21 - Lunch

"Sebentar lagi Halloween."

Hanya tiga kata itu sudah mampu membuatku berhenti bergerak. Tadinya aku hendak menusuk jarum pentul pada dua sisi potongan kain di dekat pinggang manekin, tetapi Emma masuk ke ruang belakang dan berhasil membuyarkan rencana gaun yang kubuat. Walau bukan masalah besar, tetapi aku kurang suka diganggu saat sedang fokus.

Namun, apa aku harus memarahinya? Menegurnya karena tidak sopan? Nope. Aku masih bisa melihat lagi rancangannya di buku sketsa. Ya, sesimpel itu. Aku tidak suka keributan. Dan sekarang benda tajam di antara dua jariku sudah kutancapkan kembali ke spons dengan tali yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.

"Maksudku, tiga minggu lagi." Dia mengoreksi.

Aku menghampiri laci di satu sisi ruangan dan mengeluarkan satu binder tebal dari sana. Jari-jariku bergerak cepat membalik halaman demi halaman hingga kutemukan pembatas bertulisan Halloween's Vibe. Itu buku hasil gambaranku, sebenarnya.

"Kau sibuk? Tidak. Oke, jadi aku mau kau memilih beberapa gambar di sini, pastikan tidak ada tanda centang di atasnya, karena itu berarti aku sudah pernah menjahitnya. Um, cari sesuaikan dengan jumlah manekin saja. Untuk di balkon dan di dekat pintu masuk."

Aku menyerahkan buku yang masih terbuka tadi dan langsung ditangkap Emma tepat waktu. Dia tampak kebingungan, tetapi tidak menemukan kata-kata untuk menolak. Itu tergambar jelas dari dahinya yang berkerut.

"Serius aku yang memilih?"

Oh, rupanya itu yang membuat Emma terbengong-bengong atas permintaanku.

"Sorry to say, Em. Tapi penampilanmu selalu menyorakkan aura Halloween, jadi jangan salahkan aku." Aku memandangnya dari atas sampai bawah. Gaya berbusananya tidak jauh-jauh dari warna gelap. Bahkan riasannya pun tidak seterang milikku. Spooky eyes miliknya bisa saja mengusir anak-anak yang baru sekali melihat.

"Ah, aku mengerti. Jangan salahkan aku jika tidak sesuai, oke?" Dia sudah memandangku dengan tatapan skeptis.

"I'm not sure about that."

Emma menghela napas. Dia memandang buku di tangannya sebelum matanya tertuju padaku. Dia menghela napas lagi. Apa memilih mana yang bagus sesuai seleranya sesulit itu?

"Aku serius, Ana."

"Dan aku lebih serius, Emma."

"Well, kau boleh mengejek pilihanku nanti, tapi aku tidak akan mengubah pikiranku." Dia berbalik, sudah siap untuk keluar dari sini.

Namun, aku menahan langkahnya dengan berkata, "Well, kau yang duluan datang padaku dan menyinggung soal Halloween, kukir karena kau siap mengurus semuanya." Aku terkekeh, sengaja menggodanya. Dan ketika Emma mendengkus, aku tahu aku berhasil membuatnya kesal.

Lagi pula, aku benar-benar belum bisa memikirkan apa pun saat ini. Ada beberapa pesanan gaun yang harus kuselesaikan sampai lupa kalau ini sudah bulan Oktober. Melakukan hal-hal yang kucintai memang selalu membuatku terlalu fokus dan lupa banyak hal lainnya. Dan memiliki Emma sebagai partner adalah keputusan terbaik. Dia tidak segan-segan menggangguku untuk mengingatkan hal-hal lainnya, seperti tadi, atau saat aku nyaris melupakan makan siang.

Ah, benar. Aku melirik jam dinding sebelum melanjutkan kegiatanku yang sempat terjeda tadi. Sudah jam dua belas lewat, tetapi gaun ini tinggal sedikit lagi selesai dan aku belum benar-benar lapar. Baik, akan kuselesaikan ini dulu sebelum pergi membeli makan siang.

Aku baru akan menempelkan renda di bagian dada gaun dan jarum pentul pun sudah kujepit dengan dua jari, tetapi lagi-lagi ujungnya yang tajam tidak jadi menyentuh kain ketika pintu ruangan ini terbuka lagi.

"Maaf menggangumu, Ana." Itu Hanah, baru kudengar suaranya dan belum berbalik untuk melihat. "Ada dua orang ingin menemuimu."

