18 - The Weekend

#4
Tidak boleh melarang satu sama lain untuk pergi dengan seseorang yang disuka.

•••

Satu lagi akhir pekan yang kunanti-nanti, juga satu-satunya hari di mana aku bisa bersantai di rumah dan memercayakan Emma untuk mengurus semuanya di Macy's. Pagi ini, setelah menyelesaikan rutinitas, aku menikmati semangkuk sereal di depan TV ruang tengah. Aku sedang tidak ada mood untuk sarapan bersama Killian hari ini--takada alasan khusus, hanya tidak ingin.

Seperti biasa, Killian menghabiskan paginya dengan jogging di sekitar blok dan pulang bermandikan peluh. Aku penasaran apakah dia melakukannya sendirian, atau dengan tetangga, atau apakah dia bertemu seseorang dan berkenalan dengannya untuk sekadar bersosialisasi. Karena dia tidak pernah menceritakannya, aku tidak tahu.

Baru kupikirkan dan dia sudah pulang. Suara pintu yang dibuka dan ditutup adalah bukti agar aku tidak perlu repot-repot beranjak ke ruang tamu. Maksudku, siapa lagi yang akan masuk ke rumah ini tanpa salam jika bukan kami sendiri sebagai penghuninya?

Selanjutnya suara aktivitas dari peralatan makan yang kudengar. Dia cukup lama di sana sampai kukira sekalian makan di sana. Namun, beberapa saat kemudian, aroma masakanku tercium--bahkan aku tidak tahu kalau sewangi itu aromanya saat dimasak. Dan Killian tahu-tahu muncul lalu duduk di sebelahku.

"Kenapa tidak sarapan bersama?" tanyanya. Dia melirik mangkuk serealku yang sudah kosong saat aku menatapnya.

"Malas," sahutku sekenanya.

Aku meraih remote, menekan tombol volume naik agar suaranya tidak teredam oleh suara obrolan kami, kebetulan aku menemukan acara yang seru pagi ini.

"Kau marah padaku?"

Dahiku spontan berkerut karena pertanyaan itu. "Kenapa aku harus marah padamu?"

"Karena aku menyelinap masuk dan tidur denganmu beberapa hari ini mungkin?"

Killian nyengir ketika kulayangkan tatapan tajam padanya. Pria yang sering kali panik jika aku kesal padanya ini pun mulai merunduk dan mendaratkan kecupan di bahuku--kalau dulu, dia akan memelukku agar aku tidak jadi marah, tetapi sekarang dia sudah melakukan yang lebih dari itu. Well, dia mungkin menikmati ketiadaan batasan kami sebagai suami istri. Dan aku tidak membencinya melakukan itu.

"Kau tampak seksi dengan gaun tidur seperti ini, Ana."

Bibirnya cukup lama berada di sana, entah menunggu aku mendorong wajahnya atau dia hanya belum puas melakukannya. Bibirnya hangat, aku tahu karena langsung menyentuh permukaan kulitku. Pagi ini aku masih memakai gaun tidur berbahan satin dengan tali tipis untuk digantungkan di masing-masing bahu. Sebenarnya aku jarang tidur dengan mengenakan pakaian seperti ini, tetapi baru-baru ini aku baru tahu kalau gaun itu cukup nyaman dipakai saat tidur.

"Cepat habiskan sarapanmu," tegurku sembari mendorong wajahnya dengan bahu. Lama-lama risi juga dia terus melakukan itu.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Demi mangkuk kosong yang siap kudaratkan di atas kepala Killian ini, aku tidak ingin membahasnya. Aku tidak menolak dia melakukan itu, tetapi juga tidak ingin membiarkan dia terus melakukannya. Orang-orang tentu akan setuju jika tidur dalam pelukan seseorang itu sangatlah nyaman. Dan aku khawatir akan berujung ketagihan.

"Apa yang harus kujawab? Kau mau kita berdebat lagi?" sahutku sembari menggeser badan menjauhinya. "Awas, piringnya mau jatuh!"

