Grave
Crak! Crak! Crak!
Tanah dikeduk berkali-kali. Hanya suara kedukan dan sesekali bongkahan tanah basah yang terlihat terlempar keluar lubang yang terlihat. Gundukan tanah di samping lubang menandakan besarnya lubang yang sudah tergali sudah lebih dari cukup untuk sekadar mengubur bangkai anjing atau mungkin kambing peliharaan.
Sudah di ujung musim dingin. Salju sudah jarang terlihat, tetapi tanah di kota dan sekitarnya pastilah masih membeku, keras, menyulitkan untuk digali. Mungkin karena terlalu asyik dengan apa yang dikerjakan, mungkin juga karena langkah kaki Rene cukup senyap, walau menginjak lahan becek.
Ujung botnya menyentuh batu persegi yang sudah dipoles rapi. Hanya tiga huruf besar, dan pahatan nama, tanggal lahir, juga tanggal kematian. Alis Rene bertaut.
"Apa maksudnya ini?"
Sophie terlonjak di lubang galiannya.
"RENE! Bilang-bilang, dong ... kalau datang!" protes gadis itu.
"Apa ini, Sophie?" tanya pemuda itu lagi. Kali ini terdengar lebih tegas. Kilat tajam di mata yang biasanya kalem—malah cenderung apatis, itu membuat Sophie mengurungkan untuk menjawab asal-asalan.
"Um ... batu nisan?"
"Aku bisa lihat itu," ucap Rene, makin terdengar berbahaya. "Yang kutanyakan, apa maksudnya kau membuat nisan atas namamu sendiri?!"
"Ha-habisnya ... Beberapa hari lagi kita akan mendapat ujian kenaikan tingkat, kan?"
Rene tidak mengiyakan, tetapi tetap diam, menunggu sahabat sejak kecilnya meneruskan.
"Aku sudah belajar banyak, latihan banyak, pokoknya usaha banyak ... Tapi kau lihat, di papan peringkat sementara, posisiku tak pernah bisa beranjak dari 10 besar seangkatan."
Ekspresi Rene mengendur.
"Jadi," ujar pemuda itu pelan-pelan. "Kaitannya itu semua dengan kau susah-payah membuat nisanmu sendiri, menggali lubang sampai berlumuran lumpur, adalah ...?"
"Maksudku, kalau aku kelihatan mati ... mungkin Kakek dan Ibu akan menyesal sudah mengungkit-ungkit soal peringkat sejak hari pertama masuk," gumam Sophie lirih.
"Kau ... tidak bermaksud untuk mati sungguhan, kan?"
"Tentu saja tidak! Aku cuma pura-pura ... lalu nanti rencananya aku akan muncul setelah Kakek dan Ibu menangisi kematianku, untuk memaafkan mereka."
"Sepertinya kau terlalu banyak baca novel roman," tuduh Rene sambil menepuk dahi.
Rene tak tahu harus tertawa atau mendesah lega atas pola pikir Sophie yang agak ajaib itu. Dia kemudian membujuk gadis sahabatnya untuk keluar dari lubang. Butuh waktu, hingga akhirnya Sophie menurut.
Setelah menutup kembali lubang di tanah dan menyita nisan palsu yang dibuat oleh Sophie, Rene menggiring gadis itu untuk menemui ibunya sendiri. Ibunya pasti bisa menemukan kata-kata yang lebih tepat untuk menangkan Sophie, sambil sekalian membersihkan bekas tanah dan lumpur yang menempel di baju dan rambutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top