2 - Not So Romantic
Mereka bilang, laki-laki dan perempuan tidak bisa hanya berteman. Namun, aku dan Killian sudah membuktikannya selama bertahun-tahun-tidak, nyaris dua dekade. Selama itu tak pernah ada masalah yang melibatkan perasaan di antara kami. Bahkan pernikahan kami pun tidak untuk membuktikan bahwa yang orang-orang bilang itu benar-tentu saja karena kami tidak saling jatuh cinta. Kami hanya terjebak dalam situasi yang agak aneh, kurasa.
Aku dan Killian tak terpisahkan. Sejak pertemuan pertama kami-ketika keluargaku pindah di sebelah rumahnya, kami tak terpisahkan. Entah apa yang membuatku atau Killian betah dengan satu sama lain.
Seperti ketika dia menendang bola hingga mendarat di istana pasir yang kubuat di taman belakang rumah. Atau ketika aku melempar bola-bola salju ke boneka salju yang susah payah dia bangun di samping kotak pos depan rumah. Satu lagi saat labu halloween-ku rusak karena didudukinya yang baru terjatuh dari sepeda. Aku marah besar padanya, bahkan jika mau, aku bisa tidak bicara dengannya selama seminggu lebih. Namun, aku justru bersikap baik kepada Killian esok harinya. Dia pun begitu.
Meski dia satu tahun di atasku, tetapi kami tetap menuntut ilmu di tempat yang sama. Dari kindergarten sampai college. Kami tahu kami menyusahkan satu sama lain, tetapi tidak cukup untuk dijadikan alasan agar kami saling menjauh. Namun, pernikahan?
Aku sadar kami selalu ada untuk satu sama lain dan saling membutuhkan, tetapi membayangkan bahwa kami akan hidup bersama di sisa usia kami, rasanya mengerikan. Aku bahkan belum pernah jatuh cinta, tetapi sudah menikah dengannya. Aku tidak tahu seperti apa rasanya berdebar untuk orang lain, tetapi aku harus bahagia dengan Killian di sampingku.
Seharusnya keputusan ada di tangan kami, tetapi justru tidak bisa berkutik ketika kedua orangtua sepakat menikahkan kami. Ini bukan perjodohan, tetapi sebuah tragedi. Kami tidak melakukan apa-apa yang mengharuskan kami untuk menikah, tetapi Killian ceroboh meletakkan benda pusaka kami-hanya sebuah kotak yang kami miliki sejak kecil, jadi kami menyebutnya seperti itu-dan ibunya menemukan itu saat membersihkan rumah.
Mungkin kami memang mau kena sial waktu itu.
Mobil Killian berhenti di depan teras hotel dan seorang valet segera menghampiri kami. Aku keluar lebih dulu dan disusul Killian. Aku berjalan ke teras hotel, membiarkan pria itu repot sendirian untuk mengeluarkan barang-barang kami. Mungkin ada untungnya memiliki suami, dia yang akan membawa barang-barang ketika bepergian atau belanja bulanan.
"Sudah semua?" tanyaku ketika dia tiba di hadapanku.
"Aku hanya menemukan ini di bagasi. Mustahil kita menjatuhkan sesuatu di jalan, 'kan?"
Aku tersenyum pada Killian dan memegangi tali tas selempangku, tanpa berniat mengambil alih salah satu koper darinya. Lagi pula, Killian juga tidak keberatan menarik dua koper besar sekaligus.
"Jadi, kita ke mana?"
Killian memberiku ekspresi aku tidak tahu apa-apa. "Jaden memberi instruksi apa kepadamu? Aku tidak mendengar kabar apa-apa lagi selain ucapan selamat darinya tadi siang."
"Di saat seperti ini aku lebih suka tidur di kasurku bersama boneka Laa Laa yang bisa kupeluk itu," keluhku ketika kami berjalan menuju resepsionis.
"Maksudmu hadiah di ulang tahunmu yang kedelapan?" Dia terkekeh ringan. "Setua apa itu? Sudah ditambal di beberapa bagian, bukan?"
Aku mendelik padanya, keberatan sekaligus sangat kesal mendengar hinaannya terhadap boneka yang sudah menemani tidurku selama bertahun-tahun. Aku bahkan tidak tahu apakah malam ini bisa tidur nyenyak tanpa benda empuk itu atau tidak.
