14 - The Pact

#3
Usahakan agar tidak terlalu banyak bercerita tentang satu sama lain. Karena itu akan memicu kecurigaan orang lain tentang hubungan kita.

°°°

Manekin, deal.

Wanita Spanyol itu memenuhi permintaanku yang aneh dan meminta waktu satu minggu untuk mengerjakannya. Aku takjub pada kesanggupannya meski permintaanku agak aneh. Itu baru opsi pertama, aku sudah menyiapkan opsi kedua seandainya yang pertama terlalu sulit.

Aku menginginkan sebuah manekin polos tanpa rambut, berwarna abu-abu agak berkilau, mirip dinding stainless dalam elevator. Seluruh persendiannya bisa digerakkan, aku bisa membentuknya jadi berpose apa saja. Kupikir manekin model seperti itu akan memberi kesan modern di tenant-ku nanti.

Masih membekas di lenganku ketika Emma mendaratkan teguran di sana. Dia menyikutku tanpa henti dengan wajah panik. Kurasa dia sempat merasa tidak enak dengan permintaanku yang terlalu aneh, bahkan si wanita Spanyol saja sampai mengernyit beberapa kali. Namun, aku kembali pada hukum transaksi, bahwa pembeli adalah raja. Aku tidak sungkan untuk menyebutkan apa yang kuinginkan. Lagi pula, berapa pun harganya, akan kubayar.

Tiga porsi Dyckman Cheeseburger mendarat di tengah-tengah kami. Aroma keju di antara hangatnya roti menguar, membuatku ingin segera memakannya

Setelah cukup lama menghabiskan waktu di pabrik manekin, kami mampir ke The Hudson, sebuah kafe dekat Sungai Hudson. Kami mengambil posisi di luar, sambil memandangi air sungai. Angin berembus dengan tenang dan tentu saja lebih menyegarkan dibanding AC mesin di dalam sana. Cuaca pun bersahabat, kulit kami tidak sampai merasakan sengatan sinar matahari.

"Jadi, Allen, sudah berapa lama kau tinggal di sini?" Emma membuka pembicaraan lebih dulu. Kurasa dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengorek informasi sebanyak-banyaknya. Kemudian bersama para model kami kemarin, mereka akan membicarakannya.

Allen rupanya cukup populer di antara orang-orang yang berkecimpung di dunia fashion, terlebih lagi karena dirinya cukup sering dipanggil untuk menanggungjawabi event bersama timnya.

"Aku lahir dan dibesarkan di Lexington, Kentucky. Makin besar, aku mulai menyadari bahwa aku tidak ingin selalu melihat pemandangan yang sama, melihat sapi-sapi dan ladang. Ember untuk menampung susu sapi bahkan sampai penyok di sana-sini saking seringnya kupakai. Hingga akhirnya aku menemukan keinginanku dan memutuskan untuk merantau sejak lulus sekolah." Dan pria ini sangat tidak pelit menceritakan lebih dari pertanyaan yang harus dia jawab.

Berarti, dia juga merasa cukup nyaman bersama Emma.

"Orangtuaku juga di sana." Emma nyaris memekik. Aku sampai kaget dan tidak jadi menyuap burgerku. Namun hanya sebentar, karena dia tiba-tiba tampak murung. "Tidak perlu berencana berkunjung ke sana, mereka sudah dipanggil Tuhan."

"I'm sorry," ujarku, seraya mengusap bahu kirinya. Allen juga melakukannya, memberi tatapan simpati.

"Aku sudah biasa hidup sendiri sejak lama. Mungkin sama seperti Allen. Apa kau masih sering pulang?" Emma kembali seperti semula, seolah-olah dia tidak mengatakan apa-apa tentang kondisi orangtuanya tadi. Sekali lagi sikapnya membuatku takjub.

Allen sama sekali tidak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan Emma, takpeduli kalau dia sedang mengunyah makanan. Yang Allen lakukan hanya mengangkat sebelah tangannya, isyarat untuk meminta waktu sampai dia menelannya.

Satu lagi pria sopan yang kukenal selain Killian.

"Hanya saat liburan. Natal, Thanksgiving, St. Patrick, sisanya aku lebih suka menyibukkan diri di sini."

"Itu sangat sebentar, kau hanya akan kelelahan karena perjalanan jauh." Emma benar-benar sangat perhatian, dia bahkan sudah berpikir ke sana, padahal aku masih memproses seberapa jauh Kentucky, dan berapa lama hari liburnya.

"Aku sudah terbiasa, jadi itu tidak masalah. Bahkan terkadang aku menikmati perjalanannya. Kalian tahu, melihat pegunungan, terkadang melewati ladang dan sesekali akan ada beberapa hewan yang menatapmu saat lewat. Itu menyenangkan."

