10 - After the Kiss

#2
Perkenalkan satu sama lain sebagai teman serumah/housemate pada tamu atau siapa pun yang kita kenal.

•••

Aku terbangun karena merasa pahaku ditimpa, belum lagi sesuatu yang melingkar di pinggangku mulai mengerat. Embusan napas di sekitar tengkuk dan bahuku juga terasa panas. Sepanjang punggungku pun menempel pada sesuatu hangat, lebih dari cukup untuk menggantikan selimut di cuaca dingin pagi ini. Jujur saja, ini benar-benar nyaman, seperti ada yang melindungiku. Namun, aku tidak tahan lama-lama seperti ini karena terlalu sesak.

Gagal sudah rencanaku untuk bangun kesiangan.

Lagi-lagi Killian tidur di kamarku, menjadikanku sebagai gulingnya hingga aku melepaskan gulingku sendiri. Ketika dicari-cari, benda empuk itu sudah di lantai. Aku tidak pernah menjatuhkan guling ke lantai, karena benda itu tidak pernah lepas dari pelukanku. Killian sampai berkata aku tidur seperti orang mati karena tidak banyak bergerak. Ya ... sudah bisa dipastikan kalau pria itu yang melemparnya dari pelukanku. Keterlaluan.

Aku mengangkat kaki, berusaha menjauhkan kaki panjang Killian yang menindih pahaku. Aku kesulitan bergerak karena tangannya melingkar di pinggangku terlalu erat. Dia sangat berat, dan aku benar-benar merasa kecil dalam posisi ini. Killian bahkan sama sekali tidak terusik meski aku sudah bergerak banyak.

Aku menyerah, membiarkan posisinya tetap seperti ini. Sebenarnya aku curiga Killian sudah bangun dan sengaja mengerjaiku. Karena jika dia masih tertidur, seharusnya dia lebih mudah disingkirkan.

"Aku senang kau menyerah."

Kan, benar dugaanku.

"Kau berusaha membunuhku, Killian, ini sesak."

Kali ini aku berbalik, membiarkan wajah kami saling berhadap-hadapan, tetapi matanya masih terpejam. Dengan kekuatan yang tersisa, aku mendorong dadanya yang berbalut piyama. Berciuman tidak akan membuat kami terjerumus dan berbuat lebih jauh meski Killian nyaris terbawa suasana. Aku bukannya anti, tetapi hal-hal seperti itu akan lebih pantas dilakukan dengan seseorang yang kaucintai dan mencintaimu.

"Sebentar, Ana. Aku masih mengantuk."

"Aku juga mengantuk dan mau tidur lagi, Killian!" Aku tidak berhenti, bahkan kali ini juga mengangkat kakiku agar kakinya menyingkir. Sekarang tenaga sudah lumayan terkumpul dan aku jauh lebih kuat dari beberapa menit yang lalu.

"Hm. Kau harus menaikkan berat badanmu, Ana," ujarnya setengah berbisik sambil melepaskan pelukan.

"Kenapa?"

Setelah bertahun-tahun lamanya, baru ini aku mendengar Killian mengatakan itu lagi. Dia tidak pernah membahas itu lagi sejak aku di-bully karena behel gigi, apa pun itu yang berkaitan dengan fisik. That's why aku agak tersinggung saat ini.

Dia membalik badan, memunggungiku. Kemudian menjawab, "Karena kau kurang empuk."

Aku tidak ragu-ragu untuk menendang punggungnya. Sudah pasti aku akan tertawa jika dia sampai jatuh ke lantai. Wajahku juga memanas karena menyadari dia mungkin memelukku semalaman, hingga tahu kekurangan porsi tubuhku di beberapa bagian. Namun, itu sungguh sesuatu yang buruk untuk dibicarakan.

"Kalau kau mau tidur lagi, ke kamarmu saja sana!" Aku menggeram dan balas memunggunginya. Aku meraih gulingku hanya dengan mengulurkan tangan, kemudian membawanya bersembunyi di balik selimut bersamaku. Hari masih gelap, aku punya banyak waktu untuk melanjutkan tidur.

