Adventure
"RENE! DI BELAKANGMU!!!"
Jeritan Sophie segera tertelan suara raungan makhluk berbulu cokelat gelap dengan tinggi nyaris mencapai tiga meter. Ketika cakar-cakar raksasanya terangkat tinggi, siap diayunkan untuk memecahkan kepala Rene, terdengar suara letusan.
Gerakan beruang terhenti. Raungannya seperti kombinasi antara kesakitan dan amarah. Kesempatan itu digunakan oleh Rene dan Sophie untuk menebaskan senjata masing-masing ke kaki dan badan beruang.
Luka sabetan senjata tajam dengan darah bercucuran masih belum menghentikan serangan beruang. Rene mulai kehabisan napas, sementara gerakan Sophie melambat karena kakinya terkilir. Suara letusan kembali terdengar beberapa kali. Makhluk besar itu pun akhirnya roboh ke tanah.
Sophie bermaksud duduk untuk beristirahat. Namun Rene, menarik lengannya. Memaksa pergelangan kakinya yang masih nyeri, untuk bergerak menjauhi bangkai beruang.
"Orang lokal," bisik Rene ketika Sophie terlihat hendak protes. Gadis itu mengintip ke balik punggung sahabatnya, melihat sosok lelaki sekitar usia 30 tahun, dengan topi lebar, dan senapan di tangan, berjalan mendekat. Langkahnya cermat dan hati-hati, mengitari posisi kedua kadet.
"Hoi, kalian bocah-bocah ... Ngapain di tengah hutan hanya berdua saja?!"
Moncong senapan terarah ke tanah, tetapi sikap lelaki itu terlihat waspada.
"Kami terpisah dari rombongan," jawab Rene lantang.
"Dan pedang-pedang itu?"
Sophie melirik pada bilah pedangnya sendiri yang masih bernoda darah beruang.
"Untuk pertahanan diri dan babat alas," jawab Rene lagi.
Mata lelaki itu menyipit. Sophie menelan ludah.
"Baiklah!" Lelaki itu menurunkan senjatanya. Sophie menghela napas lega.
"Masih ingat di mana kalian terpisah?" tanya lelaki yang nantinya memperkenalkan diri sebagai John Charles itu.
Rene dan Sophie yang sedang membersihkan bilah pedang mereka dari darah beruang, saling berpandangan. Sebetulnya mereka juga tidak paham bagaimana mereka bisa mencapai tempat itu.
Materi kelas praktek hari itu seharusnya hanya mengikuti petunjuk yang ada di catatan dan peta masing-masing kelompok. Anggota kelompok terdiri dari empat orang. Karena datang terlambat, anggota kelas yang tersisa tinggal finalis turnamen berpedang saja—sepertinya kadet lain tidak ada yang mau sekelompok dengan mereka.
Tak ada pilihan lain, mereka terpaksa bergabung dengan Kadet Louis dan Marin.
Lokasi praktek hanyalah hutan kecil di dekat akademi. Semua anak yang dibesarkan di daerah itu mengenalnya bagai pekarangan belakang rumah sendiri. Karena itu Sophie agak meremehkan, dan bermaksud meninggalkan dua kadet yang masih dia anggap sebagai musuh terberatnya, dengan membawa kabur peta.
"Dari sini ... kita harus jalan 50 meter ke Utara. Tujuannya adalah gua kecil," gumam Rene.
"Kalau begitu," Sophie melirik dua kadet lain, yang masih terlihat sibuk dengan bawaan masing-masing. "Yang terlambat sampai sana, mentraktir makan siang!" serunya seraya menyambar peta dari tangan Rene.
"Sophie?!"
Walau sempat kebingungan, sesuai perkiraan Sophie, Rene langsung mengejarnya. Dua orang kadet yang lain, sesaat tertegun melihat mereka, tetapi akhirnya berlari juga.
Setelah 15 menit berlari lurus melintasi pepohonan dan menuruni lembah, gua yang dimaksud masih belum juga ketemu, Sophie sadar ada yang tidak beres. Hutan semakin lebat dan liar, sementara tanaman yang ada terlihat berbeda dengan yang biasa mereka kenal.
