal ini akan membuat orang lain penasaran, apalagi bagi Gabby yang statusnya lumayan dekat dengan Killian.
"Kau serius membicarakannya saat ada Gabby?" Aku balas berbisik. Killian sudah memundurkan kembali kepalanya dan tersenyum sangat menawan. Aku sudah sering melihatnya, tetapi kenapa malam ini aku justru terpesona?
"Dia sudah tahu, Ana. Dan aku sudah yakin dengan perasaanku. Aku akan menikah dengan Gabby segera, jadi ayo urus perceraian kita."
Kepalaku seperti baru saja dijatuhi batu besar yang aku sendiri mungkin tidak kuat mengangkatnya, berdenyut dan sakit sekali. Mataku mengabur, kupikir karena pengaruh nyeri di kepala, tetapi karena air mata yang mulai membendung di pelupuk. Semuanya menjadi buram dan bergoyang. Kupikir sebentar lagi akan limbung jika bergerak sedikit saja.
Aku mengerjap beberapa kali demi menahan air mata agar tidak sampai mengalir. "Kau serius?" Aku bahkan tidak tahu kenapa suaraku sampai serak, padahal belum menangis.
"Tentu saja. Aku sudah mencetak surat pengajuannya, hanya perlu ditandatangani. Kita tidak bisa membuang-buang waktu lagi." Killian menjawab dengan mantap. Dia menggeser badan, dengan tangannya menunjuk ke arah Gabby. Oh, wanita itu bahkan mengayunkan selembar kertas yang mungkin adalah kertas yang Killian maksud tadi.
"Bukankah di kesepakatan itu, kita berpisah saat aku juga jatuh cinta?" Aku mengingatkannya, barangkali jatuh cinta sudah membuatnya lupa.
Killian kembali memandangku dengan tatapan kecewa. Hatiku sakit sekali melihatnya seperti ini.
"Jangan menangis, Ana." Setidaknya dia masih punya sedikit rasa peduli dengan menyapukan jempolnya di jejak air mata di wajahku, meski itu tidak cukup untuk membuatku merasa tenang. "Apa kau belum jatuh cinta pada Allen?"
"Dia tidak lebih dari seorang teman, Killian."
"Bukalah hatimu pada orang lain, Ana. Tolong jangan tahan aku untuk mencapai kebahagiaanku."
Jika Killian sudah memohon, artinya dia sangat serius. Dia bukan orang yang sering melakukan itu. Yang berarti, aku tidak bisa menolaknya. Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya, begitu pula sebaliknya.
Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana sendirian di negara orang. Perceraian berarti perpisahan, yang berarti juga aku tidak bisa lagi bergantung pada Killian. Padahal aku belum benar-benar siap untuk situasi ini. Bahkan aku juga tidak sanggup berada di sini lebih lama lagi.
Aku memutar badan, tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya. Langkahku gontai, susah payah menahan keseimbangan karena rasanya ingin terjatuh. Killian terus memanggilku, tetapi kuabaikan. Sampai kemudian Gabby menyusul.
Aku muak, di pertengahan anak tangga, aku memutar badan dan dengan suara lantang menyerukan, "Lakukan saja apa yang mau mau kalian lakukan! Berhenti memanggilku!"
"Tunggu, Ana!"
"Ana."
Aku duduk dan menghirup napas sebanyak-banyaknya. Oksigen memenuhi paru-paruku meski rasanya masih belum cukup. Bisa kurasakan keringat mengalir di pelipis, padahal cuacanya sedang dingin sekarang.
"Ana, apa yang terjadi? Kau bermimpi buruk?"
Killian memandangku dengan wajah khawatir. Dia ada di sampingku, berada di bawah selimut yang sama denganku. Perlu waktu cukup lama bagiku untuk memproses situasi ini, sampai akhirnya menyadari kalau aku baru saja bermimpi. Mimpi yang buruk dan rasanya terlalu nyata. Jantungku saja masih berdebar keras sekali.
Tahu bahwa Killian masih di sini, membelai punggungku, aku sadar dia bukan sedang ingin meninggalkanku. Aku lantas memeluknya erat sekali, seolah-olah dia akan lenyap jika kulonggarkan sedikit saja. Tentu saja Killian langsung membalas pelukanku. Dia selalu seperti ini, selalu ada untukku.