💍

Aku terbangun untuk yang kedua kali. Kali ini di luar sana sudah terang, matahari bersinar cukup terik. Aku menemukan jam digital di mejaku menunjukkan pukul sebelas pagi. Luar biasa. Aku benar-benar memanjakan diriku.

Aku menyibak selimut dan menurunkan kaki. Sekarang duduk di tepian sofa dan melakukan peregangan kecil. Beberapa persendian di tubuhku agak tegang karena tidur terlalu lama.

Karena hanya sendirian di rumah dan belum berencana bepergian, aku cukup mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu keluar kamar tanpa lupa membawa ponsel. Rambut pendekku diikat satu asal, setidaknya agar tidak menutupi muka ketika aku menunduk.

Dapur adalah tujuanku berkat perut yang lapar. Aku berharap Killian menyiapkan sarapan juga untukku, meski kalau tidak pun tidak apa-apa. Lihat apa yang kutemukan, sebuah piring yang di atasnya roti panggang dengan isian sayur dan telur. Parahnya, ada bekas gigitan di salah satu sudutnya.

Perutku semakin meronta, segera saja kumakan roti yang sudah tidak berbentuk persegi sempurna lagi.

"Wow, kau benar-benar mengganti malam-malam yang kurang tidur, ya."

Aku tersedak roti ketika mendengar seseorang bicara. Aku mendongak dan menemukan Emma berada di sofa ruang tengah. Dia duduk dan memutar sebagian badannya agar dapat melihatku.

"Apa yang kaulakukan di sini? Sejak kapan datang?" Aku bertanya dengan heboh sambil berjalan menghampirinya. Pasti Killian yang mempersilakan dia masuk ke rumah.

Emma tersenyum, bahkan ketika aku meletakkan ponsel dan segelas susu yang kubawa ke atas meja. Detik berikutnya, dia justru merotasikan kedua matanya diiringi embusan napas. Apa aku baru saja melakukan sesuatu yang membuatnya kesal?

"Seseorang menawariku untuk menjadi partner kerjanya, jadi aku menerimanya. Aku tidak ingin terus-terusan jadi penjahit bebas." Emma menjawab penuh percaya diri. Ya ... itu cocok saja karena dia memang melakukannya dengan sangat baik. Dia bisa menjadi penjahit yang luar biasa.

Sampai-sampai aku masih tidak menyangka dia berada di sini. Maksudku, tawaran itu, dia menerimanya. Aku bahkan tidak bisa menahan senyumku saat ini. Bukankah ini hari yang baik?

"Aku tidak tahu harus berkata apa," ujarku sebelum menyuap kembali roti di tangan. Aku harus menghabiskannya. Makanan berada di tingkat teratas ketika perut sedang kosong, tidak peduli seperti apa situasinya.

"Aku bisa dengan jelas membaca wajahmu, Ana. Kau terlalu senang meski baru aku yang bekerja denganmu." Anting Emma yang banyak dan panjang-panjang itu berayun saat dia menggeleng. Aku sampai refleks menyentuh telingaku sendiri yang tidak beranting, menyisakan lubangnya saja di sana.

"Kau harus jadi aku untuk merasakan euforianya."

Emma mencebik. Walau tidak dipersilakan, dia menyamankan duduknya di sofa.

"Ngomong-ngomong, priamu berkali-kali lipat lebih tampan saat memakai jas. Sangat formal dan elegan. Aku mencium aroma uang ketika dia melewatiku. Kau yakin tidak terpesona pada yang seperti itu?"

Emma baru saja membuktikan kalau dia wanita normal. Meski kebanyakan wanita yang berpenampilan sepertinya di masa sekarang adalah penyuka sesama. Belum ada riset khusus tentang itu, tetapi dari yang pernah kutemui, begitulah adanya. Namun, aku tidak tahu siapa yang dia maksud sebagai priaku.

"Pardon, aku single dan sangat bahagia, apa aku melupakan seseorang?"

"Ck. Siapa lagi yang tinggal bersamamu selain dia?"

Oh, dia membicarakan tentang Killian. Rupanya lapar membuatku kesulitan untuk bisa fokus.

