12 - Prediction
"Aku sudah memikirkannya, dari sembilan manekin, masing-masing dua di sisi kiri dan kanan pintu masuk. Dibuat menghadap ke kaca jendela, agar pengunjung yang lewat bisa melihat. Kemudian sisanya dipakai untuk dipamerkan di etalase belakang. Kita beruntung mendapat tenant yang ini."
Aku sibuk memandang ke sekeliling ruangan ketika Emma mengungkapkan usulannya untuk mengisi tenant ini. Dia benar-benar adalah great source of inspiration, bisa kulihat betapa dia sangat mencintai dunia fashion. Aku tidak salah memintanya sebagai asistenku. Gaya berbusananya cukup unik dan konsisten, dan itu adalah ciri khas orang-orang yang bergelut di bidang fashion.
Kuperhatikan lagi seisi ruangan yang lapang ini. Satu hal yang kusukai dari tempat ini, keramiknya bersih, putih dan berkilau. Orang yang menempati tenant ini sebelumnya pasti rajin mengelapnya. Bahkan sampai ke sela-sela keramiknya pun tidak tampak noda kecokelatan, sebagaimana lantai-lantai yang sudah lama diinjak. Aku harus ingat untuk meletakkan keset di depan pintu agar sepatu para pengunjung tidak menyisakan apa pun di lantai.
Emma benar soal betapa beruntungnya kami mendapat tenant ini, memiliki etalase yang mengarah ke luar gedung. Dari lantai dua gedung ini aku bisa melihat kendaraan berlalu lalang, beberapa pejalan kaki yang singgah dan pergi, bahkan kesibukan di kafe seberang jalan pun tak luput dari pandanganku. Jika aku bisa melihat ke sana, mereka pasti juga bisa melihat ke sini, kurasa.
Aku baru berandai-andai tentang mendapatkan tempat ini satu jam yang lalu, dan sekarang aku menginjak lantainya. Mimpi singkat yang menjadi kenyataan.
"Ana, bagaimana?" Emma menyenggol lenganku setelah aku diam terlalu lama. Dia menyusulku ke sini dan kami bersama-sama kembali ke tengah ruangan setelahnya.
"Aku setuju dengan rencana posisi manekin, tapi aku perlu empat lagi untuk diletakkan di tengah-tengah bersama rak gantung. Aku sudah membayangkannya, yang berarti aku harus memesan lagi."
Aku tidak hanya mengatakannya, tetapi juga menunjuk beberapa titik yang kumaksud untuk meletakkan manekin. Tanganku tak berhenti menggambar udara untuk memudahkan Emma membayangkannya.
"Itu juga bagus. Tapi kau serius mau memesan rak juga? Ada banyak di sini." Emma berlari menghampiri pintu di balik meja konter dan mesin kasir, kemudian membukanya hanya untuk menunjukkan rak-rak yang dia maksud.
"Itu terlalu kuno, Em. Aku perlu yang sedikit lebih berseni. Mungkin yang melengkung, atau yang bertingkat? Bisa juga kalau pakai meja bersusun."
Aku sudah tersenyum membayangkan rak-rak unik berada di ruangan ini. Tentunya bukan seperti yang ada di gudang, berbahan stainless dan sangat lurus, dengan rongga-rongga kecil untuk menyelipkan pengait hanger. Aku tentu akan memakainya beberapa.
"Kau akan membutuhkan banyak modal kalau membeli itu semua, Ana." Emma mengkhawatirkanku. Penampilan sungguh berbanding terbalik dengan sikapnya. Aku masih takjub akan hal itu.
"Untuk jangka panjang, Em. Begitu kontrak di sini berakhir, aku akan membawa pulang barang-barangku dan dipakai lagi di tempat lain."
Aku masih membayangkannya, tetapi sudah telanjur merasa excited.
"Bagaimana kalau rusak?"
Pertanyaan Emma seketika melunturkan senyumanku.
"Mudah saja, aku akan minta ganti pada siapa pun yang merusaknya. Lagi pula, barang yang dipakai setahun akan tetap terlihat baru kalau rajin dibersihkan."
