17 - The Lipstick Stain

Aku baru pulang sekitar pukul setengah dua belas malam. Sebenarnya tenant-ku tutup pukul sepuluh, tetapi karena Allen mampir, kami jadi menghabiskan banyak waktu berkemas sambil mengobrol dan bergurau. Belum lagi Emma tidak kehabisan topik untuk kami bicarakan bersama.

Sebagai tetangga, aku menawarkan Allen untuk pulang bersama dan dia setuju. Karena hari ini dia berangkat dengan mobil dinas bersama teman-temannya, yang berarti dia sudah ditinggal pulang. Kami baru saja melambai sebagai salam perpisahan sebelum Allen beranjak ke rumahnya. Punggung Allen tak luput dari pandanganku sampai dia memasuki pagar rumahnya. Dia adalah hal baik yang terjadi hari ini–maksudku, dia pria yang menyenangkan.

Mobil Killian sudah terparkir di halaman, seperti biasa, dia selalu membuat rumah tampak tidak berpenghuni pada malam hari dengan mematikan seluruh lampu. Aku tahu, itu bisa dibilang berhemat, tetapi rumah kami justru tampak mengerikan.

Aku memasuki rumah sambil melepas lilitan syal dan jaket karena suhu di dalam rumah sudah tidak sedingin di luar. Musim gugur bisa sangat dingin saat malam hari, apalagi ketika angin berembus. Aku jadi ingin segera membungkus diriku di balik selimut.

Namun, langkahku terhenti ketika menemukan Killian duduk di ruang tengah bersama laptop yang menyala. Aku menyalakan lampu dengan aplikasi yang terinstal di ponsel. Ruangan jadi terang dan aku bisa dengan jelas menemukan kalau Killian ternyata tertidur sambil duduk, dengan kepala berada di sofa.

Aku ingin membangunkannya, karena tahu posisi itu sama sekali tidak nyaman. Ketika dia bangun, lehernya pasti akan sakit. Namun, aku belum siap dengan keputusanku jika nanti dia bertanya. Aku harus memilih antara kepentingan diri sendiri atau rasa kemanusiaan.

Putuskan di antaranya, aku hanya akan mengambil selimut untuknya.

Langkahku pelan-pelan ketika menaiki tangga, nyaris berjinjit. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar dia tidak tiba-tiba bangun. Tidur dalam posisi seperti itu biasanya membuat Killian lebih waspada daripada tidur di kasur. Dia akan lebih mudah terbangun meski hanya mendengar suara gumpalan plastik.

Namun, ketika aku kembali, Killian sudah tidak ada di sana. Ketika aku hendak mencarinya, terdengar suara gesekan kaleng disusul kulkas yang ditutup. Aku bukan memiliki pendengaran yang terlalu tajam sampai mampu mendengar semua itu, tetapi di malam yang terlampau sunyi ini suara sekecil apa pun bisa terdengar olehku.

Aku sudah meninggalkan barang-barangku di kamar dan saat berjalan menghampiri Killian di dapur, aku hanya membawa selembar selimut tebal dan dasi—dasi yang kudapat dari Gabby tadi siang. Ya, aku berencana untuk sekalian meletakkannya di samping laptop Killian jika dia masih tertidur.

Aku bersandar pada meja tinggi dan menumpukan kedua sikuku di sana. Dalam posisi ini aku bisa menikmati pemandangan jakun Killian yang bergerak ketika bir yang dia minum mengalir di kerongkongannya. Seharusnya aku jadi istri yang beruntung karena mendapat suami yang menyajikan pemandangan indah meski hanya sedang minum. Tentu saja kalau aku lupa bagaimana menyebalkannya pernikahan kami bisa terjadi. Kotak sialan.

"Aku membawa selimut untukmu," ujarku ketika dia selesai.

Killian menatapku dan berjalan mendekat. Sikunya juga bertumpu di atas meja tinggi, tepat berseberangan denganku. Dan ditatapnya seperti ini membuatku spontan menelan ludah. Matanya menyorot langsung ke mataku.

"Kenapa tidak membangunkanku? Leherku sakit," keluhnya sembari menelengkan kepala, dan suara yang dari tulang-tulang persendiannya membuatku meringis.

"Tidurmu nyenyak, aku tidak bisa mengganggumu."