"Boleh jujur?" Aku menggosok-gosok telapak tanganku untuk membersihkan remah-remah roti panggang yang tersisa di sana. "Aku bosan mendengar pujian untuknya. Aku sudah terpesona padanya saat umur lima tahun. Sekarang saat melihatnya, aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi."

"Bagaimana dengan sikapnya? Dia sangat menggemaskan saat memberi tahu kau sedang tidur dan meminta agar aku tidak membuat keributan yang bisa membangunkanmu. Ya ... penampilanku memang agak barbar, bukan salahnya kalau mengira aku akan berbuat sesuatu yang aneh."

Aku tertawa karena Emma meniru bicara Killian dengan baik, bahkan nadanya pun sama. Kalau saja suaranya sedikit lebih berat, mungkin aku akan mengira dia adalah Killian jika tidak berbicara langsung seperti ini.

"Jujur saja, aku sempat takut denganmu."

"Meh. Sekarang kau justru memaksaku bekerja sama denganmu."

Sambil bergurau, Emma berusaha mencolek daguku, tetapi aku bergerak lebih cepat menghindarinya.

"Hei, apa itu?" Emma mendadak jadi sangat serius ketika matanya memicing ke sesuatu di bawah daguku.

"Apa?" Aku balas bertanya sembari menyentuh daguku. Aku tidak merasakan apa-apa di sana. Namun, Emma tidak berhenti melihatku, seolah-olah kalau dia berpaling sebentar saja, sesuatu di sana menghilang.

"Ada ruam kemerahan di sana." Emma menelengkan kepala dan tatapannya tertuju di bawah rahang kananku. "Oh, di situ juga ada."

Sial. Itu bekas Killian semalam! Ya. Bekas. Killian. Seperti yang kubilang, dia nyaris terbawa suasana andai ponselnya tidak berdering. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya saat bercermin tadi? Ini memalukan, bagaimana kalau Emma menduga yang tidak-tidak?

"Itu seperti bekas cu-"

"Alergi!" Aku memotong cepat sebelum dia menyelesaikan ucapannya. "Tadi malam aku makan ... makan makanan yang hampir basi, jadi, ya, begitulah. Leherku mulai gatal-gatal. Aku tidak tahu kalau masih membekas di sana."

Untuk meyakinkan kebohonganku, aku menggaruk asal area di sekitar rahang. Sulit memikirkan satu makanan untuk dijadikan tumbal mengingat aku mampu memakan semuanya tanpa hambatan apa pun. Aku bebas alergi. Kuharap alergi makanan basi cukup masuk akal.

"Santai, Ana, santai. Semakin digaruk, itu akan semakin merah." Emma meraih tanganku menjauh dari leher. Dia percaya, syukurlah.

"Um, kau mau makan atau minum sesuatu? Hari ini aku akan mengajakmu ke studio kecilku."

Lihat saja, Killian, aku tidak akan membiarkanmu melakukannya lagi.

💍

Malamnya, aku menikmati waktu senggang dengan menonton sitkom di ruang menonton lantai satu. Buku sketsa berada di pangkuan dan sebatang pensil di tangan. Aku sudah seperti ini dua jam sejak makan malam dan sudah menyelesaikan lima ilustrasi busana. Sekarang sedang proses yang keenam.

Killian belum pulang. Dia mengirim pesan dan memberi tahu bahwa ada diskusi dengan timnya dulu sebelum pulang. Aku bahkan tidak membalasnya, dan membiarkan dia tahu kalau aku sudah membacanya.

Bermenit-menit berikutnya, aku justru tenggelam dalam tayangan di TV. Buku sketsa dan pensilku sudah berpindah posisi ke atas meja. Untuk beberapa saat aku berhasil melupakan kekesalanku pada Killian. Sampai-sampai aku tidak sadar kalau bel rumah berbunyi beberapa kali. Aku baru menyadarinya ketika TV menayangkan segmen iklan.

Meski malas, tetapi aku tetap berjalan ke ruang tamu. Tidak sopan membiarkan tamu terlalu lama menunggu.

"Oh, Allen?"

Dia mungkin berdiri membelakangiku, tetapi aku cukup mengenali potongan rambut cepaknya yang ikal. Lagi pula, siapa lagi yang akan bertamu tanpa mobil terparkir di halamanku kalau bukan tetangga?