Aku mengernyit, rasanya tidak ada yang punya janji untuk bertemu, atau seseorang yang memungkinkan untuk menemuiku. Dan tidak mungkin Allen, karena Emma atau dua pegawaiku yang lain sudah mengenalnya.

"Terima kasih, Hanah. Aku akan keluar sebentar lagi."

"Oke, Ana."

Aku menghela napas berat begitu pintu ditutup Hanah lagi. Takada yang lebih buruk selain diganggu dua kali saat aku sedang mengerjakan gaun. Ingin mengumpat, tetapi orang-orang tersebut tidak bisa disalahkan karena tidak tahu. Mungkin aku perlu membuat papan penanda yang sewaktu-waktu akan kutempel di pintu jika sedang repot dan tidak bisa diganggu.

Kurapikan penampilanku sebentar, melepas ikat rambut yang melilit rambutku asal-asalan tadi, lalu melepaskan spons yang melingkari tanganku. Pertama, aku ingin terlihat rapi saat menemui siapa pun orang itu. Kedua, jarum pentul yang menancap di spons khusus ini akan membahayakan orang lain jika sewaktu-waktu tercabut tanpa disengaja. Tentu aku tidak ingin mengambil risiko dituntut dengan tuduhan lalai.

Terakhir, aku meraih ponsel di atas meja sebelum benar-benar keluar ruangan. Mau tahu apa yang membuat langkahku terhenti sebelum keluar dari konter? Gabby lagi. Tidak sendiri, tetapi ada Killian juga. Setidaknya, bagus pria itu ada di sana. Aku akan bisa sedikit mengontrol agar tidak terlalu tampak kesal karena kehadiran Gabby.

Mereka asyik mengobrol dan sesekali tertawa. Aku agak kesal karena mereka bersenang-senang di sofa untuk pelangganku beristirahat, sedangkan mereka? Belanja saja tidak. Ah, walau Gabby tidak melakukan kesalahan fatal, tetapi rasa tidak suka kepadanya kian meningkat.

"Oh, hai, Ana." Killian berdiri dan mengecup pipi kananku. Dia lebih dulu menyadari keberadaanku setelah aku cukup lama berdiri di dekat mereka.

"Sekarang aku percaya kalau kalian sangat dekat." Gabby berkata begitu dengan tersenyum manis, tetapi aku masih bisa dengan jelas menangkap nada tidak suka di suaranya, atau dia cemburu?

"Dua orang asing tidak tinggal bersama di rumah yang dibeli berdua." Aku membalas dengan nada sarkastik. Dia pikir dekat dengan Killian berarti dia lebih dari segalanya? Hell, aku bahkan menyaksikan pria itu menangis saat giginya tercabut saat makan buah apel.

Beruntung untukku, Killian tidak menentang meski dalam peraturan yang kubuat, untuk cicilan rumah dibayar dengan uangnya saja.

"Kalian membuatku iri." Gabby memeluk lengan Killian dan menempel erat padanya.

Aku mengalihkan pandangan. Jika melihatnya melakukan hal itu tampak sangat menjijikkan di mataku, apa saat aku memeluk Killian juga tampak demikian? Namun, ada perbedaan di antara kami. Aku memeluk karena perlu, Gabby melakukannya karena ingin bermanja pada pria itu. Sekali lagi, itu menjijikkan, tetapi aku masih harus menatap mereka jika bicara.

"Ada perlu apa?" Baiklah, hentikan basa-basinya dan langsung ke tujuan mereka ada di sini.

"Killian bilang ingin makan siang bersamamu, sekaligus mendekatkan kita."

Tahu seperti apa wajahku sekarang? Seperti seseorang yang memakai sepatu baru, tetapi baru keluar rumah saja sudah menginjak kubangan lumpur. Aku kaget dan tidak punya pilihan lain selain kembali ke rumah dan membersihkannya. Tentu saja niat untuk pergi lagi sudah lenyap. Wajahku masam. Begitulah aku yang sangat ingin kembali ke ruangan dan menenggelamkan diri ke dalam kesibukanku.

"Aku tidak lapar." Mungkin itu alasan yang tidak cukup kuat untuk Killian, tetapi aku tidak bisa memikirkan apa pun selain berusaha untuk tidak memamerkan wajah aku tidak suka Gabby pada Killian. Aku tidak ingin pria itu kecewa meski aku tahu itu benar-benar munafik.

Dan decakan keras Killian menghantam gendang telingaku. Dia sangat jarang melakukan itu.