Sebenarnya bisa saja aku langsung pergi dari sini, tetapi aku justru membeku di tempat hanya karena belum puas memandang wajah Killian. Singkatnya, mungkin aku baru sadar sudah merindukannya selama seminggu ini.

Killian terkekeh dan meletakkan kaleng bir yang sejak tadi dalam genggamannya. Dengan tangan kosong seperti itu, dia bisa meraihku kapan saja.

"Ana yang kukenal tidak akan seperti itu. Dia bahkan tega menendang pantatku hanya untuk membuka tutup botol."

"I-itu, kan, dulu." Aku tergagap membalasnya. Malu juga kalau diingat-ingat lagi, itu terlalu kekanakan. Walau saat melakukannya, aku masih remaja waktu itu. Bukan hanya satu kali, tetapi berkali-kali.

Luciana dan botol kaca dengan tutup yang bergerigi tidak pernah berteman baik. Pernah kupakai pembuka botol, tetapi tutupnya justru mendarat ke alisku hingga terluka dan mengeluarkan banyak darah. Jangan dipikirkan bagaimana angle yang kuambil saat membuka tutupnya, yang pasti aku tidak pernah menyentuh pembuka tutup botol lagi setelah itu.

"Kau juga merincikan agar aku selalu membuka tutup botol saus dan kecap kalau sudah kaubeli." Sekarang Killian bertopang dagu di atas meja; pose yang kelihatannya nyaman untuk menggodaku.

"Apa kau akan terus mengungkit keburukanku?" Aku mulai kesal dan hendak berbalik untuk kembali ke kamar, tetapi Killian dengan cepat meraih tanganku. Dadaku akan sangat sakit jika membentur pinggiran meja, tetapi aku berhasil menahan diri agar tidak sampai terjadi.

"Apa kau sengaja menghindariku?"

Killian tidak menjawab pertanyaanku dan memberi pertanyaan yang lain. Harusnya aku sadar, satu minggu tanpa bertatap muka dengannya tentu saja akan menimbulkan pertanyaan di benaknya. Lagi pula, siapa yang salah? Pagi saat aku berangkat dia masih tidur dan selalu pulang larut malam. Ya, walau aku juga belum tidur saat itu, tetapi aku tidak harus meninggalkan pekerjaanku dan menyambut kedatangannya, 'kan?

Ya ... walau kami bisa saling berkirim pesan atau menelepon satu sama lain jika perlu, tetapi Killian sibuk dan aku cukup sadar untuk tidak mengganggunya.

"Hanya perasaanmu," elakku.

Killian menumpukan kepala di atas sebelah telapak tangannya. Urat-urat di punggung tangannya timbul, seolah-olah ada beban yang sangat berat di sana. Proyek yang dia kerjakan mungkin terlalu rumit hingga dia tampak sangat kacau seperti sekarang.

Sekarang dia menatapku lagi, dengan sorot yang entahlah, seperti orang frustrasi?

"Dengar, kau berangkat lebih awal. Biasanya jam delapan tiga puluh, tetapi ketika aku bangun sebelum jam itu, kau sudah tidak ada. Saat pulang, aku juga tidak melihatmu sama sekali, kau tidak bisa beralasan kalau sudah tidur, Ana. Aku tahu kau berada di studio bukan untuk tidur di sana."

Oh, Killian, terima kasih sudah membuatku merasa bersalah dan tidak bisa melawan. Karena apa yang dia katakan memang benar. Aku tidak punya kata-kata untuk meresponsnya.

"Kalau kau menghindar karena tidak menyetujui permintaanku, katakan saja. Utarakan alasanmu dan jangan menghindariku. Aku merindukanmu, Ana. Tidak bicara denganmu rasanya seperti aku kehilangan separuh jiwaku. Dan jangan tertawa, aku sedang serius saat ini."

Biasanya aku akan tertawa, apalagi ketika menemukannya berkata cheesy seperti itu. Dulu, ketika aku menganggap bahwa mengungkapkan perasaan adalah sesuatu yang menggelikan. Bahkan hanya dengan saling tatap saja biasanya kami sudah tahu apa yang dirasakan satu sama lain. Namun,  untuk saat ini dia terlalu tulus untuk sebuah lelucon. Aku tidak bisa bereaksi apa-apa selain menghindari tatapannya.

