Famous

"Kau nonton pertandingan mereka kemarin?!"

"Iya, aku nonton! SERU!!!"

"Aku juga! Dua finalis turnamen itu hebat betul ... Mereka pasti sukses di masa depan."

Sembari meradang dan mencibir pada percakapan orang-orang tak kukenal itu kusadari, rasa cemburu itu mengerikan. Bisa dipastikan ekspresi paras juga tak enak untuk dilihat—karena itu juga, aku memutuskan untuk tidak bercermin, bahkan setelah mencuci muka dan menyikat rambut pagi tadi.

Akibat kalah undian, aku kebagian bertugas mengambil pesanan instruktur di pusat kota. Sebagai peserta yang bahkan tak mencapai semifinal, ini mendengar pembicaraan tentang para pemenang terasa menyakitkan. Bahkan toko camilan langganan kami, yang biasanya jadi pelipur laraku saat ketiban sampur harus berbelanja atau semacamnya, memajang menu khusus: Sundae Sea, dari image kadet Marin; dan Trouble Tart, dari image kadet Louis.

Rasa kesal membuatku tak jadi membeli sekantong manisan peach, dan memilih menunggu kedatangan sobat karibku yang bertugas mengambil pesanan di area lain pertokoan, di dekat kolam air mancur saja. Namun rupanya aku terlalu meremehkan kepopuleran turnamen yang diadakan oleh kerajaan itu. Di mana-mana terlihat poster dan berbagai jejak dukungan orang kepada para juara.

"Mama, lihat ... Di cokelatku ada hadiah kartu bergambar juara turnamen!"

Suara riang anak kecil yang memamerkan temuannya itu jadi mantra kutukan yang membuat ekspresi wajahku kembali berubah tak menyenangkan. Aku tahu, karena tiba-tiba anak kecil itu menangis lalu memeluk erat pinggang ibunya ketika melihat wajahku.

"Sophie," Rene yang baru saja datang, memanggil. Aku menoleh pada tumpukan barang dalam kotak kayu yang menjulang hingga menutupi pandangannya.

"Sungguh, aku penasaran ... Bagaimana kau bisa sampai di sini dengan selamat?"

"Dengan melangkahkan kaki ke tempat yang aman untuk menapak, seperti biasa," jawabnya acuh-tak acuh. "Bagianmu sudah diambil semua?"

"Yup," gumamku sambil melirik pada keranjang yang juga berisi tumpukan barang, walau tidak sampai setinggi bawaan Rene. "Seandainya ada gerobak, tugas kita bakal lebih mudah."

"Kalau gerobak ... sepertinya tadi aku melihat ada yang menyewakan di jalan menuju ke sini."

"APA, DI MANA?!"

"Kira-kira, 150 meter ke arah san- ...."

Aku segera melesat menuju arah yang ditunjuk oleh Rene. Meninggalkan barang-barang titipan instruktur bersamanya. Sedikit bersyukur, karena tak perlu mendengarkan cemoohan sobat karibku mengenai ekspresi bagai kertas lecek ini.

Di akademi, walau sudah berlalu beberapa hari, pembicaraan mengenai turnamen masih menjadi topik terkini. Namun kami tidak terlalu merasa terbebani, karena masih bisa saling menghibur sebagai sesame peserta yang gagal. Kalau tak salah ada istilahnya ... Sesama anjing pecundang saling menepuk pundak? Rasanya bukan itu, tapi aku yakin pernah mendengarnya dari mulut Kadet Marin, ketika memergoki kami sedang bergunjing tentang dirinya dan Kadet Louis.

Berbeda dengan Kadet Louis yang akan dengan senang hati menanggapi gunjingan kami dengan lelucon kejamnya, Kadet Marin biasanya tak bereaksi. Namun sesekali dia akan berkomentar tajam, sebelum pergi begitu saja. Ekspresi datarnya saat mengucapkan itu makin memperparah efek serangan mental yang kami terima.

Aaahhh ... mengingatnya saja sudah membuat darahku mendidih. Nyaris saja toko pertukangan yang menyewakan gerobak, terlewati.

"Permisi!" seruku sembari menarik lonceng di pintu toko yang dibiarkan terbuka lebar beberapa kali. "Itu gerobak dorong di depan masih disewakan?" tanyaku begitu melihat sosok seseorang keluar.

"Tentu saja!" sambut bapak-bapak yang mengenakan pakaian bertukang. "Mau sewa per hari atau per tiga jam?"

Aku baru akan menanyakan harga untuk perhari, ketika mata biru bapak-bapak itu membulat lalu wajahnya berangsur menjadi cerah.

"Seragam dan emblem itu ... Kau murid Akademi?"

"Uhh ... Ya?" jawabku ragu.

"KALAU BEGITU ... KUGRATISKAN!" serunya riang. Lalu memberikan selembar catatan bukti sewa, dan stempel bertuliskan kata: Lunas, besar-besar di tengah.

"Turnamen kali ini sungguh menarik. Aku menikmati semua pertandingan kalian, terutama para finalisnya!" tambah bapak-bapak itu ceria seraya menepuk punggungku berkali-kali dengan telapak tangan kasarnya, hingga membuatku terbatuk.

"Kau juga berusaha untuk turnamen berikutnya, ya!" tambahnya dengan lambaian tangan, mengantar kepergianku dan gerobaknya.

"Bagaimana rasanya mendapat untung karena ketenaran orang lain?" sindir Rene, segera setelah aku tiba di tempatnya.

"Diam, kau! Lagipula ... tahu darimana?"

"Dari ekspresi wajahmu yang sudah seperti lembaran koran yang disetrika licin ... Sebelum ini, buntelan kertas coretan essai gagalku terlihat lebih mulus ketimbang wajahmu."

"Bagaimana kau bisa lihat dari balik tumpukan barang-barang ituuu???"

"Dengan sepasang mataku yang masih berfungsi dengan baik tentunya."

Aku masih meneruskan protes-protesku pada Rene, tetapi rasa dengki yang sebelumnya bercokol, pelan-pelan mulai pudar. Masih ada rasa kesal, hanya saja kali ini menjadi motivasi untuk kembali berjuang. 

Tema kali ini, arti dari nama asli. Bisa sebagian atau semuanya. Berikut adalah arti dari nama depan saya kalau menurut kamus Sansekerta - Indonesia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top