"Kau menghina pemberianmu sendiri."
"Aku ingat, dan perlu kuakui itu adalah benda terburuk yang pernah kuhadiahkan untukmu."
Lihatlah senyumnya yang menyebalkan itu, ingin sekali kusumpal mulutnya dengan sesuatu. Dia duduk di salah satu sofa di lantai dasar hotel ini, sementara aku terus berjalan sampai berada di depan meja resepsionis.
"Good evening, Miss. Welcome to Hilton Hotel, may I help you?"
"Saya perlu kunci kamar yang sudah dipesan atas nama Luciana Pereira."
Jaden sialan, dia memesan hotel dengan mengatasnamakan diriku. Aku pasti akan merasa malu jika melihat model kamar yang dipesannya nanti.
"Suite room. Nomor 1010." Si resepsionis berkata sembari menyerahkan dua keycard kepadaku.
Senyumku mengembang ketika menerimanya. Aku tidak bisa membayangkan hal lain selain mengganti bajuku dengan baju yang lebih nyaman. Aku juga perlu mandi. Ya, semoga Killian tidak berusaha untuk mandi lebih dulu, karena aku sudah tidak bisa menahan gerah ini lebih lama lagi.
"Thank you."
"You're welcome. And congratulations on your wedding." Senyum wanita resepsionis itu terukir lebar sekali. Aku akan percaya kalau Jaden memintanya untuk mengucapkan itu kepadaku.
Aku membalasnya dengan senyum dan mengangguk satu kali. Setelah itu kembali menghampiri Killian yang sudah tampak sibuk dengan apa pun di pangkuannya.
Dilihat dari belakang, punggungnya tampak sangat lebar. Hasil kerja kerasnya, tentu saja. Aku beberapa kali menemaninya ke gym jika teman-temannya memutuskan untuk istirahat sejenak.
Killian yang kukenal adalah seorang pekerja keras dan perencana yang andal. Di samping sifatnya yang menyebalkan, dia memiliki kelebihan itu. Dia penuh persiapan, bahkan kepindahan kami juga dipikirkannya matang-matang, termasuk di mana kami akan belanja bulanan, seberapa jauh jarak yang harus ditempuh untuk mencapai fasilitas umum. Bahkan dia juga memikirkan satu ruangan dengan pelantang suara di dinding dan kedap suara untukku. Dia tahu aku selalu menyalakan musik saat mengerjakan desain, sedangkan dia adalah penikmat kesunyian.
"Kunci mobilku sudah dikembalikan. Kita langsung ke kamar?" tanyanya sembari menyimpan ponsel ke saku celana.
Aku baru duduk di seberangnya dan menghela napas sebal. "Kau harus tahu apa yang dikatakan resepsionis itu kepadaku."
"Oke. Apa yang dia katakan?"
As expected dari seorang pria Inggris, terkadang aku masih terkejut pada sopan santunnya.
"Congratulations on your wedding!" Aku mengikuti intonasi bicara si wanita tadi dan sedikit melebih-lebihkannya dengan menggerakkan tangan dan tersenyum lebar. Killian pasti mengerti kalau aku sedang kesal.
"Menurutmu, kenapa dia mengucapkan itu kepadamu?" Killian merespons kalem-satu dari banyak alasan yang membuatku betah berada di sekitarnya-tetapi dia tersenyum geli, seperti aku sedang memasang bola merah badut di hidungku.
"Karena Jaden berpikir itu akan sangat berkesan untuk kita?"
"Kau belum melepas aksesoris kepala, Ana. Kau memberi tahu semua orang di sini kalau kita baru menikah," sahutnya diiringi suara kekehan yang lembut.
Aku meraba kepalaku dan tersadar, selain jepit berbandul mahkota, si penata rias juga memasang tudung di belakang rambutku, padahal sudah tidak ada sesi membuka tudung pengantin wanita dan menciumnya seperti saat upacara kemarin. Namun, aku tidak bisa melawan ketika Mom juga berkata bahwa benda itu cocok di kepalaku.
Aku lekas-lekas mencabutnya, untuk kemudian disimpan ke dalam tas selempangku dengan asal-asalan. Aku tak peduli akan sekumal apa kain tipis itu nanti. Yang kupedulikan hanya betapa kesalnya aku pada Killian yang tak berhenti menertawakanku. Parah sekali dia tidak memberi tahu kalau benda itu masih di belakang kepalaku.