Killian membuatku berdebar tanpa alasan.

"Kenapa kau mengira aku menghindari itu?" Karena wajah memelasnya, aku jadi tidak sanggup membenarkan dugaannya. Ini perasaan yang serbasalah. Tidak mengaku juga sebenarnya akan percuma.

"Apa aku harus menjelaskannya lagi? Aku mengenalmu luar dalam, Luciana, bahkan alasan kau menghindar pun aku bisa menebak dengan mudah. Itu sebabnya aku selalu mendesakmu untuk segera memberi jawaban. Karena ketika kau tidak tega menolak, yang kaulakukan adalah menghindar."

Aku lupa kalau di mata Killian, aku transparan. Sebaliknya juga berlaku, tetapi akhir-akhir ini aku agak sulit untuk mengerti tentangnya. Entah karena kesibukannya, kurangnya intensitas bertemu, atau karena Gabby.

Wanita itu tiba-tiba mencuat di kepalaku hingga aku refleks meremas gulungan dasi dalam genggaman.

"Maafkan aku, Killian. Aku tidak bisa membayangkan hal-hal seperti itu terjadi pada kita. Bahkan, jika aku harus melihatmu tanpa pakaian pun, aku tidak yakin akan muncul gairah untuk melakukannya denganmu."

Reaksi Killian hanya sebelah alis yang terangkat.

"Killian, aku benar-benar merasa permintaanmu masih sangat mengejutkan untukku. Aku tahu setiap pasangan melakukannya, tapi kita bukan salah satunya."

Aku menjatuhkan kepala ke atas meja—yang berpermukaan keramik—cukup kuat, hingga terdengar suara debam kecil di sana. Tangan Killian mendarat di atas kepalaku tak lama kemudian. Meski dahiku yang nyeri, tetapi yang diusapnya adalah puncak kepalaku. Dia aneh, tapi aku senang diperlakukan seperti ini.

"Setelah kaujabarkan seperti itu, ya, rasanya aneh juga."

Ketika mendengarnya menggumam, aku menegakkan tubuhku lagi dan berseru, "Jangan bayangkan!"

"Kenapa? Kau saja membayangkanku tanpa pakaian, kenapa melarangku? Lagi pula, Ana, aku laki-laki." Dia berdeham dan membuang muka.

Oke. Sekarang aku tidak perlu mendengarkan lebih banyak karena ekspresinya sudah menjelaskan semuanya. Tidak bagus kalau aku berada di sini lebih lama lagi. Aku menarik tanganku yang masih dalam genggamannya, lalu memindahkan selimut yang tersampir di bahuku ke atas meja. Terakhir, tentu saja menyerahkan dasi yang dititipkannya padaku.

"Kukira kau tidak akan melakukannya denganku lagi karena sudah ada orang lain yang bersedia melakukannya denganmu." Kukatakan itu setelah dasinya mendarat di atas meja.

Tentu saja ucapanku yang tidak jelas itu membuat Killian mengernyitkan dahi. "Maksudmu? Dasiku mau kauapakan?"

"Titipan. Aku diminta menyerahkannya kepadamu."

Oh, Killian. Apa yang terjadi pada kalian memang sejauh itu? Kenapa kau tampak sangat panik seolah-olah dasi itu baru saja berjalan sendiri?

Aku tidak ingin memikirkannya. Kalau mereka melakukan sesuatu pun seharusnya tidak menjadi urusanku. Namun, jauh di lubuk hati, aku justru merasa tidak rela kalau wanita lain meraba-raba tubuh Killian, apalagi wanita itu Gabby.

Pasti aku hanya merasa iri karena belum menemukan seseorang yang bisa kusukai seperti yang Killian rasakan pada Gabby. Mungkin aku harus lebih banyak berkenalan dengan orang New York besok-besok.

"Sudah, 'kan? Aku mau mandi dan tidur, gerah sekali seharian pakai ini." Aku mengibaskan baju seperti mengharapkan angin berembus di musim panas.

"Tunggu, Ana."

Langkahku langsung terhenti, dan berbalik hanya untuk menemukan Killian berada di hadapanku dengan dasi yang sudah dilebarkan di kedua tangannya. Dia tetap menunduk, seperti sedang mencari-cari sesuatu di sana.

"Apa kau yang mencucinya?" Lucu sekali dia menanyakan itu.