"Ya ... melihat bagaimana bersih dan rapinya rumahmu, aku bisa menyebutmu clean freak mulai sekarang."
Aku tidak merespons lagi. Sepatuku menggema di atas keramik ketika mengelilingi tenant sembari membayangkan bagaimana aku akan menata furnitur dan dekorasi di tiap sudutnya. Dinding tenant ini berwarna biru terang dan terkelupas di beberapa bagian. Aku akan mengecatnya ulang dengan warna beige. Mungkin diberi sedikit warna cerah di beberapa sisi untuk meningkatkan mood.
"Aku akan meletakkan sofa di sini. Lalu cermin full body di sana. Agar pengunjung bisa memperkirakan apakah cocok di tubuhnya sebelum dipasang di kamar pas. Menurutmu berapa bilik kamar pas yang diperlukan? Tiga?"
"Kau benar-benar sangat bersemangat, Ana. Kau tahu kita tidak bisa menata ruangan ini hanya berdua, 'kan?"
Aku ikut bersandar ke dinding, menyusul Emma. Posisi ini cukup nyaman, apalagi setelah cukup lama mengelilingi ruangan seluas 8 x 10 meter ini. Takada kursi, tetapi aku juga tidak ingin mengotori rokku jika duduk di lantai. Siapa yang akan percaya kalau lantai ini tidak berdebu meski baru dua hari tidak dibersihkan?
"Apa kau mengenal seseorang yang bekerja di bidangnya?"
Tentu saja penduduk baru sepertiku akan bertanya. Namun, kurasa penduduk asli pun tidak akan mampu menghafal seisi kota, terbukti dari Emma yang tampak berusaha keras mengingat kenalannya sebelum menggeleng.
"Kita bisa mencari seseorang yang bekerja sebagai desainer interior di media sosial. Manfaatkan internet dengan benar." Kali ini Emma yang terlalu bersemangat sampai hampir menjatuhkan ponsel yang baru dia keluarkan dari kantong jaketnya.
"Tunggu, Em. Kurasa aku tahu meminta bantuan siapa."
"Siapa?"
"Allen."
Emma mengernyit, wajahnya dipenuhi oleh gurat-gurat keheranan. "Pria EO itu?"
Aku mengangguk mantap, tetapi itu justru makin membuatnya tampak tidak yakin. Kurasa Allen memang tidak banyak bicara dengan orang-orang. Yang tentu saja dia tidak akan menceritakan tentang keinginannya menjadi desainer interior pada sembarang orang. Ah, aku merasa sedikit lebih spesial sekarang.
Aku mengeluarkan ponsel sambil tertawa kecil karena reaksi Emma sangatlah lucu saat ini. "Aku akan menghubunginya."
💍
Killian tidak berbohong, dia benar-benar menjemputku. Padahal aku sudah skeptis saat meneleponnya setelah makan siang bersama Emma. Maksudku, aku tidak tahu kalau pulang cepat yang dimaksudnya akan secepat itu. Aku sudah berencana ingin mengajak Allen berdiskusi bersama Emma seandainya Killian belum bisa pulang. Beruntungnya, Allen sibuk dan meminta waktu lain untuk bertemu.
Sekarang aku duduk di sebuah kursi panjang, di pinggiran jalan setapak yang membelah hamparan rumput di Central Park. Embusan angin membuat dedaunan di pohon yang berjejer rapi di belakangku saling berdesis lembut. Cuaca yang bagus untuk berjalan kaki menjelang sore. Meski ada banyak pengunjung lain di sini, tetapi mereka tidak menimbulkan keramaian yang mengganggu.
Killian baik sekali mengajakku ke tempat ini. Taman yang cukup terkenal dan sering kali dijadikan sebagai lokasi syuting. Aku pernah melihatnya di internet dan menemukan banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Aku ingin sekali mencoba semuanya, tetapi aku tahu sehari saja tidak akan cukup. Mungkin aku akan datang lagi nanti, entah bersama Killian lagi atau orang lain.