Killian terlalu sibuk memandangku sampai-sampai piring di tangannya mulai miring dan bisa terjatuh andai aku tidak segera menegur.

"Berdebat adalah ide yang buruk. Tapi aku harus tahu apa kau merasa terganggu atau tidak. Karena jujur saja, aku kesulitan untuk tidur akhir-akhir ini."

Dia kembali sibuk dengan sarapannya, sementara aku memandangnya lamat-lamat, mencari keseriusan di sana. Killian memang akan begitu jika mencoba untuk tidur normal setelah kebanyakan begadang. Kau tahu, seperti sedang meninggalkan kebiasaan lama untuk mencoba sesuatu yang baru. Kalau dulu, Jaden yang akan menemaninya tidur. Kakakku yang satu itu menentang keras kami tidur berdua, karena dia tahu Killian sedang berkencan dan tidak ingin sesuatu terjadi.

Kau tahu, hormon para remaja dan rasa ingin tahu yang membumbung tinggi adalah kombinasi yang mematikan.

"Lalu? Apa kaupikir aku punya cara untuk membuatmu tertidur dengan nyenyak?" Sebenarnya aku tahu dia hanya perlu teman untuk tidur, tetapi aku sedang tidak dalam mood untuk mengabulkan semua keinginannya begitu saja.

"Hanya memelukmu. Itu saja."

"Kenapa tidak numpang menginap di tempat Gabby?" Aku tidak suka menyebut namanya, sungguh. Bukan apa-apa, dia hanya telanjur memberi kesan pertama yang buruk.

Kurasa Killian memberi reaksi yang sebaliknya. Tubuhnya menegak, sebuah reaksi yang akan orang-orang tunjukkan ketika menemukan sesuatu yang menarik. Dan kedua matanya membola, bukti bahwa dia tidak terpikirkan itu sebelumnya. Lihat saja, dia mempercepat kunyahan hanya untuk bertanya, "Menurutmu dia mau jika kuminta menginap?"

"Tanya saja orangnya langsung. Aku mana tahu."

Killian aneh. Daripada menanyakan itu padaku, kenapa tidak langsung dia hubungi saja? Kan, aku jadi bertambah kesal.

Kami diam cukup lama setelahnya. Kubiarkan Killian menuntaskan sarapannya, sementara aku melanjutkan menonton TV. Kupaksa diriku untuk menikmati acara yang memamerkan keunikan desain interior rumah orang, sebelum kemudian beranjak dari sana untuk mencuci mangkukku dan peralatan makan bekas Killian makan. Pagi ini aku menghabiskan sereal sampai takada satu tetes susu pun yang tersisa. Mungkin aku terlalu lapar tadi.

"Baik, aku sudah memikirkannya, akan kuajak dia makan malam di rumah dan memintanya tetap tinggal sampai besok."

Aku tidak tahu apakah Killian bicara padaku, atau hanya menyuarakan pikirannya. Dia juga tidak tampak mengharapkan respons apa-apa ketika yang kulakukan hanya bergumam. Well, at least aku menghargainya.

Lagi pula, rumah ini bukan hanya milikku, tetapi milik berdua. Aku tidak bisa melarangnya atau membatasi dia melakukan apa di rumah ini. Dengan fakta yang menyebalkan itu, kurasa aku akan sering berada di luar jika Gabby datang. Maksudku, tidak mungkin mereka akan diam saja jika bertemu. Dan aku juga tidak ingin tampak kasihan karena diabaikan.

Karena memikirkan akan pergi ke mana, aku jadi ingat ini hari Minggu. Seperti yang pernah Allen ceritakan, di lapangan depan komplek biasa diadakan olahraga kecil-kecilan. Aku ingat pernah berjanji akan membawa Killian ke sana. Namun, karena kesibukannya, kami tidak jadi pergi.

"Killian, sore ini kau tidak sibuk, 'kan?" Saat kuperhatikan, dia sudah asyik memainkan ponsel.