Menghirup aroma tubuhnya membuatku merasa sedikit lebih tenang. Killian terlalu berharga untuk kulepaskan begitu saja. Tidak mudah merelakannya pergi.
"Ana, kau bermimpi apa?" Dia bertanya dengan lembut. Sikapnya jauh berbeda dari yang kutemui di mimpi tadi.
"Mimpi yang buruk dan aku tidak mau mengingatnya lagi," balasku sembari menyamankan posisi dalam pelukannya.
Killian mengerti, dia tidak memaksa untuk bercerita dan tetap mengusap punggungku.
"Ngomong-ngomong, Jaden masih belum datang juga."
Ya Tuhan, aku lupa memberitahunya.
"Dia menginap dulu di tempat tugasnya. Ada kebocoran di sistem keamanannya. Maaf, tadi aku lupa memberi tahu dan tertidur." Tidak akan kukatakan kalau aku tidak bisa mengganggunya dengan Gabby. Tidak dulu membicarakan wanita itu.
"Sudah kuduga begitu," sahutnya pelan. "Ini masih jam 1, ayo tidur lagi. Aku akan memelukmu."
•••
Pagi-pagi saat aku sedang menyiapkan sarapan, bel rumah kami berbunyi. Aku menoleh, ingin meminta tolong agar Killian membukakan pintu, tetapi pria itu sudah lebih dulu beranjak dari meja makan.
Aku meletakkan sepiring berisi omelet bayam untuk Killian ke atas meja. Itu yang terakhir dan sekarang sudah selesai. Rencananya aku mau menyusul Killian, menyambut siapa pun yang bertamu sepagi ini. Apron sudah kulepas dan digantung dekat pintu kamar mandi tamu. Baru akan berbalik, sosok paling menyebalkan di dunia ini sudah muncul di hadapanku.
"Halo, adikku yang cantik!" Dia berseru. Dengan tangan yang terbuka lebar, dia menghampiriku.
Sedangkan aku hanya diam di tempat dan tidak sedikit pun tertarik untuk memeluknya. Wajahnya mulai ditumbuhi rambut-rambut halus dan rambutnya yang panjang itu dikucir. Dia tampak seperti preman dengan mengenakan celana jeans yang bolong di beberapa bagian dan aku kesal karena fitur wajah kami serupa. Aku tidak bisa berbohong dengan mengakui kalau dia bukan saudaraku pada orang-orang.
Dan satu tinju dariku menghantam telak di perutnya yang keras. Meski agak berisi, tetapi pria yang lahir lebih dulu dariku itu punya tubuh yang fit. Dia lumayan sering diajak Killian pergi ke gym. Kurasa itulah salah satu daya tariknya meski berpenampilan tidak rapi.
"Beginikah caramu menyambut saudaramu yang datang dari jauh?" protesnya sembari menekan perutnya dan meringis kesakitan. Namun, aku sama sekali tidak merasa kasihan padanya. Dia sudah membuatku kesal kemarin meski bukan salahnya.
"Itu bentuk kasih sayangku." Aku berucap sarkastik.
"Hei, Killian, sekarang aku mengerti kenapa kau mengusap perutku saat aku berusaha memelukmu tadi." Jaden menjatuhkan tas ranselnya ke lantai dan menduduki kursi makan terdekat.
Kekehan Killian mengalihkan atensiku. Aku tahu kemarin dia tampak sangat tenang setelah dibuat lelah karena harus memindahkan barang-barangnya ke kamarku. Namun, sekarang dia justru tampak jauh lebih senang dan puas saat Jaden meringis kesakitan.
"Hanya berusaha memperingatkanmu, tetapi kau gagal menangkap isyaratnya."
"Kukira kau hanya ingin membandingkan otot perutku dengan milikmu. Karena, ya, aku tidak pergi ke gym sama sekali sejak kau pindah."
Aku membiarkan dua pria berbeda usia itu mengobrol sementara aku menuangkan minum untuk mereka. Untuk sarapan, aku membiarkan mereka mengambil sendiri. Aku menyantap sarapanku dan menjadi pendengar yang baik ketika mereka mulai berbicara tentang pekerjaan.
Sebagai seseorang yang memperkenalkan bidang IT kepada Killian, Jaden tentu paham lebih banyak. Meski begitu, Jaden mendedikasikan dirinya sebagai system and network security. Sesuai artinya, dia bertanggung jawab atas keamanan sistem dan jaringan sebuah program. Berkat pekerjaan itu, dia sering bepergian ke luar negeri dan tidak mengeluarkan uang sedikit pun--kecuali untuk membeli oleh-oleh titipan kami.