Aku memandang punggung Killian di tengah barisan antrean pembeli burger. Tubuhnya yang tinggi sangatlah menonjol, dan akan memudahkanku jika terpisah di kerumunan. Sebelum burger, dia dari stan penjual minuman dan hot dog, belum lagi dia harus memberi taco untukku. Dia seperti seseorang yang ingin mencicipi semua jajanan yang dijual, tetapi hanya memiliki dua tangan, dan itu tidak akan cukup untuk membawa semuanya.
Aku bukan tidak ingin membantu, tetapi Killian memintaku tetap di sini sampai dia kembali. Tentu saja aku akan menurut.
"Mom-my. Mom-my."
Awalnya aku tidak menghiraukan panggilan itu, tetapi ketika rokku ditarik-tarik, aku terpaksa menyimpan ponselku dan menatap anak laki-laki berambut pirang yang hampir menangis. Dia sangat kecil dan imut. Matanya memerah, entah habis menangis atau menahannya. Wajahnya pilu, mendengar dari bicaranya yang agak terbata-bata, aku menebak dia berusia sekitar dua sampai tiga tahun.
"Hai, kau mencari ibumu?" Aku yakin nada bertanya yang dibuat-buat sangat ramah untuk anak-anak itu pastilah terdengar sangat kaku.
Kuraih tangannya dan kugenggam erat untuk menenangkannya. Mataku berpencar ke sekeliling, mencari-cari seorang wanita yang mungkin sedang kehilangan anaknya. Namun, nihil, aku tidak menemukannya. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana.
Aku jarang berinteraksi dengan anak kecil, paling hanya ketika Natal dan hari paskah, di mana saudara-saudara orangtuaku akan berkumpul dan kami makan bersama. Paman Jackson selalu datang bersama istri dan dua pasang anak kembarnya yang berusia lima dan tiga tahun. Keberadaan mereka benar-benar meramaikan liburan.
"Mom-my." Dia memanggil ibunya lagi. Kali ini juga memeluk kakiku. Tidak ingin orang lain melihat keanehan ini, aku segera mengangkatnya ke pangkuanku. Aku baru sadar kalau pakaiannya bergambar salah satu tokoh superhero Marvel.
"Tunggu di sini dulu, ya, kita akan mencari Mommy." Aku berusaha menenangkannya. Aku tidak ingin pergi mencari sendirian, bisa-bisa aku tersesat dan Killian meninggalkanku pulang. Lagi pula, aku masih harus menepati janji untuk menunggunya di sini.
Namun, hal tak terduga lainnya adalah, anak kecil ini memelukku erat sekali dan menyamankan posisinya di sana, sampai aku khawatir air mata atau lendir dari hidungnya akan menempel di bajuku. Tentu saja aku tidak akan tega mendorongnya menjauh. Yang kulakukan adalah mengelus punggungnya agar dia tidak menangis.
"Anak siapa yang kauculik?"
Aku terlalu sibuk dengan anak ini sampai tidak menyadari kalau Killian sudah kembali. Dia menyerahkan taco milikku dan segelas Green Tea mint.
"Aku tidak tahu. Anak ini tiba-tiba datang dan memelukku," jawabku sembari menunduk menatap si anak kecil yang masih tidak beranjak dari pangkuanku. Tangan kecilnya terasa hangat di pinggangku.
Killian terkekeh ketika pandangannya kembali tertuju pada anak itu. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi tampak sekali kalau dia sangat terhibur.
Aku benar-benar tidak nyaman seperti ini. Orang-orang akan mengira aku sudah memiliki anak, dan aku tidak terima karena kenyataannya aku belum siap memiliki satu. Bahkan kalau bisa, tidak perlu punya anak.
"Hai, Sayang, siapa namamu?"
Namun, anak ini takut dengan Killian dan semakin erat memelukku. Aku meringis, tidak mengerti kenapa seorang anak kecil bisa salah mengira aku sebagai ibunya. Kupikir seharusnya perasaan mereka terkoneksi, bukan seperti ini.
"Kurasa kita harus menemukan ibunya, Killian."
