19 - Jasmine

Aku menarik napas sebanyak mungkin begitu Allen melepas tanganku. Dia juga terengah, tetapi masih sanggup menertawakanku. Dan aku tidak bisa melawan karena sudah jelas aku jauh lebih payah darinya. Mungkin dia sering berolahraga, itulah yang membuatnya memiliki lebih banyak stamina daripada aku.

"Kau kejam." Aku melayangkan tatapan tajam padanya. Apa pun reaksinya, kuharap bukan senyuman. Bisa jadi dia sadar kalau senyumnya indah, tetapi aku juga manusia yang memiliki batasan-batasan. Terlalu sering melihatnya tersenyum, tidak menutup kemungkinan aku akan jenuh dan berujung muak melihatnya.

"Maaf, maaf. Aku hanya tidak ingin ditinggal bermain." Allen melayangkan tatapannya ke lapangan, di mana ada banyak pria yang sudah berkumpul di tengah lapangan.

Dia membuka jaketnya, memamerkan atasan jersey berwarna biru gelap tidak berlengan dengan garis putih di beberapa bagian, sama seperti milik pria lain di lapangan. Mungkin mereka sudah lama bermain bersama. Dan keseragaman jersey itu membuktikan bahwa mereka tetangga yang kompak. Jarang sekali aku menemukan lingkungan seperti ini.

Allen menyampirkan jaketnya ke bangku panjang terdekat. Tidak hanya miliknya di sana, kurasa milik pemain lain juga. Dengan posisi yang membelakangiku, aku bisa menemukan namanya dan nomor punggung 17 yang dicetak besar, nyaris memenuhi separuh punggungnya. Aku mulai penasaran asal-usul kenapa dia memilih nomor itu, tetapi aku juga tidak ingin bertanya. Lagi pula, kami belum cukup dekat untuk aku tanyakan hal-hal remeh-temeh.

Dia berbalik menatapku dan tersenyum lagi. Aku bukan orang yang banyak tersenyum, tetapi sejak mengenal Allen, aku harus sering-sering tersenyum.

"Aku akan bermain, kau bisa datangi stan apa pun, dan buat dirimu santai di sini, mereka orang-orang yang ramah. Aku akan langsung menghampirimu setelah selesai dua babak."

Well, aku sudah tahu akan ditinggalnya, tetapi tidak juga berusaha untuk memikirkan apa yang akan kulakukan setelah ini. Kebiasaan saat pergi bersama Killian, dia yang akan memperkenalkan orang lain padaku. Kalau diingat-ingat lagi, ternyata aku manja juga. Ah, lagi pula, Killian sendiri yang berinisiatif melakukannya. Dia berkenalan dengan orang lebih dulu, berbicara sebentar, lalu memperkenalkannya kepadaku. Selama Allen bermain, aku yakin takada yang kulakukan selain menonton dan ya, membeli beberapa makanan.

"Oke. Aku akan tetap di sini dan menontonmu sampai selesai."

Kurasa aku baru saja membuatnya senang. Matanya berbinar dan senyumnya makin lebar saja. Aku heran bagaimana bisa dia tahan melakukan itu.

"Enjoy yourself."

Aku berjengit kaget ketika telapak tangannya mendarat di atas kepalaku. Ini kali pertama orang yang tidak cukup dekat denganku melakukannya. Rasanya aneh dan aku tidak bisa menebak apa maksudnya.

Biasanya Dad melakukan itu jika aku mendapat pencapaian yang baik, Jaden melakukannya untuk menggangguku--kakak yang kurang ajar memang, sedangkan Killian melakukannya sebagai bentuk kasih sayang--seperti ketika saat memelukku, atau ketika aku meminjam bahunya untuk menumpahkan air mata. Parah, harusnya aku merasa kesal dan bukan malah mengingatnya.

Allen sudah menghambur bersama timnya. Berada di antara pria yang membiarkan wajahnya ditumbuhi rambut halus membuatnya tampak menjadi yang paling muda. Walau tidak semuanya, tetapi aura pria yang sudah menjadi ayah dan belum itu akan terasa perbedaannya.

Setelah bermenit-menit berada di sini, aku baru sempat menyapu sekitar dengan pandanganku. Ini bukan berarti atensiku hanya terpusat pada Allen saat pria itu berada di dekatku, aku hanya, kau tahu, sedang berusaha beradaptasi dan kebetulan dia memang membuat perhatianku terus kembali padanya. 

