Arena Tarung

Saat ini, kalian ada di arena tarung. Profesor meminta masing-masing orang mengambil satu jenis pedang. Lalu meminta kalian menyerang teman sekelas kalian.

Profesor ingin tahu, jenis pedang apa yang akan kalian gunakan dan bagaimana kalian menyerang lawan kalian.

***

Perasaanku sudah tak enak ketika rombongan kelas digiring oleh profesor ke sebuah lapangan luas di halaman akademi.

Aku mencoba berpikir positif karena mungkin profesor meminta kami untuk praktik bercocok tanam, atau mungkin mencoba mantra baru. Namun ketika aku melihat jejeran pedang yang sudah disiapkan, kekhawatiranku memuncak.

Ditambah saat profesor meminta kami untuk berlatih bertarung hari ini, keringat dingin mulai mengembun dari pelipisku.

Aku tidak bisa bertarung.

Selama ini, hanya belati yang kugunakan dan kubawa ke mana saja. Itu pun kupakai saat aku hendak memotong tanaman obat, atau mengusir hewan hutan penganggu. Tidak lebih dari itu.

Aku pernah sekali diajari menggunakan pedang oleh Theron. Aku lupa namanya, sedikit ingat dia pernah menyebut "rapier", "rapir", "lapier", atau entahlah—bisa jadi aku salah dengar, bisa jadi dia berkata bahwa dirinya sedang lapar.

Oke, sudah ceritanya. Sekarang aku panik.

Astaga, ini keren sekali. Kapan, ya, terakhir kali aku menggunakan pedang?

Eh?

Ada apa dengan dirimu? Kau terasa berbeda, balasku pada Roh Kupu-kupu.

Itu benar, aku bisa merasakan lonjakan antusiasme dalam diriku. Padahal, saat ini aku sedang panik. Aku tidak peduli dengan nilai, hanya malas babak belur di jam pelajaran kali ini. Sebab kulihat beberapa temanku yang bertarung sampai terluka, tetapi mereka tersenyum puas. Mereka mengerikan.

Aku jago berpedang semasa aku masih hidup, katanya bangga. Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu.

Bagaimana? Keningku berkerut.

"Selanjutnya, Olita ... dan Seraena."

Aku meringis.

Diriku terdiam cukup lama di depan rak pedang, bingung hendak memilih apa. Sampai akhirnya Roh Kupu-kupu berbisik, dan aku mengambil cepat salah satu pedang di sana sesuai perintahnya. Profesor tampak sedikit kesal menungguiku memilih.

Smallsword. Ini cocok untuk petarung pemula.

Pedang ini tampak kecil seperti namanya, tetapi memiliki bilah yang panjang. Jangkauannya cukup luas, dan lebih cocok digunakan untuk menusuk daripada menebas. Bobotnya ringan, sama seperti belati yang sering kupakai. Tidak butuh waktu lama untuk tanganku terbiasa dengannya.

Seraena sudah berdiri di hadapanku, dia juga memilih pedang yang sama seperti yang kupakai sekarang. Kuda-kudanya bagus, ia telah siap. Sementara, aku saja bingung bagaimana harus bersikap.

Pasang kuda-kuda! ajar Roh Kupu-kupu dengan gemas. Aku mempraktekkan apa yang dia suruh, tetapi aku kembali dimarahinya. Kepalaku pengang.

"Mulai!" Profesor tidak mau menungguiku lagi.

Seraena mulai maju untuk menyerang, aku was-was. Lalu kemudian—

Aku akan menggantikan dirimu.

Belum sempat aku menolak, kesadaranku pindah. Aku masih di dalam tubuh, tetapi kali ini ragaku di luar kendaliku, Roh Kupu-kupu yang menguasainya.

Aku tidak sempat mengomel bagaimana aku tidak suka jikalau kami bertukar kesadaran. Karena selanjutnya, kudapati tubuhku fokus bertarung.

Seraena menyerang, anak itu lincah sekali, jelas lebih terlatih dariku. Sesekali dia mendapati celah untuk menusukkan pedangnya, tetapi tubuhku menghindar dengan sendirinya—lebih tepatnya Roh Kupu-kupu.

Pertarungan terjadi sengit, dari sini kusimpulkan bahwa kami seimbang. Seraena yang lincah menyerang, dan tubuhku meladeninya. Aku berkelit untuk menghindar serangan, mengirim tusukkan pedang, gagal, Seraena balas menyerang, aku merunduk, mengincar perutnya lalu ditepis.

Harus kuakui, ini seru.

Ada masa di mana Seraena hendak menyerang tiba-tiba, dan aku kaget, hampir saja kelepasan berteriak, tetapi tubuhku lebih dulu melompat ke belakang untuk menghindar.

Pertarungan ini baru sebentar, namun tubuh Seraena tampak melemah.

Sesekali ia tidak fokus, baik aku maupun Roh Kupu-kupu pasti menyadarinya. Aku kasihan padanya, bahkan hendak berhenti untuk menolong. Namun, Roh Kupu-kupu melihat lengahnya sebagai peluang. Tubuhku balas menyerang sampai ujung pedangku tepat berada di perut kirinya, Seraena jatuh terduduk.

Gadis itu kalah.

Pertarungan selesai, kami berdua hanya terluka ringan. Aku menyingkir ke pinggir lapangan dan menyaksikan pertarungan teman kelas yang lain. Sementara Seraena—dia sudah menghilang entah ke mana.

Kendali atas tubuhku kembali lagi, rasanya melegakan. Aku sangat ingin memarahi dan memukul Roh Kupu-kupu andai saja dia tidak berada dalam ragaku.

Jangan diulangi, peringatku kesal.

Tapi seru, bukan? Dari nada suaranya, pasti dia menyengir. Sayangnya, bocah tadi bukan tandinganku. Aku bisa saja menghabisinya dalam satu tebasan, tetapi kalau kau tampak terlalu hebat, itu akan mencurigakan.

Aku tidak membalas, tetapi setuju dengan perkataannya. Kalau diberi kesempatan, kau ingin bertarung dengan siapa?

Entah, tapi aku merasakan Roh Kupu-kupu tersenyum miring.

Sepertinya anak-anak api itu. Aku mengikuti arahannya, lalu paham siapa yang dia maksud. Terlebih yang laki-laki. Aku penasaran dengan kekuatannya, karena sepertinya dia terikat dengan iblis.

Aku terdiam, namun manikku mengawasi orang yang Roh Kupu-kupu bicarakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top