"Itu hanya alasanmu, 'kan? Kau terlalu asyik dengan pekerjaanmu sampai menunda makan. Pegawaimu sudah memberi tahu kalau kau sedang sibuk di dalam, tetapi aku tetap mendesaknya untuk memanggilmu." Killian mendaratkan dua tangannya ke bahuku, hingga membuat Gabby mau tidak mau harus melepasnya. "Aku tidak ingin direpotkan lagi."

Aku tidak ingin direpotkan lagi. Ah, itu terdengar seperti keinginan untuk mengakhiri semuanya. Entah aku yang sensitif, atau memang itu yang dimaksud Killian. Namun, setelah tahu dia ingin bersama Gabby, aku tidak bisa berhenti mengaitkan sikap-sikap Killian yang tidak biasa ke arah itu; bahwa dia ingin segera kami berakhir.

"Ana?" Killian memanggilku.

Aku sadar sepenuhnya saat ini dan sejak tadi, ketika memikirkan semuanya, tetapi karena aku tidak banyak menatap mereka, mungkin aku dikira sedang melamun.

Baiklah, hanya agar tidak membuat Killian merasa direpotkan kalau sesuatu terjadi padaku, aku akan ikut mereka.

"Tunggu, aku ambil barang-barang dulu."

💍

Aku kesal, seharusnya tadi menolak saja. Biasanya aku lebih keras, tetapi telanjur sensitif pada kata-kata yang tadi Killian ucapkan dan aku tidak tahu apa sebabnya. Aku bahkan memeriksa kalender di ponsel dan masih lama sebelum tamu bulanan datang. Dan sekarang aku justru tidak terpakai. Mereka sibuk mengobrol berdua, membiarkanku menikmati pasta dalam diam.

Namun, aku ingat tujuan awal mereka mengajakku. Gabby ingin dekat denganku, tetapi dia justru memperlihatkan kedekatannya pada pria itu. Napasku hangat, kesal ini tidak bisa kutahan-tahan lagi.

Kulepas sendok dan garpuku dan melipat kedua tangan di atas meja. Kebetulan—oh, tidak juga, aku memang sengaja mempercepat makan—piringku sudah kosong.

"Bukankah seharusnya ini jadi momen agar kita bisa dekat?"

Tidak sopan memotong pembicaraan orang, tetapi kalau orang itu Gabby, kurasa baik-baik saja. Dia terlalu banyak bicara, sampai makanannya saja masih tersisa separuh piring. Aku tidak mungkin menunggu sampai dia selesai makan, bukan?

"Oh, maaf, Ana. Nyaris lupa kau ada di sana." Dia terkekeh dan Killian ikut tertawa kecil. Menyebalkan sekali mereka. Kalau ingin berdua saja, kenapa mengajakku pergi juga?

"Aku bisa kembali ke Macy's sekarang kalau keberadaanku tidak benar-benar diperlukan. Tenang saja, aku akan membayar makananku."

Let's be rational. Ini bukan karena merajuk atau semacamnya. Makan siangku sudah selesai, takada alasan untuk tetap berada di sini kalau tidak ada yang perlu kulakukan lagi.

"It's my treat, Ana." Killian memandangku dengan tenang seolah-olah tidak ada masalah jika aku pergi lebih dulu.

Dan itu cukup untuk membuatku menyimpan ponsel ke dalam tas. Aku sudah berdiri dan akan pergi jika saja Gabby tidak meraih tanganku.

"Jangan. Ayo mengobrol sebentar sampai makananku habis. Lagi pula, rumah makan ini jauh dari Macy's. Biar sekalian diantar saja."

Aku duduk kembali dengan tatapan menyelisik ke arah wanita ini. Tidak bagus berpikiran buruk tentang orang lain, tetapi aku cukup terkejut atas sikap baiknya. Kemarin-kemarin dia sudah membuatku kesal karena sikapnya. Itu saja sudah cukup untuk menjadi alasan kalau dia tidak akan cocok denganku. Aku tidak peduli lagi pada aturan masa kecil kami—aku dan Killian—yang adalah aku perlu mengenal teman-teman dekat Killian dan sebaliknya.

"Killian banyak bercerita tentangmu." Ah, itu lagi yang dia katakan. Benar-benar terlalu kaku untuk sebuah proses pendekatan. "Kalian benar-benar sudah sangat lama saling mengenal, ya. Aku tidak pernah punya satu teman yang seperti itu. Mereka pergi begitu aku melakukan kesalahan."

Aw, itu menyedihkan. "Mungkin mereka hanya merasa tidak cocok denganmu. Aku dan Killian bertetangga sejak kecil, dan orangtua kami tidak membiarkan kami bermain ke tempat jauh. Jadi, itulah yang membuat kami dekat."