Di satu sisi lapangan—dan itu adalah tempatku berpijak sekarang—penuh oleh meja-meja yang di atasnya berisi makanan dan minuman, ada beberapa kursi panjang juga untuk diduduki. Aku tidak tahu apakah itu dijual atau memang disediakan untuk orang-orang yang hadir di sini. Namun, tidak ada yang menjaga meja tersebut. Hanya ada beberapa orang yang meletakkan makanan di sana dan pergi kemudian.

Di sisi lain lapangan lagi adalah tempat orang-orang berkumpul untuk menonton. Tidak hanya pria, tetapi wanita juga. Mulai dari yang sudah berumur sampai para remaja. Sepertinya minggu olahraga seperti ini memang rutin dilaksanakan semua orang yang tinggal di daerah ini penuh semangat untuk menghadiri.

Selain orang dewasa, anak-anak juga turut meramaikan. Sorakan mereka terdengar dari lapangan sebelah, yang lebih kecil dan sepertinya dirancang khusus untuk mereka. Di dekat lapangan juga terdapat kolam kecil yang dikelilingi beragam tanaman. Beberapa anak perempuan berada di pinggirannya, mencelupkan kaki ke air dan sesekali saling menyiram satu sama lain.

Dari banyaknya orang yang berkumpul di sini, tidak satu pun yang kukenal selain Allen.

Peluit yang ditiup panjang mengagetkanku. Kupikir itu pertanda kalau permainan akan dimulai. Dan benar saja, orang-orang yang berada di lapangan sudah terbagi menjadi dua tim. Satu sisi berseragam warna merah, sisi lainnya berwarna biru, di situlah Allen berada. Mereka berbaris saling berhadapan dengan jarak yang tidak terlalu jauh, tetapi cukup untuk dilewati wasit yang dengan membawa bola basket.

Aku tidak terlalu suka permainan bola basket. Takada alasan khusus, aku hanya tidak terbiasa menonton pertandingannya. Dan Killian, lebih sering bermain sepak bola daripada basket, tentu saja aku sering menontonnya bertanding. Itu membuat kakinya kencang dan berotot. Jadi, jangan heran kalau aku akan protes saat dia melingkarkan kakinya di kakiku saat tidur.

Sang wasit melemparkan bola jingga itu ke udara sambil meniup peluitnya. Semua pemain berupaya untuk menangkapnya dan berhasil ditangkap Allen. Kurasa dia pemain yang andal, meski aku tidak tahu apakah permainan basket diukur dari kecepatan menangkap atau bagaimana. Namun, aku tidak akan langsung menyebut dia hebat karena belum melihatnya melakukan three point shot.

Allen berhasil menggiring bola sampai mendekati ring--tentunya setelah beberapa kali saling meng-over bola ke rekan satu timnya--tetapi pihak lawan tidak tinggal diam dan berhasil mengambil alih bola setelah mengecohnya. Ada dua orang yang berjaga ingin merebut bola darinya dan ketika Allen sibuk menyingkirkan bola hingga terlepas dari tangannya, satu orang dari tim lawan yang berada di belakangnya segera menangkap bola tersebut. Tim lawan bergerak dengan gesit dan berhasil mencetak skor.

Yang tadi itu benar-benar sangat intens hingga aku nyaris menahan napas ketika tim lawan hendak melemparkan bolanya ke ring. Aku tidak pernah tahu kalau pertandingan basket akan seseru ini juga. Para penonton bersorak ketika skor demi skor dicetak, entah itu dari tim Allen atau tim lawannya. Sampai saat ini tim lawan unggul dengan perbedaan skor yang sangat tipis.

Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana mereka menghitung skor, yang pasti aku melihatnya dari papan skor yang berada di salah satu sudut lapangan.

Atensiku teralihkan ketika anak kecil memekik sangat nyaring di dekatku. Saat aku melihatnya, dia sedang menarik-narik ujung kain gaun yang aku yakin adalah milik ibunya. Karena, ya, memangnya balita mana yang akan merengek di tempat umum seperti itu jika bukan kepada ibunya.

"Sebentar, Sayang. Mom selesaikan ini dulu," sahut wanita itu sembari mengusap puncak kepala balita yang bergender perempuan itu. Dia duduk di bangku panjang dengan memangku buku dan ada pensil di tangannya.