"Aku tahu, tapi izinkan aku makan ini dulu, aku lapar." Killian mengangkat burgernya sebelum dibawa ke mulut. Dia mengunyahnya dengan lahap seperti orang kelaparan. Mungkin tak sampai satu menit dia menghabiskannya, saking cepatnya, dia bahkan tidak sempat mengelap cipratan saus yang tersisa di sudut bibirnya.
Aku risi melihat hal-hal seperti itu, dan refleks menggunakan ibu jari untuk menyapukannya dari wajah Killian. Namun, hal itu justru membuat Killian mematung, dia memandangku dengan dahi yang perlahan-lahan berkerut.
"Kenapa? Kau makan tidak hati-hati, malu sama anak kecil," tegurku sebelum mulai memakan taco milikku.
"Aku lapar, belum makan siang."
"Salah siapa tidak makan?"
Killian menghela napas sembari meremas bungkus burger di tangannya, dan melempar asal gumpalan tersebut, tetapi berhasil mendarat di dalam bak sampah. As expected dari seorang pemain basket pada masanya.
"Kebiasaanmu itu tidak pernah hilang. Lain kali kalau ada orang yang makannya berantakan, berikan tisu saja. Biar mereka lap sendiri." Sekarang Killian membuka bungkus hot dog.
"Ya ... hanya jika aku punya tisu."
"Kau bisa memberi tahu mereka kalau ada sisa saus, Ana. Perbuatanmu itu bisa membuat orang lain salah paham."
"Itu salah mereka."
Killian hanya menggeleng sebagai tanda menyerah. Kami tidak lagi bicara setelah itu, tetapi menikmati jajanan masing-masing. Anak kecil ini juga sangat tenang, aku sampai curiga dia tertidur, tetapi saat kutanya Killian, dia hanya mengantuk, belum sampai tidur.
"Kurasa kita perlu membeli es krim untuknya," usulku. Ya ... hanya merasa tidak enak, kami makan, sedangkan anak kecil ini hanya diam memperhatikan. Aku menatap Killian penuh harap, bermaksud memberinya kode agar bersedia mengantre lagi di stan penjual es krim.
"Sebaiknya ajak dia juga, biar dia bisa memilih."
"Baiklah. Aku akan menghabiskan taco ini dulu."
"Mom-my, Mom-my." Anak kecil ini memanggilku dengan sebutan itu lagi, dan aku hanya menunduk dengan seulas senyum, ketika tangannya terulur menepuk-nepuk wajahku.
Dia menggemaskan, sangat. Ibu yang melahirkan bayi seperti ini pasti sangat cantik. Aku menyentuh pipi gembilnya, merasakan halus permukaan kulit yang belum tersentuh zat-zat kimia dari produk kecantikan. Mata birunya bulat dan menggemaskan, hidungnya kecil dan mancung. Kurasa dia akan menjadi pria yang sangat tampan, apalagi dengan dagu yang belah seperti itu.
"Nico! Ya Tuhan, Nico!"
Tiba-tiba ada seorang wanita berlari dan berhenti di depan kami. Dia memakai celemek di pinggangnya. Matanya sama seperti anak kecil ini, tidak, tetapi hampir seluruh fitur wajah mereka mirip. Rambutnya pun pirang. Bedanya di wajah wanita ini penuh dengan gurat-gurat kelelahan dan kekhawatiran.
"Mom-my."
"Ini Mommy, Sayang."
Ah, akhirnya anak kecil ini menemukan ibunya. Aku menurunkan dia pelan-pelan, menuntunnya berjalan sampai ke depan wanita yang mengaku sebagai ibunya.
Wanita itu segera menggendongnya dan dibawa berputar-putar. Kini wajah wanita itu penuh kelegaan.
"Terima kasih sudah menjaga putraku." Wanita itu berucap dengan tulus dan penuh haru. "Maaf, Nico memang punya kebiasaan mendekati pasangan. Biasanya itu bisa jadi pertanda kalau kalian akan segera punya anak. Banyak pengunjung yang sudah membuktikannya."