Dia berbalik dan dugaanku benar. Mood-ku berhasil membaik meski hanya melihatnya tersenyum. Mataku turun sebentar pada kotak cokelat besar di tangannya dan diikat pita merah. Aku menahan diri untuk tidak merasa terlalu percaya diri kalau itu ditujukan untukku.

"Hai, Ana. Maaf mengganggumu malam-malam seperti ini," ujarnya dengan suara yang agak serak. Aku bisa menyadari kalau dia kelelahan.

"Bukan masalah. Ada perlu apa?"

"Hanya ingin memberikan ini. Selamat untukmu. Aku baru sempat menemuimu karena hari ini benar-benar sangat repot." Dia menyodorkan kotak itu dan aku dengan senang hati menerimanya. Isinya lumayan berat, aku hampir menjatuhkannya karena telanjur mengira kalau kotak itu ringan.

"Terima kasih, Allen, kau tidak perlu repot-repot seperti ini." Kupeluk hadiah darinya, sebagai bentuk apresiasi sekaligus agar benda itu tidak tiba-tiba terlepas dari tanganku.

"Aku menyaksikan pengumumannya tepat di sebelahmu, mana mungkin aku tidak memberi apa-apa."

Karena alasan itu, aku jadi makin merasa tidak enak menerimanya.

"Um, jadi ini terpaksa?" Aku hanya bertanya, bukan meragukan kemurahan hatinya. Beruntungnya yang kuajak bicara ini Allen, yang hanya merespons dengan senyuman, bukan perasaan yang terluka.

"Aku memang berniat memberi sesuatu untuk tetangga baru. Tradisi keluargaku lebih tepatnya. Nenekku orang Asia, dia sering melakukan ini dan ya, sekarang turun temurun." Allen mengatakannya seolah-olah itu adalah sesuatu yang menyebalkan, tetapi juga menikmatinya.

"Momennya pas, ya," kataku karena tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. "Kau mau masuk dulu? Mungkin aku bisa buatkan minum. Ya ... seperti yang seharusnya kulakukan untuk tamu."

"Terdengar seperti kau terpaksa melakukannya." Sekarang dia membalikkan ucapanku.

"Usaha yang bagus, Tuan. Tapi aku selalu melakukannya, sebut saja kebiasaan."

Kurasa Allen sudah ingin mengatakan sesuatu, tetapi mobil Killian muncul dan lampunya menyorot kami berdua. Kekesalanku bertambah karena dia mengganggu kami berdua.

"Dia housemate-mu?" Allen bertanya sebelum Killian keluar dari mobil.

"Um, ya. Akan kuperkenalkan kau dengannya."

Kami menunggu Killian keluar. Aku merasa bodoh karena melakukan ini. Aku tidak terbiasa menyambut Killian pulang, kecuali kalau diminta untuk menjemputnya di bandara dulu. Si pria jenius itu sering mewakili olimpiade ke luar negeri. Luar biasa, 'kan?

"Kenapa malam-malam di luar?" Killian bertanya kepadaku, dia melalui Allen begitu saja tanpa meliriknya. Yang dia perhatikan justru aku, dan sekarang dia berdiri di sebelahku.

"Killian, dia Allen. Tetangga yang pernah kuceritakan kepadamu. Allen, ini Killian, teman serumahku." Aku memberi isyarat kepada keduanya agar berjabat tangan.

"Killian." Killian lebih dulu mengulurkan tangan.

"Allen." Dan Allen menjabatnya.

"Senang mengenalmu. Kau mau masuk? Ana tega sekali membiarkan tamu berdiri di luar."

Aku mengumpat tanpa suara dan merotasikan kedua mata saking kesalnya.

"Oh, aku hanya sebentar. Ini sudah mau pulang. Salam kenal, Killian. Um, setiap minggu sore ada olahraga rutin di lapangan depan komplek. Kau bisa ikut kalau tidak sibuk. Kita bisa bermain basket, sepak bola, badminton, ya, apa saja."

Allen benar-benar tetangga yang ramah. Senyumku pelan-pelan mengembang karena dia begitu antusias untuk menceritakannya kepada Killian.