Aku masih memperhatikan mereka lamat-lamat, tepatnya pada cara wanita itu dengan sabar menenangkan putrinya. Anak-anak memang sangat merepotkan, bahkan dia mengganggu ibunya yang sedang menggambar. Namun, di satu sisi aku juga merasa kasihan melihatnya tidak bisa menyelesaikan kegiatannya karena terus diganggu.

Aku melihat sekitar dan menemukan sebuah kotak pendingin besar di ujung tepi lapangan. Kupikir ada es krim di sana, jadi aku menghampiri kotak tersebut. Dan benar tebakanku. Aku meraih dua es krim berwadah. Satu rasa cokelat, satunya lagi stroberi. Aku tidak tahu seperti apa selera anak kecil, tetapi aku suka keduanya sejak kecil, jadi kubawa saja dan biarkan dia memilih nanti.

"Hai, Cantik," sapaku sembari berjongkok di sebelahnya. 

Dia menoleh ke arahku, memperlihatkan wajah memerah yang berlinang air mata dan hidungnya nyaris menyerupai tomat. Dia benar-benar menggemaskan, aku sampai tidak tahan untuk tidak mencubit pipi tembamnya. Dia sudah tidak menangis lagi, tetapi masih sesenggukan. Kau tahu, itulah yang terjadi ketika kita terlalu lama menangis.

"Mau es krim?" Aku tersenyum semanis yang kubisa. Meski tidak bisa bertutur kata dengan lembut, tetapi setidaknya aku tidak tampak menakutkan di matanya. Dan ketika dia mengangguk, perasaanku menghangat. Ini pencapaian baru dalam hidupku; menenangkan anak kecil menangis. Aku jarang bertemu anak kecil, jadi aku tidak cukup terbiasa berada di antara mereka. "Mau yang mana?"

Aku menodongkan dua wadah es krim itu padanya dan menunggu dia mempertimbangkan pilihannya, hingga akhirnya dia menunjuk rasa stroberi. Aku membuka wadah yang itu dan menancapkan sendok kecil ke atasnya. Setelah dia menerima, aku mendudukkannya di kursi, tepat di sebelah ibunya.

"Untukmu," ujarku sembari menyodorkan es krim satu lagi pada wanita tadi. Dia tampak ragu menerimanya, jadi aku lekas-lekas berkata, "Aku tidak terlalu suka mengonsumsi yang dingin-dingin selain di musim panas."

"Terima kasih," balasnya dan menerima es krim cokelat itu, tetapi hanya dia letakkan di sebelahnya. "Kau orang baru?"

Aku mengangguk ringan. "Baru dua bulan di sini."

"Oh. Aku Jasmine dan balita ini Cecil, putri pertamaku." Dia mengulurkan tangan dan tentu saja aku dengan senang hati menjabatnya.

"Luciana. Dan belum punya anak." Oh, bukankah belum berarti akan memiliki satu? "Maksudku, aku tidak akan memilikinya dalam waktu dekat."

"Kau kenal Allen?"

"Yap. Dia orang pertama yang kukenal saat pindah ke sini."

"Dia banyak bercerita tentang tetangga baru dan berkata kalau kita akan cocok, jadi kupikir itu kau." Dia mengatakan itu sembari menyapukan es krim yang belepotan di sekeliling pipi Cecil. Sungguh adegan sederhana yang membuatku merasakan aura keibuan menguar darinya.

"Oh, benarkah?"

Dia tersenyum ramah dan kurasa aku menemukan satu lagi orang baik di negeri ini. "Kau seorang desainer, 'kan?"

Wow, aku benar-benar tidak menduga akan mendengar pertanyaan itu darinya. Aku bahkan masih merasa belum pantas mengakuinya karena masih banyak proses yang harus kulewati, tetapi, ya, aku memang salah satunya.

"Desainer kecil, lebih tepatnya."

"Tetapi kau mendapat tempat di Macy's. Itu luar biasa asal kau tahu. Lihatlah aku, masih berusaha meraih mimpiku." Dia menunjukkan lukisan abstraknya yang luar biasa. Meski kelihatannya dia hanya mencoret-coret asal di buku, tetapi aku bisa melihat dengan jelas apa yang sedang digambarnya. Itu adalah orang-orang yang bermain di lapangan.

"Lukisanmu luar biasa." Itu bukan pujian omong-kosong, tetapi aku memang merasa dia sehebat itu.