Aku terkekeh karena Allen juga memperagakan bagaimana saat dia melihat semua itu selama di perjalanan. Sampai-sampai pelayan yang baru saja lewat tak luput dari tatapan pura-pura takjubnya.

"Mungkin sesekali kau bisa memberi tahuku kalau mau pergi. Hanya untuk mengunjungi rumah lama, sekarang disewakan. Lumayan untuk uang saku menganggur--sebelum Ana merekrutku tentunya."

Aku menggeleng ringan dan tersenyum tipis. Di dalam hati merasa sangat lega karena tidak menyangka ajakanku akan jadi sesuatu yang sangat disyukurinya.

"Kita banyak bicara tentang aku, tapi Ana lebih banyak diam."

Aku belum bisa bicara karena masih mengunyah burger, tetapi dua orang di hadapanku ini sudah menatapku seperti sedang menagih agar aku mau bercerita. Aku segera menelan makananku dan bertanya, "Apa yang harus kukatakan?"

"Sejak kapan kau mengenal Killian?" Allen yang bertanya.

Aku urung menyuap kembali burgerku ketika yang kudengar adalah nama Killian. Di mana pun, takpeduli tempat, siapa orangnya, apakah laki-laki atau perempuan, rasanya itu adalah pertanyaan yang wajib kudengar. Killian seperti seorang bintang yang mereka anggap mustahil ditemui oleh makhluk bumi sepertiku. Jujur, aku bosan menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali.

Aku penasaran, apa orang-orang yang dikenal Killian juga menanyakan hal serupa? Seperti, sejak kapan kau dan Ana berteman? atau seperti yang ditanyakan kepadaku tadi? Sepertinya mustahil, aku saja belum jarang bertemu orang-orang yang dikenal Killian. Mereka tidak akan pernah tahu bahwa aku ada.

"Kau tidak tertarik dengannya, 'kan?" gurauku, sebagai upaya untuk menenangkan diri. "Karena hanya perempuan yang biasanya menanyakan itu kepadaku."

"Hm hm, aku yakin kau sudah sangat bosan." Emma yang kelewatan peka mengangguk ringan sebagai bentuk pengertian padaku.

"Saudaraku bilang, sejak usiaku tiga tahun. Tapi yang kuingat pertama kali kami bermain bersama itu saat usiaku lima tahun, dan Killian enam tahun."

"Sekarang aku tidak heran lagi kenapa kalian bisa tinggal serumah."

Aku dan Emma sama-sama menatap Allen dengan kening yang berkerut. Sedangkan objek yang kami pandangi tetap sibuk menghabiskan burgernya.

"Ekhem." Emma seolah-olah baru menyadari sesuatu dan menunduk sambil menahan senyum.

"Alasan merantau ke sini?" Pertanyaan Allen membuatku tidak sempat bertanya ada apa dengan Emma.

Sekarang Emma dan Allen memandangku dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Aku tidak bisa menjawabnya, lebih tepat lagi, tidak akan pernah menjawab pertanyaan tersebut. Menceritakan alasannya sama saja dengan memberi tahu mereka tentang pernikahanku dengan Killian.

"Um, karena karier." Aku menjawab singkat, kuharap itu cukup jelas untuk mereka. Namun, mata mereka menuntutku untuk menceritakan lebih detail lagi.

"Saat Killian dipindahtugaskan ke sini, aku juga menemukan poster tentang kompetisi Fashion Star kemarin, tapi orangtuaku baru akan mengizinkanku pergi kalau aku bersama Killian. Dan begitulah ceritanya."

Aku benar-benar merasa tidak enak sudah berbohong kepada orang-orang baik. Emma dan Allen adalah dua orang yang banyak kumintai tolong, tetapi aku tidak membalas jasa mereka dengan pantas. Namun, aku juga tidak bisa mengkhianati peraturan yang sudah aku dan Killian sepakati.

Padahal yang terjadi sebenarnya, tidak seperti itu.

***

Dua bulan yang lalu ... .

Aku dan Killian duduk lesehan di ruang tengah. Sesekali saling lirik, tetapi selebihnya menatap horor pada kotak yang sudah usang di tengah-tengah meja di hadapan kami. Aku berusaha mengingat apa saja yang pernah kami simpan di dalam sana.

Kalau kami mau, kami bisa membuka kotak itu dan menyingkirkan isinya--apa pun itu yang membuat Kelly mengerling kepada kami berdua. Namun, kami menghargainya sebagai orang tua. Saat ini dia sedang ke dapur, katanya ingin menelepon Mom--ibuku. Kalau sampai melibatkannya, pasti ada sesuatu yang tidak biasa, 'kan?

"Ana, jangan-jangan isinya itu?" Killian berbisik kepadaku. Curang sekali dia mengingatnya lebih dulu daripada aku.

"Itu apa?"

"Serius lupa?"

