Unlucky

"Sudah, simpan dulu kantong uangmu, Sophie!"

Aku merengut pada sobat karibku yang merusak kesenangan seorang gadis yang sedang menikmati gaji pertamanya.

Seharusnya misi kali ini kami baru mendapatkan kredit dan uang setelah kembali ke akademi untuk menyerahkan surat bukti bahwa kami sudah menyelesaikan tugas. Namun klien kami yang sangat murah hati memberikan bayaran tambahan, berupa beberapa keping uang perunggu dan sekeping perak. Membayangkan berapa banyak roti manis yang bisa kubeli dengan uang perunggunya saja sudah membuat ingin menari.

"Mau kau belikan apa uangmu, Marin?" tanya Louis. Diam-diam aku mempertajam pendengaranku, penasaran.

"Biji kopi."

Jawaban yang membingungkan. Apa yang akan dia lakukan dengan biji-biji pahitnya itu, sempat membuatku bertanya-tanya, sebelum kemudian melupakannya sama sekali begitu melihat deretan toko-toko di sepanjang distrik pertokoan Kota Calamis.

"Nona ... nona manis yang di sana!"

Sayup-sayup aku mendengar suara lirih dan parau lelaki tua. Ketika menoleh ke asal suara, terlihat tenda kumal dengan sosok lelaki berjubah yang tak kalah lusuhnya. Papan bobrok dengan cat yang hampir pudar menunjukkan bahwa lelaki tua itu berprofesi sebagai peramal. Nampaknya tak terlalu laku.

"Maukah mencoba peruntungan dengan ramalan orisinil Kakek ini?" bujuknya parau.

Aku yang sudah memiliki daftar belanja cukup panjang dalam benak, jelas tak berminat. Namun ketika akan menyusul langkah-langkah lebar Rene, terdengar suara parau lelaki itu lagi.

"Dari butir-butir biji kopi ini, aku bisa melihat masa depanmu cukup cerah sebagai jendral perempuan pertama kerajaan ... tidakkah kau ingin mengetahui detilnya?"

Ramalan dengan ampas kopi, atau teh aku tahu, tetapi ramalan dengan biji kopi baru kali ini aku mendengarnya . Daripada dikatakan tertarik dengan hasil ramalannya, aku lebih tertarik pada metode yang digunakan kakek itu. Namun aku mengeraskan hati untuk tidak tergiur dan bergegas menyusul Rene.

"Kenapa, Sophie?" tanya Rene, melihat aku melangkah dalam diam dengan kening berkerut.

"Rene ... kau percaya ramalan?" gumamku, balik bertanya.

"Tergantung siapa yang meramal," jawabnya.

Benar juga. Aku nyaris lupa, Bibi Rosalie, ibu Rene berprofesi sebagai Penyihir Desa—ahli mantra untuk kehidupan sehari-hari. Mulai dari jampi-jampi pengobatan, perlindungan, hingga ramalan ringan, beliau sering lakukan. Rene pasti pernah sekali atau dua kali diramal oleh ibunya.

"Begini ...," kataku memulai dengan ragu. "Di jalan sana tadi ada kakek-kakek yang- ...."

"Pasti dia penipu."

"AKU BELUM SELESAI BICARA!!!"

"Dia akan mengatakan hal yang sangat bagus atau sangat jelek untuk menarik perhatianmu, lalu menawarkan ramalan gratis ... Saat kau sudah mulai percaya, dia akan menarik bayaran sangat mahal untuk lanjutan ramalannya."

Desah panjang lolos dari mulutku mendengar penjabaran Rene yang tepat sasaran itu.

"Yang membuatku terusik bukan bagus-tidaknya ramalan Kakek tadi, tapi ...."

"Sophie!!!" Rene menghentikan langkahku.

Aku tak sempat mempertanyakan maksud kelakuannya, karena seekor kuda melintas dengan cepat. Karung di punggungnya sampai terpental-pental, hingga isinya berhamburan di jalan. Aku melihat butiran cokelat gelap yang menggelinding ke berbagai arah, termasuk ke dekat kakiku. Biji kopi!

"Ini ... bukannya biji kopi?" gumamku.

Kudengar ribut-ribut dari asal arah kuda berlari, Marin dengan wajah serius berlari menyusul kuda tadi. Sayup-sayup kudengar suara gelak tawa juga—sepertinya Louis.

"Apa yang terjadi pada kuda tadi sampai berlari sepanik itu?"

Pertanyaanku juga sama, sobat karibku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top