"Terima kasih, Allen. Akan kuusahakan datang." Killian memamerkan senyumnya yang menawan kepada Allen. Terdengar ambigu saat aku mengatakannya. Maksudku, senyum Killian memang selalu memikat, tentu saja tidak berlaku bagi Allen yang seorang laki-laki.

"Tenang saja, Allen, akan kupastikan dia datang. Perut ini mulai membuncit." Aku sengaja mencubit perut Killian, yang tentu saja agak sulit karena takada lemak di sana. Aku hanya sedang membual. "Dia perlu banyak olahraga."

Aku tersenyum puas, mengabaikan rintihan Killian.

"Oh, baguslah. Kalau begitu sampai jumpa, aku harus pulang."

"Terima kasih, Allen." Aku mengatakannya lagi sebelum dia mulai beranjak pergi.

Tersisalah aku dan Killian. Aku mendelik sebentar ke arahnya sebelum masuk ke rumah lebih dulu. Hasilnya, dia memanggil-manggil sambil mengekor di belakangku. Dia cukup peka dengan ekspresiku.

"Hei, apa aku melakukan kesalahan? Seharusnya aku yang kesal karena kau langsung memutuskan aku akan datang." Bagus, sekarang dia protes tanpa menyadari apa yang diperbuatnya semalam.

"Kau mempermalukanku, Killian," balasku setelah meletakkan kotak hadiah dari Allen tadi ke atas meja depan TV.

"Apa yang sudah kuperbuat?"

Aku tidak mengatakan apa-apa dan hanya mendongak untuk memamerkan ruam merah yang masih tampak meski tidak sejelas tadi pagi. Aku tidak tahu berapa lama bekas cupang akan hilang.

"Kau bernafsu sekali sampai seperti ini. Aku memeriksanya di cermin dan kutemukan ada tujuh. Aku benar-benar malu karena Emma melihatnya lebih dulu sebelum aku sadar."

Dia justru tertawa. Padahal aku sedang protes dan bukan sedang melucu. Aku sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak meninju perutnya. Satu mendarat di perutnya, dua berhasil ditangkapnya. Dan itu sama sekali tidak berefek padanya. Aku menggeram keras saking kesalnya.

"Tidak kusangka aku seniman yang hebat."

"Sial, Killian. Aku tidak akan membiarkanmu kelepasan lagi. Mungkin mulai sekarang-" Aku menarik tanganku dari genggamannya. "-kita harus jaga jarak. Kau mulai berbahaya." Aku tidak hanya mengatakannya, tetapi benar-benar melakukannya. Aku mundur dua langkah untuk menciptakan jarak lebih jauh.

"Ayolah, Ana, itu hanya kecelakaan. Lagi pula, kita pasangan suami istri. Sah-sah saja melakukan sesuatu lebih dari itu."

Aku tidak tahu, rasanya semenjak mengenal Gabby, mulut Killian jadi makin pedas kalau berucap. Ya ... persis seperti wanita itu ketika menganggap pekerjaanku hanya berorientasi pada uang. Atau Killian memang seperti itu sejak dulu tetapi tidak pernah ditujukan kepadaku? Aku justru tidak percaya opsi kedua.

"Aku setuju menikah, bukan berarti aku akan membenarkan jika kita melakukan itu, Killian. Aku tidak ingin dimanfaatkan untuk memuaskan hasratmu, dan kalau kau perlu pun, lakukan saja pada calon pacarmu."

Killian bungkam. Tawanya seketika lenyap seperti tertelan bersama ludahnya. Aku mulai membereskan alat-alat menggambar dan berniat kembali membawanya ke kamar.

"Maaf, Ana. Aku mungkin kelepasan semalam, tapi aku berjanji itu tidak akan terulang lagi."

Aku berhenti melangkah sebentar, tetapi enggan berbalik. "Katakan itu besok saja, ketika suasana hatiku sudah membaik."

Apa aku yang terlalu sensitif, atau Killian memang jadi sangat menyebalkan semenjak kami menikah? Jujur saja, aku mulai tidak mengenal dirinya.

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
17 Oktober 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top