"Tidak. Gabby bilang kalau itu sudah dicuci. Kenapa? Ada sesuatu di sana?" Nada bicaraku terdengar sangat datar. Bertanya, tetapi tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.

"Seharusnya ada bekas lipstik di sini." Killian terlalu jujur, beruntung sekali kami bukan pasangan sungguhan.

Aku menghela napas yang lumayan dalam. Satu hal yang membuat Killian berbeda dari pria lain, dia tidak akan berbohong meski tujuannya untuk tidak membuat orang lain terluka.

"Hm. Itulah yang kumaksud, kalau kebutuhan lelakimu sedang memuncak, kau bisa menemuinya, 'kan? Lagi pula, kalian sudah sangat dekat." Sampai bibirnya saja mendarat di dadamu. Kenapa di situasi seperti ini aku justru terdengar seperti orang yang sedang cemburu?

"Tidak, Ana. Aku tidak melakukan apa-apa padanya. Dia terpeleset dan ketika aku menangkapnya, bibirnya mendarat di sana."

Oh, itu melegakan.

"Seharusnya kau tidak perlu sepanik ini, Killian." Aku berujar dengan tenang.

"Aku hanya merasa kau sangat kesal saat meletakkan dasi ini ke atas meja. Kupikir aku harus mengklarifikasinya sebelum kau berpikiran macam-macam." Sekarang Killian juga sama tenangnya denganku.

Aku tidak pernah menduga kalau dia masih peduli pada apa yang kupikirkan, meski sedang jatuh cinta dengan wanita lain. Maksudku, ketika seseorang sedang kasmaran, takkan ada hal lain lagi di kepalanya selain orang yang dicintainya. Setidaknya itu yang pernah kubaca.

Killian mengalungkan dasi itu ke leherku dan menarik kedua sisi dasi itu hingga aku menabrak dadanya yang keras. Sebelum aku sempat menjauh, dia sudah membungkusku dalam pelukan yang hangat. Aroma Killian benar-benar memabukkan meski tanpa parfum. Dan dia aneh, ingin memelukku saja harus melalui aksi yang dramatis.

"Aku rindu aromamu."

Aku hanya merotasikan kedua mata ketika dia mulai menggesekkan hidungnya di pangkal leherku.

"Apa kau sedang berusaha menggodaku?"

Dia terkekeh, seolah-olah aku sedang melakukan sesuatu yang sangat kekanakan. "Tidak. Aku hanya baru menyadari kalau memaksamu agar mau ke New York adalah keputusan yang tepat. Baru seminggu dan aku sudah gelisah, padahal kita di bawah atap yang sama."

"Lucu sekali kau berkata begitu. Padahal suatu saat kita akan bercerai. Kau yakin akan siap berpisah denganku?" Aku membalas pelukannya hanya untuk memukul punggungnya beberapa kali. Setelah cukup puas, tentu saja aku menyamankan posisiku.

"Bisa kita pikirkan itu nanti? Aku sedang mengumpulkan kembali energiku yang hilang karena kauabaikan." Ucapannya berhasil membuat bulu kudukku meremang.

"Ya, Tuhan, Killian. Aku tidak tahu apa yang merasukimu sampai mengatakan hal-hal aneh seperti itu," sindirku.

"Kukira itu akan membuatmu senang," sahutnya diiringi tawa.

Aku tersenyum. Sepertinya sudah sangat lama sejak kali terakhir kami berpelukan seperti ini. Bayangkan apa yang terjadi padaku jika dulu tidak bertemu Killian. Apa aku akan sanggup menghadapi situasi di mana orang-orang mengejekku tanpa henti, atau siapa yang akan menghapus air mataku ketika situasi yang berat membuatku harus meluruhkannya?

Yang pasti, setelah ini aku tidak perlu khawatir tentang permintaan Killian lagi. Dia sudah berjanji tidak akan memaksaku. Walau jujur saja aku tidak bisa menolak hingga mengabaikannya sampai seminggu.

"Hei, Ana, bolehkah aku tidur di kamarmu malam ini? Kurasa aku perlu bantuanmu untuk meringankan ketegangan di sendi-sendiku."

Jangan harap, Killian!

***

Satu lagi scene gaje yang tembus 2k kata. Hiks.

Baiklah, see you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
2 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top