Meski sudah bepergian ke sana kemari dan bertemu banyak orang, tetapi dia belum menemukan satu wanita yang menarik perhatiannya. Belum ada satu pun yang dia undang ke rumah. Entah dia yang terlalu menutup dirinya, atau wanita-wanita yang sia temui tidak menganggapnya sebagai pria idaman.
Kurasa kami sama, terlalu gila bekerja.
"Ana, bagaimana kariermu? Lancar?" Jaden bertanya padaku.
"Sejauh ini lancar. Aku punya beberapa pelanggan yang setia."
"Kapan-kapan ajak aku ke sana. Aku mau melihat sehebat apa adikku ini." Jaden menaikturunkan alisnya dan itu benar-benar tampak menyebalkan. Karena alih-alih tersanjung karena pujiannya, itu terdengar seperti ejekan.
"Kapan-kapan? Memangnya berapa lama kau menumpang?" Kedengarannya kasar untuk ditanyakan pada orang yang lebih tua, tetapi seperti itulah interaksi kami.
"Hm. Kira-kira dua sampai tiga minggu."
Aku sukses tersedak makananku sendiri karena jawabannya. Killian buru-buru menyodorkan gelas minuman dan mengusap punggungku.
"Kenapa? Terlalu lama?" sahut Jaden, seperti dia berhasil mendengar apa yang kusuarakan di kepala.
"Tidak. Justru itu terlalu sebentar."
Aku langsung mendelik ke arah Killian karena menjawab seperti itu. Artinya, Killian akan tidur di kamarku selama itu juga. Walau bukan sesuatu yang buruk, tetapi itu akan membuatku kesulitan untuk membiasakan diri jauh-jauh darinya. Killian punya kebiasaan memeluk apa pun yang ada di dekatnya saat tidur, kecuali guling. Dan aku tidak yakin akan tahan menerimanya setiap hari. Takut berujung menjadi kebiasaan baru.
"Sudah sejauh mana usaha kalian?"
Aku dan Killian saling pandang. Killian tampaknya mengerti maksud pertanyaan itu, tetapi aku tidak benar-benar menangkap maksudnya.
"Usaha untuk apa?" Dan aku menanyakan hal itu.
"Apa lagi kalau usaha untuk memberiku keponakan?" Alisnya kembali naik-turun.
Aku kehabisan kata-kata untuk meresponsnya. Otakku bekerja sangat lambat untuk memproses jawaban yang akan kuberi untuk pertanyaan itu. Jahat sekali dia bertanya seperti itu padahal tahu kalau kami tidak saling menginginkan satu sama lain dalam hal asmara.
"Aku tahu kalian bersama karena terpaksa, tapi aku tahu betul kalian tidak akan bertahan jika dipisahkan. Jangan mengelak, kalian tidak akan tahu karena itu belum pernah terjadi." Jaden buru-buru mengangkat tangan ketika aku akan memotong pembicaraannya. "Tadinya aku berharap sesuatu berubah di antara kalian. Dan impianku sejak lama adalah memiliki Killian sebagai adik iparku. Kalian ... bahagia, bukan?"
Aku dan Killian saling pandang sekali lagi. Tidak selama tadi dan aku yang lebih dulu mengakhiri kontak mata. Terlalu pagi bagiku untuk mendiskusikan hal seberat ini. Jadi, sebelum aku mendengarnya lebih banyak, aku berencana untuk segera berangkat.
Aku tersenyum selebar yang kubisa kepada Jaden, berusaha memberi tahu kalau kami baik-baik saja. Dia akan sangat merepotkan jika sedang khawatir. "Seperti yang kau lihat, kami bahagia. Sayangnya, aku tidak bisa mengobrol lama-lama, ada pesanan klien yang harus kuselesaikan. Jadi, aku akan berangkat sekarang."
Aku beranjak dari kursi. Menepuk pundak Killian satu kali dan dilanjutkan dengan memeluk Jaden dari belakang. "Senang kau berkunjung ke rumah, Jaden."
Dengan itu, aku pergi. Kuharap setelah pagi ini, tidak ada lagi pembahasan tentang memiliki anak. Aku sangat tidak siap untuk itu.
•••
:")
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
12 Mei 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top