"Imbangi langkahku. Kalau terlambat, kau tidak akan bisa masuk ke kamar." Aku mengancamnya.
💍
Aku mual. Sangat mual. Lihatlah bagaimana lantai kamar ini dipenuhi kelopak mawar. Aku sampai enggan berjalan lebih ke dalam kamar meski aroma mawar terasa nikmat di penciuman. Namun, aku benci merah muda, dan warna itu mendominasi ruangan yang kutempati malam ini.
"Kau mau masuk atau tidak? Koper-koper ini menghalangi jalan orang lain."
Aku mundur dan memberi jalan untuk Killian agar masuk lebih dulu.
"Kenapa?" Dia bertanya.
"Aku tidak sanggup masuk ke sana." Aku menjawab dramatis. Tanganku yang terkepal sudah berada di depan mulut dan aku tak berhenti menggeleng kecil.
"Ada hantu?"
"Aku sudah kehilangan kemampuan melihat mereka sejak sepuluh tahun lalu. Ingat?"
Killian merotasikan matanya dan meninggalkanku sendirian di depan pintu. Dia bahkan tidak protes tentang apa pun yang dilihatnya di dalam sana. Seharusnya aku juga seperti itu. Tak perlu mengeluh, yang terpenting adalah aku bisa melanjutkan pekerjaanku. Namun, suasana di dalam sana terlalu romantis, aku sungguh tidak sanggup membayangkannya.
"Ana, masuklah! Takada yang mengerikan di sini!"
Aku menyusul masuk dan berhenti di sebelah Killian. Kami diam memandang kasur yang di atasnya penuh dengan kelopak bunga mawar. Bahkan di masing-masing nakas terdapat lilin aromaterapi berwarna merah muda. Jaden benar-benar memesan kamar ini agar terasa seperti kamar untuk malam pertama.
"Kau ambil sebelah mana?" Killian bertanya sembari melepas kancing lengan kemejanya satu per satu. Dia tampak seksi saat melakukannya.
"Sebelah kiri, aku ingin dekat jendela." Aku menunjuk jendela yang menampakkan pemandangan malam Los Angeles. Tirainya tidak tertutup sepenuhnya. "Boleh kupakai gulingnya? Aku perlu sesuatu untuk dipeluk. Kauambil selimutnya."
"Kau bebas memelukku kapan pun, Ana. Just ask me for it."
Ya. Bahunya sudah banyak menampung air mataku saat menangis. Seperti ketika masa-masa freshman aku harus memakai behel gigi karena gigiku miring terbentur tiang saat bersepeda. Aku tidak cukup cantik dan behel membuat penampilanku jadi seperti orang cupu, padahal aku tidak berkacamata. Kalian tahulah apa yang terjadi setelahnya.
Tinggi Killian 183 senti, sementara aku hanya sebatas dagunya. Aku bisa menyandarkan kepalaku di dadanya dengan nyaman, dan dia rela kupeluk berjam-jam setiap harinya demi melampiaskan tangisan yang kutahan selama di sekolah.
Namun, itu dulu. Makin dewasa kami, makin jarang pula aku memeluknya. Aku ingin membuktikan kalau aku adalah wanita yang mandiri-di samping tidur sambil memeluk boneka Laa Laa tentunya.
"Tidak saat tidur, you silly." Aku mendelik sebal ke arahnya.
"Aw, istriku tidak ingin memelukku." Killian mengerutkan hidungnya dan tertawa renyah kemudian. "Aku atau kau dulu yang mandi? Atau mandi bersama untuk menghemat waktu?"
"Aku saja," sahutku cepat dan menyeret koperku ke kamar mandi.
"Serius, kau membawa koper itu ke sana?" Dia menunjuk koperku dengan remote yang entah sejak kapan digenggamnya.
"Memangnya kau mau melihat pakaian dalamku?"
Tanpa memberinya kesempatan untuk merespons, aku lekas-lekas masuk ke kamar mandi dan menguncinya.
Aku memandang wajah yang kusam dan sudah luntur riasannya. Aku tidak secantik orang lain, tetapi aku juga tidak terlalu jelek untuk pria seukuran Killian. Ada satu alasan kenapa aku menahan diri agar tidak jatuh cinta padanya. Killian punya banyak teman wanita. Tidak, maksudnya ada banyak wanita yang mendekatinya karena dia tampan. Killian terlalu baik dan menerima mereka semua sebagai teman.
