#8


"Jadi, kalian bertengkar?"

"Tentu saja. Memangnya aku terima kalau kau diperlakukan seperti itu olehnya?"

Di sela perbincangan dua orang tersebut, seseorang melintas. Menyeret kopernya dengan tatapan awas. Jimin mengalihkan wajah, muak memperhatikan Taehyung yang tampak seorang bajingan.

Sementara, gadis tak tau rasa bersalah itu tersenyum di atas pertikaian yang 'mantan kekasihnya' alami.

.

.

.

Jimin pov

"Eomma, aku tidak mau tau. Pokoknya aku tidak mau tinggal di asrama!"

"Kenapa kau membantahku, Jim?"

"Tinggal di asrama akan mengurangi rasa stress Eomma atas kekacauan yang kau dan adikmu buat!!"

"Imo, tolong dengarkan Jimin. Dia punya alasan."

Keributan antara aku dan Taehyung hampir mengakibatkan seisi asrama jengkel. Tentu, baru sehari saja bermalam sudah banyak kejadian yang terjadi. Mulai dari gadis penyusup sampai perkelahianku tadi pagi dengan Taehyung. Seharusnya aku sudah berada di kelas dan antusias mengikuti pemaparan materi dari Pak Han, namun yang kulakukan malah sebaliknya. Aku membolos untuk merengek kepada eomma, supaya ia mengeluarkanku dari asrama menyebalkan itu.

"Diam, Yerin! Jangan membela anak ini. Dia harus belajar dewasa."

Yerin sepertinya tak pernah kehabisan akal. Benar aku tak jadi lepas bebas dari asrama, tapi setidaknya Yerin mengusulkan seseorang untuk menggantikan posisi Taehyung sebagai roomate-ku.

"Aku yakin dia akan setuju, Imo. Bukankah anak itu sangat menyukai Jimin? Mereka pasti akan cepat akur."

Anak itu, anak yang dimaksudkan Yerin adalah teman masa kecilnya. Kami pernah bertemu dua kali. Pertama, saat aku menghadiri acara perpisahan sekolah Yerin. Dan kedua, waktu Yerin menggelar acara ulang tahunnya tahun lalu. Aku bahkan sampai tidak percaya kalau anak itu berada di kampus yang sama denganku.

Masa bodoh dengan Taehyung. Sebentar lagi aku akan mendapat sahabat yang lebih baik darinya.

"Baiklah. Aku setuju dengan usulan Yerin. Aku mau tetap tinggal di asrama asalkan aku ada teman sekamar yang baru."

"Jadi kau bertengkar dengan Taehyung?"

"Jim..Jim. Kau itu buta. Tega-teganya membuang sahabat baik sepertinya."

Dan suara tak diharapkan itu muncul. Siapa lagi kalau bukan Park Jinwoo, adik tersayangku yang lebih mencintai Taehyung daripada hyung-nya sendiri.

"Sudah-sudah! Jangan memancing kekacauan, Jinwoo. Kembali ke kamarmu!"

"Lagi-lagi Eomma membelanya. Eomma lihat sendiri kan, bagaimana cara adik kurang ajar itu berbicara padaku."

"Cukup. Sebaiknya kau kembali ke asramamu, supaya tidak terjadi pertengkaran lagi di rumahku!"

Eomma mengusirku. Jelas. Sangat jelas. Namun ini memang jadi alasan yang lebih baik daripada harus menahan darahku mendidih sampai ke otak.

Kau harus tetap tenang Jim.. tenang.

....................................

"Yassh!! Sassy!! Kenapa kau menggigitku?"

"Apa kau marah? Atau kau lapar??"

"Astaga.. aku sampai lupa memberimu makan gara-gara terlalu sibuk degan si bajingan itu!"

"Aagh!! Kau menggigitku lagi?"

Kamar nomor tiga dari ujung, di lantai empat sebuah asrama putra Universitas Seoul tadinya begitu sepi. Tak lama berlalu, suara teriakan mulai bermunculan. Si pemilik kamar ricuh dibuat peliharaannya sendiri.

"Sassy.. diamlah. Aku mohon.. kenapa kau jadi lincah begini??"

"Berhenti!! Jangan menggigiti bantalku!"

"Christian,, ada apa dengan temanmu inii??"

Park Jimin pusing!

Rambut cokelatnya tampak berantakan. Keringat bercucuran, membawa bau badan khas menjalar di seluruh ruangan. Ia tak sempat mandi karena harus mengurusi kamarnya seorang diri. Iya, seorang diri. Andai saja Taehyung masih disana, semua ini tidak akan terjadi. Kegegabahan langkah yang diambil Jimin rupanya membawa dampak yang begitu besar.