Gabby menatap Killian dan pria itu membalas. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Aku tidak mengerti apa dasarnya mereka melakukan itu. Cukup lama sampai Gabby kembali menatapku—waktu yang cukup untukku menyesap kembali sisa minumanku hingga tandas.

"Mungkin kau bosan mendengar ini, tapi aku sangat menyukai rancanganmu. Aku sudah beli beberapa dari brand-mu."

"Terlalu tinggi kalau menyebutnya sebagai brand." Aku cepat-cepat menyela. Hanya merasa tidak nyaman saat dia mengatakannya.

"Oke, terserah. Jadi, apa kau juga menerima pesanan gaun pengantin?"

Aku spontan menatap Killian yang ternyata juga menatapku. Tentu saja aku sangat terkejut karena hubungan mereka sudah sejauh itu dalam waktu yang singkat. Killian saja belum memberi tahu kalau sudah menyatakan perasaannya pada wanita itu. Dan aku, bahkan belum menemukan satu pria  pun.

Namun, Killian juga tampak kaget dengan pertanyaan itu, sebab saat berusaha menjawab maksud tatapanku, wajahnya penuh keraguan. Bisa dibilang, mungkin Gabby sudah lebih dulu tergila-gila pada Killian. Kalau soal itu, aku tidak akan heran.

"Tentu saja bisa. Aku senang menjadi bagian dari hari istimewa orang lain." Aku tersenyum, tetapi masih mampu menekankan kata demi kata yang kuucapkan. Hanya agar Killian sadar, bahwa pernikahan itu seharusnya menjadi sesuatu yang istimewa, buka  justru sebuah keterpaksaan seperti situasi kami saat ini.

Sekarang lihat saja bagaimana senangnya Gabby. Senyumnya lebar—terlalu kebar sampai aku khawatir kedua sudut bibirnya robek. Sisa makan siangnya terabaikan lagi. Mungkin dia sudah membayangkan penampakan pernikahan itu di kepalanya, dengan Killian sebagai pasangan dan barisan bridesmaid yang akan menemaninya.

"Kira-kira berapa budget yang diperlukan?"

Kukira ia tidak akan mempermasalahkan uang, tetapi tetap bertanya berapa harganya.

"Tergantung. Kau akan menikah dalam waktu dekat atau masih lama?"

Senyum Gabby luntur dan dahinya berkerut, seperti ada sesuatu yang tidak disukainya dari caraku bertanya. "Maksudnya?"

"Hanya bertanya. Kau perlu kain yang seperti apa, berapa meter panjang kainnya, berapa banyak manik yang akan menghiasi gaunnya, dan model seperti apa yang diinginkan. Kalau dalam waktu dekat, aku bisa memperkirakan harganya. Tapi kalau masih lama atau bertahun-tahun lagi, kau tahulah, harga terus naik. Belum lagi kain yang diinginkan tidak selalu tersedia. Kau hanya memerlukan hasil jadi, sedangkan aku, sebagai orang yang akan kaubayar, harus mempersiapkan bahan mentahnya. Apa bisa dimengerti?"

Sepertinya aku terlalu banyak bicara sampai Gabby tampak kebingungan. Padahal aku yakin sudah menjelaskannya dengan baik dan dengan bahasa yang mudah dimengerti.

"Mungkin aku membuatmu bingung. Kalau mau mendiskusikannya, mungkin sebaiknya kita bicarakan di tempat lain yang lebih sepi." Kuedarkan pandangan ke sekeliling rumah makan. "Sulit bernegosiasi di tempat ramai. Kau tahu sendiri, hargaku mahal, Gabby. Aku bukan mencari keuntungan, tapi aku bisa pastikan kualitasnya akan sangat bagus."

Aku berdiri lagi, bersiap untuk kembali ke Macy's. Gaunku akan selesai jika aku tidak berada di sini terus hanya untuk menunggunya.

"Maaf, aku tidak bisa terus berada di sini, ada pesanan yang harus kuselesaikan. Kalau kau serius ingin memesan, kau tahu bagaimana cara menghubungiku, Gabby. Dan Killian, terima kasih makan siangnya."

***

Selamat menyambut resolusi baru~

Akhir tahun yang padat. Nulis 1 bab ini aja dicicil gak beres-beres. Huft. Hasilnya malah begini, maaf kalau makin gak jelas. Semoga kalian masih bisa menyukai mereka.
Hehe

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
2 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top