Ketika Sophie berhenti berlari, mereka sudah tersesat, sama sekali terpisah dari dua anggota kelompok lain. Selagi mondar-mandir mencari jalan, kesialan mereka bertambah dengan kemunculan beruang. Beruntung John membantu dengan senapannya.
"Jadi ...," John mematahkan ranting kering lalu melemparkannya ke api unggun. "Kalian bocah-bocah Boys Scout yang sedang latihan mencari jejak, tetapi terpisah dari kelompok?"
"Betul sekali, Sir!" Rene menjawab tegas. Sophie kagum bagaimana rekannya bisa menceritakan pengalaman mereka tanpa memberi tahu asal mereka yang sesungguhnya.
"Terimakasih sudah menolong, Sir," kali ini Sophie yang berbicara. "Kalau anda tidak datang, entah bagaimana nasib kami tadi.
"Bukan orang sini, ya ...?" gumam John. "Logat kalian beda—ah, gak keberatan kalau aku merokok, kan?"
Pertanyaan terakhir itu ditujukan karena Sophie dan Rene memandang lekat-lekat pada tangan John yang sibuk mengeluarkan kotak kaleng dari dalam kantong pelananya. Mengetahui John hanya hendak mengambil tembakau, keduanya buru-buru mempersilakan dengan gestur tangan, nyaris berbarengan, membuat John terkekeh.
"Aku baru lihat seragam kalian," komentar John, sembari menggulung tembakau keringnya. "Tapi emblem Boys Scout itu mirip dengan yang dipakai orang-orang Perancis itu. Apa memang kalian dari sana?"
Sophie dan Rene sama sekali tak paham, Perancis itu di mana. Emblem yang tersemat di seragam mereka adalah versi sederhana dari lambang ksatria kerajaan mereka. Namun bila asal mengiyakan, mereka khawatir orang bernama John itu bakal makin mencurigai mereka.
"Haaa ... Tembakau bagus ini. Kudapat dari rekanku, ah ... aku punya pekerjaan sampingan sebagai petualang, kau tahu? Kami biasa melakukan penjelajahan untuk memetakan daerah yang belum banyak diketahui orang. Makin ke Barat, makin banyak daerah liar yang belum terjelajahi. Kadang memang apes, nyasar seperti kalian, atau mungkin ketemu penduduk setempat yang tidak ramah ... Tapi kalau sukses bayarannya oke, dapat bonus dari bulu-bulu hewan buruan juga."
"Luar biasa sekali!" komentar Rene.
"Heh! Aku yakin anak gedongan macam kalian tak betul-betul paham di mana asyiknya bertualang."
Sophie baru akan protes, tidak terima disamakan dengan bocah-bocah bangsawan. Namun Rene menghalanginya dengan cubitan di pinggang.
"Jadi anda akan menjelajah ke suatu tempat?"
John tergelak pada pertanyaan Rene itu. "Sendirian? Mustahil! Aku perlu, setidaknya seorang rekan yang bisa kupercaya, seorang ahli peta, dan penunjuk jalan."
"Padahal anda terlihat cukup tangguh?"
"Makanya bocah-bocah macam kalian itu masih terlalu cepat untuk bertualang. Yang kulakukan ini tak lebih dari perjalan pulang untuk bertemu kekasih. Yup, aku sudah bawa oleh-oleh untuk calon mertua, cerutu terbaik. Sedangkan untuk gadisku, dari kulit beruang itu akan kubelikan sesuatu."
Sophie terdiam mendengar ucapan yang terasa seperti menyindir kebodohan yang membuat mereka terpisah dari dua rekan yang lain. Rene tak berkata apa-apa, hanya memberikan tepukan pelan di punggung gadis itu.
"Bagaimana dengan kakimu?" tanya John dari sela-sela kepulan asap tembakaunya.