Jimin menatap bungkusan ramen bekasnya makan malam. Bukan sampah, melainkan bungkusan-bungkusan utuh yang siap menunggu untuk dihidangkan. Jimin tak memiliki pilihan lain, ia harus memasak ramen itu karena perutnya sudah keroncongan. Tak peduli meskipun ramen yang akan dilahapnya adalah pemberian dari temannya yang ia 'tidak sukai'.

Hari mulai malam dan suasana kembali temaram. Menyedihkan! Makan seorang diri di sebuah kamar yang bahkan memiliki dua kasur..

"Ada apa ini?? Apa aku menyesali perbuatanku padanya??"

"Tidak. Itu tidak akan pernah. Lelaki brengsek sepertinya memang pantas mendapat pukulanku!"

Tangannya mengepal menggebrak meja.


"Dasar bodoh!"






Tunggu.

Suara siapa itu?

Seingat Jimin, di kamarnya hanya ada dirinya seorang. Ia tak pernah membawa teman atau mengundang temannya untuk datang bermalam.

"Seharusnya kau dengar dulu penjelasan sahabatmu, bukan asal percaya omongan gadis sialan itu!"

Suara perempuan??

Jimin mengedarkan kepalanya ke sepenjuru ruang. Ah, padahal dia tidak kecanduan film horror beberapa hari ini. Paling, dia hanya menonton beberapa cuplikan adegan panas melalui handphone si 'biang penyelundup kampus'.

"Jimin, kau mulai gila!!"

Kata Jimin pada dirinya sendiri.

"Kau memang gila, dasar egois!"

"S-siapa disana??"

Tak ada jawaban.

Hening melanda hingga beberapa menit kemudian.

"Sepertinya aku butuh obat tidur.. aku pasti tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini."

Keadaan kembali normal. Seusai menyeruput ramennya yang terakhir, Jimin mengenakan jaket dan hendak pergi ke apotek terdekat.

Ia kunci kamarnya rapat-rapat, agar kejadian beberapa hari lalu tak terulangi.

.................................

Gerimis datang.

Ramalan cuaca tak sepenuhnya akurat. Jimin menggerutu di dalam hati. Sial, sial, dan sial!! Ia merasa kesialam bertubi-tubi menimpanya semenjak tadi pagi. Suasana hatinya buruk, ditambah lagi hujan gerimis yang mendadak turun tanpa dimintai.

Jimin mengantongi kantung plastik obat tidurnya ke dalam saku jaket. Ia menaikkan resleting sampai menyentuh batas leher, di tutupkannya tudung jaket agar kepalanya tak terbasahi oleh air hujan.

Jimin mulai berlari. Jalanan yang becek menimbulkan suara berdecak setiap kali telapak sepatunya melangkahi aspal.

Namun, ia berhenti saat hampir sejengkal tangannya berhasil meraih pintu mobil.

Ia mendengar sesuatu.


"Mau kemana, Nona? Malam-malam begini jalan sendirian?"

"Apa mau Oppa ini menemanimu??"

"Kau manis sekali.."

"Pergi!! Kalian seharusnya berpikir kalau kalian punya otak! Di umur yang setua ini, tidak pantas kalian mabuk-mabukan di jalanan.. dan mengganggu anak muda sepertiku. Malu dengan keluarga di rumah, aku yakin.. di antara kalian pasti ada yang sudah memiliki anak. Cuih!! Menjijikkan. Oppa?? Kalian menyebut diri kalian sendiri Oppa? Oh my God!!"


"Haiishhh!!!"

Pyarr!


Salah seorang pria yang berkumis dan bertubuh kekar membanting botol sojunya. Matanya memerah, meski ia mabuk tetapi otaknya masih mampu mencerna hinaan yang gadis itu sampaikan.

"Sebaiknya kau diam, Nona! Kau cantik tapi mulutmu pedas sekali. Lihat saja, setelah ini kau tidak akan dapat kabur dariku!"

Kedua pria itu mulai mendekat. Semakin mendekat hingga berhasil menjangkau pundak si gadis.

"Hey!! Lepaskan tangan kotor kalian!!"

"Tidak! Mana mungkin kami menyia-nyiakan gadis manis sepertimu, Nona?"

Ledek pria yang satunya.


Jimin menyadari apa yang terjadi. Dia mengenal gadis itu. Iya, gadis itu!! Meskipun ia tak terlalu menyukainya, yang jelas Jimin harus membantunya yang dalam keadaan bahaya ini.

"Berhenti!! Lepaskan gadis itu!"































To be continued..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top