Aku menggaruk leherku yang tiba-tiba gatal. "Kalau aku ingat, mungkin aku akan merasa sedikit lebih tenang."

"Tidak. Justru sebaliknya, Ana. Kita harus membuangnya."

Tidak pernah kutemui Killian sepanik ini. Kedua tangannya sudah mendarat di sisi kanan dan kiri kotak pusaka tersebut. Dia memandangku dengan mata yang berkobar api semangat. Aku berusaha menerjemahkan maksudnya, dia ingin kami menyingkirkan apa yang terdapat di dalam kotak itu, sedangkan aku hanya celingukan dengan waswas.

"Mom pasti akan marah," ujarku takut-takut, antara ingin pasrah kami menggeledah kotak itu bersama kedua ibu kami, atau ingin mengobati rasa penasaran dengan menyingkirkan benda itu bersama Killian.

Namun, sebelum aku sempat memutuskan, ibuku dan ibu Killian sudah datang. Aku melihat mereka baru saja memasuki ruang tamu. Yang satu bermuka bingung, satunya semringah. Yang jelas, kami terlambat.

"Mereka berdua memang tidak terpisahkan." Itu suara ibuku.

"Apa yang kutemukan tadi adalah sebuah pertanda, mereka memang tidak bisa dipisahkan." Kelly membalas.

Seolah terempas dari empuknya kasur di kamar, aku sadar sudah tidak bisa kembali tidur senyaman sebelumnya. Realita menyambut begitu mata terbuka, sekaligus disadarkan bahwa aku tidak akan pernah bisa kembali ke mimpi tadi, takada jalan kembali. Realita terkadang akan lebih buruk dari mimpi terburuk sekalipun.

Begitu pula dengan situasi terburuk yang akan kami hadapi. Tepat saat kotak itu sudah terbuka dan diketahui isinya oleh Kelly, kami sadar waktu tidak bisa diulang kembali. Kami tidak bisa kembali ke beberapa jam yang lalu hanya untuk menyembunyikan kotak sebelum Kelly menemukannya.

Sekarang yang mampu kulakukan hanya memandang Killian dengan pelototan yang mengerikan. Aku sudah ingat sekarang. Namun, aku tidak sempat menyentuh benda itu karena dua wanita paruh baya yang sedang membicarakan kami--aku yakin itulah topik pembicaraan mereka--sudah berada di hadapan kami, duduk di sofa.

"Killian." Aku memanggilnya dengan bisikan dan dia hanya membalas dengan gumaman. "Pasti itu adalah sesuatu yang dulu kutulis, 'kan?"

"Sekarang kau ingat."

Aku menggigit bibir bawahku ketika Kelly mengangkat benda itu hingga terlepas dari tangan Killian.

"Bagaimana kalau Mom menganggap itu serius?"

"Melihat reaksi ibuku, itu sudah pasti."

Aku menggigit ujung telunjukku ketika Kelly membuka pengait yang mengunci kotak tersebut. Sedangkan ibuku menunggu dengan tampak tenang. Sebentar dia melirikku, kemudian mengernyit bingung, tetapi dia bahkan tidak bertanya aku kenapa.

Aku menyandarkan kepala di bahu Killian, karena tubuhnya yang tinggi, pipiku justru menempel di lengannya. Habis sudah riwayat kami kalau mereka menganggap itu sungguhan.

"The pact."

Aku meremas lengan Killian dengan kuat sampai dia meringis sebentar. Namun, dia masih sangat baik karena tidak berusaha menyingkirkanku. Di saat seperti ini dia benar-benar berperan seperti kakak, bahkan jauh lebih daripada Jaden; kakak kandungku.

Suara Kelly menggema di telingaku, begitu aku tahu kalau yang ditemukannya adalah secarik kertas tebal berwarna cokelat yang sudah kumal. Di situlah aku menuliskan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dianggap serius.

Kelly mulai memasukkan tangannya ke kotak itu, mengaduk benda-benda kecil di dalamnya. Makin kudengar, makin ingin segera kubuang rasanya.

"Jika Ana sudah berusia 25 tahun dan belum menikah, artinya kita harus menikah."

Aku menutup mataku dengan sebelah telapak tangan ketika Kelly mulai membaca apa yang tertulis di sana. Aku tidak ingin melihat reaksi mereka, sungguh. Bahkan aku saja sudah bergidik geli saat mendengarnya. Bisa-bisanya dulu aku menuliskan sesuatu yang semengerikan itu.

"Killian tidak akan menolak dan harus memutuskan pacarnya, karena Killian dan Ana adalah satu paket."

Ya Tuhan, aku bahkan baru kelas lima saat menulis itu. Tentu saja dengan Killian yang mengeja di sebelahku. Aku tidak segila itu sampai terlalu posesif kepadanya.