"Uhh ... tadi memang terkilir, tapi Rene sudah membebatnya, jadi tak terlalu sakit." Sophie menjawab, setelah mencoba menggerak-gerakkan kakinya. Memang sudah jauh lebih mending, walau Sophie tetap meringis saat dia menggerakkan kaki terlalu jauh.
"Kalau gitu, kalian bisa lanjutkan perjalanan dengan kudaku ... Jangan khawatir, aku selalu bawa dua kuda kalau melakukan perjalanan jauh. Kalian bisa naik kuda, kan?"
"Ka-kami tidak bisa menerima itu!" tolak Rene, cepat. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada makhluk setempat kalau mereka terbawa kembali ke hutan semula tiba-tiba.
"Hei, aku ini sibuk ... Tapi tak mungkin aku membiarkan dua bocah di tengah hutan begitu saja, kan? Setidaknya dengan kuda, aku bisa bawa kalian ke pemukiman terdekat. Dari situ, kalian bisa kirim telegram ke rumah atau sekolah untuk minta jemput."
Argumen John sangat masuk akal. Namun dari wajah khawatir Rene, Sophie tahu, bila mereka dibawa ke tempat pemukiman, hanya akan menimbulkan kebingungan. Akademi tempat mereka berasal tidak tercatat di manapun.
"Shhht!" desis John tiba-tiba. Tangannya segera mencabut revolver dari sabuknya. "Ada yang datang ... mungkin para Native!" bisiknya.
"Apakah mereka berbahaya?" bisik Sophie, gugup.
"Kita tak tahu ... Kebanyakan dari mereka memang cukup ramah, tetapi ada beberapa yang tidak terlalu."
Melihat lelaki di hadapan mereka merunduk dengan waspada. Mau tak mau keduanya ikut merunduk. Rene meraih gagang pedangnya, sementara Sophie ikut mengawasi sekeliling sembari memasang telinga.
"Dawsooon ... Yaaates!"
Mata Sophie melebar, dia menoleh pada Rene. Pemuda itu mengangguk. Sophie segera berdiri.
"Kami di sini!!!" seru Sophie.
Tak seberapa lama, dari balik kerimbunan semak, Kadet Marin muncul, diikuti oleh Kadet Louis. Mereka mengenakan jubah akademi.
Belum pernah Sophie merasa sesenang itu bertemu dengan keduanya. Dia bahkan segera mengenakan jubah yang baru disodorkan oleh Kadet Marin tanpa protes. Rene, seperti biasa langsung bekerjasama dengan baik pada siapa pun yang sekelompok dengannya.
"Rupanya teman-teman kalian sudah ketemu?" John yang sudah menyarungkan kembali revolvernya, mendekat.
"Anda John Charles? Saya Kadet Shuei Marin, terimakasih sudah menolong rekan-rekan kami!" ujar gadis berkulit gelap itu tegas, seraya membungkuk hormat dengan tangan kanan menyilang di depan dada.
"Uhh ... Ya, bukan masalah besar!" John terlihat rikuh, tetapi tetap membalas dengan gestur serupa. "Tak masalah, aku juga ... dapat kulit beruang," tambahnya dengan jempol menunjuk pada kulit berbulu cokelat yang sudah dibersihkan, dan direntangkan ketat di antara dua pohon.
"Kalau begitu, karena urusan di sini sudah selesai, kami permisi!"
Gadis itu memutar tumit lalu melangkah pergi, diikuti Louis. Rene dan Sophie membungkuk hormat terlebih dulu pada John baru kemudian mengejar langkah dua yang lain.
Hanya beberapa menit berjalan biasa, Sophie dibuat terbelalak ketika di hadapannya terbentang pemandangan hutan yang familier. Mereka sudah kembali. Dia sampai berkali-kali menoleh ke belakangnya untuk memastikan tidak ada pohon-pohon tak dikenal, tempat John Charles membentangkan kulit beruangnya.
"Hei, bagaimana ...?" gumam Sophie terheran-heran.
"Kalian masih bawa petanya?" tanya Marin.
Rene menjawab dengan mengacungkan gulungan di tangan kirinya.
"Bagus ... Kita bisa lanjutkan menuju poin berikutnya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top