"Tidak. Kenapa?" balasnya tanpa menatapku. Aku tidak suka ketika orang yang kuajak bicara fokus pada hal lain, tetapi aku tidak ingin marah-marah sepagi ini. Apalagi kali ini dia memang sudah lebih dulu sibuk memainkan ponsel.

"Ayo ke lapangan depan, aku selalu batal mengajakmu ke sana. Kurasa kita perlu bersosialisasi dengan para tetangga. Tapi kau tahu aku tidak pandai memulainya lebih dulu, 'kan?"

Besar harapanku agar Killian menerima ajakanku. Sudah dari dua minggu lalu aku ingin ke sana, dan semangatku justru menciut saat tahu Killian tidak bisa ikut. Ya, walau mungkin aku akan bertemu Allen di sana, tetapi rasanya akan berbeda.

"Hm. Oke." Hanya seperti itu responsnya, lagi-lagi tanpa melihatku.

Aku mendesah keras, sengaja ingin menunjukkan kekesalanku padanya. Namun, Killian sudah benar-benar tenggelam dengan benda canggih itu dan sesekali menyunggingkan senyum. Aku mulai mengira kalau dia sedang berkirim pesan dengan Gabby. Ya, kalau sudah seperti itu, takada gunanya aku tetap duduk di sini dan berharap akan mengobrol dengannya.

💍

Sekitar pukul empat sore, aku sedang direpotkan dengan hair dryer dan rambutku yang pendek. Kurasa aku salah membeli sampo hingga susah sekali keringnya. Ini akan membuat Killian menunggu lama karena aku juga memintanya untuk bersiap saat aku baru mau mandi tadi. Sebenarnya tidak masalah, Killian tidak biasa protes dan selalu punya cara untuk membunuh waktu jika harus menungguku.

Satu ikat rambut melingkar di pergelangan tangan kiriku. Aku putuskan untuk tidak meniup rambut dengan mesin sampai benar-benar kering. Ya, demi menghindari kerusakan rambutku. Dengan berbalut celana jogger hitam dan atasan hoodie longgar warna abu-abu, aku mengikat tali sepatuku yang berwarna putih. Meski tidak ikut berolahraga, setidaknya aku tidak salah kostum.

Aku baru membuka pintu kamar dan sudah terlonjak kaget karena mendapati Killian berada di depanku. Aku hampir menabraknya jika saja dia tidak melangkah mundur. Dahiku berkerut saat menyapu penampilannya dari kepala sampai kaki.

"Tidakkah pakaianmu berlebihan?"

Alih-alih disebut siap berolahraga, Killian justru berpenampilan casual, seperti pria yang punya rencana untuk mengajak seseorang pergi. Aku tahu dia akan pergi denganku, tetapi aku justru malu datang bersamanya.

"Aku tidak bisa ikut."

Aw, seharusnya aku bisa menebak itu akan terjadi.

"Kenapa?"

"Anggotaku mengajak untuk berdiskusi. Rencananya akan ada proyek baru untuk situs penjualan furnitur, jadi kami ingin memastikan berapa orang yang harus terlibat dalam proyek itu." Killian tampak semringah, seperti tidak ada sedikit pun rasa bersalah karena lagi-lagi membatalkan janjinya.

"Diskusi dengan penampilan yang sekeren ini?" Aku menunjuk sneakers-nya untuk mewakili istilah keren dari penampilannya.

"Gabby juga anggota tim, kupikir aku bisa sekalian mengajaknya nonton atau makan malam. Oh, dan aku juga tidak ingin tampak buruk di matanya."

Satu lagi janji yang dibatalkan Killian. Sayangnya, aku tidak bisa melarang karena itu sudah tercantum dalam kesepakatan yang dibuatnya. Aku setuju karena kupikir aku juga akan menemukan seseorang yang spesial untukku. Tentu saja aku tidak ingin dia melarangku juga.

"Oh." Hanya itu yang kuberikan sebagai reaksi. "Bagaimana denganku?" Walau hanya pertanyaan biasa, tetapi untuk saat ini aku merasa sangat menyedihkan. Meski yang sebenarnya terjadi adalah, aku benci ketika Killian lagi-lagi membatalkan janjinya denganku.