"Dulu kalimat itu terdengar biasa saja, sekarang jadi sangat mengerikan." Killian berbisik lagi kepadaku.

"Kukira kau akan membuangnya," sahutku dengan nada kesal. Untuk apa juga dia menyimpan benda itu sepuluh tahun lebih.

"Kalau sampai 25 tahun kita tidak menikah, selamanya kita tidak akan menikah. Perjanjian ini disepakati oleh Killian dan Ana."

"Sial." Aku mengumpat pelan. Memalukan sekali tulisan seperti itu sampai dibaca orang lain selain kami.

"Sekarang usia kalian berapa?" Ibuku bertanya.

"Dua enam." "Dua tujuh."

Aku dan Killian menjawab bersamaan. Aku mulai merasa tidak enak karena ditanya begitu. Sirine waspada mulai berkumandang di dalam kepalaku. Dari cara Mom dan Kelly menatapku, aku bisa menebak apa yang sedang mereka pikirkan. Dua wanita yang sudah saling mengenal sebelum kami lahir itu seolah-olah berkomunikasi melalui tatapan mata.

"Sudah lewat dari batas, ya?" Nada bertanya Kelly benar-benar sangat menyebalkan.

"Mom, aku tahu apa yang kalian pikirkan sekarang, tapi tidak, Mom, kami tidak akan melakukannya. Itu hanya bualan anak kecil, bukan sesuatu yang sifatnya serius. Lagi pula, aku menyukai orang lain."

Aku mengangguk kuat, mendukung ucapan Killian. Dia berhasil menebak pikiran juga rupanya. Sekarang aku tidak lagi sepanik tadi. Dengan Killian di sampingku, aku merasa kami akan berhasil mengelak.

"Apa Ana punya pacar sekarang?"

"Tidak, Ana belum memperkenalkan satu kepada kami."

Tadinya aku sudah membuka mulut ingin menjawab pertanyaan Kelly, tetapi Mom mendahuluiku. Sekarang aku hanya bisa memasang wajah paling masam, berharap mereka peka, tetapi aku sadar agaknya itu tidak mungkin.

"Di sini tertulis, Aku tidak akan berhenti menyayangi Ana. Ini tentu melebihi rasa suka, kan, Killian?" Kelly mengangkat sebuah gulungan kertas kecil berwarna biru dan menunjukkan apa yang tertulis di sana.

Sekarang aku memandang Killian dan menggeleng tidak percaya. Dia sering mengatakan itu langsung kepadaku, dan rasanya biasa saja, tidak ada yang aneh. Namun, aku tidak pernah tahu kalau dia akan menulis hal seperti itu di secarik kertas. Apa yang dia pikirkan saat itu?

"Kami akan bicarakan ini dengan ayah kalian." Kelly menyimpan kembali kertas tadi ke kotak dan menutupnya. "Ini kabar baik. Apalagi Ana sudah lewat 25, kalian tidak mau selamanya lajang, 'kan?"

"Ayah kalian pasti akan setuju, kalian harus menikah, seperti yang sudah kalian janjikan." Mom menimpali dan tersenyum penuh keyakinan. Mereka bahagia di atas mimpi buruk kami.

Aku sampai tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain memikirkan cara untuk membatalkan rencana mereka menemui Dad. Sayangnya, sebanyak apa pun aku merangkai kata di kepala, tetapi lidahku kelu untuk mengucapkannya.

"Mom, itu hanya kata-kata yang ditulis tanpa ada dasarnya sama sekali. Kami tidak bisa bersama, Mom." Killian sudah seperti orang putus asa walau baru beberapa kali melayangkan penolakan. Kami paham betul seperti apa orangtua kami, mereka mungkin akan mengerti jika kami merengek, atau terlihat sangat enggan.

"Takada bantahan, kami sedang berusaha menyelamatkan kalian dari kutukan melajang seumur hidup."

Kelly dan Mom pergi meninggalkan kami. Namun, itu tidak berarti apa-apa. Bukankah situasi ini sama seperti mereka sedang menjodohkan kami? Gila. Killian mungkin suami idaman semua wanita, atau menantu idaman seluruh ibu di negeri ini, tetapi aku tidak bisa menikah dengannya. Aku ingin tahu dulu seperti apa rasanya jatuh cinta, tetapi aku tidak pernah berharap orang itu adalah Killian.

"Kurasa Tuhan baru saja mengabulkan permintaanku," celetuk Killian dan aku langsung melotot.

"Kau berharap kita menikah?"

Tentu saja Killian menggeleng, dan itu sangat melegakan.

"Sesuatu yang lebih baik dari perjodohan. Ya, sudahlah, mari kita pikirkan besok. Ini sudah terlalu malam. Masih ada kesempatan untuk merayu Dad agar menolak rencana mereka."

Benar. Dad mungkin akan mendengarkan kami.

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
11 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top