Book

"Buku apa itu?"

Rene melirik selintas, lalu menunjukkan sisi sampul depan buku padaku.

Bukannya aku tidak bisa membaca, tetapi melihatnya bertingkah begitu padahal bisa menjawab pertanyaanku dengan mudah, membuatku kesal.

"Kisah Petualangan Tom Sawyer dan Huckleberry Finn." Aku membaca keras-keras judul bukunya. Sebuah novel, tumben.

Hampir aku bertanya pada Rene apa yang membuatnya tertarik membaca buku itu, kemudian aku ingat ... kami masih dalam kondisi perang dingin. Kali ini, dia yang marah padaku. Kelangkaan kedua, setelah pilihan bacaan Rene.

Biasanya, aku yang marah, lalu Rene yang datang untuk meminta maaf. Belum pernah terjadi sebaliknya. Sekarang, aku tak tahu harus bagaimana untuk berbaikan.

Bertengkar dengan sobat karib menjelang liburan sungguh tidak menguntungkan. Sekarang aku, amat sangat menganggur, hingga tanpa pikir panjang sudah sampai di rumah keluarga Yates.

"Sophie, jus apelnya ada di meja sini ... Ambil saja sebanyak yang kau suka," seru Bibi Rosalie dari dapur.

Aku buru-buru melompat dari kursi ruang tengah, menuju dapur. Namun terlambat, beliau sudah keburu keluar. Padahal aku bermaksud ikut, tanpa harus meneruskan percakapan kecil yang canggung dengan Rene.

Terlanjur sampai di dapur, kubawa saja nampan yang menjadi tatakan untuk guci kaca penuh dengan jus apel segar, berikut dua gelas kosongnya, ke ruang tengah. Guci kacanya sudah diberi jampi-jampi agar jus apel di dalamnya selalu dingin, salah satu keahlian Bibi Rosalie selain membuat kue-kue dan mendongeng. Inilah sebabnya aku selalu suka berkunjung ke rumahnya Rene.

"Jus apel buatan ibumu, mau?" tawarku kaku.

Rene meraih salah satu gelas kosong, lalu menyodorkannya padaku, tanpa mengangkat hidungnya dari buku sama sekali.

Belum memaafkan, tetapi jusnya mau ... begitu, ya?

Apa boleh buat, sebagai sobat yang baik, kutuangkan juga jus yang dia minta. Setelah itu baru kutuangkan untukku sendiri.

Begitu cairan kuning keemasan itu kuteguk, langsung terasa segarnya. Manis-asam, dengan harum buah apel memenuhi rongga hidung. Rene sungguh beruntung bisa minum yang seperti ini, kapan pun dia mau.

Belasan menit berlalu. Aku menyeruput perlahan isi gelasku, sembari menonton Rene yang masih menenggelamkan diri dalam bacaannya. Butuh berapa lama lagi kami harus saling diam-diaman begini.

"Kau sudah minta maaf?"

Pertanyaan mendadak Rene membuatku terlonjak. Sudah lebih dari 48 jam dia tidak mengusik monologku.

"U-untuk apa?"

Rene menyipitkan mata lalu membalik halaman berikutnya.

"A-a-aku belum akan minta maaf, karena aku tak tahu salahku di mana!" seruku cepat-cepat, sebelum Rene kembali tenggelam dalam bacaannya.

"Marah-marah karena hal sepele, itu kau sudah sering ... aku sudah biasa. Membuat keributan, akibat terlalu cepat mengambil kesimpulan, salah sangka, lagi ... itu juga sudah sering. Menyerang duluan, nanya belakangan ... Aku sebetulnya tak setuju, tapi belakangan kau sedikit mendingan."

Mendengar Rene menjabarkan semua kesalahanku selama ini, membuat wajahku memanas. Namun aku tak boleh menyela ataupun protes. Bisa gawat kalau dia lebih marah dari ini.

"Tidak mau mendengar penjelasan dan sibuk menyalahkan orang lain, ini juga sebetulnya sudah biasa ... tetapi yang kemarin itu kau sedikit keterlaluan ...."

Aku menatap mata hijau Rene dengan gugup, menunggu dia menyelesaikan kalimatnya.

"Aku tak suka!"

Hanya tiga kata. Mataku langsung memanas dan bulir-bulir air bercucuran dengan deras. Aku baru menyadari bahwa dibandingkan dengan hantu, dianggap remeh, atau kehilangan kesempatan untuk berprestasi, aku lebih takut dibenci oleh Rene.

Butuh satu jam, hingga tangisku reda. Rene bahkan menutup bukunya, dan membiarkan aku menangis di bahunya sampai puas, sambil mendengarkan gumaman permintaan maafku yang tak jelas karena bercampur isak-tangis.

"Jadi ... buku ini spesial, cetakan pertama dari karya penulis kondang, Mark Twain." Rene mulai menjelaskan, sementara aku kembali menyeruput jus apel—kali ini dengan perasaan yang jauh lebih ringan.

"Dibandingkan dengan karya sebelumnya, judul kali ini ceritanya lebih kompleks. Tentang perbudakan, rasisme, masalah agama, dan lain-lain ... Sedikit mirip dengan situasi di beberapa tempat dalam Plate, belakangan ini ...."

Sudah kuduga, bacaan Rene selalu serius dan membosankan. Namun aku lebih suka mendengarkan dia mengoceh tentang topik bacaannya, daripada didiamkan seperti tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top