Lost
"Sophie, apa betul arahnya ke sini?"
Dengan keringat dingin mulai mengucur dari pelipis, aku memeriksa peta di tangan. Sungguh aneh, jalan yang kami pilih tadi sama persis dengan tanda di peta—pihak administrasi yang menandai dengan cat transparan yang berpendar dan tahan air, tetapi semakin lama jalan yang dilalui semakin sempit. Hingga kereta yang kami tumpangi terpaksa berhenti.
"Sophie ... jalannya habis."
Diam, Rene! Aku juga bisa lihat itu.
"Uwaw ... di depan sana cuma ada rawa-rawa. Kau yakin kereta ini bisa melewatinya tanpa terbenam?"
Diam, Louis! Aku juga tidak yakin bisa.
Tidak ada pilihan lain, aku harus segera mengakui bahwa terjadi kesalahan—entah dari sebelah mana, saat membaca peta. Mungkin citraku di mata klien akan memburuk, tetapi tak apalah. Dengan berat hati aku menghadap ke Tuan Strauss yang tak tampak khawatir. Setidaknya belum, mungkin karena tak tahu kalau kita tersesat.
"Tuan Strauss ...," ragu-ragu aku memulai.
"Ada jalan."
Aku menoleh kesal pada Marin yang memotong penyampaian maafku.
"Di sini," gadis berwajah es itu menunjuk ke satu titik di peta. "Jalannya terbelah dua. Bersisian, tetapi tak seberapa kelihatan karena gelap dan tertutup pepohonan rawa. Administrasi mungkin keliru menarik garis ... Untungnya, kita masih bisa kembali ke jalan satunya kalau mundur sedikit, sekitar 100 meter."
"Oh, kau benar!" gumamku, campuran antara rasa kagum dan lega. "Tuan Strauss, maaf ... Tapi sepertinya kita harus berputar."
Kusir perlahan memutar kereta kuda yang kami tumpangi, dibantu Rene dan Louis yang memastikan roda kereta tidak terperosok keluar jalan ketika melakukan maneuver. Aku dan Marin mengambil posisi siaga seraya mengawasi keadaan sekeliling.
Sejauh ini, makhluk-makhluk rawa yang muncul, bisa dilindas dengan mudah oleh roda kereta yang kokoh dan kaki-kaki kuda yang kuat. Namun Rene selalu mewanti-wanti agar kami tetap waspada. Kalau hanya kadal rawa atau kodok raksasa masih tak masalah, yang perlu dikhawatirkan adalah ....
"Ular Es, dari arah pukul 11 kereta!"
Seruan Marin membuatku ciut. Lawan paling merepotkan itu muncul. Bukan hanya gerakannya gesit dan cepat di area rawa, cairan yang dia semburkan juga membekukan area tanah lembab di sekelilingnya. Modus serangannya adalah membuat kaki mangsa terpaku di tanah lalu ditelan hidup-hidup. Aku belum pernah mendengar Ular Es menelan manusia, tetapi juga tidak mau jadi korban pertama mereka.
"Dua ekor lagi, arah pukul 3 kereta!!!" seru Rene.
"Hei, yang di depan sini ... ada beberapa juga. Boleh kubantai?" suara santai Louis terdengar dari arah pukul 5 kereta. Setidaknya yang di sebelah sana tak perlu kupikirkan, cukup seekor yang berzig-zag menuju kakiku saja.
"Di sini, arah pukul 7 biar aku!" seruku seraya mencabut pedang, dan menyiapkan buckler di tangan.
Desing bilah-bilah pedang yang ditarik keluar dari sarung membuat detak jantung meningkat. Ini bukan kali pertama bagi kadet akademi melawan ular es, tetapi kami belum pernah menghadapinya langsung di tengah rawa begini.
Sudah bisa diduga, sebagian tanah menjadi licin akibat semburan bekunya. Kami harus sangat berhati-hati melangkah. Baru juga aku berhasil melumpuhkan seekor di hadapanku dengan susah payah, Louis kembali berseru, "Heeei, aku mendeteksi gelombang berikutnya serangan Ular Es, perkiraan mereka akan sampai dalam 5 ... 4 ... 3 ...."
Jadi itu hitungan mundur?! Aku mengusap darah dingin yang menciprati wajah. Ingin rasanya menganggap perkiraannya salah, tetapi ... kalau melihat posisi Louis yang sedang berdiri di atap kereta. Ah ... suara gemeresak dan desis itu, tak salah lagi. Perkataan Louis benar, sepertinya ujung jalan ini adalah area berburu Ular Es, dan kami terperangkap.
"Mohon izin untuk menggunakan mantra!"
Hah, apa katanya?
"Diizinkan!"
Rene! Apa yang kau katakan ... Siapa tadi yang bisa menggunakan mantra di sini?!
Kemudian aku teringat, Kadet Marin ... dia memiliki darah Merian. Selama ini kukira hanya penampilan fisiknya saja yang terpengaruh. Karena, walau gosip tentangnya cukup santer, sekali pun aku tak pernah melihatnya menggunakan sihir.
Aku hanya pernah melihat Bibi Rosalie menggunakan herbal dan kristal untuk katalis jampi-jampinya. Senandung Merian dengan nada-nada yang asing tetapi entah bagaimana terasa akrab di telinga membuat kami tertegun. Jernih dan bening, seperti suara gesekan jari yang basah di wadah kristal.
Satu-persatu pergerakan para ular es melambat. Mereka tak lagi memuntahkan semburan beku. Rene bisa menebas dan menusukkan ujung tombaknya dengan mudah untuk melumpuhkan mereka. Aku pun tak perlu menggunakan buckler untuk bertahan, tinggal melumpuhkan mereka dengan pedang saja. Louis ... bocah itu sedang duduk-duduk santai di atap kereta, menikmati nyanyian Marin.
"Lapor, semua Ular Es yang mengancam selesai dihabisi."
Kalimat itu diucapkan oleh Louis dengan sangat tenang. Anehnya, kami langsung percaya dan menurunkan senjata masing-masing. Memang tidak ada lagi Ular Es yang terlihat. Senandung Merian pun berhenti berkumandang. Di sekitar kami menjadi sunyi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top