"Aku bermimpi menjadi seorang pelukis dan mempunyai pameran sendiri, tetapi impian itu pupus saat aku menikah dan mempunyai anak." Dia memandang putrinya dengan tatapan sayu, tetapi tetap tersenyum. Antara menyesal atau justru berbahagia memilikinya, tidak bisa kuartikan.

"Aku sudah menduga kalau mereka akan merepotkan, kau harus membagi antara mengurusnya dan meraih cita-citamu."

Jasmine hanya mengangguk dan senyumnya sudah luntur. Aku jadi merasa tidak enak karena takut itu akan menyinggungnya. Bisa-bisanya aku berkata demikian kepada seseorang yang sudah memiliki tanggungan.

"Awalnya aku juga berpikir begitu."

Aku merasa ada tapi di sana.

"Namun, takada batasan waktu untuk meraih cita-cita selagi kita mampu dan bertekad penuh. Perempuan menikah bukan berarti dia tidak boleh melakukan hal lain selain mengurus suami dan anak. Ayolah, kita hidup di era modern, itu sebabnya perlu perencanaan sebelum menikah. Mungkin di beberapa kasus akan ada suami yang keberatan jika kau terlalu sibuk dengan urusanmu hingga mengabaikan kebutuhannya. Tapi jangan sampai itu terjadi pada kita. Lihatlah, Cecil."

Aku mengikuti ketika pandangannya beralih pada gadis kecil yang masih sibuk dengan es krimnya.

"Gadis kecilku bisa jadi penghibur ketika proses kita terhambat. Meski melukis adalah cita-citaku, tetapi ada saatnya aku akan jenuh melakukan sesuatu yang itu-itu saja. Dan ketika kau melihat senyum orang-orang terkasih, semua kejenuhan itu lenyap dan motivasimu kembali. Lagi pula, akan lebih membahagiakan jika merayakan pencapaianmu bersama mereka daripada sendirian."

Aku tidak pernah memikirkan itu, sungguh. Namun, bukan berarti aku akan mempertimbangkan akan memiliki anak bersama Killian. Tidak. Untuk saat ini aku masih nyaman dengan situasiku sekarang. Aku tak perlu mengkhawatirkan apa-apa dan masih bisa fokus dengan proses yang harus kutapaki.

"Tapi, selagi masih sendiri, kita akan lebih fokus melakukan hal-hal yang kita inginkan. Takada salahnya menikah nanti, tetapi kalau kau sudah menemukan seseorang yang tepat, jangan buat dia menunggu."

Persis seperti yang kupikirkan; fokus pada diri sendiri selagi masih sendiri. Walau dalam kasusku, aku tidak benar-benar sendiri. Aku sudah menikah dan tercatat oleh negara. Kami memutuskan tidak memakai cincin agar tidak terus diingatkan tentang tragedi mengerikan itu.

"Kau membuka pandanganku." Hanya itu yang bisa kukatakan kepadanya. "Terima kasih."

"No problem. Aku hanya suka membagikan apa yang kupikirkan. Dan ... apa kau sudah punya kekasih, Ana?"

Wow. Terlalu cepat untuk sampai ke topik itu.

"Tidak. Aku masih terlalu fokus dengan karierku."

Jasmine mengangguk lagi dengan mulut yang membulat kecil. Aku kira dia akan merasa tidak enak padaku karena perbedaan mindset, tetapi dia masih sama ramahnya dengan saat kali pertama kami bicara.

"Itu pilihan, lakukan apa saja yang membuatmu nyaman."

Dan itu mengakhiri obrolan kami. Aku tidak tahu akan berkata apa lagi, jadi kembali kulayangkan tatapanku ke lapangan. Entah kebetulan atau bagaimana, Allen kebetulan lewat di depan kami dan melambai sambil mengedipkan sebelah mata. Aku tidak tahu dia melakukannya pada siapa, tetapi saat kulihat Jasmine, dia tidak menyadari itu dan sibuk mengurus putrinya.

"Bagaimana kalau kupasangkan kau dengan Allen? Dia sudah terlalu lama sendiri."

Eh?

***

Maaf update-nya lama-lama sekali. Tapi karena Kamis dua hari lagi, aku akan berusaha agar update lagi di hari itu. Hehe.
So, enjoy keabsurdan ini~

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
21 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top