Aku tahu dia ingin sering-sering menemui Gabby, tetapi apa harus menyita waktu yang seharusnya untukku? Aku bahkan tidak minta apa-apa selain ditemani ke lapangan depan komplek. Kurasa, ada perubahan di daftar prioritas Killian. Dan posisiku sudah digeser oleh wanita fashionista itu.

"Kau bisa pergi sendiri atau tidak jadi pergi saja. Maaf, aku tidak bisa melewatkan yang satu ini."

Pada akhirnya aku hanya menghela napas, menyadari bahwa aku tidak memiliki kesempatan untuk membujuknya. Killian dan perasaannya pada Gabby adalah dua hal yang tidak bisa kutembus.

Aku melangkah keluar kamar dan tidak lupa menutup pintunya. Sambil menyematkan airpod ke telinga, aku meninggalkan Killian yang masih berdiri di sana. Ah, aku harus segera pergi dari sini sebelum menumpahkan kekesalanku padanya. Dan langkahku makin cepat saat tahu Killian mulai menyusul.

"Ana, kau marah?"

"Tidak," balasku sembari menuruni tangga, tidak sedikit pun aku berbalik untuk melihatnya.

"Kau marah."

"Ya, karena kau membatalkan janji lagi, seperti tidak ada waktu lain saja."

"Tapi ini penting untukku."

"Aku tahu. Jadi, pergilah dan jangan ikuti aku."

Bagus. Killian menurut, tidak lagi membuntutiku. Aku berlari kecil demi segera tiba ke pintu depan. Ini lebih baik, daripada melihatnya terus ketika rasa kesal menguasaiku. Bisa-bisa wajahku akan terus merengut sampai tiba di lapangan. Dan bukannya berkenalan dengan tetangga baru, aku justru akan dimusuhi oleh orang-orang karena dianggap tidak ramah.

"Wanita cantik seharusnya tidak berjalan sendirian."

Satu lagi suara yang membuatku berjengit kaget. Hanya sedikit--meski telingaku tersumpal, aku tidak mendengarkan musik dengan volume yang keras, hanya agar aku masih bisa mendengar suara dunia. Dan aku tidak perlu khawatir tentang diganggu orang asing. Karena dari suaranya, satu-satunya yang suka muncul tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda kehadiran hanyalah Allen.

Sekarang kami berjalan beriringan. Saat aku menoleh, seulas senyum sudah terpatri di wajahnya. Dia tampak keren dengan memakai headband, dan penampilannya tampak siap untuk bermain di sana. Dia tidak memakai pelicin rambut atau hal lain untuk membuat rambutnya tetap berada di tempat. Aku menyukainya ketika angin berembus, helai-helai rambut pendeknya itu melambai dengan halus. And now I'm getting more excited after knowing that I'm not really alone there.

"Housemate-ku tidak bisa ikut," sahutku sembari melepas airpod dan menyimpannya ke wadah yang kubawa. Benda itu berada di saku besar hoodie-ku.

"Jadi, itu yang membuatmu kesal, ya?"

Aku tidak tahu apakah dia memang bisa membaca suasana hati seseorang, atau dia hanya kebetulan menebak dengan benar. Namun, aku yakin sudah tersenyum untuk menyembunyikan kekesalanku yang satu itu sekarang.

"Oh, apa kau seorang cenayang?"

"Tidak. Tapi ada persimpangan di atas batang hidungmu. Hanya orang-orang yang sedang kesal yang akan memilikinya." Dia terkekeh setelah mengatakan itu.

Tanganku spontan terangkat untuk memeriksa apakah memang benar atau dia hanya sedang menggodaku. Dan, ya, aku tidak merasakan apa-apa selain permukaan kulitku sendiri.