Aku pribadi merasa risi jika setiap perayaan pesta ulang tahunnya selalu didominasi oleh perempuan. Aroma parfum mereka terlalu menyengat, dan bervariasi. Hampir setiap orang memakai parfum yang berbeda. Aku tidak tahan dan selalu pulang lebih awal. Namun, Killian akan mengakhiri pestanya lebih cepat demi menikmati kue ulang tahunnya bersamaku.
Itu adalah bukti bahwa kehadiranku tidak bisa digantikan siapa pun.
Tadinya aku berencana ingin keramas, tetapi aku kesulitan menemukan jepit yang menahan gulungan rambutku. Akhirnya aku menyelesaikan mandiku tanpa membasahi rambut. Lalu keluar setelah mengenakan piyama berlengan panjang warna putih dengan motif animasi kucing.
"Hei, Killian."
Ketika kupanggil, pria itu sudah menanggalkan kemejanya, menyisakan kaos abu-abu tak berlengan. Dia juga sudah tenggelam di antara tugas-tugasnya dengan laptop di pangkuan dan duduk bersandar di dinding. Ada satu laptop lainnya yang tergeletak di lantai dalam kondisi menyala.
"Hm?" balasnya tanpa menoleh.
"Aku tidak bisa melepas jepit di rambutku. Tolong?"
Killian melirikku sebentar dan aku segera memberinya tatapan paling memelas. Dia tidak berkata apa-apa dan langsung berdiri setelah meletakkan laptopnya di lantai. Aku menunduk untuk memudahkannya mencari jepit di rambutku. Selama beberapa saat seperti itu sampai dia tidak lagi menyentuh kepalaku.
"Ramuan apa yang kaupakai untuk memanjangkan rambut dalam sehari? Kemarin sebahu, sekarang sepunggung." Killian tidak bodoh sampai menanyakan hal sepele itu. Dia hanya menggodaku, sebab kekehannya adalah musik paling menyebalkan yang pernah kudengar seumur hidupku.
"Hairstylist-nya menyambung rambutku dengan entah rambut milik siapa agar bisa ditata. Sekarang aku tidak tahu bagaimana melepasnya," keluhku sembari menarik-narik rambut, berharap beberapa helainya akan terlepas dari rambut asliku. "Aku hanya berharap si pemilik rambut ini dulunya tidak berkutu."
"Mana mungkin mereka akan memasangnya ke kepala orang lain kalau belum dicuci." Killian merespons sembari membantuku membuka kepangan rambut. Jari-jarinya menyisir rambutku dan aku menjerit beberapa kali ketika rambutku terasa kusut.
"Aku hanya berjaga-jaga, oke?"
Dia hanya merespons dengan gumaman.
"Menurutmu bagaimana cara melepaskan ini?" Aku bertanya lagi kepadanya.
Killian tidak menjawab, tetapi berjalan menghampiri kopernya yang berada di samping nakas sebelah kanan kasur, mengambil beberapa potong pakaian.
"Aku akan memikirkannya setelah mandi." Selanjutnya pintu kamar mandi ditutup dari dalam.
Killian sukses membuatku kesal. Aku sampai tidak yakin kami akan bertahan sampai beberapa tahun ke depan.
Kuikat rambut dan kutarik guling serta satu bantal ke lantai di sebelah kiri kasur. Ketika kami memutuskan akan berada di sebelah mana, itu bukan untuk posisi kami tidur di kasur, melainkan tempat untuk kami mengerjakan tugas. Berkas-berkas kami sudah pasti akan sangat berantakan. Lihat saja bagian Killian, ada dua laptop dan beberapa jilid buku. Belum lagi setelah ini aku akan mengeluarkan buku sketsa dan beberapa buku katalog fashion.
Lagi pula, tidur di lantai beralas karpet di antara tumpukan tugas kami rasanya akan lebih nyaman daripada berbagi tidur di satu kasur.
Ketika pasangan pengantin baru memiliki harapan lebih pada malam pertama mereka, tetapi inilah kami, menikmati malam pertama dengan harapan pekerjaan kami akan selesai tepat waktu.
***
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
19 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top