Aku spontan saling pandang dengan Killian, sama-sama tidak memercayai akan ada anak kecil yang mampu meramal dan dengan cara yang konyol. Aku lebih suka dikira mirip dengan ibunya sampai dia harus memelukku cukup lama.
"Sebelumnya, maaf, kami bukan pasangan." Oke, satu lagi kebohongan. "Kami hanya berteman dan sedang jalan-jalan di sini." Aku yang bicara, sebab tampaknya Killian juga masih berusaha memproses apa yang sedang terjadi.
"Oh, maaf. Mungkin kali ini ramalan putraku akan meleset. Aku berharap semua kejadian yang dialami para pengunjung itu hanya kebetulan, tetapi mendiang ayahnya dulu seorang cenayan. Dia sering menemukan barang-barang yang hilang hanya dengan menerawang tangan pelanggannya."
Wanita itu tertawa kecil sambil membenarkan posisi anak bernama Nico dalam gendongannya.
"Aku Judy, pemilik stan es krim dan balon yang ada di sana." Dia menunjuk ke arah barat, pada gerobak berwarna biru dan merah muda. Ada banyak balon di sana. "Aku terlalu sibuk melayani pelanggan sampai kelepasan mengawasinya. Soal ramalan itu, kalian boleh tidak percaya. Tapi aku ingin jujur kalian sangat serasi. Kalian akan saling mengandalkan satu sama lain."
"Terima kasih." Hanya itu yang kuucapkan setelah mendengar celotehan panjang lebarnya.
"Terima kasih sudah menjaga anakku. Sampai jumpa, semoga hari kalian menyenangkan."
Wanita itu kemudian pergi bersama anak laki-lakinya yang sedang melambai kepadaku. Dia juga tersenyum, membuat pipinya yang gembil itu terdorong oleh sudut bibir dan membentuk dua bulatan yang lucu di bawah matanya.
Aku kembali menatap Killian yang masih berpikir keras. Tidak kusangka pria ini akan sangat serius menanggapinya. Dahinya saja sampai berkerut-kerut. Aku masih menatapnya sambil menahan tawa, cukup lama seperti itu, sampai akhirnya Killian sadar dan balas menatapku.
"Kita akan punya anak?"
"Kau percaya kata-katanya? Itu tidak masuk akal, Killian. Lama-lama bisa jadi sugesti."
"Tak masalah, kurasa itu ide yang bagus."
Aku spontan memukul lengan Killian ketika dia bertanya seperti itu. "Dalam mimpimu, Killian. Punya anak akan sangat merepotkan. Aku tidak akan bisa mendesain, menjahit, atau melakukan yang lainnya. Lihat wanita tadi, 'kan? Dia bahkan hampir kehilangan anaknya karena harus mencari uang."
"Kau serius tidak ingin punya satu yang menggemaskan? Atau yang tampan sepertiku?" Killian mendekat dan mencium pundakku yang berlapis kemeja. Hal itu spontan membuatku menggeser badan, menjauhinya.
"Kalau kau mau, tunggu saja saat kau menikah dengan Gabby. Kita akan bercerai, itu keinginanmu, 'kan?"
Killian menghela napas cukup dalam. Untuk beberapa saat dia hanya diam, memandang sekitarnya. Sampai akhirnya dia berkata, "Hanya jika aku benar-benar jatuh cinta padanya, Ana."
Aku tidak meresponsnya lagi, dan membiarkan suara tawa anak-anak dari kejauhan menyelimuti kami. Namun, itu sama sekali tidak membuatku ingin memiliki satu. Entah itu dalam waktu dekat, atau beberapa tahun ke depan. Aku tidak ingin kehadiran mereka akan menghambat karierku.
Killian tiba-tiba berdiri, lalu melakukan sedikit peregangan sebelum mengulurkan sebelah tangannya kepadaku.
"Ayo, lanjutkan jalan-jalan kita. Masih banyak tempat yang belum kita datangi."
Rencana yang sempurna untuk menyingkirkan pikiran-pikiran tentang memiliki seorang anak.
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
29 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top