"Itu hanya kiasan," ujarnya setelah kuturunkan tangan. "Tapi apa suasana hatimu memang sedang tidak baik"

Allen tidak lagi tersenyum. Mungkin dia sedang serius menanyakan hal itu padaku. Tatapannya bahkan tidak beralih dari wajahku sampai-sampai aku yang harus mengalihkan pandangan. Memangnya siapa yang akan tahan ditatap lama dengan wajah serius seperti itu?

"Sedikit." Aku menjawab sekenanya.

"Kenapa?"

Aku mengulur waktu dengan bergumam. Salahkan wajahku yang tidak terlalu pandai menyembunyikan emosi. Aku tidak sempat memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaannya. Lagi pula, aku tidak mengira akan bertemu dengannya seperti ini. Berjalan sendirian dengan rasa kesal ditambah musik EDM kelihatannya memang menyedihkan, tetapi terasa lebih baik daripada dihadapkan dengan pria yang memiliki rasa keingintahuan tinggi.

"Karena terlalu berharap pada ekspektasi." Itu jawaban yang tepat untuk menggambarkan situasi beberapa menit sebelum keluar rumah. Namun, aku juga mengulum senyum untuk membuat jawabanku terkesan hanya candaan.

Tidak mungkin menceritakan terlalu banyak tentang apa yang terjadi padanya. Menduga-duga seperti apa kepribadian Allen, aku yakin dia tidak akan berhenti berhenti mencari tahu sebelum puas dengan jawaban yang didapatkannya. Bisa-bisa dia akan berhasil membongkar rahasia yang aku dan Killian sembunyikan.

"Kau tahu, aku adalah temanmu sekarang. Jika ada sesuatu, kau tahu bagaimana cara menghubungiku." Allen kembali dengan senyumnya dan itu sungguh melegakan. Dia lebih cocok seperti itu daripada wajah menginterogasi.

"Terima kasih. Mungkin akan kulakukan jika atap rumahku bocor, atau langit-langit rumahku retak."

Kupikir itu jawaban yang garing, yang tidak akan berhasil membuat siapa pun tertawa. Namun dia tertawa, terbahak-bahak, seperti aku baru saja melontarkan lelucon baru untuknya. Aku mengernyit keheranan, tentu saja. Siapa pun yang berada di posisiku pasti akan kebingungan.

"Wajahmu lucu, Ana."

Itu adalah kali kedua dia menyebutku seperti itu dan dengan senyuman yang sama pula. Kuharap itu bukan berarti apa-apa, tetapi aku berhasil dibuat merasakan desiran aneh di dada. Jantungku ada di sana, tetapi kurasa ini agak berbeda dari berdebar biasa. Apakah mendapat pujian akan membuat siapa pun bereaksi seperti ini? Bahkan ketika Killian yang memuji pun, aku juga merasakannya.

Aku nyaris tidak berkedip cukup lama seandainya ponsel Allen tidak berdering. Kontak mata kami terputus dan aku kembali fokus pada apa yang ada di depanku. Sedangkan Allen harus mengurus ponselnya yang berdering panjang. Aku tidak lagi mendengar apa yang Allen bicarakan karena suara degup jantungku sudah memenuhi pendengaran.

"Ana, aku harus bermain dan mereka sudah menunggu, jadi kita harus cepat tiba di lapangan."

"Eh, tunggu!"

Namun, Allen menulikan telinganya. Tangan besarnya yang hangat membungkus tanganku dan dia menarikku agar ikut berlari dengannya. Dia juga hanya tertawa saat mendengar rengekanku agar dia tidak berlari terlalu kencang. Hingga akhirnya aku menyerah dan menurut saja ke mana pun dia membawaku. Lagi pula, aku tidak tahu persis di mana posisi lapangan yang diceritakan Allen ini berada.

Tak lama kemudian, mobil Killian melewati kami--Toyota Corolla berwarna hitam yang aku ingat betul nomor pelatnya. Dia baru berangkat rupanya. Ah, aku jadi kesal lagi karena dia melalui begitu saja.

***

Adakah yang lebih absurd dari ini?
Maaf atas keterlambatan update-nya. Hehe

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
11 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top